Melody membelalakkan matanya lebar saat mendapati seorang wanita berbisik padanya. Ia duduk di antara wanita paruh baya, yang sepertinya adalah ibu Andrean.
“Mel, apa kamu tidak apa-apa?” tanya Larasati lirih.“Tidak apa-apa, Ibu.”Setelah itu, seorang penghulu dengan berjas hitam itu masuk ke ruangan. Ia menggulirkan manik matanya ke sekeliling.“Jadi, ini mempelai pria dan wanitanya?” tanyanya.“Iya.” Singkat jawaban Andrean pada pria itu.“Silakan jabat tangan saya,”Seorang penghulu yang mengulurkan tangan kanannya, dibalas dengan uluran tangan oleh Andrean.Ijab qobul itu berlangsung dengan lancar, Andrean memberikan seperangkat alat sholat dan uang 10 juta sebagai mahar.“Selamat atas pernikahan kalian,” ucap seorang wanita yang tidak asing di mata Melody.“Cukup, Nad Jangan seperti itu,” ucap Arsen dengan lembut.“Mas, memangnya aku salah memberikan selamat pada istri keduamu?” tanya wanita itu lagi.“Dia Nadea, istriku. Tolong hormati dia seperti kamu menghormati aku, Mel,” tutur Andrean mengenalkan Nadea.Melody mengangguk paham dengan apa yang diucapkan Andrean.Ia hanya mengulas senyum tipis pada wanita yang ada di hadapannya. "Salam kenal, saya Melody Anastasya. Senang bertemu dengan Anda," ucap Melody lirih."Ya."Singkat dan ketus, Nadea melenggang meninggalkan Melody dan Andrean begitu saja."Tuan, apakah nona tidak menyukai saya?" tanya Melody dengan penuh keraguan."Dia memang sedikit dingin, acaranya sudah selesai. Pamitlah pada ibumu," titah Andrean tegas.Ia hanya mengangguk, Melody berjalan mendekati Larasati. Air matanya luruh begitu saja tanpa aba-aba."Jaga diri baik-baik ya, Mel. Ibu pamit dulu," ucap Larasati dengan mengusap pelan air matanya.****"Ini kamarmu, istirahatlah dulu. Aku akan datang lagi setelah satu jam," titah Andrean tanpa ragu."Baik, Tuan," Melody hanya mengangguk dengan paham.Kamar yang cukup luas dengan fasilitas lengkap bernuansa putih gading. Beberapa bulan bahkan beberapa tahun ke depan, ia akan tinggal di kamar itu."Mel, kamu resmi jadi istri orang, tanpa diketahui media atau pun teman kantormu," Melody menggumam lirih."Sebuah hal gila yang bahkan sahabatku saja tidak tahu!" ucapnya lirih.Matanya menoleh ke arah tirai yang kini masih tertutup, langkah kakinya pelan menuju cendela itu.SRAK!tirai putih itu terbuka, menampakkan kaca besar serta balkon kamar. Pemandangannya sangat indah bahkan bak lukisan."Enaknya jadi orang kaya," ucap Melody lirih."Sama sekali tidak enak menjadi orang kaya," ujar seseorang yang masih asing di telinganya.Melody menolehkan kepalanya, matanya mendapati seorang laki-laki yang kini menjadi suaminya."Tuan Andrean? Katanya Anda akan datang satu jam lagi-" ucapannya terhenti."Urusanku sudah selesai," jelasnya singkat.Ia mengambil duduk di samping Melody, meskipun wanita di sampingnya sedikit menggeser posisi duduknya."Kita sudah sah, jangan canggung seperti itu!" ujar Andrean."Eh ... Iya, Tuan."Melody semakin gugup mendengar ucapan itu, ia hanya bisa diam dengan menatap pemandangan di hadapannya."Mel, ayo masuk ke kamar," ajaknya lirih.Melody hanya menoleh, dengan tanda tanya yang besar dalam kepalanya. Ia hanya bisa diam dan menuruti permintaan pria itu.Langkah keduanya tiba di tepi ranjang, tatapan tajam dari mata teduh. Pria yang cukup dingin bagi sebagian orang itu terlihat sangat berbeda hari ini."Mel, kita ini sudah sah menjadi suami istri. Dan sesuai kontrak yang kamu tanda tangani, bagaimana kalau kita segera memulai apa yang seharusnya ...." bisik Andrean pada telinga Melody.Seruan nafas dari Andrean terasa menghangat di tengkuk milik Melody. Meski pun hanya rasa yang singkat dan aneh ..."Tu-tuan, apa yang akan Anda lakukan?" tanya Melody dengan wajah penuh tanya.Tidak memberikan jawaban pasti, Andrean membelai pelan rambut Melody. Wanita yang terlalu polos namun sok pemberani, bahkan ia belum pernah disentuh oleh seorang pria mana pun."Tu-tuan," teriak Melody saat merasakan Andrean semakin mendekatkan tubuhnya pada Melody."Hust, kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau," bisik Andrean terdengar nyaring ditelinga Melody.Sore itu bersama langit jingga yang terlihat sangat indah, Melody menutup seluruh tubuhnya. Entah apa yang terjadi beberapa waktu lalu, ia hanya bisa pasrah atas perlakuan Andrean padanya.Sentuhan yang lembut dan manis bibir yang Melody rasakan. Ah, dia sekarang bertambah dewasa!'Apakah dia sekarang terlelap?' batin Melody bertanya-tanya.Tangannya masih sibuk menangkupkan selimut hingga batas dada.'Mel, apa yang sudah kamu lakukan!' gerutunya dalam batin.Manik mata yang kini sibuk mengamati raut wajah Andrean, lekuk wajah yang tegas dengan alis tebal. Andrean terlihat seperti lelaki yang sangat tampan."Tuan, bangun dulu ... Saya mau minta tolong," ucap Melody lirih.Wajah keduanya hanya berjarak satu jengkal, deru nafas Andrean terasa sampai wajah Melody. Mata itu tidak kunjung terbuka, hanya sekilas bibirnya mengatup."Tuan, sa-saya ...."Belum genap ucapan itu terdengar, tangan lelaki di sampingnya itu sudah melenggang ke arah pinggang. Ditariknya untuk lebih dekat dengan tubuhnya."Tidurlah, nanti aku akan membantumu. Biarkan aku tertidur sejenak," bisiknya.Melody hanya mengerjapkan matanya beberapa kali, rasa aneh saat menerima pelukan Andrean. Membuatnya kikuk dan tidak bisa berkutik sama sekali."Mel, kamu mendengar aku?" tanya Andrean lirih."Iya, Tuan. Saya mendengar Anda," jawab Melody dengan suara lirih."Aku, kamu saja. Kita sudah menjadi suami istri," tegasnya.Desis Andrean masih terasa hingga tengkuk Melody, matanya yang tidak kunjung terbuka. Sedangkan Melody sudah menahan diri untuk membuang air kecil."Aku mau pipis, bolehkah aku melepaskan pelukan ini sebentar saja?" tanya Melody dengan raut wajah memerah."Kenapa kamu tidak bilang dari tadi!" pekik Andrean.Sontak ia terbangun dari tidurnya, menggendong Melody secepat kilat ke arah kamar mandi."Tuan, apakah saya ... Aku memanggilmu dengan kata mas suami?" celetuk Melody lirih dari dalam kamar mandi, dengan menekan kata 'Mas Suami'.Melody tidak mendengar jawaban apa pun dari Andrean. Mungkin bagi Andrean ia terlalu banyak mau dan lancang."Boleh," singkat padat dan jelas.Melody yang sudah membuka kenop pintu itu melongo, manik matanya membelalak lebar. Pria dingin itu bahkan tidak melarangnya memanggil dengan sebutan nyeleneh."Jangan panggil aku tuan, karena aku ini suamimu!" tegas Andrean."Baik," singkat jawaban Melody.Keduanya kini duduk di tepi ranjang, tanpa ada kalimat tanya atau pun lainnya. Hanya terdiam sejenak dan tidak memedulikan apa pun."Mel, aku sudah mengenalmu beberapa bulan atas saran seseorang," ucapnya membuka percakapan diantara rasa canggung."Saran seseorang?" tanya Melody dengan sangat terkejut. "Iya, orang yang cukup dekat denganmu sepertinya," jawab Andrean dengan ragu. "Oh ya, terima kasih untuk hari ini. Apa kamu keberatan tidur di sini sendiri?" tanya Andrean lirih. "Ti-tidak, Mas Suami-" Melody menutup mulutnya dengan dua tangannya. Andrean terlihat kikuk di depan Melody, panggilan yang sengaja ia berikan itu membuat siapa pun akan berpikir dua kali. "Baiklah, aku pamit! Selamat tidur, Mel," pamitnya. Pintu itu kembali tertutup rapat, Melody menatap kepergian Andrean dengan nanar. Menjadi madu tidak sepenuhnya menjadi keinginannya! "Ternyata seperti ini menjadi madu," gumamnya lirih. Melody merebahkan tubuhnya di ranjang, matanya menatap langit-langit kamar. Lampu yang sudah padam dan hanya tersisa cahaya dari balik jendela kaca. "Ibu, aku sudah rindu sekarang," ucapnya lirih. ***Tok tok tok!Ketukan pada pintu kamar itu membuyarkan tidur panjang Melody. Semalam iya tertidur nyenyak sampai lupa makan mal
"Ada apa, Mel?" tanya Andrean menoleh ke wanita di sampingnya. "Em, aku berhenti di depan saja, Mas. Butik tempatku bekerja tidak jauh dari gang itu," tunjuk Melody pada sebuah gang kecil yang tidak jauh dari mobil itu melaju. "Kenapa? Itu masih terlalu jauh jika kamu ingin berjalan kaki, nanti kamu kelelahan dan program kehamilan akan terhambat," timpal Andrean. Perasan yang awalnya sempat membuat pipinya merona, seketika berubah menjadi rasa kesal pada pria di sampingnya. Bahkan Melody sempat lupa jika posisinya hanya seorang madu, yang harus bisa melahirkan penerus perusahaan Keluarga Zahari. "Tidak, Mas Suami. Itu sudah dekat, aku tidak masalah jika harus berjalan kaki," tutur Melody dengan sedikit memaksakan kehendak. Andrean terlihat berpikir sejenak, ia hanya mengangguk dan memberi arahan pada Baron sopir pribadinya. "Saat jam pulang, kamu bisa mengirim pesan padaku," ucap Andrean lirih. "Mas, aku bisa naik angkutan umum, tidak perlu repot-repot," elak Melody dengan kiku
"Hah, maksud Bu Rena?" tanya Melody dengan terkejut. Rena membenarkan posisi duduknya lebih dekat dengan Melody. Ia menatap tajam ke arah Melody. "Apa kamu mengenal Andrean? Andrean Putra Zahari," tanya Rena mengulang. "Upik abu seperti saya mana mungkin mengenal anak orang tersohor itu, Bu. Rasanya seperti remahan rengginan saya kalau mengenalnya," jawab Melody dengan kekehan ringan. "Heh! Seharusnya kamu bisa mengenalnya, Mel. Emm ...." Rena terlihat berpikir sangat keras. Entah apa yang ada di kepalanya saat itu, mengapa wanita itu terlihat lebih menyesal jika Melody tidak mengenal Andrean. "Bu Rena, Memangnya ada apa dengan Tuan muda Andrean?" celetuk Melody dengan ragu. "Tidak apa-apa, oh ya! Kemarin kamu ke mana? Baju yang kamu jahit itu harus selesai besok, apa kamu keberatan!?" todong tanya Rena dengan menatap lekat Melody. Deg! Deadline yang maju dengan tiba-tiba, rasanya Melody ingin menghilang dari hadapan Rena saat itu juga. "Seharusnya bisa, Bu. Selama tidak ada
"Eng-enggak, siapa itu Rena?" tanya Andrean tergagap. "Oh, sepertinya aku salah dengar. Terima kasih ya, mas suami. Aku tidak menyangka akan mendapat perhatian seperti ini," ucap Airina dengan tersipu malu. "Iya, sama-sama. Aku ingin kamu bisa menjaga diri agar program hamil kita berjalan lancar," ujar Andrean dengan menekan kalimat program hamil. Melody merasa tercengang! Lagi-lagi Andrean memperhatikannya hanya karena program hamil yang mereka jalani. Beberapa kali Andrean dan Melody membicarakan tentang ini, namun nihil ia tidak paham sama sekali. "Iya, Mas. Jadi, kita kapan ke dokter kandungan?" todong tanya Melody. "Mel, malam ini aku tidak bisa menemanimu pergi ke dokter. Aku harus menemani Nadea ke acara temannya, kamu keberatan gak berangkat ke dokter sama Baron?" jelas Andrean dengan senyum yang tidak beralih dari wajahnya yang jenjang itu. "Mas, kita 'kan harus cek bersama, em maksud aku ... Bukan hanya aku yang trs keadaan rahimku, tapi kamu juga harus trs ...," ucap
"Mas, aku tidak basa-basi kali ini, aku serius dengan ucapanku. Perkara program hamil itu kita bukan aku saja!" pekik Melody tanpa ragu. Tapapan Andrean yang berubah, dengan bibir yang terkatup rapi tanpa celah. Manik matanya hanya fokus pada sosok Melody di hadapannya. "Batalkan saja ke dokter hari ini, besok sebelum aku ke luar kota kita ke dokter dulu. Puas?" hardik Andrean keras. Deg! Sontak Melody menatap nanar ke arah Andrean, sebuah bentakan yang melayang pada dirinya membuat ia terdiam pasi. "Kenapa diam? Katanya harus kita berdua kan?" todong tanya Andrean yang terdengar seperti sindiran. "Ya sudah, kembalilah ke kamarmu. Aku malam ini tidak akan datang, tidak perlu menunggu," ujarnya menambahkan. "Baik, Mas. Terima kasih," Melody melangkahkan kakinya ke kamar. Dengan perasaan yang cukup hancur, ia memasuki kamar dengan penuh kekesalan. Air mata yang sempat ia tahan itu luruh, membasahi pipinya yang ranum. "Jika bukan untuk ibu dan adikku, aku tidak mau menjadi seora
"Mas, hentikan! Aku tidak suka kamu seperti saat ini," gerutu Melody keras. "Apa yang tidak kamu suka, Mel? Ini atau ... Ini? Padahal malam itu kamu seperti menikmati sekali," ucap Andrean dengan tangan yang tidak bisa diam, apalagi tangan besarnya itu menjamah setiap lekuk tubuh Melody dengan asal. "Mas, aku mohon hentikan!" pekik Melody keras. Malam itu berhasil terlalui dengan tangis pecah Melody, entah apa yang dilakukan Andrean saat itu. Setiap tindakannya seolah membuat Melody merasa sakit. 'Kamu benar-benar pria gila, mas!' hardik Melody dalam batinnya. Manik matanya menggulir pada sosok pria di sampingnya, ia terlelap dengan sangat pulang. Setelah permainan malam itu selesai, entah apa yang terjadi padanya. "Aku merasa ternodai, tapi ... Ini sudah masuk dalam perjanjian itu, bagaimana aku bisa menolaknya!" gerutu Melody dengan penuh penyesalan. "Aku butuh uang, jadi aku harus melakuka. Apa pun meskipun ini menyangkut harga diriku sebagai wanita," gumam Airina lirih. "
Deg! Suara bariton dari pria di sampingnya itu terdengar memekakkan telinga. Seorang pria yang berani mengancam orang lain dengan kehilangan pekerjaannya? "Sombong sekali anak tunggal Pak Zahari ini, ayo kita pergi saja!" celetuk salah satu wanita pengunjung rumah sakit itu. "Mas, tidak perlu berlebihan seperti itu, lagian ...." Andrean tidak mendengarkan ucapan Melody, ia menggandeng tangan Melody ke receptionis. "Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita cantik bernama Angel itu. Na yang cantik tertera pada sisi kanan dadanya "Aku ingin tes dan konsultasi tentang program hamil dengan dokter. Apa ada dokter yang bisa pagi ini?" Andrean mulai memasang wajah masamnya lagi, di hadapannya resepsionis itu mulai mengulas senyum tipis. "Ada, Tuan. Silakan Anda menunggu antrian terlebih dahulu," ucap ramah Angel pada Andrean. "Aku tidak bisa menunggu, tolong berikan aku pada dokter VVIP yang ada di sini. Katakan saja Andrean putra Zahari yang ingin berkonsultasi!" uj
"Hah? Mel, kamu ...?" Dasya masih menerka-nerka apa yang ia dengar. Apa telinganya yang salah atau memang Melody yang salah dengan kalimatnya? "Hahaha, serius banget, neng! Aku hanya bercanda ... Emm, tadi pagi aku mendengar orang membahas program hamil. Aku jadi penasaran itu seperti apa?" Melody terkekeh dengan ekspresi sahabatnya yang sangat lucu.Meskipun ia berbohong pada Dasya, itu sudah menjadi hal yang lebih baik. "Aku hampir serangan jantung kamu bilang bercanda?" tegur Dasya dengan raut wajah yang terlihat menyimpan emosinya mendalam. "Mel, sumpah ya! Aku gak suka kamu bercanda tentang hal seperti ini! Bayangkan saja secara tiba-tiba kamu sudah menikah dengan seseorang lalu ... Aku Sabahat karibmu ini tidak tahu?" Gadis cantik di depan Melody itus udah menggerutu tanpa henti. "Memangnya kenapa kalau aku tiba-tiba sudah dipinang oleh seorang pria? Harusnya kamu senang!" seru Melody antusias. "Apa kau gila?!" Suara Dasya yang menggelegar cempreng itu menyita perhatian ba