Share

Bab 4

Melody membelalakkan matanya lebar saat mendapati seorang wanita berbisik padanya. Ia duduk di antara wanita paruh baya, yang sepertinya adalah ibu Andrean.

“Mel, apa kamu tidak apa-apa?” tanya Larasati lirih.

“Tidak apa-apa, Ibu.”

Setelah itu, seorang penghulu dengan berjas hitam itu masuk ke ruangan. Ia menggulirkan manik matanya ke sekeliling.

“Jadi, ini mempelai pria dan wanitanya?” tanyanya.

“Iya.” Singkat jawaban Andrean pada pria itu.

“Silakan jabat tangan saya,”

Seorang penghulu yang mengulurkan tangan kanannya, dibalas dengan uluran tangan oleh Andrean.

Ijab qobul itu berlangsung dengan lancar, Andrean memberikan seperangkat alat sholat dan uang 10 juta sebagai mahar.

“Selamat atas pernikahan kalian,” ucap seorang wanita yang tidak asing di mata Melody.

“Cukup, Nad Jangan seperti itu,” ucap Arsen dengan lembut.

“Mas, memangnya aku salah memberikan selamat pada istri keduamu?” tanya wanita itu lagi.

“Dia Nadea, istriku. Tolong hormati dia seperti kamu menghormati aku, Mel,” tutur Andrean mengenalkan Nadea.

Melody mengangguk paham dengan apa yang diucapkan Andrean.

Ia hanya mengulas senyum tipis pada wanita yang ada di hadapannya. "Salam kenal, saya Melody Anastasya. Senang bertemu dengan Anda," ucap Melody lirih.

"Ya."

Singkat dan ketus, Nadea melenggang meninggalkan Melody dan Andrean begitu saja.

"Tuan, apakah nona tidak menyukai saya?" tanya Melody dengan penuh keraguan.

"Dia memang sedikit dingin, acaranya sudah selesai. Pamitlah pada ibumu," titah Andrean tegas.

Ia hanya mengangguk, Melody berjalan mendekati Larasati. Air matanya luruh begitu saja tanpa aba-aba.

"Jaga diri baik-baik ya, Mel. Ibu pamit dulu," ucap Larasati dengan mengusap pelan air matanya.

****

"Ini kamarmu, istirahatlah dulu. Aku akan datang lagi setelah satu jam," titah Andrean tanpa ragu.

"Baik, Tuan," Melody hanya mengangguk dengan paham.

Kamar yang cukup luas dengan fasilitas lengkap bernuansa putih gading. Beberapa bulan bahkan beberapa tahun ke depan, ia akan tinggal di kamar itu.

"Mel, kamu resmi jadi istri orang, tanpa diketahui media atau pun teman kantormu," Melody menggumam lirih.

"Sebuah hal gila yang bahkan sahabatku saja tidak tahu!" ucapnya lirih.

Matanya menoleh ke arah tirai yang kini masih tertutup, langkah kakinya pelan menuju cendela itu.

SRAK!

tirai putih itu terbuka, menampakkan kaca besar serta balkon kamar. Pemandangannya sangat indah bahkan bak lukisan.

"Enaknya jadi orang kaya," ucap Melody lirih.

"Sama sekali tidak enak menjadi orang kaya," ujar seseorang yang masih asing di telinganya.

Melody menolehkan kepalanya, matanya mendapati seorang laki-laki yang kini menjadi suaminya.

"Tuan Andrean? Katanya Anda akan datang satu jam lagi-" ucapannya terhenti.

"Urusanku sudah selesai," jelasnya singkat.

Ia mengambil duduk di samping Melody, meskipun wanita di sampingnya sedikit menggeser posisi duduknya.

"Kita sudah sah, jangan canggung seperti itu!" ujar Andrean.

"Eh ... Iya, Tuan."

Melody semakin gugup mendengar ucapan itu, ia hanya bisa diam dengan menatap pemandangan di hadapannya.

"Mel, ayo masuk ke kamar," ajaknya lirih.

Melody hanya menoleh, dengan tanda tanya yang besar dalam kepalanya. Ia hanya bisa diam dan menuruti permintaan pria itu.

Langkah keduanya tiba di tepi ranjang, tatapan tajam dari mata teduh. Pria yang cukup dingin bagi sebagian orang itu terlihat sangat berbeda hari ini.

"Mel, kita ini sudah sah menjadi suami istri. Dan sesuai kontrak yang kamu tanda tangani, bagaimana kalau kita segera memulai apa yang seharusnya ...." bisik Andrean pada telinga Melody.

Seruan nafas dari Andrean terasa menghangat di tengkuk milik Melody. Meski pun hanya rasa yang singkat dan aneh ...

"Tu-tuan, apa yang akan Anda lakukan?" tanya Melody dengan wajah penuh tanya.

Tidak memberikan jawaban pasti, Andrean membelai pelan rambut Melody. Wanita yang terlalu polos namun sok pemberani, bahkan ia belum pernah disentuh oleh seorang pria mana pun.

"Tu-tuan," teriak Melody saat merasakan Andrean semakin mendekatkan tubuhnya pada Melody.

"Hust, kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau," bisik Andrean terdengar nyaring ditelinga Melody.

Sore itu bersama langit jingga yang terlihat sangat indah, Melody menutup seluruh tubuhnya. Entah apa yang terjadi beberapa waktu lalu, ia hanya bisa pasrah atas perlakuan Andrean padanya.

Sentuhan yang lembut dan manis bibir yang Melody rasakan. Ah, dia sekarang bertambah dewasa!

'Apakah dia sekarang terlelap?' batin Melody bertanya-tanya.

Tangannya masih sibuk menangkupkan selimut hingga batas dada.

'Mel, apa yang sudah kamu lakukan!' gerutunya dalam batin.

Manik mata yang kini sibuk mengamati raut wajah Andrean, lekuk wajah yang tegas dengan alis tebal. Andrean terlihat seperti lelaki yang sangat tampan.

"Tuan, bangun dulu ... Saya mau minta tolong," ucap Melody lirih.

Wajah keduanya hanya berjarak satu jengkal, deru nafas Andrean terasa sampai wajah Melody. Mata itu tidak kunjung terbuka, hanya sekilas bibirnya mengatup.

"Tuan, sa-saya ...."

Belum genap ucapan itu terdengar, tangan lelaki di sampingnya itu sudah melenggang ke arah pinggang. Ditariknya untuk lebih dekat dengan tubuhnya.

"Tidurlah, nanti aku akan membantumu. Biarkan aku tertidur sejenak," bisiknya.

Melody hanya mengerjapkan matanya beberapa kali, rasa aneh saat menerima pelukan Andrean. Membuatnya kikuk dan tidak bisa berkutik sama sekali.

"Mel, kamu mendengar aku?" tanya Andrean lirih.

"Iya, Tuan. Saya mendengar Anda," jawab Melody dengan suara lirih.

"Aku, kamu saja. Kita sudah menjadi suami istri," tegasnya.

Desis Andrean masih terasa hingga tengkuk Melody, matanya yang tidak kunjung terbuka. Sedangkan Melody sudah menahan diri untuk membuang air kecil.

"Aku mau pipis, bolehkah aku melepaskan pelukan ini sebentar saja?" tanya Melody dengan raut wajah memerah.

"Kenapa kamu tidak bilang dari tadi!" pekik Andrean.

Sontak ia terbangun dari tidurnya, menggendong Melody secepat kilat ke arah kamar mandi.

"Tuan, apakah saya ... Aku memanggilmu dengan kata mas suami?" celetuk Melody lirih dari dalam kamar mandi, dengan menekan kata 'Mas Suami'.

Melody tidak mendengar jawaban apa pun dari Andrean. Mungkin bagi Andrean ia terlalu banyak mau dan lancang.

"Boleh," singkat padat dan jelas.

Melody yang sudah membuka kenop pintu itu melongo, manik matanya membelalak lebar. Pria dingin itu bahkan tidak melarangnya memanggil dengan sebutan nyeleneh.

"Jangan panggil aku tuan, karena aku ini suamimu!" tegas Andrean.

"Baik," singkat jawaban Melody.

Keduanya kini duduk di tepi ranjang, tanpa ada kalimat tanya atau pun lainnya. Hanya terdiam sejenak dan tidak memedulikan apa pun.

"Mel, aku sudah mengenalmu beberapa bulan atas saran seseorang," ucapnya membuka percakapan diantara rasa canggung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status