Share

Bab 5

"Saran seseorang?" tanya Melody dengan sangat terkejut.

"Iya, orang yang cukup dekat denganmu sepertinya," jawab Andrean dengan ragu.

"Oh ya, terima kasih untuk hari ini. Apa kamu keberatan tidur di sini sendiri?" tanya Andrean lirih.

"Ti-tidak, Mas Suami-" Melody menutup mulutnya dengan dua tangannya.

Andrean terlihat kikuk di depan Melody, panggilan yang sengaja ia berikan itu membuat siapa pun akan berpikir dua kali.

"Baiklah, aku pamit! Selamat tidur, Mel," pamitnya.

Pintu itu kembali tertutup rapat, Melody menatap kepergian Andrean dengan nanar. Menjadi madu tidak sepenuhnya menjadi keinginannya!

"Ternyata seperti ini menjadi madu," gumamnya lirih.

Melody merebahkan tubuhnya di ranjang, matanya menatap langit-langit kamar. Lampu yang sudah padam dan hanya tersisa cahaya dari balik jendela kaca.

"Ibu, aku sudah rindu sekarang," ucapnya lirih.

***

Tok tok tok!

Ketukan pada pintu kamar itu membuyarkan tidur panjang Melody. Semalam iya tertidur nyenyak sampai lupa makan malam.

"Siapa?" tanya Melody dengan gusar.

"Saya, Nona."

Suaranya cukup asing bagi Melody, ia beranjak dari ranjang. Membuka kenop pintu dengan malas, matanya menatap seseorang wanita paruh baya yang datang.

"Saya Inem, pembantu di sini. Apakah nona keberatan jika saya membersikan kamar sekarang?" jelasnya.

"Lakukan saja, aku akan mandi dulu," Melody membiarkan Inem masuk.

Dengan membuka koper yang ia bawa, manik mata Melody menatap lekat pada beberapa barang bawaannya.

"Inem, sepertinya aku lupa membawa handuk. Apa ... Ada handuk yang bisa aku pakai?" tanya Melody dengan ragu.

"Ada, Nona. Sebentar ya saya ambilkan,"

Inem melenggang pergi meninggalkan Melody, tidak lama dari itu Andrean masuk tanpa permisi.

"Mel, segeralah mandi lalu kita sarapan bersama di ruang makan," titahnya tegas.

"Sa ... Aku masih menunggu Inem, Mas. Maafkan aku yang lupa membawa handuk ke sini." Melody hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Andrean menganggukkan kepalanya paham, kini ia pergi begitu saja.

"Panggil Inem saja kalau perlu apa-apa," ujarnya.

Lama Melody menunggu kedatangan Inem, wanita paruh baya itu sayup-sayup mendekat. Ditangannya terdapat handuk berwarna hijau toska yang terlihat sangat halus.

"Nona, maafkan terlalu lama, saya sempat lupa meletakkan handuk baru di mana," ucap Inem dengan kekehan ringan.

"Tidak apa-apa, Inem. selama aku mandi tolong di luar sebentar ya," pinta Melody.

Inem berjalan meninggalkan Melody sendiri, langkah pelannya menuju kamar mandi terasa berat. Bagaimana tidak? Matanya terkejut dengan adanya shower yang unik.

"Apa ini shower air panas ya? Aku sangat kampungan di sini!" gumamnya lirih.

Seolah sedang mengadu nasipn baik dan buruk, Melody sengaja mencoba satu persatu shower itu.

"Gila! Ini air panas bodoh!" hardiknya keras pada dirinya sendiri.

Setelah drama dengan shower, akhirnya proses mandinya selesai. Kini ia mengacak-acak kembali koper bawaannya.

Memilih pakaian yang pantas dibawa sarapan dengan mama mertua.

"Melody, kenapa kamu selalu ceroboh? Lihatlah sekarang, bahkan kamu hanya membawa beberapa daster! ia menepuk keningnya dengan pelan.

Tok tok tok!

"Mel, kamu lama sekali bersiapnya!" suara tegas Andrean sudah terdengar nyaring.

"Iya, sebentar ...."

Dengan asal ia memakai sebuah daster Sabrina yang menampakkan sedikit pundaknya.

"Aku tidak peduli dengan ucapan dan tatapan banyak orang kali ini, hanya ini yang paling sopan diantara yang lain!" gumamnya dengan keluar kamar.

"Aku sudah siap, Mas," ucap Melody lirih.

Manik mata Melody terkejut dengan adanya laki-laki yang berdiri di ambang pintu. Matanya seolah tidak teralih dari penampilan Melody pagi ini.

Terlihat jelas jakunnya bergerak naik turun seolah sedang memburu. Ia menegak salivanya kuat-kuat.

"Mas, apakah penampilanku terlalu kampungan?" tanya Melody dengan wajah penuh tanya.

"Hah?" beo Andrean yang baru saja sadar dari lamunannya.

"Ti-tidak, ayo kita ke ruang makan!" ajaknya tegas.

Melody hanya mengikuti langkah Andrean, pelan tapi pasti ia sangat ragu dengan penampilannya pagi ini. Beberapa mata tertuju padanya.

'Biadab!' gerutu Nadea dalam batinnya.

"Mel, duduk sini," ucap Anjela, ibu Andrean.

Anjela menepuk kursi di sampingnya, mata Nadea menggulir dengan tajam ke arah Melody. Dengan penuh keraguan ia duduk di samping Anjela.

"Terima kasih, Ibu mertua," ucap Melody mendudukkan pantatnya.

Semua di ruangan itu fokus pada makanan di hadapannya. Denting sendok dan piring yang mendominasi nyaring.

"Mel, apa kamu masih bekerja setelah ini?" tanya Anjela mulai mengintimidasi.

"Bu ...," peringat Andrean lirih.

"Em, niat saya tetap bekerja, Ibu. Saya tetap menghidupi orang tua dan adik saya, kalau saya menganggur kasian ...," jelas Melody lirih penuh keraguan.

Anjela hanya mengangguk paham, kini matanya menatap berulang ke arah Melody dan Nadea.

"Ya, setidaknya kamu masih mau bekerja keras, daripada hanya diam di rumah dan shopping. Menghabiskan uang suami ...," sindirnya pada Nadea.

Manik mata Nadea kini menatap tajam ke arah Melody, ia hanya bisa diam. Menundukkan kepalanya penuh, ragu rasanya jika harus dibandingkan dengan istri Andrean.

"Mel, kalau sudah selesai ayo berangkat," ajak Andrean tanpa ragu.

"Mas Suami-" ucapannya terhenti.

"Mas, aku bisa berangkat sendiri ke butik, tidak perlu berangkat bersama 'kan?" tanya Melody mengoreksi.

"Udahlah, Mel. Berangkat bersama Andrean saja, misalkan nanti kamu malu ya berhenti beberapa meter dari butik," timpal Anjela.

Alih-alih menjadi lebih tenang dan nyaman, Melody semakin terintimidasi. Tatapan Nadea seolah siap menerkamnya saat itu juga.

"Ayo, Mel! Sudah siang ini!" ujar Andrean tegas.

"A-aku akan berganti pakaian dulu, kalau mas suami ... Kalau mas keberatan aku bisa berangkat sendiri," pamitnya dengan melenggang ke kamar.

Sepanjang langkahnya ke kamar, ia seperti wanita yang kikuk. Kehabisan kata bahkan terbata-bata.

"Ini keadaan yang membuatku gila!" pekik Melody keras.

"Nona, saya tadi sudah menyiapkan beberapa pakaian, mungkin nona akan memakai pakaian itu," jelas Inem. Tangannya menunjuk beberapa pakaian yang sudah tertata rapi di atas ranjang siap di pilih.

"Inem, terima kasih banyak. Aku akan memilih salah satu," ucap Melody dan pergi ke kamar mandi.

Setelah ia siap dengan kemeja serta celana kainnya. Ia duduk sejenak di kursi.

"Mel, tunggu apa lagi? Ayo berangkat!" tegas Andrean yang sedari tadi berdiri di ambang pintu.

"Loh, Mas Suami masih di sini?" tanya Melody kikuk.

Niat hati menghindari berangkat bersama, nyatanya takdir berkehendak lain. Melody sudah siap mendapatkan tatapan aneh atau bahkan tatapan tajam dari istri pertama Andrean, Nadea.

'Tuhan, aku hanya bisa pasrah atas kehendak mu!' batinnya merapal doa.

"Kenapa, Mel? Apa ada sesuatu yang tertinggal?" tanya Andrean lirih.

"Hah! Ti-tidak ada, Mas!" seru Melody tergagap.

Perjalanan itu terasa lebih lama, Melody yang terbiasa berangkat hanya beberapa menit. Kini ia sampai 15 menit lebih!

"Mas ... Aku ..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status