"Saran seseorang?" tanya Melody dengan sangat terkejut.
"Iya, orang yang cukup dekat denganmu sepertinya," jawab Andrean dengan ragu."Oh ya, terima kasih untuk hari ini. Apa kamu keberatan tidur di sini sendiri?" tanya Andrean lirih."Ti-tidak, Mas Suami-" Melody menutup mulutnya dengan dua tangannya.Andrean terlihat kikuk di depan Melody, panggilan yang sengaja ia berikan itu membuat siapa pun akan berpikir dua kali."Baiklah, aku pamit! Selamat tidur, Mel," pamitnya.Pintu itu kembali tertutup rapat, Melody menatap kepergian Andrean dengan nanar. Menjadi madu tidak sepenuhnya menjadi keinginannya!"Ternyata seperti ini menjadi madu," gumamnya lirih.Melody merebahkan tubuhnya di ranjang, matanya menatap langit-langit kamar. Lampu yang sudah padam dan hanya tersisa cahaya dari balik jendela kaca."Ibu, aku sudah rindu sekarang," ucapnya lirih.***Tok tok tok!Ketukan pada pintu kamar itu membuyarkan tidur panjang Melody. Semalam iya tertidur nyenyak sampai lupa makan malam."Siapa?" tanya Melody dengan gusar."Saya, Nona."Suaranya cukup asing bagi Melody, ia beranjak dari ranjang. Membuka kenop pintu dengan malas, matanya menatap seseorang wanita paruh baya yang datang."Saya Inem, pembantu di sini. Apakah nona keberatan jika saya membersikan kamar sekarang?" jelasnya."Lakukan saja, aku akan mandi dulu," Melody membiarkan Inem masuk.Dengan membuka koper yang ia bawa, manik mata Melody menatap lekat pada beberapa barang bawaannya."Inem, sepertinya aku lupa membawa handuk. Apa ... Ada handuk yang bisa aku pakai?" tanya Melody dengan ragu."Ada, Nona. Sebentar ya saya ambilkan,"Inem melenggang pergi meninggalkan Melody, tidak lama dari itu Andrean masuk tanpa permisi."Mel, segeralah mandi lalu kita sarapan bersama di ruang makan," titahnya tegas."Sa ... Aku masih menunggu Inem, Mas. Maafkan aku yang lupa membawa handuk ke sini." Melody hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Andrean menganggukkan kepalanya paham, kini ia pergi begitu saja."Panggil Inem saja kalau perlu apa-apa," ujarnya.Lama Melody menunggu kedatangan Inem, wanita paruh baya itu sayup-sayup mendekat. Ditangannya terdapat handuk berwarna hijau toska yang terlihat sangat halus."Nona, maafkan terlalu lama, saya sempat lupa meletakkan handuk baru di mana," ucap Inem dengan kekehan ringan."Tidak apa-apa, Inem. selama aku mandi tolong di luar sebentar ya," pinta Melody.Inem berjalan meninggalkan Melody sendiri, langkah pelannya menuju kamar mandi terasa berat. Bagaimana tidak? Matanya terkejut dengan adanya shower yang unik."Apa ini shower air panas ya? Aku sangat kampungan di sini!" gumamnya lirih.Seolah sedang mengadu nasipn baik dan buruk, Melody sengaja mencoba satu persatu shower itu."Gila! Ini air panas bodoh!" hardiknya keras pada dirinya sendiri.Setelah drama dengan shower, akhirnya proses mandinya selesai. Kini ia mengacak-acak kembali koper bawaannya.Memilih pakaian yang pantas dibawa sarapan dengan mama mertua."Melody, kenapa kamu selalu ceroboh? Lihatlah sekarang, bahkan kamu hanya membawa beberapa daster! ia menepuk keningnya dengan pelan.Tok tok tok!"Mel, kamu lama sekali bersiapnya!" suara tegas Andrean sudah terdengar nyaring."Iya, sebentar ...."Dengan asal ia memakai sebuah daster Sabrina yang menampakkan sedikit pundaknya."Aku tidak peduli dengan ucapan dan tatapan banyak orang kali ini, hanya ini yang paling sopan diantara yang lain!" gumamnya dengan keluar kamar."Aku sudah siap, Mas," ucap Melody lirih.Manik mata Melody terkejut dengan adanya laki-laki yang berdiri di ambang pintu. Matanya seolah tidak teralih dari penampilan Melody pagi ini.Terlihat jelas jakunnya bergerak naik turun seolah sedang memburu. Ia menegak salivanya kuat-kuat."Mas, apakah penampilanku terlalu kampungan?" tanya Melody dengan wajah penuh tanya."Hah?" beo Andrean yang baru saja sadar dari lamunannya."Ti-tidak, ayo kita ke ruang makan!" ajaknya tegas.Melody hanya mengikuti langkah Andrean, pelan tapi pasti ia sangat ragu dengan penampilannya pagi ini. Beberapa mata tertuju padanya.'Biadab!' gerutu Nadea dalam batinnya."Mel, duduk sini," ucap Anjela, ibu Andrean.Anjela menepuk kursi di sampingnya, mata Nadea menggulir dengan tajam ke arah Melody. Dengan penuh keraguan ia duduk di samping Anjela."Terima kasih, Ibu mertua," ucap Melody mendudukkan pantatnya.Semua di ruangan itu fokus pada makanan di hadapannya. Denting sendok dan piring yang mendominasi nyaring."Mel, apa kamu masih bekerja setelah ini?" tanya Anjela mulai mengintimidasi."Bu ...," peringat Andrean lirih."Em, niat saya tetap bekerja, Ibu. Saya tetap menghidupi orang tua dan adik saya, kalau saya menganggur kasian ...," jelas Melody lirih penuh keraguan.Anjela hanya mengangguk paham, kini matanya menatap berulang ke arah Melody dan Nadea."Ya, setidaknya kamu masih mau bekerja keras, daripada hanya diam di rumah dan shopping. Menghabiskan uang suami ...," sindirnya pada Nadea.Manik mata Nadea kini menatap tajam ke arah Melody, ia hanya bisa diam. Menundukkan kepalanya penuh, ragu rasanya jika harus dibandingkan dengan istri Andrean."Mel, kalau sudah selesai ayo berangkat," ajak Andrean tanpa ragu."Mas Suami-" ucapannya terhenti."Mas, aku bisa berangkat sendiri ke butik, tidak perlu berangkat bersama 'kan?" tanya Melody mengoreksi."Udahlah, Mel. Berangkat bersama Andrean saja, misalkan nanti kamu malu ya berhenti beberapa meter dari butik," timpal Anjela.Alih-alih menjadi lebih tenang dan nyaman, Melody semakin terintimidasi. Tatapan Nadea seolah siap menerkamnya saat itu juga."Ayo, Mel! Sudah siang ini!" ujar Andrean tegas."A-aku akan berganti pakaian dulu, kalau mas suami ... Kalau mas keberatan aku bisa berangkat sendiri," pamitnya dengan melenggang ke kamar.Sepanjang langkahnya ke kamar, ia seperti wanita yang kikuk. Kehabisan kata bahkan terbata-bata."Ini keadaan yang membuatku gila!" pekik Melody keras."Nona, saya tadi sudah menyiapkan beberapa pakaian, mungkin nona akan memakai pakaian itu," jelas Inem. Tangannya menunjuk beberapa pakaian yang sudah tertata rapi di atas ranjang siap di pilih."Inem, terima kasih banyak. Aku akan memilih salah satu," ucap Melody dan pergi ke kamar mandi.Setelah ia siap dengan kemeja serta celana kainnya. Ia duduk sejenak di kursi."Mel, tunggu apa lagi? Ayo berangkat!" tegas Andrean yang sedari tadi berdiri di ambang pintu."Loh, Mas Suami masih di sini?" tanya Melody kikuk.Niat hati menghindari berangkat bersama, nyatanya takdir berkehendak lain. Melody sudah siap mendapatkan tatapan aneh atau bahkan tatapan tajam dari istri pertama Andrean, Nadea.'Tuhan, aku hanya bisa pasrah atas kehendak mu!' batinnya merapal doa."Kenapa, Mel? Apa ada sesuatu yang tertinggal?" tanya Andrean lirih."Hah! Ti-tidak ada, Mas!" seru Melody tergagap.Perjalanan itu terasa lebih lama, Melody yang terbiasa berangkat hanya beberapa menit. Kini ia sampai 15 menit lebih!"Mas ... Aku ...""Dokter! Bagaimana keadaan menantu dan cucu saya?" seru Anjela tatkala dokter yang menangani Melody keluar dari ruangan. "Syukurlah, Nona Melody dan bayi laki-lakinya selamat. Setelah ini akan dipindahkan ke ruang rawat untuk nona Melody. Untuk bayi laki-lakinya akan dibawa ke ruangan khusus dulu, sampai kondisinya membaik," papar Dokter yang menangani itu. "Baik, lakukan yang terbaik! Terima kasih banyak." Anjela menangis dengan tersedu-sedu, Andrean yang kini masih belum siuman. Membuat dirinya sangat rapuh. "Bagaimana semua ini terjadi begitu saja," keluhnya. "Halo, Bu. Bagaimana keadaan suamiku?" dengan histeris Nadea bertanya-tanya. "Ke mana saja kamu?" pekik Anjela keras. Dengan penuh emosi ia tidak dapat menahan diri. Jika saja tidak ada perawat yang menahannya, sudah pasti Nadea tidak selamat dari serangan Anjela. "Aku baru saja bertemu temanku, Bu," elak Nadea. "Sialan ya kamu, bisa-bisanya mau meracuni menantuku!" pekiknya keras. Tidak berselang
[Nona Nadea, saya ingin bertemu.] Lasmi. Nadea terpaku menatap layar ponselnya, pesan dari Lasmi berhasil membuatnya mengulas senyum. "Akhirnya, rasakan kau, Melody!" gumamnya dengan penuh kekesalan. "Senyum-senyum sendiri, gila ya, Nad?" tanya seorang wanita di samping Nadea. "Lihat, pasti dia berhasil!" tunjuknnya. Teman Nadea hanya bisa mengulas senyum dengan memberikan tepuk tangan kecil. "Wanita kalau udah licik emang beda ya, lagian ada aja suamimu itu. Dimintai nikah siri malah mau nikahin sah," timpalnya. "Udahlah, yang penting udah berhasil sekarang. Aku duluan ya!" pamitnya. Segera Nadea meninggalkan cafe itu, melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan Lasmi. 30 menit berlalu, langkah Nadea dengan segera menemui Lasmi di sebuah restoran. Wanita yang kini menunduk dalam membuat Nadea bertanya-tanya. Prok prok prok! "Kerja bagus, Lasmi," ucap Nadea dengan sumringah."B-Bu ... E ... Maaf," lirih dengan terbata, Lasmi semakin tidak tahu harus berkata apa."Maksudmu? Me
[Aku akan mengikuti perintah ibu, Nad.] Andrean.Pesan itu terkirim, setelahnya Andrean mengusap pelan wajah Melody yang masih terlelap. Perutnya kian membuncit, lembut ia mengulas senyum. "Sayang, bangun yuk," bisiknya. "Hm, Mas. Adek masih sangat mengantuk," keluhnya. "Iya." Andrean mengeratkan pelukannya pada Melody, membiarkan rasa nyaman itu ada untuk istrinya. Niatnya sudah cukup yakin, hanya menunggu waktu untuk meresmikan pernikahan mereka. Cup! Ke duanya kembali terlelap sejenak, hingga suara nyaring dari notifikasi Andrean membuatnya terbangun. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa penelepon. "Halo, maaf, Tuan. Saya pembantu yang disewa ibu Anjela, kalau boleh tahu nomor berapa ya apartemennya?" dengan sopan suara wanita itu terdengar. "No 55, saya akan ke sana." Sigap Andrean keluar kamar, membukakan pintu apartemen untuk pembantu yang akan datang. 'Bukannya kemarin bukan ini ya?' batin Andrean lirih bertanya-tanya. "Selamat pagi, Tuan. Saya Lasmi," sapanya dengan
"Mas, aku takut," lirih Melody. "Kita banyak berdoa ya, jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita berusaha lagi," terang Andrean lembut. Kini, keduanya turun dari mobil, memasuki rumah sakit dengan langkah pelan. Keyakinan demi keyakinan seolah sengaja ia kuatkan. Tapi, apa daya dirinya yang hanya seorang manusia biasa. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter itu. "Baik, Dok." Setelah mengobrol beberapa hal, Melody diminta berbaring di atas brankar periksa. Beberapa waktu berlalu, benar saja Melody sedang mengandung. Rona bahagia yang tercetak jelas di wajah Andrean, "Adek, terima kasih banyak ya," bisiknya. *** Hari-hari berlalu dengan baik, kandungan Melody yang cukup lemah membuatnya hanya bisa terbaring di apartemen Andrean. "Adek, ibu datang," ucap Andrean lirih. Seraya dengan pintu yang terbuka, sosok Anjela datang dengan membawa buah. "Mel, bagaimana kabarmu sekarang, Nak?" tanyanya lembut. "Melody baik, Bu. Hanya saja lemas sekali, mungkin karena
"Ja-jalang?" desis Melody lirih. Pria yang kini berdiri di ambang pintu kamar mandi itu terdiam. Manik matanya menelisik pada wanita yang ada di hadapannya. "Mel, kenapa menangis?" tanya Andrean. Tangannya gemetar hebat, tidak hentinya matanya menatap layar ponsel yang ia genggam. "Apa sih, Mel?" Masih dengan tanya yang sama, akhirnya Andrean meraih ponsel miliknya. Alih-alih memesan makanan, ia melihat pesan Nadea. "CK!" decih Andrean keras. Kesal bukan kepalang, ingin sekali memaki Nadea saat itu juga. "Aku memang tidak pantas untuk kamu, Mas," lirih Melody. Bulir bening yang tidak berhenti mengaliri pipi Melody, membuat Andrean segera mendekapnya."Melody, lupakan pesan itu ya. Kita pesan makan saja," ucap Andrean. "Aku sudah tidak lapar, Mas. Melody tidur saja," elaknya. Segera ia meraih selimut, membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sekilas manik matanya bertemu dengan manik mata Andrean. Tapi tidak berselang lama, ia segera memalingkan pandangan. "Aku sudah cukup m
Malam itu, Melody dan Andrean tengah sibuk mengobrol. Menunggu kedatangan Anjela. Suara dering telepon membuat Andrean segera mengangkatnya. "Halo," sapanya. "Ibu sudah di depan pintu," ucapnya. Tanpa ragu Andrean berlari menemui Anjela, senyumnya merekah dengan beberapa bingkisan di tangannya. "Ibu terjebak macet, Ndre. Capek sekali di jalan kalau macet," keluhnya. "Tidak apa, Bu. Ayo masuk," ajaknya. Anjela masuk dengan mengikuti langkah Andrean, di sana Melody sudah merasa gugup. Ia hanya bisa diam sembari menatap nanar wajah Anjela. "Mel," sapa Anjela. "Ibu, apa kabar?" tanya Melody. Senyum yang pertama kali terulas sebelum wanita paruh baya menjawab tanya Melody. "Ibu baik, senang bisa bertemu denganmu lagi, Mel," tutur Anjela. "Melody juga senang bertemu dengan ibu mertua lagi, maaf ya Bu saya gagal," ucap Melody penuh keraguan. "Tidak apa, Melody. Itu sebuah kecelakaan di luar kendali kita, tapi bolehkah saya meminta?" tanya Anjela. Andrean sempat memberikan isyar
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan