Share

Bab 6

"Ada apa, Mel?" tanya Andrean menoleh ke wanita di sampingnya.

"Em, aku berhenti di depan saja, Mas. Butik tempatku bekerja tidak jauh dari gang itu," tunjuk Melody pada sebuah gang kecil yang tidak jauh dari mobil itu melaju.

"Kenapa? Itu masih terlalu jauh jika kamu ingin berjalan kaki, nanti kamu kelelahan dan program kehamilan akan terhambat," timpal Andrean.

Perasan yang awalnya sempat membuat pipinya merona, seketika berubah menjadi rasa kesal pada pria di sampingnya. Bahkan Melody sempat lupa jika posisinya hanya seorang madu, yang harus bisa melahirkan penerus perusahaan Keluarga Zahari.

"Tidak, Mas Suami. Itu sudah dekat, aku tidak masalah jika harus berjalan kaki," tutur Melody dengan sedikit memaksakan kehendak.

Andrean terlihat berpikir sejenak, ia hanya mengangguk dan memberi arahan pada Baron sopir pribadinya.

"Saat jam pulang, kamu bisa mengirim pesan padaku," ucap Andrean lirih.

"Mas, aku bisa naik angkutan umum, tidak perlu repot-repot," elak Melody dengan kikuk.

"Kalau begitu ... Mulai besok kamu akan di antar jemput sopir pribadi," titah Andrean tanpa berpikir panjang.

Seperti spot jantung dadakan, Melody sontak melongo dengan penuh kejutan. Sopir pribadi? Seorang karyawan biasa sepertinya akan memiliki sopir pribadi?

"Itu sangat berlebihan, Mas. Aku sudah cukup dengan naik angkutan umum saja," tukas Melody dengan penuh hormat.

"Tidak-tidak, kamu memang tidak masalah tapi apa kamu lupa kita akan melakukan program hamil. Aku tidak mau kamu terkontaminasi virus atau apa pun itu," jelas Andrean dengan menekan kalimat 'program hami.'

"Ah ya, baiklah. Aku ikut saja dengan kemauan, Mas."

Melody terdiam, kalimat yang terngiang di kepalanya terasa sangat memekakkan telinga. Mengapa kata program hamil selalu di ulang-ulang?

'Mel, sadar diri itu perlu,' batinnya lirih.

Tidak lama dari itu, Pajero sport hitam itu berhenti di seberang butik ia bekerja. Matanya membelalak lebar saat ia sudah melihat dengan megah butik di seberang jalan.

"Mel, sudah sampai. Semangat bekerja ya, jangan terlalu lelah," pinta Andrean lirih.

Tangannya melambai pada Melody, kini ia hanya berdiri kikuk di tepi jalan. Beberapa mata yang terlihat acuh tak acuh.

"Siapa, Mel?" tanya teman satu profesinya.

"Pacar baru ya, Mel? Udah move on nih ceritanya," ledeknya.

"Apa sih, bukan tadi hanya kebetulan bertemu saja di ajak . Lagian mana bisa aku mo e on cepat!" jawabnya berbohong.

"Memangnya itu siapa, Mel? Dari mobilnya tidak asing, pasti orang kaya ya?" celetuk temannya lagi.

Melody menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung! Ia bahkan tidak tahu harus memberi jawaban apa pada temannya.

"Aaa, aku masih ada banyak pekerjaan. Jadi, kita bahas lain kali saja ya," ucap Melody melenggang ke ruang ganti.

"Payah kau, Mel!" pekik temannya.

Satu hal terselesaikan meskipun tidak sepenuhnya selesai. Mungkin nanti atau besok akan kembali terulang.

'Mel, kau sangat payah!' gerutu Melody lirih dalam batinnya.

Kini ia sudah berganti pakaian kerja, beberapa baju harus selesai hari ini. Target pekerjaannya harus mundur karena pernikahan dadakan itu.

"Mel, ke mana kemarin?" celetuk tanya Dasya.

"Ada adacara mendadak, biaslah orang sibuk kaya aku," dengan kekehan ringan Melody menjawab pertanyaan Dasya.

"Kamu tau, Mel? Kemarin ada desas-desus baru," bisik Dasya lirih.

"Apa?"

Dasya terlihat melihat sekeliling ruangan, memastikan hanya ada dua orang di ruang produksi itu.

"Anak keluarga terkaya Zahari mencari istri ke 2" jawabnya.

Uhuk!

Melody langsung terbatuk saat mendengar penjelasan Dasya. Di luar dugaannya, alih-alih mencari istri ke 2. Dia lah istri kedua anak keluarga Zahari itu.

"Apa dia sudah gila!" timpal Melody.

"Orang kaya bebas gak sih, kalau orang seperti kita yang makan dan transportasi aja gaji habis. Gimana mau nikah dua kali?" celetuk Dasya terdengar seperti sindiran keras buatnya.

"Sya, kamu kalau nyindir jangan di depan orangnya!" seru Melody dengan tatapan tajam.

Kekehan Dasya membuat Melody tambah kesal, ia mengerucutkan bibirnya.

"Maaf-maaf, udah sana jahit bagianmu! Kemarin atasan cariin kamu tahu, aku khawatir dia akan mengomel padamu hari ini," jelas Dasya dengan berbisik.

"Apa?" Melody yang terkejut mulai waspada.

Dengan tergesa-gesa ia mengambil beberapa pekerjaan yang sudah mepet deadline. Jika sewaktu-waktu ia dipecat, bagaimana?

***

Di siang yang terik itu, Dasya dan Melody duduk santai di kantin. Percakapan random sampai perkara atasan galak dan kain yang tidak sesuai ekspektasi.

"Kamu tahu, aku kemarin hampir terjerat masalah!" seru Dasya dengan berbisik.

"Bagaimana bisa?" tanya Melody mendekatkan telinganya.

"Kain yang aku ambil hampir salah, untuk Bu Rena mengingatkanku. Hahaha, bisa ganti rugi aku kalau emang salah potong," jelasnya.

Drt drt!

Getaran ponsel Melody membuyarkan percakapan panjang itu. Ia kini menatap layarnya yang terlihat jelas nama 'Mas Suami'

"Mel?" tanya Dasya saat tidak sengaja melihat nama di layar.

"Hahaha, wajahmu biasa saja!" seru Melody.

Kakinya melangkah menjauh dari kerumunan teman-teman kerjanya. Meninggalkan Dasya dengan wajah penuh tanya.

"Dasya belum saatnya tahu," ucap Melody lirih dalam batinnya.

"Halo, ada apa, Mas?" tanya Melody tanpa basa-basi.

"Mel, hari ini kamu akan di jemput Baron, aku masih ada urusan sampai malam. Nanti aku akan mengirimkan nomor Baron ya," jelasnya dengan detail.

"Aku bisa naik bis saja, Mas," tukas Melody.

"Mel ...," Di seberang suara itu terdengar lirih dan penuh pemaksaan.

"Iya, Mas. Nanti aku akan menghubungi Baron saat jam pulang," pungkas Melody.

Telepon itu terputus, Melody berjalan mendekati Dasya. Satu mangkok mie ayam yang ia pesan juga sudah ada di meja.

"Mel, jawab pertanyaan aku! todong Dasya dengan tatapan tajam miliknya.

"Stop, aku sedang makan mie ayam. Jangan ganggu aku!" ujar Melody menahan Dasya yang sudah kepalang kepo.

"Mel, ayolah!" Dasya mengoyak pundak kanan Melody dengan kencang.

Hanya tatapan nyalang yang didapatkan Dasya saat itu juga.

"Oke baik, Melody sedang makan mie ayam Pak Dadang," ucap Dasya dengan mengalihkan perhatiannya.

Sahabatnya itu akhirnya diam, mie ayam yang menggoda itu perlahan hambar. Akibat pikiran Melody yang melanglang buana, apa yang harus ia katakan tentang nikah siri dan sewa rahim dengan Andrean?

"Memikirkannya saja aku sudah gila!" pekik Melody keras dengan kelepasan.

"Mel ... Aku terkejut loh!" seru Dasya dengan tatapan penuh tanya.

"Maaf, lihatlah itu, sudah jam kerja!" tunjuknya pada jam dinding yang tertempel di kantin.

"Kamu sih, asyik mengobrol ditelepon. Jam makan kita jadi tersita," dengus Dasya kesal.

Dengan sisa rasa kesal dalam hatinya, keduanya kini sudah kembali duduk di kursi kerja. Kalau kata Dasya kursi keramat.

"Melody Anastasya, silakan masuk ke ruangan saya," panggil Rena, atasannya di butik.

Melody dan Dasya sontak saling tatap, ada perasaan takut dan kalut dalam hati Melody saat itu. Dengan penuh rasa takut, ia berjalan masuk ke dalam ruangan.

Seperti spot jantung!

"Mel, apa kamu sudah tahu tentang Andrean?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status