"Ada apa, Mel?" tanya Andrean menoleh ke wanita di sampingnya.
"Em, aku berhenti di depan saja, Mas. Butik tempatku bekerja tidak jauh dari gang itu," tunjuk Melody pada sebuah gang kecil yang tidak jauh dari mobil itu melaju."Kenapa? Itu masih terlalu jauh jika kamu ingin berjalan kaki, nanti kamu kelelahan dan program kehamilan akan terhambat," timpal Andrean.Perasan yang awalnya sempat membuat pipinya merona, seketika berubah menjadi rasa kesal pada pria di sampingnya. Bahkan Melody sempat lupa jika posisinya hanya seorang madu, yang harus bisa melahirkan penerus perusahaan Keluarga Zahari."Tidak, Mas Suami. Itu sudah dekat, aku tidak masalah jika harus berjalan kaki," tutur Melody dengan sedikit memaksakan kehendak.Andrean terlihat berpikir sejenak, ia hanya mengangguk dan memberi arahan pada Baron sopir pribadinya."Saat jam pulang, kamu bisa mengirim pesan padaku," ucap Andrean lirih."Mas, aku bisa naik angkutan umum, tidak perlu repot-repot," elak Melody dengan kikuk."Kalau begitu ... Mulai besok kamu akan di antar jemput sopir pribadi," titah Andrean tanpa berpikir panjang.Seperti spot jantung dadakan, Melody sontak melongo dengan penuh kejutan. Sopir pribadi? Seorang karyawan biasa sepertinya akan memiliki sopir pribadi?"Itu sangat berlebihan, Mas. Aku sudah cukup dengan naik angkutan umum saja," tukas Melody dengan penuh hormat."Tidak-tidak, kamu memang tidak masalah tapi apa kamu lupa kita akan melakukan program hamil. Aku tidak mau kamu terkontaminasi virus atau apa pun itu," jelas Andrean dengan menekan kalimat 'program hami.'"Ah ya, baiklah. Aku ikut saja dengan kemauan, Mas."Melody terdiam, kalimat yang terngiang di kepalanya terasa sangat memekakkan telinga. Mengapa kata program hamil selalu di ulang-ulang?'Mel, sadar diri itu perlu,' batinnya lirih.Tidak lama dari itu, Pajero sport hitam itu berhenti di seberang butik ia bekerja. Matanya membelalak lebar saat ia sudah melihat dengan megah butik di seberang jalan."Mel, sudah sampai. Semangat bekerja ya, jangan terlalu lelah," pinta Andrean lirih.Tangannya melambai pada Melody, kini ia hanya berdiri kikuk di tepi jalan. Beberapa mata yang terlihat acuh tak acuh."Siapa, Mel?" tanya teman satu profesinya."Pacar baru ya, Mel? Udah move on nih ceritanya," ledeknya."Apa sih, bukan tadi hanya kebetulan bertemu saja di ajak . Lagian mana bisa aku mo e on cepat!" jawabnya berbohong."Memangnya itu siapa, Mel? Dari mobilnya tidak asing, pasti orang kaya ya?" celetuk temannya lagi.Melody menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung! Ia bahkan tidak tahu harus memberi jawaban apa pada temannya."Aaa, aku masih ada banyak pekerjaan. Jadi, kita bahas lain kali saja ya," ucap Melody melenggang ke ruang ganti."Payah kau, Mel!" pekik temannya.Satu hal terselesaikan meskipun tidak sepenuhnya selesai. Mungkin nanti atau besok akan kembali terulang.'Mel, kau sangat payah!' gerutu Melody lirih dalam batinnya.Kini ia sudah berganti pakaian kerja, beberapa baju harus selesai hari ini. Target pekerjaannya harus mundur karena pernikahan dadakan itu."Mel, ke mana kemarin?" celetuk tanya Dasya."Ada adacara mendadak, biaslah orang sibuk kaya aku," dengan kekehan ringan Melody menjawab pertanyaan Dasya."Kamu tau, Mel? Kemarin ada desas-desus baru," bisik Dasya lirih."Apa?"Dasya terlihat melihat sekeliling ruangan, memastikan hanya ada dua orang di ruang produksi itu."Anak keluarga terkaya Zahari mencari istri ke 2" jawabnya.Uhuk!Melody langsung terbatuk saat mendengar penjelasan Dasya. Di luar dugaannya, alih-alih mencari istri ke 2. Dia lah istri kedua anak keluarga Zahari itu."Apa dia sudah gila!" timpal Melody."Orang kaya bebas gak sih, kalau orang seperti kita yang makan dan transportasi aja gaji habis. Gimana mau nikah dua kali?" celetuk Dasya terdengar seperti sindiran keras buatnya."Sya, kamu kalau nyindir jangan di depan orangnya!" seru Melody dengan tatapan tajam.Kekehan Dasya membuat Melody tambah kesal, ia mengerucutkan bibirnya."Maaf-maaf, udah sana jahit bagianmu! Kemarin atasan cariin kamu tahu, aku khawatir dia akan mengomel padamu hari ini," jelas Dasya dengan berbisik."Apa?" Melody yang terkejut mulai waspada.Dengan tergesa-gesa ia mengambil beberapa pekerjaan yang sudah mepet deadline. Jika sewaktu-waktu ia dipecat, bagaimana?***Di siang yang terik itu, Dasya dan Melody duduk santai di kantin. Percakapan random sampai perkara atasan galak dan kain yang tidak sesuai ekspektasi."Kamu tahu, aku kemarin hampir terjerat masalah!" seru Dasya dengan berbisik."Bagaimana bisa?" tanya Melody mendekatkan telinganya."Kain yang aku ambil hampir salah, untuk Bu Rena mengingatkanku. Hahaha, bisa ganti rugi aku kalau emang salah potong," jelasnya.Drt drt!Getaran ponsel Melody membuyarkan percakapan panjang itu. Ia kini menatap layarnya yang terlihat jelas nama 'Mas Suami'"Mel?" tanya Dasya saat tidak sengaja melihat nama di layar."Hahaha, wajahmu biasa saja!" seru Melody.Kakinya melangkah menjauh dari kerumunan teman-teman kerjanya. Meninggalkan Dasya dengan wajah penuh tanya."Dasya belum saatnya tahu," ucap Melody lirih dalam batinnya."Halo, ada apa, Mas?" tanya Melody tanpa basa-basi."Mel, hari ini kamu akan di jemput Baron, aku masih ada urusan sampai malam. Nanti aku akan mengirimkan nomor Baron ya," jelasnya dengan detail."Aku bisa naik bis saja, Mas," tukas Melody. "Mel ...," Di seberang suara itu terdengar lirih dan penuh pemaksaan."Iya, Mas. Nanti aku akan menghubungi Baron saat jam pulang," pungkas Melody.Telepon itu terputus, Melody berjalan mendekati Dasya. Satu mangkok mie ayam yang ia pesan juga sudah ada di meja."Mel, jawab pertanyaan aku! todong Dasya dengan tatapan tajam miliknya."Stop, aku sedang makan mie ayam. Jangan ganggu aku!" ujar Melody menahan Dasya yang sudah kepalang kepo."Mel, ayolah!" Dasya mengoyak pundak kanan Melody dengan kencang.Hanya tatapan nyalang yang didapatkan Dasya saat itu juga."Oke baik, Melody sedang makan mie ayam Pak Dadang," ucap Dasya dengan mengalihkan perhatiannya.Sahabatnya itu akhirnya diam, mie ayam yang menggoda itu perlahan hambar. Akibat pikiran Melody yang melanglang buana, apa yang harus ia katakan tentang nikah siri dan sewa rahim dengan Andrean?"Memikirkannya saja aku sudah gila!" pekik Melody keras dengan kelepasan."Mel ... Aku terkejut loh!" seru Dasya dengan tatapan penuh tanya."Maaf, lihatlah itu, sudah jam kerja!" tunjuknya pada jam dinding yang tertempel di kantin."Kamu sih, asyik mengobrol ditelepon. Jam makan kita jadi tersita," dengus Dasya kesal.Dengan sisa rasa kesal dalam hatinya, keduanya kini sudah kembali duduk di kursi kerja. Kalau kata Dasya kursi keramat."Melody Anastasya, silakan masuk ke ruangan saya," panggil Rena, atasannya di butik.Melody dan Dasya sontak saling tatap, ada perasaan takut dan kalut dalam hati Melody saat itu. Dengan penuh rasa takut, ia berjalan masuk ke dalam ruangan.Seperti spot jantung!"Mel, apa kamu sudah tahu tentang Andrean?""Dokter! Bagaimana keadaan menantu dan cucu saya?" seru Anjela tatkala dokter yang menangani Melody keluar dari ruangan. "Syukurlah, Nona Melody dan bayi laki-lakinya selamat. Setelah ini akan dipindahkan ke ruang rawat untuk nona Melody. Untuk bayi laki-lakinya akan dibawa ke ruangan khusus dulu, sampai kondisinya membaik," papar Dokter yang menangani itu. "Baik, lakukan yang terbaik! Terima kasih banyak." Anjela menangis dengan tersedu-sedu, Andrean yang kini masih belum siuman. Membuat dirinya sangat rapuh. "Bagaimana semua ini terjadi begitu saja," keluhnya. "Halo, Bu. Bagaimana keadaan suamiku?" dengan histeris Nadea bertanya-tanya. "Ke mana saja kamu?" pekik Anjela keras. Dengan penuh emosi ia tidak dapat menahan diri. Jika saja tidak ada perawat yang menahannya, sudah pasti Nadea tidak selamat dari serangan Anjela. "Aku baru saja bertemu temanku, Bu," elak Nadea. "Sialan ya kamu, bisa-bisanya mau meracuni menantuku!" pekiknya keras. Tidak berselang
[Nona Nadea, saya ingin bertemu.] Lasmi. Nadea terpaku menatap layar ponselnya, pesan dari Lasmi berhasil membuatnya mengulas senyum. "Akhirnya, rasakan kau, Melody!" gumamnya dengan penuh kekesalan. "Senyum-senyum sendiri, gila ya, Nad?" tanya seorang wanita di samping Nadea. "Lihat, pasti dia berhasil!" tunjuknnya. Teman Nadea hanya bisa mengulas senyum dengan memberikan tepuk tangan kecil. "Wanita kalau udah licik emang beda ya, lagian ada aja suamimu itu. Dimintai nikah siri malah mau nikahin sah," timpalnya. "Udahlah, yang penting udah berhasil sekarang. Aku duluan ya!" pamitnya. Segera Nadea meninggalkan cafe itu, melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan Lasmi. 30 menit berlalu, langkah Nadea dengan segera menemui Lasmi di sebuah restoran. Wanita yang kini menunduk dalam membuat Nadea bertanya-tanya. Prok prok prok! "Kerja bagus, Lasmi," ucap Nadea dengan sumringah."B-Bu ... E ... Maaf," lirih dengan terbata, Lasmi semakin tidak tahu harus berkata apa."Maksudmu? Me
[Aku akan mengikuti perintah ibu, Nad.] Andrean.Pesan itu terkirim, setelahnya Andrean mengusap pelan wajah Melody yang masih terlelap. Perutnya kian membuncit, lembut ia mengulas senyum. "Sayang, bangun yuk," bisiknya. "Hm, Mas. Adek masih sangat mengantuk," keluhnya. "Iya." Andrean mengeratkan pelukannya pada Melody, membiarkan rasa nyaman itu ada untuk istrinya. Niatnya sudah cukup yakin, hanya menunggu waktu untuk meresmikan pernikahan mereka. Cup! Ke duanya kembali terlelap sejenak, hingga suara nyaring dari notifikasi Andrean membuatnya terbangun. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa penelepon. "Halo, maaf, Tuan. Saya pembantu yang disewa ibu Anjela, kalau boleh tahu nomor berapa ya apartemennya?" dengan sopan suara wanita itu terdengar. "No 55, saya akan ke sana." Sigap Andrean keluar kamar, membukakan pintu apartemen untuk pembantu yang akan datang. 'Bukannya kemarin bukan ini ya?' batin Andrean lirih bertanya-tanya. "Selamat pagi, Tuan. Saya Lasmi," sapanya dengan
"Mas, aku takut," lirih Melody. "Kita banyak berdoa ya, jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita berusaha lagi," terang Andrean lembut. Kini, keduanya turun dari mobil, memasuki rumah sakit dengan langkah pelan. Keyakinan demi keyakinan seolah sengaja ia kuatkan. Tapi, apa daya dirinya yang hanya seorang manusia biasa. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter itu. "Baik, Dok." Setelah mengobrol beberapa hal, Melody diminta berbaring di atas brankar periksa. Beberapa waktu berlalu, benar saja Melody sedang mengandung. Rona bahagia yang tercetak jelas di wajah Andrean, "Adek, terima kasih banyak ya," bisiknya. *** Hari-hari berlalu dengan baik, kandungan Melody yang cukup lemah membuatnya hanya bisa terbaring di apartemen Andrean. "Adek, ibu datang," ucap Andrean lirih. Seraya dengan pintu yang terbuka, sosok Anjela datang dengan membawa buah. "Mel, bagaimana kabarmu sekarang, Nak?" tanyanya lembut. "Melody baik, Bu. Hanya saja lemas sekali, mungkin karena
"Ja-jalang?" desis Melody lirih. Pria yang kini berdiri di ambang pintu kamar mandi itu terdiam. Manik matanya menelisik pada wanita yang ada di hadapannya. "Mel, kenapa menangis?" tanya Andrean. Tangannya gemetar hebat, tidak hentinya matanya menatap layar ponsel yang ia genggam. "Apa sih, Mel?" Masih dengan tanya yang sama, akhirnya Andrean meraih ponsel miliknya. Alih-alih memesan makanan, ia melihat pesan Nadea. "CK!" decih Andrean keras. Kesal bukan kepalang, ingin sekali memaki Nadea saat itu juga. "Aku memang tidak pantas untuk kamu, Mas," lirih Melody. Bulir bening yang tidak berhenti mengaliri pipi Melody, membuat Andrean segera mendekapnya."Melody, lupakan pesan itu ya. Kita pesan makan saja," ucap Andrean. "Aku sudah tidak lapar, Mas. Melody tidur saja," elaknya. Segera ia meraih selimut, membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sekilas manik matanya bertemu dengan manik mata Andrean. Tapi tidak berselang lama, ia segera memalingkan pandangan. "Aku sudah cukup m
Malam itu, Melody dan Andrean tengah sibuk mengobrol. Menunggu kedatangan Anjela. Suara dering telepon membuat Andrean segera mengangkatnya. "Halo," sapanya. "Ibu sudah di depan pintu," ucapnya. Tanpa ragu Andrean berlari menemui Anjela, senyumnya merekah dengan beberapa bingkisan di tangannya. "Ibu terjebak macet, Ndre. Capek sekali di jalan kalau macet," keluhnya. "Tidak apa, Bu. Ayo masuk," ajaknya. Anjela masuk dengan mengikuti langkah Andrean, di sana Melody sudah merasa gugup. Ia hanya bisa diam sembari menatap nanar wajah Anjela. "Mel," sapa Anjela. "Ibu, apa kabar?" tanya Melody. Senyum yang pertama kali terulas sebelum wanita paruh baya menjawab tanya Melody. "Ibu baik, senang bisa bertemu denganmu lagi, Mel," tutur Anjela. "Melody juga senang bertemu dengan ibu mertua lagi, maaf ya Bu saya gagal," ucap Melody penuh keraguan. "Tidak apa, Melody. Itu sebuah kecelakaan di luar kendali kita, tapi bolehkah saya meminta?" tanya Anjela. Andrean sempat memberikan isyar
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan