Anne sudah terjaga, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Di meja makan tersedia makanan kesukaan Pramam. Mangkuk kecil berisi sambel tomat pun menjadi primadona di sana.Semenjak keguguran, Anne kembali dibebaskan mengurus dapur dan rumah sesuka hati. Termasuk mengurus suami dengan baik, seperti hari biasa. Ia tak ingin melewatkan masakan teruntuk suaminya, walaupun ada asisten yang bisa melakukannya.“Wanginya sampai ke kamar, aku jadi lapar,” celetuk Pramam sewaktu menimbrung Anne yang masih berkutat dengan peralatan dapur.Anne menoleh sesaat, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. “Mandi dulu, ah. Lagian ini masih jam enam.”“Mandiin dong, Sayang.” Pramam menaik turunkan kedua alis, tampak melancarkan aksinya menggoda sang istri.“Mas, jangan mulai deh. Kamu kudu ke kantor hari ini. Ingat, kemarin udah ambil cuti banyak banget.”“Sekali aja kok, Ann. Masa kamu nolak permintaan suamimu ini?” Pramam menyandarkan tubuh ke sisi bak cucian piring seraya memandangi Anne lekat.Anne
Satu hal yang jelas Anne ingat adalah tanggapan Mara soal kedatangan ibu mertuanya. Sejauh ini, Anne tak menduga kemungkinan buruk soal Ibu saat memperlakukan Mara di pertemuan pertama. Mengingat Mara yang terang-terangan menunjukkan bingkisan dari Ibu, berisikan beragam jamu khusus ibu hamil. Bukankah itu bukti nyata kalau Ibu memang setuju dan tak mempermasalahkan Mara?Dari tempat duduknya, Ina Basuki mengangguk-angguk. “Setelah kamu kasih tahu di mana dia tinggal, keesokannya Ibu langsung ke rumah,” jelasnya ringkas. “Ibu nggak yakin kalau orang yang kamu sewa rahimnya itu kepala klinik. Yang benar aja?”Sebelumnya Ibu sempat memarahinya melalui pesan dan membahas tentang Mara, tapi ia tidak berpikir kalau ibu mertuanya benar-benar langsung datang ke rumah.Menelan ludah, Anne mencoba tenang sebelum membalas. Ia menjelaskan tentang latar belakang Mara cukup detail agar Ibu tidak menanyakan hal yang sama berulang kali. Namun, upaya Anne nyatanya gagal, karena wanita itu terus saja
“Kamu itu ngeyel banget, udah dibilang jangan kerjain apa pun, tapi masih aja,” ujar Pramam tak habis pikir. “Tinggal banyak istirahat di kamar, apa susahnya?”Mengerjap dua kali, Mara melepas sarung tangan khusus mencuci piring. Kemudian memutar tubuh dan melangkah kembali ke kamar. Tidak berniat membalas perkataan Pramam yang jelas menunjukkan sikap protektifnya.Maklum saja, di sana hanya ada mereka berdua. Anne juga sudah pergi keluar, kebetulan Pramam belum menunjukkan rencananya berangkat ke kantor. Apalagi Rina yang memutuskan membantu asisten lain di lantai dua.Baru beberapa langkah Mara menjejaki lantai, tangannya sudah disergap Pramam. Tubuhnya nyaris terhuyung kalau saja pria itu tak menahannya dengan sigap.“Cepet-cepet banget, sih, mau ke mana, Ra?” Pramam mendekatkan wajah ke bagian leher belakang Mara, ingin menjelajahi sekaligus membuat tanda seperti yang biasa ia lakukan pada Anne.Mara mendorong jauh dada Pramam dan sekarang mereka cukup berjarak. “Ke kamar, emang
Perkataan Ibu terus terngiang di kepala, memenuhi pikiran Anne. Membuat wanita itu tidak begitu peduli dengan sekitarnya sekarang. Bahkan ketika perawat tiba-tiba memanggil namanya juga Mara.“Mbak?” panggil Mara sambil menyentuh lengan Anne. “Mbak Ann?”“Oh, iya!” seru Anne kaget karena lamunannya diakhiri mendadak. “Kenapa, Mar?”“Kita udah dipanggil suster buat masuk ke ruangan.”Anne berpaling, mengikuti arah tunjuk Mara mengarah pada perawat yang berdiri di ambang pintu tengah menunggunya bereaksi. “Oh, cepat banget perasaan,” komentarnya heran.“Mbak ngelamunin apa?” Mara bertanya sambil memerhatikan raut wajah Anne yang menggambarkan kalau wanita itu tengah memikirkan banyak hal. “Apa ada hal yang mengganggu pikiran Mbak?”Anne menggeleng. Tak berkenan terbuka dengan isi kepalanya sekarang. Lantaran semua penuh dengan kecurigaannya pada Mara karena omongan ibu mertuanya pagi tadi.Keduanya pun memasuki ruangan di mana Dokter Mega sudah duduk bersama berkas penting di tangan. Me
“Mara Cikal, right?”Tuturan Varen kontan membuat Anne berjengkit di tempat. Padahal ia hendak mengenalkan Mara pada Varen, tapi ternyata ada hal yang baru diketahuinya sekarang. Varen mengenal Mara, rupanya.“Kalian udah saling kenal?” tanya Anne, kemudian bangkit dan mendekati Mara yang baru keluar dari ruang pemeriksaan. “Ren?” Anne menatap Varen dan Mara bergantian.“Ya, siapa sih yang nggak tahu Mara?” Kepala Varen meneleng, tatapnya tertuju lurus pada Mara yang menunduk terus. “Tapi aku nggak sangka kalau teman yang kamu maksud itu adalah Mara Cikal.”Anne merangkul pundak Mara seketika. Menatap gadis itu sekilas dan beralih pada Varen. “Iya, dia teman yang udah aku anggap sebagai adik sendiri.”“Oh ya?” Varen membelalak. “Omong-omong, kamu lagi hamil?” tanyanya pada Mara.Alih-alih yang ditanya menjawab, Anne justru angkat suara. “Iya, doakan bayinya sehat, Ren,” terangnya yang jelas tak ingin menerangkan perihal program yang menyeret Mara.“Siapa yang hamilin? Apa pacar CEO—“
Malam menjelang, alat dapur sudah saling bersahutan. Diikuti aroma sedap yang menguar dan menusuk hidung. Biasanya Anne melihat Mara yang bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut, tapi kali ini gadis itu justru tetap bertahan dan sesekali membantunya di dapur.Lelehan gula aren yang menyatu dengan minyak panas bercampur bumbu rempah itu sungguh menarik selera. Siapa pun yang melihat dan menciumnya, air liur di mulut menjadi penuh. Dapat Anne saksikan bagaimana Mara mati-matian menahan diri untuk tidak mencomot barang sedikit.“Sebentar lagi matang, Mar,” kata Anne yang sedari tadi menyadari ada seseorang menanti makanan terhidang di meja. “Kamu tunggu aja di meja makan, aku siapkan, ya.”Mara berjengkit, merasa tidak enak kalau-kalau si nyonya rumah meladeninya. Bahkan tatapan Rina di sana cukup mengganggunya jika terus bertopang dagu seperti ini.Lantas ia menggeleng pelan. “Nggak usah, Mbak, aku mau ikut bantu-bantu juga.”“Hei, kalau kamu nggak enak badan, apalagi nah
“Ngapain kamu sebut-sebut nama bajingan itu, Ann?”Pramam menyembul dari balik pintu kamar Mara yang entah sejak kapan sudah terbuka. Anne berjengkit kala menangkap presensi suaminya itu. Ia lantas menatap Mara sebelum akhirnya melihat ke arah Pramam lagi.“Kenapa kamu nggak jawab?” tanya Pramam lagi. “Kamu nggak dengar pertanyaanku tadi, atau perlu aku ulangi?”Menahan napas, Anne menjeda beberapa saat sebelum menjawab, “Mas tenang, dong. Aku itu cuma nanya ke Mara soal Varen, emangnya salah?”“Sal—“Ucapan Pramam kontan disambar Mara. “Maaf, Mbak, tapi aku nggak punya hubungan apa pun sama Pak Varen Herlambang,” balasnya pada Anne.Mendengar itu, Anne mengedikkan dagu pada suaminya. “Tuh, aku nanya dan udah dijawab sama Mara. Lagian kenapa Mas ini sensi banget waktu denger nama Varen disebut?” tuturnya sambil melirik sebal. “Mara aja santai, kok Mas yang emosi?”Sekilas Pramam menatap Mara, lalu berdeham singkat. “Mara perlu istirahat, lebih baik kamu ambilin aku baju,” cetusnya sed
Setelah menuntaskan momen panasnya dengan Pramam semalaman. Anne cukup kelelahan dan membutuhkan banyak asupan, seperti jus di pagi hari. Kini tubuhnya hanya dibalut gaun tidur tipis dengan rambut yang dicepol.Cukup banyak jejak kemerahan yang menghias di leher. Namun, Anne tidak malu jika bawahannya melihat hasil karya Pramam yang luar biasa. Seolah hal itu kelewat biasa menjadi pandangan sedap Rina beserta asisten lain di rumah.Anne menjumpai Rina yang sedang sibuk mengambil makanan dari kulkas. Gadis itu sepertinya mulai sibuk mempersiapkan sarapan untuk tuannya. Lantas Anne mendekati Rina dengan wajah bingung karena tak mendapati sosok Mara di sana. Sebab biasanya, Mara sudah duduk manis di stool sembari membantu Rina sedikit-sedikit.“Lho Mara ke mana, Rin?” tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.Rina mengangkat wajah, sedikit terkejut karena aroma wangi Anne menguar cukup menusuk hidung. “Ada di kamar, Nyonya, tadi muntah-muntah lagi,” jawabnya jujur dengan menunjuk