“Mundur atau aku teriak?”Anne tak tahu sikap Varen bisa semendadak berubah begini. Harus melontarkan ancaman lebih dulu untuk membuat pria itu sadar atas perbuatannya yang jelas kurang disenangi lawan. Anne mampu meloloskan diri begitu menarik tubuh dari kaca jendela.Varen terkekeh. “Aku nggak akan melakukan sesuatu hal yang senonoh sama kamu, Ann,” katanya. “Nggak perlu sepanik itu kali.”“Aku minta bantuan kamu, Ren, tapi kenapa sikapmu malah begitu?” Mata Anne melirik sinis. “Kalau kamu nggak bisa bantu, tinggal bilang. Biar aku cari orang lain yang bersedia bantu.”Anne sudah mengayunkan langkah. Bahunya bergerak naik-turun, menandakan emosi mulai memenuhi benaknya. Namun, lengannya ditarik paksa oleh Varen. Mau tak mau, kakinya berhenti.Sebelum ia menoleh dan melempar protes, Varen lebih dulu bergerak hingga berdiri di hadapannya. Tampang pria itu kelihatan datar, tapi detik setelahnya justru menyunggingkan senyum tipis. Anne tak mengerti maksud dari itu semua, ia memilih mele
“Just shut up!”Mendengar teriakan Pramam, Varen tak terkejut sama sekali. Ditambah si pemilik ruang itu menggebrak meja. Lalu mengambil paksa foto yang masih mengapit di jemari Varen.Varen menyeringai. “Takut banget lo, Pram?”Kesabaran Pramam mulai menipis. Ia bergerak mengitari meja dan berhadapan langsung tanpa banyak jarak dengan Varen. Jika tadi usahanya tak berhasil merampas foto USG Mara, kali ini ia tak akan gagal.“Balikin foto itu atau gue lapor polisi?” ancamnya telak.Pria itu tetap pada pendiriannya. Memasang wajah remeh dan menekan foto tersebut dala genggamannya. Sementara Pramam sudah menatap nyalang.“Yakin mau lapor polisi?” Kepala Varen meneleng. “Bukannya gue yang ditangkap, malah lo sendiri atas dugaan kasus korupsi perusahaan sendiri.”Sontak Pramam bergeming tanpa berkedip. Tubuhnya menegang seketika begitu mendengar penuturan Varen yang luar biasa mengejutkan. Bagaimana musuhnya itu tahu soal tindak korupsi yang sedang menjadi pembahasan panas akhir-akhir ini
“Bapak apa kabar?” Anne menyapa ayah mertuanya ramah.Seperti biasa, Anne dihujani kecupan setelah mendapat pelukan hangat dari Dharma Basuki. Ayah mertua yang sangat menyayanginya. Berbeda sekali dengan Ina yang kerap memberikan petuah berbentuk cibiran belaka. “Baik, Anne gimana sekarang?” balas Dharma. Kemudian menatap tubuh sang menantu yang kelihatan berbeda. “Kalau memang belum dapat rejeki, kamu bisa berusaha lagi sama Pramam.”Mendengar itu, Anne lumayan trenyuh. Perpisahan yang kembali dialaminya karena keguguran beberapa waktu lalu membuat batinnya pedih. Guna menyudahi perasaannya itu, ia menarik pundak Mara yang saat itu tak begitu jauh darinya.“Ini program yang lagi Anne jalani sama Mas Pram, Pak,” jelasnya sekilas melirik Mara dengan senyum.Dharma mengangguk paham. “Bapak tahu, dan … semua lancar?”“Janinnya sehat,” tukas Anne percaya diri. “Iya, kan Mara?”Mara pun mengiyakan melalui gerakan kepala yang naik-turun. Tak lupa gadis itu tersenyum ramah seolah sudah akra
“Kamu pikir saya nggak bisa melacak ke mana saja uang itu, hah?”Kini Pramam sudah berlutut di lantai dingin. Berhadapan dengan ayahnya yang menatapnya nyalang. Tampangnya beringas dan penuh amarah. Dan sudah beberapa barang pecah belah berhamburan di lantai.Sebagian pecahannya pula sudah mengenai kulit Pramam. Tetap tak membuat Dharma khawatir sama sekali sebagai ayah kandungnya. Dengan tangis yang lirih bersama tubuh bergerak naik-turun karena sesenggukkan pun tak membuat perubahan apa pun.“Sisanya ke mana?” sentak Dharma. “Di rumah ini?” tebaknya.“Ampun, Pak,” rengek Pramam. “Saya pasti kembalikan dana itu, saya sudah menemukan cukup investor untuk menutupnya.”“HALAH!” sambar Dharma. “Kamu itu nggak usah kebanyakan berbohong, perusahaan Herlambang bahkan nggak bisa kamu taklukkan, lalu sekarang? Mau apa kamu?”Pramam menegang di tempat. Sejauh ini, ia belum mendengar soal pengajuan bantuan ke perusahaan keluarga musuhnya. Meskipun Varen sudah memperingatkannya lebih dulu, ia ta
“See?” Anne mengulurkan ponsel dan menunjukkan layar benda pipih itu yang menyala pada Varen. “Ibu mertuaku udah mulai ngomel karena aku belum sampai di butik.”Varen menangkap nama yang tertera di sana. Juga ekspresi Anne yang bosan, lebih ke muntab karena ulah Ina Basuki. Padahal menantunya itu baru saja meluapkan perasaan sekaligus kegelisahaannya selama ini.Detik selanjutnya, Varen bangkit dari duduk. Ia mengangsurkan telapak tangan pada Anne. “Aku antar ke butik,” tawarnya.“Nggak usah,” tolak Anne. “Aku bawa mobil sendiri, Ren.”Varen membuang napas pendek, lalu memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. “Oke, aku antar pakai mobil kamu. Mana kuncinya?”“Terus gimana sama mobil yang kamu bawa ke sini?”“Gampang, biar sekretarisku yang urus.” Tangan pria itu masih mengulur seakan menunggu Anne memberikan kunci mobilnya.Tak lama kemudian, Anne merogoh tas dan memberikan kuncinya pada Varen. “Emang nggak ngerepotin?” Ia menatap ragu.“Justru aku senang kalau direpotin sam
“Gimana? Kamu kerasan nggak di butik ini?”Anne perlahan mengangsurkan secangkir minuman hangat yang baru dibuatkan staff butiknya pada ibu mertua. Sudah sekitar dua hari ini Anne menjalankan tugas yang diperintahkan perempuan itu. Beberapa bagian memang memusingkan, sebab banyak laporan yang tak sesuai harapan.Lantas hari ini, ia meminta ibu mertuanya untuk datang ke butik. Mulanya Anne beralasan menanyakan banyak hal yang menjadi akar pening di kepala. Namun, ada satu tujuan yang ia sembunyikan.“Masih menyesuaikan, Bu,” aku Anne jujur. “Lagi pula butik ini harus banyak diperbaiki, kayak cat dindingnya udah lama banget nggak diganti.”Anne menunjuk-nunjuk bagian yang kurang baik saat dilihat. Pun plang di depan juga hurufnya ada beberapa yang hilang, sungguh memilukan, bukan? Akan tetapi Ina tampak biasa saja, seakan membiarkan kondisi itu terus berjalan entah sampai kapan.“Ya memang, tapi itu rusak sedikit aja, kok.”Sayangnya Anne menolak setuju. “Nggak bagus kalau dilihat pelan
“Sialan!”Pramam menggebrak meja ruang VIP yang dipesannya di sebuah restoran mewah. Di sekelilingnya sudah ada Baron, Jagad, dan Erkan. Ketiganya adalah teman akrab Pramam semenjak sekolah dasar.Tiap kali terjangkit masalah, mereka selalu menjadi pendengar. Kadang pula memberi masukan. Seperti sekarang, Baron mengangsurkan sebotol minuman keras di hadapan Pramam.“Nyantai dulu, nggak usah kebanyakan ngumpat,” katanya. “Kalau lo udah tenang, baru cerita. Ada masalah apaan.”Pramam lantas menurut. Ia menenggak beberapa dan mengatur napas sekaligus emosinya yang sejak tadi sudah meluap-luap. Punggungnya ditarik mundur hingga bersandar di kursi.“Pesan paket tambahan, Ron. Gue keburu pusing ini.”Yang dipanggil namanya pun mengerjap kaget. “Serius?” tanyanya ragu.Jagad menaikkan alis. “Emang simpanan lo yang jadi tempat sewa rahim itu udah nggak enak lagi, Pram?”“Bener juga,” timpal Erkan. “Gue baru ingat kalau Pramam masih punya simpanan. Terus kenapa masih mau paket tambahan? Bukann
“Apa yang sudah Mbak Anne lakukan terhadap kamu, Mas?”Salah satu sudut bibir Pramam terangkat. Entah sengaja membuat senyum miring atau memang tengah menahan pedih di sebelah pipinya. Namun, gadis yang tengah mengandung anaknya itu memperpendek jarak. Menangkup wajah hingga meniup bagian kemerahan akibat tamparan Anne tadi.“Sakit banget ya?” Mara terus meniup luka kemerahan itu. “Aku kompres aja gimana?”Pramam mengangguk pelan. “Boleh.”“Kenapa Mbak Anne sebegininya sama kamu, Mas?” keluh Mara sebelum beranjak. “Apa kalian ada masalah?”Pramam semula tak menyangka jika istrinya akan melakukan hal itu. Setelah sekian lama pernikahan mereka terjalin. Dan sekarang Anne sudah mulai berani menentangnya.Tentu untuk pertanyaan kedua yang diajukan Mara tak dijawab olehnya. Ia tak mau Anne diseret dan Mara memikirkan macam-macam hingga mencari celah dalam rumah tangganya. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali yang terjadi, entah di kantor dan rumah sekalipun.Tak berselang lama, Mara kem