Share

5. Sebutan

 “Maksud kamu, rahim pengganti? Apa aku harus membuahi perempuan lain sampai dia hamil?” tanya Pramam bersamaan dengan pelukan yang mengendur dan munculnya kerutan di kening.

 “Enak aja!” seru Anne, sebal. “Itu sih keenakan kamu nanti. Prosesnya kayak bayi tabung, kok, bedanya cuma di tempat janin berkembang. Dia akan tumbuh di tempat lain, bukan di rahimku.”

Tatapan Pramam kosong, lalu ia kembali pada kesadarannya kini dan bertanya, “Ann, kamu serius?”

“Ya, aku udah memikirkan hal ini matang-matang,” sahut Anne antusias. “Jauh sebelum ini, aku udah konsultasi ke Dokter Mega dan dia menyanggupi untuk membantu kita.”

Kini giliran Anne yang meraih tangan Pramam. Menggenggam milik suaminya yang dipenuhi guratan otot di sana. “Mas mau, ‘kan?” tanyanya memastikan. “Aku yang akan mempersiapkan semuanya, Mas tinggal hadir saat prosesnya aja nanti.”

Pramam mengembuskan napas panjang. “Memang perempuan mana yang mau rahimnya kita sewa, Ann?”

“Ada, kok.”

Laki-laki itu masih tak habis pikir pada rencana gila Anne. Setelah kehilangan, seharusnya wanita itu istirahat dan menenangkan pikiran. Bukan malah merencanakan sesuatu yang kesannya tidak adil.

Menyewa rahim atau rahim pengganti apalah itu istilahnya, terdengar buruk sekali. Terkesan seperti barang saja, ada istilah sewa menyewa. Sebagai wanita, mengapa pikiran buruk itu jadi menyelimuti kepala Anne?

“Ini kita nggak bisa asal-asalan, harus betulan dicek biar nggak berdampak buruk ke bayi kita nanti,” tandas Pramam masih mencoba menyadarkan sang istri.

Anne manggut-manggut seakan mengerti betul. “Perempuan dalam masa subur, sehat, dan kondisinya oke. Aku udah berhasil menemukan siapa yang cocok,” cetusnya tenang. “Aku jamin, dia nggak akan nolak tawaran ini.”

Seketika Pramam mengernyitkan kening. “Siapa … orangnya?”

“Nanti aku kenalin, dia sahabatku,” terang Anne antusias. “Udah kayak adik kandungku sendiri, kamu pasti suka karena kualitasnya cukup baik.”

Melihat keberadaan Mara di ruangan Anne tadi, Pramam tidak akan lupa betapa marahnya gadis itu. Ditambah ketika Mara mengaku jika Anne cukup berarti baginya. Kini Pramam berharap kalau perempuan yang dimaksud istrinya bukanlah Mara Cikal. Semoga.

***

Setelah suaminya benar-benar pergi, barulah Anne membersihkan diri. Dimulai dari lulur, mencukur, hingga berendam di air penuh wewangian. Segalanya ia lakukan untuk menyenangkan diri sekaligus siap-siap bertemu seseorang penting siang ini.

Tubuh yang dibalut blouse merah jambu itu muncul dan disertai lambaian tangan. Tak lupa senyum khasnya terulas baik di bibir. Mara Cikal mendekati meja Anne dan menyapa ramah seperti sebelumnya.

Keduanya saling mengecup pipi kanan dan kiri seperti wanita kalangan atas. Kemudian mereka duduk dan mengobrol seperti biasa. Sesekali Anne melempar candaan yang menurut Mara aneh dan rasanya tidak benar, mengingat momen buruk belum lama ini dialami wanita itu.

“Sebelumnya aku minta maaf, Mar,” tukas Anne. “Seharusnya obrolan itu nggak melalui telepon, tapi secara langsung begini.”

Mara mengulum senyum. “Nggak pa-pa, Mbak. Aku ngerti, kok.”

“Makasih ya, Mar.” Hati Anne trenyuh dan penuh haru. “Saat itu rasanya campur-campur sampai nggak sadar apa aja yang aku omongin sama kamu ternyata kurang benar.”

Seminggu lalu, saat masih berada di rumah sakit untuk proses pemulihan, Anne kerap menelepon Mara. Sampai ia tersadar kalau tindakannya kurang benar. Lantas barulah ia membuat janji dengan gadis itu setelah keadaannya membaik.

“Mbak, baik-baik aja, ‘kan?” tanya Mara khawatir.

Anne mengedikkan bahu. “Aku berharapnya juga baik, tapi apa daya. Kehilangan anak ke sekian kali? Rasanya ya … nggak bisa tergambar lewat kata-kata.”

Hingga kemudian, Anne mengungkap semua perasaan yang terpendam. Dilanjutkan dengan rencana yang sempat Mara dengar melalui telepon. Sampai akhirnya, hal tak terduga muncul tiba-tiba. Anne menginginkan sesuatu dari Mara.

Anne mengulurkan tangan, meremas pelan milik Mara. “Aku mohon, bantu aku, Mar,” pintanya dengan wajah memelas. “Aku nggak tahu mau minta tolong siapa selain kamu. Aku udah bingung banget harus gimana lagi.”

“Mbak …” balas Mara lirih. Suaranya tercekat dengan napas tertahan. Dilihatnya sepasang mata bulat indah itu yang kini berubah sendu.

I’ll try.” Akhirnya ucapan itu terlontar dari mulut Mara.

Mengerjap beberapa kali, Anne lantas bertanya, “Kamu serius?”

Tanpa jeda sama sekali, gadis itu mengangguk. Bibirnya pun mengulas senyum lebar pertanda setuju. Anne terperangah, lalu terkejut dan belum percaya atas apa yang baru ia dengar dari lawan bicaranya.

“Mar, kamu yakin mau menyewakan rahim untuk janinku nanti?”

“Aku akan bantu Mbak Ann sebisaku,” kata Mara meyakinkan.

“Astaga!” pekik Anne tak percaya. “Makasih banyak, Mar. Aku akan beri apa pun yang kamu mau, kamu sebut aja apa yang kamu inginkan, oke?”

Anne tak segan-segan mengiming-imingi uang bermiliaran rupiah untuk mendapat persetujuan dari Mara. Namun, tak perlu segila itupun, si gadis nyatanya sudah setuju sekali dengan tawarannya. Ia tak mampu menyembunyikan rasa senang yang memenuhi dada kali ini.

Sejurus kemudian, Anne menangkap mata Mara yang sembab. Seperti sudah bermalam-malam sebelumnya dihabiskan untuk menangis. Kepalanya pun bergerak miring, memerhatikan dengan lekat wajah lawan bicaranya.

“Kamu ada masalah sama pacar?”

Punggung Mara kontan bergerak tegap. “Ah, nggak, kok.”

“Yakin?” tanya Anne ragu sambil merujuk pada pasang iris Mara. “Kelihatan banget bohongnya, Mar. Kamu baru putus sama pacar, ya. Soalnya kamu langsung setuju sama tawaranku ini. Seharusnya kamu omongin benar-benar sama pacarmu itu sebelum yakin bantu aku.”

“Kelihatan banget ya, Mbak?” Mara menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Memperlihatkan betapa sendunya wajah ayu itu.

“Putus kenapa, Mar?” Rasa penasaran Anne mulai terpancing. “Mau cerita?”

Mara menggeleng pelan. “Mungkin udah nggak cocok aja kali,” katanya. “Tapi, Mbak nggak perlu khawatir, aku tetap mau bantuin biar Mbak dan suami bisa punya anak.”

Anne bingung harus bersedih atau senang mendengarnya. Sebab, ia tak enak hati kalau harus bersorak sekarang. Mengingat kondisi perasaan Mara yang tengah dipatahkan setelah putus dengan kekasihnya.

“Kalau kamu siap, lusa kita akan melakukan pemeriksaan. Begitu hasilnya bagus, hari itu juga Dokter Mega akan memproses seluruhnya,” ungkap Anne perihal berbagai rencananya. “Apa kamu tetap bersedia, Mar?”

Lagi, gadis itu mengangguk. “Kebetulan lusa jadwalku kosong, Mbak.”

Senyum itu merekah lebih indah dari bunga mekar. Ditambah pasang irisnya yang berbinar-binar. “Berita bagus. Aku nggak sabar menunggu hari itu tiba, tapi ada baiknya kalau kamu ketemu Mas Pram, suamiku.”

“K-ketemu sama suaminya, Mbak Anne?”

Anne mengangguk mengiyakan. “Meskipun kalian udah ketemu waktu di rumah sakit seminggu lalu, aku pengen ngenalin secara resmi. Suami dan teman terbaikku,” jelasnya antusias.

“Apa harus?”

“Iya dong!” seru Anne. “Kenapa memang? Suamiku nggak galak, kok.” Anne mendadak menyipitkan mata saat pikirannya menangkap satu ingatan yang jelas terlintas. “Aku jadi ingat kalau waktu itu kamu sempat panggil Mas Pram dengan sebutan Mas Uki?”

“Hah?”

“Iya, ‘kan?” Anne memastikan. “Apa aku yang salah dengar?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status