“Maksud kamu, rahim pengganti? Apa aku harus membuahi perempuan lain sampai dia hamil?” tanya Pramam bersamaan dengan pelukan yang mengendur dan munculnya kerutan di kening.
“Enak aja!” seru Anne, sebal. “Itu sih keenakan kamu nanti. Prosesnya kayak bayi tabung, kok, bedanya cuma di tempat janin berkembang. Dia akan tumbuh di tempat lain, bukan di rahimku.”
Tatapan Pramam kosong, lalu ia kembali pada kesadarannya kini dan bertanya, “Ann, kamu serius?”
“Ya, aku udah memikirkan hal ini matang-matang,” sahut Anne antusias. “Jauh sebelum ini, aku udah konsultasi ke Dokter Mega dan dia menyanggupi untuk membantu kita.”
Kini giliran Anne yang meraih tangan Pramam. Menggenggam milik suaminya yang dipenuhi guratan otot di sana. “Mas mau, ‘kan?” tanyanya memastikan. “Aku yang akan mempersiapkan semuanya, Mas tinggal hadir saat prosesnya aja nanti.”
Pramam mengembuskan napas panjang. “Memang perempuan mana yang mau rahimnya kita sewa, Ann?”
“Ada, kok.”
Laki-laki itu masih tak habis pikir pada rencana gila Anne. Setelah kehilangan, seharusnya wanita itu istirahat dan menenangkan pikiran. Bukan malah merencanakan sesuatu yang kesannya tidak adil.
Menyewa rahim atau rahim pengganti apalah itu istilahnya, terdengar buruk sekali. Terkesan seperti barang saja, ada istilah sewa menyewa. Sebagai wanita, mengapa pikiran buruk itu jadi menyelimuti kepala Anne?
“Ini kita nggak bisa asal-asalan, harus betulan dicek biar nggak berdampak buruk ke bayi kita nanti,” tandas Pramam masih mencoba menyadarkan sang istri.
Anne manggut-manggut seakan mengerti betul. “Perempuan dalam masa subur, sehat, dan kondisinya oke. Aku udah berhasil menemukan siapa yang cocok,” cetusnya tenang. “Aku jamin, dia nggak akan nolak tawaran ini.”
Seketika Pramam mengernyitkan kening. “Siapa … orangnya?”
“Nanti aku kenalin, dia sahabatku,” terang Anne antusias. “Udah kayak adik kandungku sendiri, kamu pasti suka karena kualitasnya cukup baik.”
Melihat keberadaan Mara di ruangan Anne tadi, Pramam tidak akan lupa betapa marahnya gadis itu. Ditambah ketika Mara mengaku jika Anne cukup berarti baginya. Kini Pramam berharap kalau perempuan yang dimaksud istrinya bukanlah Mara Cikal. Semoga.
***
Setelah suaminya benar-benar pergi, barulah Anne membersihkan diri. Dimulai dari lulur, mencukur, hingga berendam di air penuh wewangian. Segalanya ia lakukan untuk menyenangkan diri sekaligus siap-siap bertemu seseorang penting siang ini.
Tubuh yang dibalut blouse merah jambu itu muncul dan disertai lambaian tangan. Tak lupa senyum khasnya terulas baik di bibir. Mara Cikal mendekati meja Anne dan menyapa ramah seperti sebelumnya.
Keduanya saling mengecup pipi kanan dan kiri seperti wanita kalangan atas. Kemudian mereka duduk dan mengobrol seperti biasa. Sesekali Anne melempar candaan yang menurut Mara aneh dan rasanya tidak benar, mengingat momen buruk belum lama ini dialami wanita itu.
“Sebelumnya aku minta maaf, Mar,” tukas Anne. “Seharusnya obrolan itu nggak melalui telepon, tapi secara langsung begini.”
Mara mengulum senyum. “Nggak pa-pa, Mbak. Aku ngerti, kok.”
“Makasih ya, Mar.” Hati Anne trenyuh dan penuh haru. “Saat itu rasanya campur-campur sampai nggak sadar apa aja yang aku omongin sama kamu ternyata kurang benar.”
Seminggu lalu, saat masih berada di rumah sakit untuk proses pemulihan, Anne kerap menelepon Mara. Sampai ia tersadar kalau tindakannya kurang benar. Lantas barulah ia membuat janji dengan gadis itu setelah keadaannya membaik.
“Mbak, baik-baik aja, ‘kan?” tanya Mara khawatir.
Anne mengedikkan bahu. “Aku berharapnya juga baik, tapi apa daya. Kehilangan anak ke sekian kali? Rasanya ya … nggak bisa tergambar lewat kata-kata.”
Hingga kemudian, Anne mengungkap semua perasaan yang terpendam. Dilanjutkan dengan rencana yang sempat Mara dengar melalui telepon. Sampai akhirnya, hal tak terduga muncul tiba-tiba. Anne menginginkan sesuatu dari Mara.
Anne mengulurkan tangan, meremas pelan milik Mara. “Aku mohon, bantu aku, Mar,” pintanya dengan wajah memelas. “Aku nggak tahu mau minta tolong siapa selain kamu. Aku udah bingung banget harus gimana lagi.”
“Mbak …” balas Mara lirih. Suaranya tercekat dengan napas tertahan. Dilihatnya sepasang mata bulat indah itu yang kini berubah sendu.
“I’ll try.” Akhirnya ucapan itu terlontar dari mulut Mara.
Mengerjap beberapa kali, Anne lantas bertanya, “Kamu serius?”
Tanpa jeda sama sekali, gadis itu mengangguk. Bibirnya pun mengulas senyum lebar pertanda setuju. Anne terperangah, lalu terkejut dan belum percaya atas apa yang baru ia dengar dari lawan bicaranya.
“Mar, kamu yakin mau menyewakan rahim untuk janinku nanti?”
“Aku akan bantu Mbak Ann sebisaku,” kata Mara meyakinkan.
“Astaga!” pekik Anne tak percaya. “Makasih banyak, Mar. Aku akan beri apa pun yang kamu mau, kamu sebut aja apa yang kamu inginkan, oke?”
Anne tak segan-segan mengiming-imingi uang bermiliaran rupiah untuk mendapat persetujuan dari Mara. Namun, tak perlu segila itupun, si gadis nyatanya sudah setuju sekali dengan tawarannya. Ia tak mampu menyembunyikan rasa senang yang memenuhi dada kali ini.
Sejurus kemudian, Anne menangkap mata Mara yang sembab. Seperti sudah bermalam-malam sebelumnya dihabiskan untuk menangis. Kepalanya pun bergerak miring, memerhatikan dengan lekat wajah lawan bicaranya.
“Kamu ada masalah sama pacar?”
Punggung Mara kontan bergerak tegap. “Ah, nggak, kok.”
“Yakin?” tanya Anne ragu sambil merujuk pada pasang iris Mara. “Kelihatan banget bohongnya, Mar. Kamu baru putus sama pacar, ya. Soalnya kamu langsung setuju sama tawaranku ini. Seharusnya kamu omongin benar-benar sama pacarmu itu sebelum yakin bantu aku.”
“Kelihatan banget ya, Mbak?” Mara menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Memperlihatkan betapa sendunya wajah ayu itu.
“Putus kenapa, Mar?” Rasa penasaran Anne mulai terpancing. “Mau cerita?”
Mara menggeleng pelan. “Mungkin udah nggak cocok aja kali,” katanya. “Tapi, Mbak nggak perlu khawatir, aku tetap mau bantuin biar Mbak dan suami bisa punya anak.”
Anne bingung harus bersedih atau senang mendengarnya. Sebab, ia tak enak hati kalau harus bersorak sekarang. Mengingat kondisi perasaan Mara yang tengah dipatahkan setelah putus dengan kekasihnya.
“Kalau kamu siap, lusa kita akan melakukan pemeriksaan. Begitu hasilnya bagus, hari itu juga Dokter Mega akan memproses seluruhnya,” ungkap Anne perihal berbagai rencananya. “Apa kamu tetap bersedia, Mar?”
Lagi, gadis itu mengangguk. “Kebetulan lusa jadwalku kosong, Mbak.”
Senyum itu merekah lebih indah dari bunga mekar. Ditambah pasang irisnya yang berbinar-binar. “Berita bagus. Aku nggak sabar menunggu hari itu tiba, tapi ada baiknya kalau kamu ketemu Mas Pram, suamiku.”
“K-ketemu sama suaminya, Mbak Anne?”
Anne mengangguk mengiyakan. “Meskipun kalian udah ketemu waktu di rumah sakit seminggu lalu, aku pengen ngenalin secara resmi. Suami dan teman terbaikku,” jelasnya antusias.
“Apa harus?”
“Iya dong!” seru Anne. “Kenapa memang? Suamiku nggak galak, kok.” Anne mendadak menyipitkan mata saat pikirannya menangkap satu ingatan yang jelas terlintas. “Aku jadi ingat kalau waktu itu kamu sempat panggil Mas Pram dengan sebutan Mas Uki?”
“Hah?”
“Iya, ‘kan?” Anne memastikan. “Apa aku yang salah dengar?”
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu