Share

Bab 2. "Ayah, Apakah Aku Masih Putrimu?"

Mendengar perkataan Keith, Sahara bergetar seolah dia dijatuhi hukuman mati. Putra bungsu dari keluarga William adalah sosok angkuh dan sewenang-wenang serta memiliki kepercayaan diri yang tinggi, di suatu waktu dia pernah mendengar pernyataan itu. Namun, Sahara tidak menyangka jika dia akan berhadapan langsung dengan kepribadiannya dalam waktu sesingkat ini.

Sahara benar-benar tertegun dengan jantung yang berdebar-debar, dia hanya mematung di tempat semula, dengan lingkar mata memerah menatap nanar ke arah Keith yang baru saja melepaskan rahangnya dan memberi jarak di antara mereka.

Seolah jiwanya baru saja ditarik paksa, Sahara tetap berdiri di sana seperti si bodoh, menyaksikan laki-laki itu yang mengintainya seperti mangsa empuk.

“Mungkin ayahmu belum mengatakannya padamu, bahwa hubungan kita akan selamanya dirahasiakan. Besok, seseorang akan datang menjemputmu. Kamu akan tinggal di tempatku.”

Tidak! Sahara menjerit di dalam hati sambil menyaksikan kepergian Keith dengan lidah terikat, sementara batinnya meraung. Aku tidak tahu apa-apa! Aku juga tidak mau menjadi istrimu!

Sudah sekitar dua tahun yang lalu sejak terakhir kali dia melihat Keith. Laki-laki itu datang ke acara reuni sekolah bersama dengan istrinya, Kayla.

Bagaimana pun, terlalu sulit untuk tidak mengingat apa yang terjadi pada hari itu. Ketika nama Afkar tiba-tiba diseret ke dalam topik pembicaraan, disandingkan dengan Kayla yang hari itu tampak begitu cantik dalam balutan gaun putih tulang.

Tidak ada yang menyadari kehadiran Sahara di balik pintu toilet saat itu, dia mendengar semua perkataan mereka dengan hati terluka. Namun, begitu dia berbalik dan hendak meninggalkan tempat itu, kebetulan dia bertemu dengan Keith dan Kayla yang dia yakin juga telah mendengar perkataan mereka.

Sahara hanya menoleh sekilas, melihat ke arah Kayla pergi. Namun, dia terkejut mendapati Keith masih berdiri di sana, menatapnya dengan sorot tak terprediksi.

•••

“Ayah, Umi, aku pergi.” Sahara memandang kedua orang tuanya yang berdiri berdampingan.

Inaya memandangnya dengan jijik, sementara Surya terlihat lebih terkendali meski tidak dapat menyembunyikan gemetar di sekujur tubuhnya, jelas hasil dari amarah yang terpaksa ditahan.

“Ke mana jilbabmu, Sahara? Kenapa kamu tidak menutup auratmu dengan benar?” Surya bertanya, dia menatap ngeri ke arah putrinya. Bukan hanya Sahara tidak memakai jilbab, tapi rambut hitamnya yang panjang kini telah dipotong separas bahu.

“Keith akan menyukai penampilanku yang seperti ini, anggap saja aku sedang menjual diri.”

“Ya Allah, Sahara! Setan mana yang merasukimu kali ini?!” Bagaimana Surya bisa menahan diri? Giginya bahkan hampir rontok karena murka. Amarahnya nyaris tak terkendali.

“Perhatikan ucapanmu! Jual diri apa?! Dengan nama Allah, Keith sudah menikahimu, mengambilmu sebagai istrinya. Kenapa sekarang kamu bertingkah tidak masuk akal?! Ambil jilbabmu dan pakai!” Surya menatap putrinya dengan mata merah menyala-nyala.

“Sahara, umi tidak akan menyalahkanmu karena tiba-tiba bersikap seperti ini.” Inaya angkat bicara. Suaranya lembut, tapi hanya Sahara yang merasa tertusuk oleh duri tajam yang terkandung dalam kalimatnya.

“Tapi kamu tidak bisa mempertontonkan auratmu, siapa yang tidak akan marah melihatmu begini? Allah marah, kami marah, dan ibumu yang sudah meninggal dunia juga tersiksa saat menyaksikanmu dari sana.”

Inaya melirik Sahara dengan tatapan yang berapi-api, tidak lupa menanamkan belati di dalam kalimatnya saaat dia sekali lagi berujar, “Jangan merasa seolah kamu adalah orang yang paling menderita, siapa yang tahu entah hikmah apa yang tersembunyi di balik kepergian Afkar yang kamu sesali. Kamu akan tetap menderita jika hidupmu hanya terpaku pada masa lalu. Sahara, saat ini umi tidak sedang memarahimu, umi hanya mengkhawatirkan dan menginginkan yang terbaik bagimu.”

Sahara lagi-lagi gagal menjaga air matanya agar tidak jatuh. Setetes air mata itu terasa membakar pipinya, menyengatnya dengan rasa bersalah dan malu. Namun, untuk apa dia menundukkan kepala di hadapan mereka yang menyakitinya? Yang menghancurkan harga dirinya? Yang menukarnya dengan setumpuk uang fana? Sahara tidak mau tunduk. Sahara takut pada Tuhan, tapi kepada mereka yang ada di dalam rumah ini, Sahara hanya memiliki perasaan benci.

“Sahara, belum terlambat bagimu untuk bertobat, Nak. Ayah tahu kamu sakit hati, tapi jangan lampiaskan amarahmu dengan cara seperti ini.” Surya menatap putrinya dengan rasa bersalah, dan hanya sebatas itu.

“Selama ini aku menutup auratku karena rasa cintaku pada Afkar, tapi kalian memisahkanku darinya.” Sahara menyeka kasar air matanya dengan telapak tangan.

Dia melotot pada Inaya yang diam-diam menyeringai, menertawakan kemalangannya. “Setelah Afkar meninggal dunia, tanpa sepengetahuan dan persetujuanku, kalian menikahkanku dengan Keith. Aku tahu, pasti Umi yang membuat Ayah setuju dengan pernikahan ini. Tidak apa-apa-“

Sahara menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, “Dia yang sekarang berstatus sebagai suamiku, biarkan dia yang menanggung dosa atas durhakanya aku kali ini.”

“Lancang!” Surya menunjuk Sahara dengan tangan yang gemetar. “Kamu berani menjawab dan mendelik pada umi?! Salahkan aku! Ayahmu ini yang menikahkanmu dengannya, kenapa kamu menatap ibumu dengan semua kebencian itu?!”

“Dia bukan ibuku!” bentak Sahara membuat amarah Surya semakin tersulut.

“Kamu anak tidak tahu diuntung! Itu aku-“ Surya memukul-mukul dadanya sambil berteriak pada putrinya. “Aku yang harus kau benci!”

Emosi yang bercampur aduk pada akhirnya membuat dia kehilangan kata-kata. Dia tahu ayahnya akan seperti ini, akan membela Inaya tanpa sedikit pun memberinya kesempatan untuk membela diri.

“Ayah, kenapa begini?” Sahara menangis terisak-isak. Dia menatap semua orang di sana dengan air mata berlinang yang berkumpul di ujung dagunya.

“Mereka semua tinggal dengan bahagia di sisimu dan umi, mendapatkan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada yang mengatur, mendapatkan masalah tanpa takut ditegur, bebas menentukan pilihan mereka sendiri, tapi kenapa aku tak bisa? Ayah, apakah aku masih putrimu?”

Tanpa menunggu jawaban dari Surya yang terpaku, Sahara dengan tertatih menyeret kopernya keluar dari rumah itu. Dia tidak ingin tahu bagaimana mereka akan bereaksi atas perkataannya barusan, kemungkinan besar di mata mereka dia tetap akan jadi seorang anak yang tidak tahu diri. Dia tahu betul di dalam hatinya, jika ayahnya hanya memerhatikan tanpa mengasihinya sama sekali.

Baru saja Sahara keluar dari rumah, Inaya mendekati Surya dan memijat lembut pundak suaminya sambil berkata, “Dulu saat Abi ingin menikahkannya dengan Afkar, bukankah dia juga pernah menolak dan bahkan kabur dari rumah? Bersikeras tidak mau, tapi kemudian apa? Dia bahagia bersama Afkar, hingga menjadi seperti ini meski setelah satu tahun suaminya meninggal dunia.”

“Jadi menurutmu, keputusanku ini juga tidak salah? Kali ini aku menikahkannya dengan putra bungsu pak William karena menyangkut hutang piutang. Pada akhirnya, apakah dia juga akan bahagia?”

Inaya diam-diam mencibir, mengutuk di dalam hati tentang betapa piciknya Surya, suaminya. Namun, di permukaan dia tersenyum lembut saat menanggapi, “Meskipun Sahara bukan putri kandungku, tapi aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Kenapa aku mendukung pernikahan yang Abi atur saat itu? Semuanya karena aku yakin bahwa dia juga akan bahagia.”

“Sekarang pun sama, dia pasti bisa melupakan Afkar yang membuatnya terpuruk hingga hari ini. Tidak ada yang perlu dipikirkan, tidak ada yang salah dari keputusan Abi, semua tergantung pada Sahara apakah dia masih menyimpan dendam di dalam hatinya terhadap kita atas kematian ibunya, hingga dia mengambil kesempatan ini untuk memberontak,” lanjut Inaya, setiap kalimat yang diucapkan selalu mengandung bahan bakar untuk menyulut api.

“Kamu benar, aku hampir selalu lupa tentang betapa tidak sukanya dia padamu. Dia juga paling membenciku, dan sekarang aku membuat kebenciannya menjadi berkali-kali lipat.” Ada kilatan tak berdaya dalam mata laki-laki paruh baya itu. Surya menghela napas lelah, jelas merasa bersalah atas kejadian yang telah terjadi bertahun-tahun yang lalu.

“Namun, aku masih berharap jika keputusanku kali ini tidak akan salah. Bagaimanapun, Sahara tetaplah darah dan dagingku sendiri, yang kuinginkan adalah melihat dia bahagia.” Kalimat itu diucapkan dengan tidak yakin, tapi Surya tetap tidak bisa lagi menarik keputusannya.

Di belakang punggungnya, Inaya menertawakan perkataan Surya. Dia senang mengetahui Surya masih sebodoh dulu, dengan naif berpikir jika semuanya akan berjalan seperti yang diinginkan.

Berharap agar Sahara bahagia? Bermimpilah! Dia tahu betul seperti apa putra bungsu William itu. Dia menyesali tahun-tahun bahagia yang pernah dimiliki Sahara dengan Afkar, sekarang dia hanya bisa berharap semoga anak itu sengsara, karena melihat wajah Sahara selalu mengingatkannya pada istri pertama suaminya.

•••

“Nyonya, Tuan sudah lama menunggu di dalam mobil. Anda bisa pergi sekarang.” Seorang sopir yang sudah menunggu lama menghampiri Sahara yang berdiri linglung di beranda. Mengejutkan wanita itu dari keterpakuannya.

Sahara mengikuti sopir itu ke arah mobil hitam dengan sorot mata tak bernyawa.

“Anda bilang Keith sudah lama menunggu?” Sahara berhenti melangkah, pikirannya berputar terlalu lambat, dia melihat ke arah mobil dengan kaku. “Maksud saya, di mana Keith sedang menunggu?”

“Di dalam mobil.” Sang Sopir berjalan mendahuluinya dan membukakan pintu penumpang untuknya. “Nyonya, silakan masuk.”

Jadi pria itu datang menjemputnya secara pribadi? Bahkan tanpa masuk ke dalam rumah untuk bertemu langsung dengan orang tuanya. Tidak ada sopan santun betapa sombong dan angkuhnya.

Dari kursi penumpang, Sahara menemukan laki-laki itu duduk bersandar, sedang menggeser layar telepon pintarnya. “Masuk!” titah Keith tanpa memandangnya.

Rasa dingin membekukan telapak tangannya. Sahara masuk ke dalam mobil, duduk menempel ke sisi pintu, menyisakan jarak yang cukup kentara di antara mereka.

Sopir baru saja duduk di kursi kemudi dan selesai menutup pintu ketika Keith tiba-tiba menoleh. Pandangan laki-laki itu tertuju pada sosok yang duduk di sampingnya, ke arah rambutnya yang telah dipotong pendek, hanya sekilas sebelum memusatkan kembali atensinya pada layar.

“Jadi setahun setelah kematian Afkar, kamu mengubah penampilan menjadi seperti ini? Di mana hijabmu, Sahara? Pakai itu.” Keith tampak tidak memiliki emosi.

Dengan wajah datar, dia tidak repot-repot mempertimbangkan perasaan wanita yang kini telah berstatus sebagai istrinya saat melanjutkan, “Kukira kemarin sudah jelas, hari ini aku akan membawamu pulang ke rumahku. Dengan pakaian seperti ini, kamu terlihat persis seperti mereka yang berada di tempat gemerlap. Murahan.”

Sayatan ini, Sahara bersumpah dia akan selalu merasakan sakitnya setiap kali dia menatap Keith di masa depan. Sahara merasakan rasa besi di dalam mulutnya. Dia terkejut, menyadari jika dia telah dengan tanpa sadar menggigit bibir hingga terluka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status