Share

TALAK SAJA SEKARANG!

Apa yang ada di pikiran kalian saat mengetahui suami dekat dengan perempuan lain, padahal dia tidak dekat dengan kita? Kurasa normalnya kalian akan menduga adanya tindak perselingkuhan. Benar, ‘kan? Kemudian kalian akan mengamuk, menjambak si wanita dan menendang organ penting suami, atau mungkin kalian hanya bisa menangis-nangis meminta diceraikan?

Oh, come on, girls! Jangan lemah seperti itu! Dalam hidup ini, cinta yang murni dan sejati itu hanya ditujukan kepada Tuhan. Tidak perlu mencintai suami seluas samudera! Asalkan transferan tiap bulan tetap jalan, no problem! Abaikan saja! Toh, bukan kita yang rugi, ‘kan? Ya, kecuali kalau jatah uang bulanan berkurang, bolehlah kalian potong ‘itu’-nya. Ha-ha-ha! 

Intinya, sebagai perempuan yang merasakan kecurigaan adanya perselingkuhan, aku tidak ingin bersikap lemah. Aku juga tidak ingin menyelidiki atau membalasnya karena tindakan itu sangat sia-sia dan membuang tenaga. Lebih baik aku memikirkan bagaimana cara agar koleksi liengerie-ku dalam lemari bisa membuat suamiku berpaling dari selingkuhannya.

Setelah menjalin komunikasi rahasia dengan suamiku, Vivian mengembalikan HP-ku tanpa rasa bersalah. Saat kutanya apa yang mereka bicarakan, dia bilang, “Tadi saya ngomelin dia. Bisa-bisanya dia membiarkan istri enggak kontrol-kontrol ke dokter, padahal itu sangat penting buat menjaga kehamilan kamu.”

“Oh, ya?”

'Ha-ha! Jangan kira gue bakal percaya, ya!'

“Terus-terus, apa katanya?” tanyaku pura-pura antusias.

“Yaaa, kamu tau sendiri, ‘kan, Jevin itu gimana? Anaknya pelit ngomong. Unresponsive!”

“Yaaaaah ....” Dengan segenap kemampuan akting yang kupunya, aku berpura-pura kecewa. “Kirain dia bakal nurut sama, Mbak. Ternyata ....”

Jangan salah! Ini hanya pancingan! Aku ingin melihat bagaimana reaksi Vivian kala kuanggap bahwa dirinya tidak berarti apa-apa untuk Jevin.

“Kamu tenang aja.” Dia tersenyum tipis dan memegang pundakku. Ini adalah kali ke dua dia menyentuhku. Sama seperti sebelumnya, aku tidak suka. “Kalau besok Jevin enggak bawa kamu cek kandungan, biar saya yang bawa.”

'Eh, buset! Biar apa coba? Biar orang-orang tau bahwa suami gue enggak peduli sama kehamilan gue? Hohoho! Enggak-enggak! Gue enggak bakal membiarkan orang-orang merendahkan gue!'

“Mbak baik banget, sih, padahal kita baru pertama—eh—maksud saya dua kali ketemu. Mbak dekat banget, ya, sama Mas Jevin? Emmm, atau mungkin kalian pernah pacaran?”

Meski hanya sekian detik, aku dapat menangkap raut keterkejutan di wajahnya.

'Haha! Kena lo! Gue enggak mudah dikibulin!'

Namun, Vivian sepertinya sudah sangat terlatih dalam mengendalikan mimik muka. Dia tertawa kecil dan menepuk lenganku pelan seraya menjawab, “Enggaklah! Mana mungkin? Jevin itu bukan tipe saya!”

'Oh, ya? Masa?'

“Eh, nama suami Mbak siapa, sih?” tanyaku kepo. “Kali aja saya kenal.”

Menjalin hubungan yang baik dengan perempuan terduga selingkuhan suami gue rasa bukan ide yang buruk. Siapa tau suatu saat gue bisa memerasnya seperti yang sering dilakukan karakter antagonist dalam sinema azab Ilahi. Sebelum gue melakukan hal itu, bukankah lebih penting mengetahui siapa suaminya? Kalau suaminya orang biasa yang enggak berpunya, ya, buat apa gue memeras dia. Apa juga yang mau diperas? Sperma?

Bukannya segera menjawab, Vivian lebih dulu memamerkan senyuman tenang. “Kamu pasti kenal, Na.”

'Oh, ya? Good-lah.'

“Dewa Angkasa Prima.”

“WHAT?” Aku terbelalak. “Anaknya Pak Angkasa Prima yang pengusaha tambang batu bara itu?” tanyaku seraya berharap bahwa tebakanku tidak benar.

Sayangnya, harapanku hancur lebur tatkala Vivian mengangguk penuh kepastian.

'Wah! Ini, mah, tambang buat pemerasan.'

Kupikir hanya aku perempuan beruntung yang dinikahi anak sultan. Aku lupa bahwa di luar sana ada banyak anak-anak sultan yang lebih mahasultan daripada Pak Adendra—mertuaku—bos besar dari PT. Adendra Timah Tbk. Memiliki tambang timah di Pulau Bangka beserta pabrik peleburannya membuatku berpikir bahwa mertuaku adalah pengusaha terkaya di Indonesia. Aku lupa bahwa di atas langit masih ada langit lainnya. Tentu mertuaku belum bisa menandingi kekayaan keluarga Angkasa Prima yang memiliki tambang batu bara di Kutai Timur dan Sumatra Barat.

“Kamu mungkin belum tau kalau mertua kita juga temenan.”

'Sesama pengusaha, ya, pasti temenan, ‘kan?'

Permusuhan antar pengusaha itu cuma ada di novel dan sinetron. Di dunia nyata, para pengusaha sibuk membangun citra.

“Suami saya sama Jevin juga saling kenal. Yaaa, meskipun enggak akrab.”

Aku manggut-manggut. Informasi itu menurutku sangat wajar mengingat bagaimana karakter Jevin yang antisosial.

Okay, sekarang informasi soal suaminya sudah berhasil kudapatkan. Sekarang saatnya  mengorek informasi tentang hubungan mereka. Kalau mereka sering cekcok atau Vivian sering merasa tersudutkan gara-gara tak kunjung hamil, maka kemungkinan perselingkuhan dengan Jevin pastilah ada. Perempuan biasanya akan mencari kenyamanan di tempat lain kalau dia tidak menemukan kenyamanan di rumah suaminya. Meskipun kenyamanan itu didapat dari lelaki yang bukan tipenya.

“Terus gimana suami Mbak menanggapi permasalahan kalian? Apa dia menyalahkan Mbak?” tanyaku, berusaha back to the topic. “Kebanyakan cowok, ‘kan, suka melimpahkan kesalahan sama—”

“Saya memang enggak bisa hamil lagi, Na,” potongnya yang membuat keningku berkerut sebentar. Keberadaan kata ‘lagi’ menandakan bahwa sebelumnya dia pernah hamil.

Dia tersenyum getir dan menunduk. “Rahim saya diangkat waktu saya mengalami kecelakaan parah. Gara-gara itu saya enggak bisa hamil.” Dia menegakkan kepala, menatapku seraya tersenyum tabah.

Kata ‘lagi’ yang tadi tercetus kini mengundang beberapa persepsi di pikiranku. Meskipun dia tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa dia ‘keguguran’ atau ‘kehilangan anak pertama’, aku tetap tidak bisa mengabaikan dugaan bahwa Vivian ‘pernah hamil’.

Penalaranku yang liar ini menciptakan skema tanpa diperintah. Bisa jadi Vivian mengandung anak dari lelaki lain sebelum menikah. Berhubung lelaki itu tidak mau bertanggung jawab—ah, ini cerita yang klise banget—maka Vivian menggugurkannya. Dalam upaya itu, terjadi hal yang buruk pada kandungannya yang membuat tim medis tidak memiliki pilihan selain mengangkat rahimnya. Selain itu, bisa jadi Vivian memang hamil anak suaminya saat baru-baru menikah, tapi keguguran.

“Suami Mbak memahami hal itu, ‘kan?” tanyaku hati-hati.

“Dia enggak tau, sih, kalau rahim saya diangkat.”

'HEI! WHAT DO YOU THINK?'

Aku berusaha keras menyembunyikan raut keterkejutanku. Aku berupaya tenang meskipun sebenarnya aku sangat tidak menyangka bahwa Vivian bisa menyembunyikan rahasia sebesar itu dari suaminya sendiri. Tidakkah dia berpikir bahwa menyimpan rahasia seperti itu justru akan merugikannya?

Vivian mulai menunjukkan ketidaknyamanan. Dia tertawa renyah dan kedua tangannya menggosok paha meski tidak kentara. Kemudian dia melirik arloji dan menarik napas kaget—entah itu hanya akting belaka atau memang sungguhan, aku tidak bisa membedakan.

“Ternyata udah jam 2, ya? Waktu enggak terasa banget kalau udah dibawa merumpi. By the way, saya harus ke airport sekarang.”

'Ya udah! Pergi aja sono!'

“Biasa, Dewa lagi betingkah, minta dijemput padahal udah ada supir yang standby 24 jam.”

'Waah! Perbudakan itu namanya! Jam kerjanya enggak manusiawi banget! Masa orang disuruh kerja 24 jam?'

“Saya pergi, ya, Na.”

'SILAKAN!'

“Diminum dulu, Mbak, tehnya. Kasian Bi Rahmah udah capek-capek bikin,” sergahku sebelum dia beranjak.

Meski terlihat sungkan, dia akhirnya meminum teh yang disuguhkan. Cara minumnya benar-benar elegan meski kentara sekali bahwa dia sedang buru-buru.

Huh, aku menyesal karena dulu tidak meminta Mama untuk mencarikanku kelas tata krama orang kaya. Aku merasa kalah telak dengan Vivian dari segi eleganitas.

Setelah berpamitan, dia turun ke bawah tanpa kuantarkan. Dia sendiri yang melarangku mengantarnya, katanya perempuan hamil harus banyak-banyak istirahat. Aku mengiakan saja meski sebenarnya tidak setuju. Sejauh yang kutahu, ibu hamil justru diminta banyak bergerak agar tetap fit.

Kepergiannya meninggalkan banyak tanya di pikiranku. Pertama, seakrab apa dia dengan Jevin hingga kanebo kering itu bercerita tentang kehamilanku, padahal dia melarangku memberi tahu keluarga.  Ke dua, apa yang mereka bicarakan saat di telepon tadi sampai Vivian harus menjauhiku? Ke tiga, apa yang membuat Vivian menyembunyikan fakta tentang pengangkatan rahimnya dari sang suami? Apa pengangkatan rahim itu terjadi sebelum pernikahannya?

Ah, sudahlah! Untuk apa aku memikirkan sesuatu yang tidak akan menjadi uang? Lebih baik sekarang aku lanjut bekerja. Setidaknya aku harus berterima kasih pada Vivian, berkat kedatangannya rasa pusing dan mualku menghilang.

Puas menekuri layar laptop sampai mataku terasa pedas dan berair, aku pun beralih sebentar untuk mengambil segelas air putih di meja. Sambil minum, aku memerhatikan jam dinding yang menempel sejajar dengan smart LED TV 55 inch.

“Astaga!” Aku nyaris tersedak melihat jam. “Udah setengah lima?” Aku terbelalak. “Tadi Jevin bilang jam 5 gue udah harus selesai kerja, ‘kan?”

Aku buru-buru menutup semua lembar kerjaku dan mematikan macbook-ku. Sepanjang menekuri layar laptop tadi, aku sama sekali tidak memperhatikan jam digital yang tertera di pojok kanan bawah layar. Aku terlalu konsentrasi menyelesaikan desain template untuk kategori medsos.

Aku buru-buru ke kamar, membiarkan macbook-ku yang masih terbuka di atas meja. Aku harus mandi agar saat Jevin datang nanti dia tidak terlalu lama menunggu selesai berdandan. Maklum, perempuan sepertiku butuh waktu lebih dari satu jam hanya untuk bersolek dan memilih pakaian agar terlihat penuh effort.

Usai memoles bibir dengan lipstic warna peach, aku berpindah ke bagian Korean eyelash extension yang tampak sedikit kurang lentik. Kujepit bulu-bulu palsu itu dengan eyelash curler sampai lentiknya sesuai dengan keinginan. Kutambahkan juga eyeliner agar mataku tampak tegas dan tak mudah diintimidasi siapa pun. Setelah mengoles kelopak dengan eyeshadow satu warna yang senada dengan lipstick, sentuhan terakhir kupoleskan blash on warna peach di tulang pipi.

“Udah pulang, Mas?” tegurku saat Jevin masuk. Udah tau nanya. Aku membalas sendiri karena dia tak merespons. Dia mungkin menganggapku seperti udara yang tak kasat mata.

Kini aku beralih menata rambut. Hari ini, aku menginginkan model rambut yang lurus di atas dan ikal di bawah. Bermodal vitamin rambut dan catokan, aku sedikit memodifikasi rambutku yang aslinya sangat lurus. Ketika aku sibuk mengurusi rambut, dari pantulan cermin aku bisa melihat Jevin lewat di belakangku dan berkata, “Besok kamu harus cek kandungan. Saya temani.”

Entah apa alasan yang membuat tubuhku membeku. Mungkin karena aku tak menyangka Jevin peduli dengan kandunganku atau—mungkin lebih tepatnya—aku terkejut karena mengetahui dia bertidak seperti ini atas suruhan Vivian, bukan atas inisiatif sendiri.

Suara pintu kamar mandi yang tertutup mencairkan kebekuanku. Pundakku merosot lesu dan mataku menatap layu ke dalam cermin.

'Kayaknya bener, deh, Mas Jevin sama Vivian ada something.'

Aku menghela napas dan meletakkan catokan sedikit keras.

'Kenapa, sih, issue rumah tangga di mana-mana selalu sama? Enggak di dunia nyata, dunia maya, sinema azab ilahi, sinetron, sampai drama Korea isinya selalu aja sama, perselangkangan dan perselingkuhan!'

Ah, mungkin terlalu vulgar jika aku menyebut demikian, pasalnya aku belum mengetahui sejauh apa hubungan antara Jevin dan Vivian. Bisa jadi keduanya hanya berhubungan dekat—sama-sama punya perasaan tapi tidak bisa saling memiliki.

Tck! Tapi tetap saja aku tidak bisa mengenyahkan dugaan kalau hubungan mereka sudah mencapai tahap perselangkangan. Apalagi Jevin selama ini tidak pernah bersikap hangat padaku, ‘kan?

Tck! Cuek ajalah! Ngapain ngurusin mereka? Toh, Mas Jevin enggak mengurangi jatah nafkah lahir dan ....

Otakku yang terlewat cerdas ini mendadak mengaitkan apa yang terjadi hari ini dengan tiga persyaratan yang diajukan Jevin 5 jam setelah kami menikah. Jangan-jangan syarat berhubungan intim setiap Senin dan Kamis itu dibuat untuk memberikan jatah utama kepada Vivian?

Wah, kalau dugaan gue benar, Mas Jevin berarti kanebo brengsek!

Aku beranjak dari bangku dengan suasana hati yang kacau. Kubuka pintu ruang ganti pakaian. Kuambil satu set pakaian dalam yang terdiri dari underwear, bra, garter belt, hingga stocking super tipis yang warnanya senada dengan kulitku. Kutanggalkan seluruh pakaian dengan hati yang dongkol.

Meski tidak ingin mengakui, aku menyadari dan memahami sepenuhnya bahwa aku cukup terganggu dengan dugaan perselingkuhan suamiku. Ya, seharusnya aku memang tidak terganggu. Toh, jatah nafkah untukku tak berkurang sama sekali. Aku tidak dirugikan meskipun Jevin memiliki dua atau tiga selingkuhan di luar sana. Jevin itu anak orang kaya. Dia punya bisnis sendiri yang sekarang tengah berkembang pesat. Dia tidak akan kekurangan uang untuk membiayai istri dan selingkuhannya. Namun, entah kenapa aku tidak bisa membantah bahwa aku ... sakit hati.

Selesai memakai dalaman, aku buru-buru memasang black dress lengan tali spagetti yang panjangnya hanya setengah paha. Setelah itu kuambil beberapa perhiasan seperti anting, kalung, gelang, dan cincin, serta perlengkapan lain seperti handbag, dan heels. Aku keluar ruang ganti dengan tangan penuh berisi barang.

Saat aku keluar, Jevin berdiri bersandar di tembok samping pintu. Dia tidak akan masuk ke ruang ganti kalau aku di dalam. Mungkin pelanggaran privacy adalah salah satu hal yang dihindarinya meskipun kami jelas-jelas suami-istri.

Biasanya, aku akan menyapanya setiap kali bertemu pandang di ambang pintu. Kali ini, aku malas menatap wajahnya. Malas pula menyapa atau pura-pura tersenyum. Aku bahkan meninggalkan kamar dan memilih memasang semua perhiasan di sofa ruang keluarga.

“Eh, dari tadi HP gue ketinggalan di sini, ya?” gumamku saat memasang heels dan menatap HP di meja. Benda kesayanganku itu masih berbaring sexy di samping macbook.

Selesai memasang perhiasan, aku memeriksa HP dan mendapati 5 chat masuk dari Armand. Chat itu masuk jam 4 sore atau sekitar satu setengah jam yang lalu.

Armand Mustafa :

Ping

Ping

Ping

Pong

Gue bete! Help me!

“Sampah! Kebiasaan banget nge-chat isinya cuma ‘ping-pong’,” gerutuku sambil memikirkan balasan.

Aku :

I’m busy, kampret!

BTW, bete knp lo?

Kupikir Armand tidak akan langsung membalas mengingat chat-nya sudah berlalu hampir dua jam. Dia juga tidak online saat aku mengetik balasan. Oleh sebab itu aku cukup kaget mendengar notifikasi chat khusus Armand, yakni reffrain lagunya Ayu Ting-Ting berjudul Geboy Mujaer.

Digeboy-geboy mujaer, nang-ning-nong, nang-ning-nong.

Armand Mustafa :

Laki lo udah balik?

Pertanyaan itu membuat keningku mengernyit.

Aku :

Kenapa nanyain laki gue?

Ada noh lg ganti pakaian?

Mau gue videoin?

Armand Mustafa :

Iyuuuuh! GAK

Emangnya akika cowok apose?

Awalnya aku masih bisa terbahak membaca chat Armand. Namun, sepersekian detik kemudian, nyawaku seakan tercabut dari ubun-ubun setelah membaca chat berikutnya.

Armand Mustafa :

Lo udh tau blm kalo laki lo bilang ke Bos Yudha kalau seminggu lagi lo mau resign?

“WHAT THE ...?” Aku terlonjak dari sofa dalam keadaan mata melotot menatap HP. “He’s crazy!” pekikku dengan emosi yang melonjak tajam.

“Who is crazy?”

Aku menoleh dan mendapati kanebo gila itu sedang berdiri dengan kedua tangan tersimpan dalam saku celana. Astaga, tampang datarnya itu membuatku ingin melempar HP ke wajahnya.

Brengsek! Bisa-bisanya dia mengatur hidup dan matinya karir gue! Gue enggak pernah protes kalau dia pulang malam. Selama ini, gue juga enggak pernah kepoin kehidupan pribadinya, tapi kenapa, sih, dia musti bersikap seenaknya mengatur kehidupan gue? Apa karena gue istrinya? Apa karena istri harus nurut sama suami? Apa karena status sosial gue berada di bawahnya? Oh, come on, man! Gue enggak miskin-miskin amat! Gue enggak bisa diinjak-injak gini! Kalau dia memang lagi pengin cari gara-gara buat menjatuhkan talak ke gue, mending talak aja sekarang!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status