Share

JANGAN GEER

“Hello, Mam!” sapaku seraya ber-cipika-cipiki dengan Mama mertua yang cantik membahana. Dia langsung menyambutku yang baru saja melangkahi pintu. Dia bahkan tidak menyapa putranya yang ‘nyelonong’ masuk tanpa menyapa.

'Huh! Dasar anak 'dulhakim'! Masa orang tua sendiri enggak disapa?'

“How are you, Honey? Fine? Jevin kasih treatment dengan baik, ‘kan?” tanyanya sembari memegang kedua lenganku.

“Yes, of course, Mam! Coba aja kalau misalkan dia enggak nge-treat aku dengan baik, huh! Aku bejek-bejek, tuh, pasti,” jawabku senormal mungkin.

Aku ini bukan anak remaja labil yang suka mencurhatkan praduga kelakuan busuk suamiku kepada mamanya. Aku bukan perempuan melodrama yang cocok meniti peran sebagai sosok protagonist. Aku adalah Jena, perempuan selow dan santuy yang menghadapi masalah tanpa menimbulkan masalah. Anti diinjak-injak, tapi tidak balas menginjak-injak. Intinya, aku tidak akan menceritakan masalah rumah tanggaku kepada mertuaku.

Syukurlah Mama Jennie tidak berkarakter antagonist. Dia tidak seperti mertua yang digambarkan di sinema azab Ilahi. Dia perempuan ramah yang selalu menyambutku dengan pelukan hangat. Ya, bisa dibilang Mama Jennie adalah karakter mertua idaman. Lihatlah sekarang! Dia malah tertawa seakan-akan ucapanku tadi adalah lawakan.

“'Bejek' aja ‘senjata’-nya, Na. Biar 'keder'. Mandul-mandul, deh.”

Nah, dengar sendiri, ‘kan? Jawabannya lebih mengerikan dari ucapanku yang sebelumnya.

“Eh, tapi kamu gemukan, ya, sekarang,” tegur tantenya Jevin yang sedari tadi berdiri di sebelah Mama Jennie. “Udah isi belum, sih?” tanyanya ketika menarikku ke dalam pelukan.

'Udah, Tan, tapi si blekuk itu enggak kasih izin go public.'

“Doain yang terbaik aja, Tan,” jawabku lain di mulut, lain di hati. “Om Sugara enggak ikut?” tanyaku, mencoba mengalihkan topik setelah pelukan kami terurai. Topik tentang kehamilan ini terlalu riskan jika diteruskan.

“Ada. Tadi kayaknya ke toilet, deh.” Tante Manda celingukan menatap ke belakang seperti mencari keberadaan suami yang diragukan keberadaannya. “Lagi diare dia.”

“Diare? Serius?” tanya Mama Jennie yang langsung mendapat anggukan dari Tante Manda.

'Bagus! Bahas aja, tuh, topik diare sampai kenyang. Semoga aja kalian lupa sama topik ‘hamilan-hamilun’.'

“Makan pucuk daun jambu muda aja.”

Saran Mama Jennie langsung mengundang ringisan kecut dari Tante Manda.

“Ngeri amat, Jen. Laki gue bukan kambing kali. Kayak enggak ada obat lain aja.”

“Eeeh, jangan salah, loh, Man. Gue tiap kali Papanya Jevin diare, langsung gue jejelin pucuk daun jambu. Masa bodohlah dia mau protes kayak gimana, yang penting dia cepat sembuh dan...” Mama Jennie berhenti sebentar dan mendekatkan wajahnya ke telinga Tante Manda, “enggak ngerepotin,” lalu tertawa bersama sambil menutup mulut.

'Hadeeeh! Dasar emak-emak! Enggak rakyat jelata, enggak sekelas ratu sejagat, tetap aja sama suami kayak gitu, selalu merasa direpotin. Untung gue enggak. Haha!'

Saat keduanya tertawa dan memperbincangkan suami mereka, aku mengedarkan pandangan ke arah ruang tamu yang berada di sisi kiri rumah, mencari keberadaan si kanebo kering. Kupikir dia sedang kongko-kongko bersama Papa, Om, dan sepupunya yang memenuhi sofa, ternyata dia sedang duduk sendirian di undakan tangga sambil memainkan HP.

'Jangan-jangan lagi chatting-an sama Vivian. Ngobrolin apa, ya? Jangan-jangan habis ini mau ketemuan. Lah? Kalau beneran gimana? Gue pulang sama siapa? Masa minta anterin sama supir Mama Jennie, sih? Malu-maluin banget, ‘kan?'

'Ah, bodo amatlah!'

“Ma, aku bantu ke dapur dulu, ya,” kataku yang menyerobot keheningan yang sempat terjadi di antara Mama Jennie dengan Tante Manda.

“Oh, barengan aja,” jawabnya yang langsung menggandengku menuju lorong dapur yang berada di sisi kanan pintu masuk.

Aku sempat melirik Jevin saat kami kebetulan bertemu pandang selama beberapa detik. Aku langsung mendengus dan membuang muka, muak melihat wajahnya yang superflat itu. Aku benar-benar ‘gedeg’ dengan responsnya ketika diajak berdiskusi tadi—ah, mungkin lebih tepat bila disebut berdebat. Ya, saat di perjalanan tadi aku mendebat tindakannya yang memutuskan persoalan resign-ku tanpa berdiskusi lebih dulu.

Aku memang pernah berpikir untuk resign saat mengingat cerita teman-temanku yang sudah menikah tentang bagaimana beratnya penderitaan mereka di trimester pertama kehamilan. Baru dua hari WFH saja aku sudah dibebankan banyak pekerjaan yang membuatku migrain. Aku tidak terbayang jika nanti saat perutku sudah besar Bos Yudha memberiku pekerjaan yang lebih berat. Apalagi orang-orang kantor dan Bos Yudha juga tidak mengetahui kehamilanku, ‘kan?

Namun, kekhawatiranku ini tidak lantas membuatku berpikir untuk serta merta mengundurkan diri. Aku masih ingin bekerja. I love my job! I love my passion! By working I feel more alive. Itulah yang membuatku keberatan jika Jevin benar-benar memintaku resign.

Lagipula, bukankah beberapa waktu yang lalu dia tidak mengizinkan resign? Dia bilang kalau mencari graphic designer itu sulit. Lantas, mengapa sekarang aku dikeluarkan tanpa diskusi sama sekali?

Tahukah kalian bagaimana respons si kunyuk itu ketika aku membahas masalah ini?

“Saya benci melihat muka lelah kamu saat saya pulang ke rumah.”

Wow! Jawaban yang sangat kesultanan sekali, ‘kan? Dia benci melihat wajah perempuan yang sebentar lagi akan memberinya keturunan?

Berengsek banget memang!

Kemudian ketika aku bersikeras tidak ingin resign dan mengemukakan alasan panjang x lebar x tinggi = luas, dengan mudahnya dia mengangkat bahu dan bilang, “Whatever!” Aku bersumpah, detik itu juga aku langsung melempar handbag-ku ke wajahnya. Namun, dia dengan santainya mengembalikan handbag-ku seolah lemparanku tadi tidak menyakiti wajahnya.

Melihat resposnya justru membuatku merasa bersalah karena jelas-jelas aku menyakiti wajahnya, tapi dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Sejak detik itu, aku memutuskan untuk diam, meskipun sebenarnya aku masih penasaran, apakah dia tetap pada keputusannya untuk memberhentikanku bekerja atau tidak.

“Woaaah!”

Aku bergumam takjub melihat para asisten rumah tangga yang mengenakan seragam seperti chef sedang menjarah dapur keluarga Adendra yang sudah seperti dapur restoran. Mereka bergerak lincah ke sana kemari untuk mempersiapkan jamuan yang akan diadakan di rooftop. Melihat banyaknya jumlah mereka yang mungkin lebih dari sepuluh orang membuatku berkeyakinan bahwa tidak ada yang membutuhkan bantuanku.

“Coba kalian cicipi buatan mereka. Siapa tau ada yang keasinan atau kebanyakan merica,” kata Mama Jennie ketika kami bertiga mendekati stainless table.

Seorang perempuan muda datang menghampiri kami. Dia membawa troli berisi tiga buah piring yang terdiri dari appetizer, main course, dan dessert. Sumpah, platting-annya cantik banget! Aku sampai speechless dan tidak tega memporak-porandakan seni yang mereka ciptakan. Ini memang bukan pengalaman pertamaku mencicipi hidangan di rumah keluarga Adendra. Aku bahkan pernah disuguhi hidangan yang membuat mood-ku meningkat tajam. Namun, kali rasanya sungguh berbeda karena Mama Jennie dan Papa Adendra mengundang seluruh sanak saudaranya, membuat dinner malam ini terasa sangat spesial.

Aku diberikan satu piring kecil kosong dan sendok untuk mencicipi ketiga hidangan. Saat aku hendak menyedok appetizer yang aku tidak tahu apa namanya, Mama Jennie tiba-tiba beristighfar dan menepuk pelan pundakku. Aku menatapnya tanpa bertanya. Tatapan dan ekspresiku mungkin sudah cukup mewakili pertanyaan yang tidak kuucapkan.

“Mama lupa ngundang orang tua kamu, Jena.” Dia tampak sangat menyesal. Kupikir dia tidak sedang berakting lupa. “Bentar, ya.” Dia meletakkan piring dan sendoknya ke meja. “Mama mau telepon mereka dulu. Semoga aja mereka bisa datang,” katanya seraya berjalan pergi tanpa menunggu jawabanku. Ah, sebenarnya aku juga malas memberikan jawaban. Biarlah Mama Jennie sendiri yang mengundang orang tuaku karena ini adalah acaranya, bukan acaraku.

“Ini apa, sih? Risoles, ya?”

Pertanyaan Tante Manda kepada ART muda itu membuatku terdistraksi dari kepergian Mama Jennie. Aku menatap sendok Tante Manda yang sedang menekan-nekan makanan berbentuk segi tiga. Dari bentuk dan tampangnya, kupikir itu memang risoles.

“Iya, Bu. Isinya ada mayonise, smoked beef, ayam, kentang, wortel, jagung, daun bawang, seledri, dan telur rebus,” terangnya cukup rinci.

“Oh, complicated juga, ya, isinya. Tapi umum, kayak enggak ada effort. Tampilannya doang yang cetar badai.”

Seandainya aku berada di posisi ART, mungkin aku akan melempar risoles itu ke wajah Tante Manda. Aku cukup tersinggung dengan kata ‘doang’ yang seakan menjadi pelengkap hinaannya. Ucapannya terdengar sangat tidak menghargai apa yang dilakukan oleh mereka yang sudah bekerja keras.

Ya, sudahlah! Aku tidak peduli! Sekarang aku hanya ingin mencicipi rasanya. Aku tidak boleh membiarkan air liurku menetes keluar hanya gara-gara ngiler melihat tampilan luarnya yang begitu menggoda.

“Emmmmm, ya Tuhan ini enak banget!” pujiku setelah merasakan kelezatan hidangan pembuka yang baru saja kucicipi. Mayonise-nya tidak terlalu asam dan sangat lembut. Garam dan mericanya pas. Manisnya juga dapat. Mungkin dari jagung manis. Meskipun hidangannya sangat biasa, rasanya benar-benar istimewa.

“Good!” Tante Manda manggut-manggut, mengakui kelezatan hidangan yang sempat dipandang sebelah mata.

“Astaga!” Aku terkinjat sambil memegang dada. Aku juga refleks memboyong badan ke arah Tante Manda gara-gara kemunculan Jevin yang benar-benar mengagetkanku. “Kenapa muncul kayak jelangkung, sih? Permisi dulu bisa, ‘kan?” omelku pada Jevin yang sedang memperhatikan makanan.

Aku benar-benar tidak menyadari, kapan lelaki itu berdiri di sebelahku. Langkah kedatangannya tidak terdengar sama sekali.

Berbeda denganku yang mengalami sport jantung dadakan, orang yang kuomeli malah menggedikkan bahu tak acuh. Dia mengambil piring dan sendok yang tadinya dipegang mamanya, lalu ikut mencicipi risoles.

“Gimana, Vin? Enak?” tanya Tante Manda. Dia menatap Jevin penuh harap seolah komentar lelaki itu sangat berarti untuk keabsahan hidangan.

Jevin tidak merespons lebih dari sekadar anggukan. Dia memang tidak pemilih kalau soal makanan. Dia tidak pernah protes disuguhi apa pun, mungkin jika batu sekalipun.

“Kalau kamu enggak protes berarti risolesnya memang enak,” kata Tante Manda yang membuatku berdecih dalam hati. Dia beranggapan bahwa pendapat Jevin menentukan segalanya, padahal dia sendiri tadi sudah mengakui kelezatan risoles itu.

'Tante Manda enggak tau aja kalau Jevin itu enggak tau apa-apa soal rasa.'

“Next, main course-nya,” kata Tante Manda sambil menarik piring berisi steak. “Yuk, kita icip lagi,” ucapnya penuh semangat.

Berbeda dengan saat mencicipi risoles yang penuh antusias, kali ini aku mendadak kehilangan selera. Aroma panggangan daging itu membuat perutku bergejolak.

'Tck, enggak bisa, nih. Bahaya kalau gue sampai mual di sini. Tante Manda, ‘kan, pengalamannya segudang. Dia pasti ngeh kalau gue hamil walaupun cuma gue mual.'

Aku meletakkan piring dan sendok, lalu sedikit menyerongkan badan ke arah Tante Manda. “Maaf, Tan, aku ke toilet, ya. Mules,” kataku penuh dusta. Aku bahkan berakting sakit perut dengan cara mengusap perutku dengan gerakan memutar dan mengerucutkan semua bagian wajahku. Masa bodoh jika wajahku dibilang jelek! Siapa yang peduli soal muka di situasi seperti ini?

Setelah Tante Manda mengangguk, aku langsung angkat kaki meninggalkan dapur, tak sudi berada di pijakan yang sama dengan Jevin. Selagi bisa menghindar, maka aku akan menjauhinya sebisaku. Aku nyaris menghentikan aktingku dan mengembalikan raut mukaku seperti semula andai saja tidak berpapasan dengan Mama Jennie.

“Mau ke mana, Jena?” tanyanya sambil memegang lenganku.

“Toilet, Ma. Tiba-tiba mules.”

“Loh, kenapa? Gara-gara makanannya, ya?” tebaknya yang langsung kusanggah dengan gelengan.

“Udah dulu, ya, Ma. Aku buru-buru.” Aku mendramatisir akting mulasku yang berhasil membuat Mama Jennie menyuruhku buru-buru pergi.

Meskipun mulas ini hanya pura-pura, aku tetap pergi ke toilet untuk menenangkan diri. Ya, menenangkan diri. Didekati oleh kanebo kering tadi membuat mood-ku berantakan. Aku memang melupakan permasalahan resign. Namun, melihatnya memainkan HP di tangga tadi membuatku kembali memikirkan hubungannya dengan Vivian.

'Yaelah! Kok, mules beneran? Pasti gara-gara duduk di atas kloset, nih. Klosetnya manggil-manggil minta dipakai.'

Setelah menuntaskan hajat dadakan yang baru datang saat duduk di kloset, aku akhirnya keluar toilet tanpa memuntahkan isi perut. Aneh memang, bukannya muntah, aku justru membuang hajat. Mungkin ini karma dari dustaku yang jadi kenyataan. Tapi, baguslah! Dengan begitu, aku jadi tidak terhitung dusta, ‘kan?

Begitu membuka pintu toilet, aku nyaris terkena serangan jantung untuk yang ke dua kali dalam sehari. Sepertinya malaikat maut sedang mengingatkanku bahwa kematian bisa datang kapan saja dan di mana saja.

“Kenapa ada di sini lagi, sih?” tanyaku setengah mengomel dan mengelus dada untuk menenangkan jantungku yang kelabakan.

“Saya cuma mau ngingetin, jangan kasih tau siapa pun soal kehamilan kamu,” jawabnya dengan irama, tatapan, dan ekspresi yang sama datarnya. Kedua tangannya bahkan terkantong rapi dalam celana.

'Maunya apa, sih? Vivian dikasih tau, tapi keluarga enggak. Apa, sih, arti Vivian buat dia?'

Aku menghela napas sambil merotasikan bola mata.

'Repot-repot nyamperin ke sini cuma buat mastiin gue tutup mulut? Tck-tck-tck! Keterlaluan banget memang!'

“Ya-ya-ya-ya!” Aku mengangguk. “I’m not senile! Aku ingat apa aja yang enggak dan boleh kulakuin sebagai istri Jevin,” balasku rada-rada malas.

“Pertama enggak boleh tanya ke mana, di mana, dan sama siapa. Dua bersedia ‘digauli’ sebanyak dua kali dalam seminggu, tepatnya di hari Senin dan Kamis. Tiga istri diwajibkan melahirkan empat anak dalam kurun waktu lima tahun. Jika dalam waktu setahun pernikahan Istri enggak bisa kasih anak, Suami berhak menjatuhkan talak satu,” ejaku sambil menyatukan kedua tangan di bawah dada. Aku ingin menunjukkan bahwa ingatanku tidak perlu diragukan.

“Ah!” Aku menjentikkan jari. “Mungkin sekarang tambah lagi aturan yang harus dimasukkan dalam paper; enggak boleh kasih tau siapa pun kalau aku hamil.” Aku mengangguk seakan itu adalah ide kreatif yang patut diapresiasi. “Mungkin nanti bakal nambah lagi aturan baru; aku enggak boleh keluar rumah sampai melahirkan supaya enggak ada satupun orang yang tau bahwa aku hamil. Itu, ‘kan, alasan kamu nyuruh aku resign? Kamu takut orang-orang kantor lihat perut aku yang membesar atau dengar aku muntah-muntah?” tuduhku dengan sebelah alis terangkat.

Ekspresinya yang tetap datar membuatku mengambil kesimpulan bahwa semua tuduhanku benar dan itu membuatku tertawa miris. Lucunya, entah kenapa hatiku malah merasa tercubit. Hal yang kuinginkan adalah setidaknya Jevin menggelengkan kepala meski hanya berdusta. Bukankah kebohongan akan terasa manis bagi orang yang dibohongi? Apa salahnya memberiku hal yang manis-manis? Toh, itu semua tidak akan membuatnya mati, ‘kan?

Aku menghela napas untuk mengurai rasa sesak yang mendadak memenuhi dada. Kuurai lipatan kedua tanganku, lalu kukibaskan rambutku. “Okay, setelah kerjaanku selesai, aku bakal resign dan liburan ke luar negeri,” putusku. “Aku bakal pergi sejauh yang kubisa supaya orang-orang; keluarga dan tetangga, enggak ada satu pun yang tau kalau aku hamil. Kamu tenang aja.”

Lagi-lagi aku merasakan cubitan yang menyakitkan di ulu hatiku. Sumpah, aku tidak tahu bahwa kehamilanku bagaikan aib yang harus ditutup rapat. Aku bahkan tidak tahu, kenapa aku mengalah dan berinisiatif meninggalkan negaraku sendiri hanya untuk menuruti keinginan Jevin.

Untuk pertama kalinya aku melihat kening Jevin berkerut meski hanya sepersekian detik. Apakah itu pertanda bahwa dia tidak sependapat dengan ucapanku?

Ah, masa bodoh! Aku ingin liburan ke luar negeri, sendirian, dan melewatkan masa kehamilanku tanpa menatap wajahnya yang menyebalkan. Aku bisa mengurus semua keperluanku sendiri. Aku tidak membutuhkannya. Aku bahkan bisa melahirkan sendiri. Bukankah segala sesuatu tentang kehamilan dan melahirkan dapat dipelajari dari internet dan YouTube?

“Bye!” ucapku seraya melambaikan jari sebelum pergi. Aku berjalan tanpa ada niatan menoleh sedikit pun. Kusatukan kembali kedua tanganku di bawah dada yang  entah kenapa merasa sesak. Sialnya lagi, kedua mataku juga mendadak digenangi air.

'Ah, sialan! Masa gara-gara ini doang gue jadi mewek, sih? Enggak strong banget!'

Aku menadahkan wajah dan mengipas-ngipasi mataku yang berair, berharap bahwa genangan ini bisa segera surut tanpa upaya yang berarti. Setelah merasa lebih baik, aku pun mengembalikan posisi wajah. Namun, langkahku mendadak membeku saat melihat Vivian melangkahi pintu utama bersama lelaki setampan Song Joong Ki. Di depan mereka, ada sepasang orang tua yang sedang berpeluk hangat dengan Papa Adendra. Melihat adegan itu saja sudah cukup membuat otakku yang cerdas bisa mengambil kesimpulan bahwa pasangan orang tua itu adalah mertua Vivian dan lelaki yang digandengnya adalah suaminya.

'Apa mereka diundang juga? Setau gue, dinner malam ini, ‘kan, cuma buat keluarga besar Adendra doang. Tadi Mama Jennie bahkan nyaris kelupaan ngundang orang tua gue. Terus, ngapain keluarga itu ada di sini?'

Entah kenapa aku sangat refleks mengembuskan napas. Aku seperti orang yang kelelahan, padahal tidak melakukan aktivitas berat.

'Tapi, bagus juga, sih, kalau misalkan Vivian beneran selingkuh sama Jevin.'

Entah kenapa aku kembali teringat dugaan perselingkuhan. Aku bahkan tersenyum meski bukan jenis senyuman bahagia.

'Kalau misalkan cowok seganteng Song Joong Ki itu mau, gue enggak bakal nolak kalau dia minta gue jadi partner selingkuhannya meskipun cuma dalam rangka balas dendam.'

“Ngapain senyum-senyum sendiri? Gila?”

Untuk yang ke tiga kalinya dalam sehari, aku nyaris terkena serangan jantung lagi. Jevin rupanya sedang menguji ketahanan jantungku. Dia muncul dan berdiri tepat di sebelahku tanpa kusadari sama sekali. Aku heran, seringan apa langkahnya sehingga aku tak pernah mendengar derap sepatunya sama sekali.

“Iya. Aku gila. Kenapa? Malu punya istri kayak aku?” sahutku ketus sambil melengos berbalik arah. Rencananya aku ingin kembali ke dapur, malas menghampiri keluarga Vivian. Namun, aku membeku di tempat dalam keadaan badan terpulas karena tak sempat berbalik sempurna. Penyebab kebekuanku adalah ... tangan Jevin yang menggenggam lengan kananku.

'Ini orang kenapa lagi? Kenapa megang-megang tangan gue? Demi apa coba? Nyebrang aja gue enggak pernah digandeng. Tck! Jantung gue juga kenapa lagi? Kenapa pakai acara cenat-cenut kayak ABG labil yang jatuh 'centong', sih? Duuuuh, sadar, Jena! Sadar! Mungkin dia cuma mau bikin selingkuhannya 'cembokir'. Lo jangan 'geeruddin!'.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status