"Thankyou, Mas. Kamu baik juga ternyata," ucapku seraya menyandarkan punggung dan kepala ke dashboard ranjang.
Aku membenahi jubah lingerie-ku yang terbuka di bagian paha. Sebenarnya aku bisa membiarkannya terbuka begitu saja. Namun, mengingat hari ini bukan hari dimana aku seharusnya mendapat jatah 'kepuasan', maka aku memilih menjaga diri. Jika mengumbar tubuh seperti tadi maka akulah yang tersiksa karena tidak mendapatkan jamahannya. Jevin benar-benar tidak menyentuhku selain hari Senin dan Kamis.
"Duuuuh, kamu, kok, sweet banget, sih, Mas? Coba kamu sering-sering kayak gini. Bisa mealting terus aku," ucapku saat Jevin menutupi kaki sampai pangkal pahaku dengan selimut.
Seperti biasa, lelaki itu tak berniat menanggapi ocehanku yang tidak bermutu. Mata sipit itu jarang menatapku sekalipun kami berhadapan sedekat sekarang. Ekspresinya juga tak berubah, masih kaku seperti kanebo kering.
"Mas, bikinin jus alpukat, dong!" pintaku seraya merengek manja.
Jevin berdiri tegak, lalu merogoh kantong dan mengeluarkan HP. Bisa kutebak kalau dia menelpon Bi Kinta, Asisten Rumah Tangga yang bekerja di rumah kami-ralat-rumah Jevin. Terlalu berlebihan jika mengakui rumah yang kutinggali sekarang adalah rumahku hanya karena aku telah menikahi pemiliknya. Biarpun materialistis, aku tetap tahu diri.
"Buatkan jus alpukat! Enggak usah pakai es! Jangan pakai gula!" perintah Jevin lewat HP.
"Hah?" Aku membelalak nanar. "Kalau enggak pakai gula pahit, Mas. Aku enggak mau!" tolakku sambil membuang muka dan menyatukan kedua tangan di bawah dada.
"Gulanya diganti pakai gula rendah kalori." Dia meralat perintah pada orang yang ditelepon.
Aku kembali menatapnya dengan mata berbinar. "Banyak-banyak, Mas! Biar manis," request-ku yang hanya ditanggapinya dengan tatapan datar.
Dia memutuskan sambungan tanpa menyampaikan request-ku. Setelah itu, dia berjalan mengitari ranjang dan berbaring di sebelahku. Dia membalut kaki sampai dadanya dengan selimut, barulah kemudian memejamkan mata.
Momen yang paling kusukai saat bersama Jevin adalah memandangi lelaki itu tidur. Dengan mata terpejam seperti itu, entah kenapa wajahnya begitu menggemaskan, padahal pipinya tidak chubby. Mungkin karena bentuk wajahnya yang baby face kali, ya. Dia juga bersih, putih, mancung, dan satu lagi ... besar. Besar badannya maksudku. Hi-hi-hi. Tapi 'itu'-nya juga, sih.
Beberapa saat yang lalu, tepatnya setelah makan malam, aku baru saja mengganti pakaian normal menjadi lingerie ungu muda. Namun, baru beberapa langkah keluar kamar ganti, aku mendadak mual dan berakhir muntah-muntah di wastafel kamar mandi.
Berhubung pintu tidak terkunci, Jevin yang tadinya bersantai di balkon akhirnya mendatangiku. Dia menepuk-nepuk punggungku dan memijat tengkuk leherku. Dia juga memapahku dan membantuku bersandar di ranjang. Meski tidak berkata apa-apa dan wajahnya tetap datar-datar saja-tidak menunjukkan raut kekhawatiran sama sekali-tapi, tindakannya sudah cukup membuatku senang dan merasa sedikit diperhatikan.
"Mas, aku resign aja boleh enggak?" tanyaku coba-coba. Semoga saja dia menanggapi.
"Nyari graphic designer itu sulit," jawabnya tanpa membuka mata.
Aku girang bukan kepalang mendengar jawabannya. Bukan karena aku merasa berarti atau dipertahankan. Hanya saja, aku senang karena ditanggapi. Selama ini Jevin lebih sering mengabaikan pertanyaanku, jadi kalau dia memberikan tanggapan menurutku itu sangat membahagiakan.
Kini aku excited mengulas topik ini. Sepertinya akan lebih seru kalau kami berbincang sambil touching-touching.
"Gampang, Mas," ujarku sambil melongsorkan badan. Aku berbaring miring menghadapnya. Kepalaku kutopang dengan tangan kiri, sementara tanganku mengelus-elus dadanya yang tertutup piyama. "HRD, 'kan, bisa pasang pengumuman di medsos. Pelamarnya pasti bejibun. Yakin, deh."
Tak ada respons. Lelaki itu bungkam dan membuatku memberungut.
"Ngomong, dong, Mas!" pintaku sambil menyentuh lapisan bibirnya yang tipis. "Mas! Mas Jevin! Mas! Kucium, nih! Mas!"
Bukannya menyerah dan bicara dia malah membalik badan memunggungiku. Tepat pada saat itu, ketukan pintu menggema mengisi sunyi.
"Masuk!" titahku yang malas berjalan membuka pintu.
Mengenakan daster biru laut, Bi Kinta masuk membawa segelas jus alpukat yang kelihatannya menggiurkan. Aku bangun dengan mata berbinar menunggu kedatangan jus kesukaanku itu.
"Makasih, ya, Bi," ucapku sembari menyambut gelas.
Bi Kinta merogoh saku dasternya. "Ini gula tambahannya, Mbak. Siapa tau kurang manis," ucapnya seraya memberiku dua bungkus gula rendah kalori.
"Waaah! Bi Kinta memang paling aware sama aku," ucapku saat menerimanya dengan senyuman riang.
"Mbak mau saya bawakan kue?" tawarnya.
"Kue apa?" tanyaku sambil menurunkan kaki dan meletakkan gelas jus di atas nakas.
"Cheese cake yang tadi Mbak beli."
Aku ber-oh panjang, lalu menggeleng. "Enggak usah, Bi. Eneg. Udah kebanyakan. Bibi aja yang habiskan."
Setelah mengangguk, Bi Kinta pamit keluar. Aku pun meminum jus alpukatku yang standar manisnya sudah pas. Gula shacet yang diberikan Bi Kinta pun tidak terpakai.
"Mas Jevin udah tidur?" tanyaku setelah menghabiskan separuh gelas. Aku menatap punggungnya yang lebar. "Mas mau ngabisin enggak? Sisa separuh, nih. Aku udah eneg."
Sumpah, aku hanya berbasa-basi. Kupikir dia akan mengabaikanku seperti tadi. Ternyata dia bangun dan mengulurkan tangan bermaksud meminta gelas.
Ah, aku sudah kepalang basah. Ingin mengabaikan, tapi sudah telanjur menawarkan. Akhirnya dengan sangat berat hati kuserahkan gelas jusku dan mencoba tersenyum selebar mungkin agar tidak kentara bahwa aku tidak rela.
Setelah menerima gelas, dia menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya. Aku mengartikannya sebagai permintaan agar aku mendekat. Dengan senang hati aku merangkak dan memepet badannya. Aku bahkan menggamit lengannya dengan erat dan menopangkan daguku di pundaknya.
Dia diam saja, tidak protes dengan tindakan ekspresifku. Dia meminum jus alpukat dengan tenang dan tanpa ekspresi. Namun, baru dua tegukan dia sudah berhenti dan mendaratkan bibirnya ke bibirku.
Aku sempat tertegun, merasakan ritme jantungku yang berdetak tidak normal. Jevin jarang mencium bibirku. Sekalipun aku menggodanya sampai kepayahan, dia tidak akan bereaksi jika bukan hari yang ditentukan, yakni Senin dan Kamis.
Kini aku membuka celah karena merasakan dorongan bibirnya. Aku yang sempat memejamkan mata terpaksa membukanya lagi gara-gara merasakan ada sesuatu yang ditransfer Jevin ke mulutku. Aku sontak melepaskan diri dan memukul dadanya.
"Kurang ajar banget kamu, Mas! Jusnya bekas mulut kamu. Jijik tau enggak!" omelku tersungut-sungut sambil menyapu bibir, padahal jus yang tadi masuk sudah kutelan habis.
Sebenarnya tidak seburuk itu. Aku tidak merasa jijik sama sekali. Hanya saja aku sedikit khawatir jika kegiatan ini terus berlanjut maka aku akan berakhir seperti cacing yang kurang belaian. Ini baru hari Sabtu, masih ada sisa satu hari lagi sebelum Senin. Namun, satu hari itu bisa saja terasa sangat lama jika ditunggu-tunggu seperti yang sudah-sudah. Bercinta dengan Jevin memang tidak cukup sekali dan sehari. Dia tidak pernah lembut dalam memberikan treatment, tapi selalu sukses membuatku ketagihan.
Syukurlah Jevin bukanlah tipe lelaki sensitif yang mudah tersinggung. Dia hanya menggedikkan bahu mendengar cacianku, lalu menghabiskan jus yang tersisa tanpa bicara. Setelah itu, dia turun dari ranjang dan membawa gelas kosong keluar kamar. Kupikir dia meletakkan gelas kosong ke dapur, setidaknya sampai satu jam dia tak kunjung kembali.
"Ke mana, sih? Kok, enggak balik-balik?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku sebenarnya ingin mengabaikan rasa penasaran itu. Mendingan bobo aja daripada mikirin dia. Lagipula dia udah gede. Enggak perlu dicariin. Begitulah kata hatiku beberapa menit yang lalu.
Namun, alih-alih memejamkan mata dan berlarut ke alam mimpi, aku justru menyibak selimut dan menuruni ranjang. Aku mengambil mantel milik Jevin dari hanger suling yang menempel di tembok dekat nakas. Kupakai mantel itu untuk menutupi lingerie-ku. Maklum, di rumah ini ada beberapa karyawan lelaki seperti supir dan satpam. Siapa tahu mereka tiba-tiba masuk rumah dan kebetulan bertemu denganku. Aku tidak bisa bertanggung jawab kalau milik mereka sampai menegang gara-gara melihat kemolekan tubuhku.
Berpegangan di pagar, aku melongok ke bawah, mengitarkan pandangan ke sepanjang lantai satu. Sunyi dan temaram.
Aku beralih mendatangi ruang keluarga, siapa tahu dia sedang menonton TV di sana. Nyatanya, tempat itu juga kosong dan gelap gulita.
Langkahku berlanjut menuruni tangga yang berliuk, lalu berbelok menuju dapur yang berada di sisi kiri tangga. Aku mengamati pantry dan mendapati gelas bekas jus tadi berada di bak cuci piring.
Berarti dia habis dari sini.
Keyakinanku bertambah kuat saat mengamati lampu dapur yang menyala hampir semuanya.
Terus, mana orangnya?
Aku tidak mendapati siapa-siapa saat mengedarkan pandangan ke penjuru dapur.
Enggak mungkin, 'kan, dia pergi tanpa matiin lampu?
Jevin bukan orang yang pelupa atau teledor. Dia teliti.
Fokusku kini kembali kepada gelas. Aku berniat mencuci gelas itu kalau saja telingaku tidak mendengar suara yang aneh. Mataku terseret ke arah pintu toilet yang berada tepat di samping kulkas. Mataku menyipit dan keningku mengernyit. Kayak suara cowok mendesah, batinku sembari menajamkan pendengaran.
Makin lama makin nyaring. Jelas bahwa itu adalah suara desahan lelaki yang tersiksa ingin menuntaskan birahi.
Siapa? tanya benakku yang dirundung rasa penasaran.
Di rumah ini ada lima lelaki; Jevin, dua supir, dan dua satpam. Keempat karyawan lelaki memiliki asrama sendiri di belakang rumah. Di sana ada toilet dan kamar mandi. Jadi, rasanya tidak mungkin kalau mereka memakai toilet dapur. Namun, bicara soal kemungkinan, kurasa semuanya mungkin-mungkin saja! Lelaki ini, 'kan, ingin memuaskan birahi tanpa ketahuan. Kalau menggunakan toilet atau kamar mandi asrama, bisa-bisa dia ketahuan karyawan lain.
Penasaran, aku pun melangkah pelan mendekati pintu. Kujaga langkahku agar tak terdengar, terlebih sekarang aku memakai sendal bulu yang telapaknya bisa saja bergesekan dengan lantai dan menimbulkan bunyi. Aku menempelkan kuping ke daun pintu sembari menajamkan pendengaran.
Suaranya enggak asing. Mataku memicing tajam. Jangan-jangan .... Aku membelalakkan mata dan membekap mulut agar tidak mengeluarkan suara kaget. Detik berikutnya, hatiku rasanya dilingkupi hawa panas yang membakar karena membayangkan sesuatu yang tidak-tidak.
Tanpa aba-aba, aku menurunkan handle pintu. Sayangnya, pintu dikunci dari dalam sehingga aku tidak bisa memergoki kegiatan binal di dalam sana. Tindakanku serta merta membuat suasana sunyi. Desahan tadi tak terdengar lagi.
"Mas! Kamu sama siapa?" tanyaku seraya menggedor pintu dan mengguncang-guncang handle pintu.
"Mas! Kamu main serong di belakangku, ya?" tuduhku serta merta. "Buka pintunya, Mas!" pintaku sambil tetap menggedor pintu keras-keras.
Aku tidak memedulikan jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku tidak peduli jikalau para karyawan bangun gara-gara keributan yang kubuat. Saat ini, aku hanya memikirkan, siapa perempuan yang bersama Jevin di toilet ini. Aku ingin membongkar perselingkuhan mereka, memukul Jevin, dan menjambak si perempuan. Berani-beraninya mereka berbuat mesum di rumah dan saat aku ada.
"Mas, kalau kamu enggak mau buka pintu, kupanggilkan Pak RT sama Pak RW!" ancamku yang tak berhenti memukul pintu, bahkan meski tanganku terasa kebas. "Kalau perlu Pak Lurah, Pak Camat, sama Pak Gubernur sekalian, biar banyak saksi," tambahku setelah merasa tak diacuhkan.
Mungkin ucapanku terdengar seperti bercanda, tapi sebenarnya aku serius. Meskipun kami tidak saling mencintai, aku tidak akan tinggal diam mengetahui perselingkuhan suamiku. Aku akan mempermalukan Jevin dan perempuan itu, membuat mereka berdua dikutuk oleh semua orang. Kalau perlu aku akan membuat mereka dihukum rajam sekalian.
"Mas, aku hitung sampai tiga, ya." Aku berhenti menggedor pintu. "Kalau kamu enggak buka sekarang juga, aku bakal-"
Mulutku terbungkam begitu mendengar suara kunci yang dibuka. Aku gugup sekaligus tidak sabar menyaksikan perempuan mana yang berani melakukan perbuatan nista bersama suamiku. Mungkinkah Bi Kinta yang jelas-jelas sudah keriput itu?
Aku terpangah begitu melihat Jevin masih mengenakan atasan piyamanya. Bagian bawah tubuhnya dikurung oleh handuk putih yang terkunci di pinggang kanan. Aku yakin dia tidak memakai celana dalam karena setengah bagian kakinya yang putih mulus itu tidak tertutupi apa-apa.
Lucunya, Jevin tidak berekspresi seperti lelaki yang tertangkap basah berselingkuh. Seperti biasa, wajah dan tatapannya datar-datar saja. Dia bahkan membukakan pintu lebih lebar agar aku bisa masuk.
"Di mana kamu sembunyikan partner kamu, Mas?" tanyaku sembari mencari-cari sosok perempuan yang 'mungkin' bermain serong bersama Jevin. Saking gilanya mencari, aku sampai membuka tutup kloset seakan perempuan itu bisa saja bersembunyi di dalamnya.
Bukannya menjawab, Jevin malah menutup dan mengunci pintu.
"Mas, kamu tuli, ya? Aku tanya, di mana kamu menyembunyikan partner sex kamu?" tanyaku sedikit frustrasi lantaran dia tak kunjung memberikan jawaban. Sekarang dia malah membuka handuk dan memperlihatkan 'milik'-nya yang terbujur kaku.
Tidak memedulikan pelototanku, dia dengan santainya menggantung handuk dan bersandar di dinding. Dia 'bermain' sendiri dan mendesah. Suaranya persis seperti yang kudengar beberapa saat yang lalu.
Jadi, dia 'main' sendiri?
Spontan memoriku memutar ulang sekelebat kejadian beberapa saat yang lalu. Adegan di mana aku meraba dadanya, mengusap bibirnya, dan berciuman dengannya membuatku paham bahwa dia seperti ini gara-gara ulahku. Dia tidak bisa melakukannya di toilet atau kamar mandi karena tidak ingin ketahuan olehku. Dia juga gengsi meminta sex lantaran ini bukan hari yang tertera dalam kesepakatan. Harga diri Jevin terlalu tinggi untuk melanggar aturan yang dibuat sendiri olehnya.
"Butuh bantuan, Mas?" tawarku yang tak digubrisnya. Dia masih sibuk menggeluti kegiatannya.
"Okay, I understand. Aku enggak bakal melakukan hal yang lebih. Hanya sebatas 'membantu'," ujarku sembari melepas mantel dan menyeretnya duduk di kloset.
Hah! Dasar cowok! Egonya dijunjung terlalu tinggi. Coba aja kalau di kamar tadi dia bilang 'minta tolong', dia enggak bakal 'menderita' kayak sekarang. Jevin, Jevin! Keangkuhan lo bikin gue tertantang tau enggak!
“Lah? Kok, ke sini? Mau jemput siapa?”Aku terheran-heran saat mobil berhenti di depan pelataran airport. Saat mengajakku pergi, Jevin memang tidak mengatakan ke mana tujuan kami. Bahkan ketika kutanya, dia mengeluarkan jurus andalannya, yakni diam seribu bahasa. Dia hanya menyuruhku mengenakan jaket dan membalut Levin dengan beberapa lapis selimut. Sekarang bayiku itu tertidur lelap di kursi paling belakang bersama Hanin, baby sitter-nya.Saat aku dirawat di rumah sakit, Jevin memutusan memakai jasa baby sitteruntuk meringankan bebanku. Aku setuju-setuju saja karena waktu itu kondisiku memang tidak bisa berbuat banyak untuk merawat Levin.“Enggak jemput siapa-siapa,” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari tablet. Entah apa yang dikerjakannya sejak tadi.“Enggak jemput siapa-siapa, kok, ke sini? Mau makan di sini? Atau jangan-jangan ... kamu mau pergi ke luar negeri lagi?”Ketika itu rasa bingungku bertambah
Aku dan Vivian berhadapan. Saling melemparkan tatapan kebencian dan kemarahan.“Coba ulangi lagi!” pintanya menggeram.“Iblis. Man-dul,” ulangku penuh penekanan dan kuakhiri dengan seringaian.Pada situasi seperti ini aku tidak ingin terlihat lemah. Aku bukan bawang putih atau cinderella yang bisa diinjak-injak. Aku Jena Dheandra Pratama, pendatang baru dalam dunia peribuan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali anak pertamanya. Rela melakukan apa saja itu termasuk ...“Oh my God!LEPASIN RAMBUT GUE, JENA!”Menjambak rambut musuh dengan penuh nafsu. Seperti mencabut rumput.“Lepas aja sendiri kalau bisa,” balasku santai, tapi sambil mengejan untuk mengumpulkan seluruh tenaga ke cengkeraman kedua tanganku di rambutnya. Aku tidak peduli dengan rasa sakit yang menyodok-nyodok jahitan perutku. Aku juga tidak peduli pada teriakan Dewa yang memintaku melepaskan rambut istrinya. &l
Demi Tuhan aku berjanji tidak akan pernah meragukan ucapan orang lagi.Sesaat sebelum melangkahi pintu vila, aku meragukan cerita Jevin. Hatiku menolak percaya kalau Dewa memegang senjata api dan pecahan guci berserakan di mana-mana.Menurutku, ceritanya sangatlah tidak realistis. Di kehidupan nyata seperti ini mana ada orang yang mau berurusan dengan senjata api? Ini bukan era peperangan! Bukankah kepemilikan senjata api termasuk tindakan ilegal di Indonesia? Kurasa Dewa masih cukup waras untuk tidak melanggar hukum. Lagipula apa yang terjadi sampai pecahan guci berserakan di mana-mana? Apakah Dewa menembak guci itu sampai hancur lebur untuk menakuti semua orang? Atau Vivian mengamuk seperti orang gila karena tidak mau melepaskan Levin?Semua pertanyaan yang berjubelan dalam pikiran membuatku nyaris kehilangan kepercayaan kepada Jevin. Aku bahkan percaya kalau semua ini hanyalah prank.Semua orang berkomplot mengerjaiku. Semua polisi yang kutemui tadi hany
[Kamu ke mana, Na?]“Nyusul Jevin.”Aku memutar setir saat melintasi tikungan. Berkendara seorang diri tanpa penumpang. Mamaku menelpon ke HP-nya yang kucuri saat kabur dari rumah. Sementara HP-ku kutinggalkan di laci kamar yang kuncinya kubawa pergi.Sebenarnya bukan hanya HP Mama yang kubawa kabur, HP Mama Jennie, bibi-bibi di rumah, bahkan milik security pun kuboyong pergi. Total ada 8 HP di kursi sebelah yang kunonaktifkan semuanya.Kenapa aku mencuri? Nanti kujelaskan. Sekarang aku sedang membagi fokus menyalip truk dan bicara dengan Mama di telepon.[Astagaaaa! Anak ini bener-bener ... hish! Kamu, tuh, nyusahin orang tau enggak? Kenapa enggak duduk di rumah aja, sih? Jevin sama Papa pasti bisa bawa Levin pulang!]Aku berhasil menyalip truk. Beberapa meter di depan ada taksi argo dan mobil hitam yang menjadi sasaran selanjutnya.“Apa jaminannya, Ma?”Kuinjak pedal gas lebih dalam. Laju mobilku pun s
“I follow you.”Aku menggenggam pergelangan Jevin. Dia nyaris melangkah mengikuti rombongan tetua lainnya yang hendak berpencar ke jalanan mencari Vivian dan Dewa. Oh, bukan pasangan itu yang ingin dicari, melainkan Levinku. Persetan dengan pasangan sedeng itu. Kami semua tidak peduli. Fokus kami hanya berpusat pada keturunan Adendra dan Pratama.“No!” tolak Jevin, lengkap dengan gelengan.“Aku juga mau nyari Levin, Mas.” Aku memelas dan bangkit dari undakan tangga.“Jena! Nurut sama suami!” tegur Mamaku.“Iya. Kamu habis operasi, loh, kalau kamu lupa.” Mama Jennie ikut mengeroyokku.“Tapi, Maaa ....”“You must rest, Jena!Jangan nyusahin! Kalau kamu keras kepala dan tiba-tiba tumbang gimana? Pencarian Levin bisa terhambat gara-gara sebagian orang sibuk ngurusin kamu.”Okay,sepertinya Mamaku sudah tidak bisa dibantah. Matanya sudah me
“Loh? Kok, enggak ada?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Tidak ada satu batang hidung manusia pun yang kutemui di kamar Levin ketika Jevin membukakan pintu. Kami masih berpegangan tangan saat memeriksa boxLevin dan mendapati kekosongan di sana. Hanya ada bau minyak telon yang tertinggal di sana.“Pada ke mana, tuh, Pasutribawa anak kita?” tanyaku yang kali ini menatap Jevin.“Mas!” tegurku sambil mengguncang tangan kami. Anehnya dia masih bergeming seolah guncanganku tak berarti apa-apa.Ini aneh. Sekilas tatapan Jevin terlihat kosong, tapi saat kutelaah lebih lanjut sepertinya ada sorot kekhawatiran yang tersirat dalam matanya.'Ada apa? Apa dia mengkhawatirkan hal yang sama kayak yang gue rasain?'Ah, baiklah! Saat ini tidak ada gunanya menebak-nebak isi hati dan pikiran Jevin. Aku harus mencari Levin supaya bisa menyalurkan air susuku. Payudaraku sekarang lagi penuh-penuhnya dan itu membuatku mer