Share

MENYEMBUNYIKAN KEHAMILAN

Tiga bulan kemudian ....

"Jangan bilang ke siapa pun kalau kamu hamil."

"Ke Mamaku?"

Jevin menggeleng.

"Ke Mama kamu?"

Dia menggeleng lagi.

"Kenapa, Mas? Bukannya waktu itu kamu sendiri yang minta aku supaya cepat-cepat hamil? Terus kenapa sekarang aku diminta menyembunyikan kehamilanku seakan ini adalah aib?"

Aku benar-benar bingung dengan pola pikir Jevin-unique, complicated, and unpredictable. Aku tidak pernah mengerti apa yang dia pikirkan. Kenapa ketika aku menunjukkan test pack dengan hasil positif dia tidak segembira yang kubayangkan? Kupikir dia akan mengangkat tubuhku tinggi-tinggi dan berputar-putar sembari mengucapkan terima kasih, lalu mengecup bibirku. Ya, seperti adegan klise yang dilakukan romantic couple dalam novel atau drama Korea. Namun, kenyataan yang terjadi justru di luar prediksi.

Untuk apa dia memintaku menyembunyikan kehamilan dari orang-orang? Bukankah kami sudah menikah? Bukankah dia sendiri yang ingin cepat-cepat memiliki anak? Ah, apa jangan-jangan dia ingin menyelidiki terlebih dahulu, siapa ayah dari janin yang kukandung sekarang? Apa dia meragukan kesetiaanku? Hei! Aku tidak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun kecuali dia! Tidak cukupkah dia melihat bercak darah di sprei hotel dua bulan lalu ketika dia merenggut keperawananku?

"Please come out!" pintanya datar. Tidak ada nada bentakan, tapi tetap terdengar tegas dan tidak terbantahkan.

Tck-tck-tck! Lihatlah kelakuannya sekarang! Bisa-bisanya dia mengusirku dari ruang kerjanya tanpa menatapku sedikit pun! Hah! Benar-benar kurang ajar! Kalau saja di sini ada kaleng biskuit, mungkin aku akan melemparkannya ke wajah Jevin sekarang juga.

Aku meninggalkan ruang CEO terkutuk itu dengan hati yang dongkol setengah mati. Aku sampai menepuk dadaku keras-keras agar kesesakanku dapat terurai.

"Sabar, Jena! Sabaaar!" pintaku pada diri sendiri.

Aku berhenti, lalu menoleh menatap pintu besar dan tinggi yang terbuat dari kayu itu. Seandainya ini bukan kantor dan seandainya aku kehilangan kewarasan, mungkin wedges yang kukenakan saat ini akan melayang ke pintu itu. Ah, bukan ke pintunya, melainkan ke wajah lelaki yang berada di balik pintu itu.

"Dasar kanebo kering! Enggak punya hati! Enggak punya ot-astaga!"

Tanganku refleks membekap mulut dan meraba perutku yang masih rata. Aku kehilangan kontrol sehingga tanpa sadar telah mencaci maki papa dari anakku sendiri.

"Gimana kalau si kecil dengar? Gimana kalau pas dia gede nanti, dia bakal suka maki-maki papanya juga?" Aku meringis kecut. "Ah, jangan sampai!" Aku menggeleng. "Anak gue harus sopan. Mulutnya enggak boleh-"

"Ngapain lo, Na?"

Napasku tersekat. "Astaganagabonar!" Kini tanganku berpindah memegang dada yang berdegup kencang. Pertanyaan yang mengagetkanku itu seolah hampir saja membuat jantungku gugur dari tempat persemayamannya. "Ngagetin banget, sih!" Aku menyemprot dan memukul orang yang membuat semangatku berkibar.

Armand, rekanku sesama graphic designer meringis setelah mendapat pukulan di lengannya. Hukuman itu mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan jantungku yang sekarang kelabakan gara-gara ulahnya.

"Lagian lo ngapain ngomel-ngomel sendiri, sih? Tuyul lo gagal ngambil duit bos?"

"Astagaaa! Gue selepet juga, tuh, mulut!"

Dia refleks mundur saat tangan kananku melayang ke arah mulutnya. Aku memang hendak memukulnya lagi, tapi batal begitu melihatnya menghindar.

"Lo enggak ada elegan-elegannya, ya, Na. Masih aja ringan tangan kayak preman. Udah jadi istri bos juga," keluhnya tersungut-sungut.

"Lah? Apa hubungannya jadi istri bos sama keeleganan? Apa gue harus berubah jadi perempuan sosialita yang anggun dan kemayu cuma buat mengharumkan nama baik kanebo kering itu?" Aku menunjuk ke arah pintu. "Ho-ho-ho! No-no-no! Gue, ya, gue. Sampai kapan pun gue enggak bakal berubah. Gue tetaplah Jena Dheandra Pratama yang banyak ngomong dan enggak suka ribet."

Pada detik berikutnya, entah kenapa aku menyesali ucapanku tadi. Aku merasa bahwa ucapanku terkesan seperti menghina diri sendiri. Aku lupa meluruskan bagian keeleganan. Seharusnya aku mengatakan bahwa aku adalah perempuan yang elegan di mana pun dan kapan pun. Yaaa, setidaknya hanya di depan suami dan mertuaku.

"Udah, ah! Serah lo aja." Armand mengibaskan tangan. "Gue nyariin lo karena ada kepentingan, nih. Template buat edisi Imlek udah kelar belum? Bos Yudha nanyain, tuh."

Spontan tanganku menepuk dahi seraya beristighfar penuh penghayatan. "Lupa gue, yang buat kategori medsos belum kelar."

"Nah, 'kan? Lupa dipelihara. Mending lo taubat, deh, menernak kutu. Kasian kepala lo, kesedot terus darahnya."

"Apaan, sih? Enggak lucu tau enggak!"

"Ya, iyalah enggak lucu. Gue, 'kan, memang enggak lagi melawak."

Aku terdiam dan menggigit kuku telunjukku. Aku mulai panik kalau sudah mendengar berita bahwa atasanku menagih job. Berita seperti ini selalu terdengar lebih mengerikan ketimbang ditagih cicilan utang oleh debtcollector.

"Bantuin, dong, Man," bujukku sambil mengguncang lengannya dan menghentakkan kaki.

"Cih! Enggak sudi gue. Lo lupa kalau tadi habis menindas gue?" tolaknya sebagai upaya pembalasan dendam.

"Yaelah, Man. Gitu doang baperan banget, sih, lo! Nanti gue orderin pizza, deh." Aku tersenyum lima jari sambil mengedap-ngedipkan mata. Budaya sogok-menyogok sudah sangat lumrah di kantor ini. Tak ada istilah gotong-royong tanpa upah.

"Triple box baru deal gue."

Aku berdecak. Meski tak rela, akhirnya kuiakan saja daripada terkena omelan bos Yudha.

"Uwuuuw! Thankyou so m-"

"Jena!"

Armand membeku dengan kedua tangan menglingkari angin. Dia batal memelukku setelah mendengar suara yang memanggil namaku. Si kanebo kering itu berdiri di ambang pintu raksasa yang daunnya hanya terbuka salah satunya saja.

"Kenapa, Pak?" tanyaku tanpa beranjak.

Ya, meskipun dia suamiku, di kantor dia tetaplah bosku. Panggilan 'Mas' hanya berlaku di luar jam kerja saja.

"Masuk!" Dia menggerakkan wajahnya seolah menunjuk ke dalam ruang kerjanya.

Halah! Tadi ngusir. Sekarang nyuruh masuk lagi. Maunya apa, sih?

Armand menepuk bahuku. "Gue balik dulu, ya." Kemudian dia mendekatkan wajah ke telingaku. "Ingat, ya, triple box-nya," bisiknya sebelum melenggang pergi.

Aku mendesah jengah gara-gara kelakuan dua lelaki ini-yang satu plin-plan dan merepotkan, sedangkan yang satu lagi hanya mau menolong bila ada sogokan.

"Kenapa lagi?" tanyaku malas ketika menutup pintu. Kudatangi lelaki yang berdiri membelakangi meja. Lelaki itu menyatukan kedua tangannya di bawah dada.

"Mulai besok kamu WFH aja," ucapnya yang membuat langkahku membeku sesaat.

Apalagi ini? Kenapa tiba-tiba aku diminta WFH? Apa dia mengkhawatirkan kehamilanku? Apa dia tidak ingin melihatku kelelahan bekerja?

"Kenapa?" tanyaku seraya melanjutkan langkah.

Aku menarik salah satu kursi dan duduk bersandar. Kulipat kedua tanganku di bawah dada. Kusilangkan kedua kakiku dengan elegan. Kuangkat daguku untuk menunjukkan bahwa aku perempuan yang percaya diri dan tidak takut dengan apa pun.

"Kamu bisa bikin geger semua orang kalau nanti tiba-tiba mual di kantor."

"Astaga!" desisku sambil menggelengkan kepala. "Jadi itu alasannya?"

Aku sudah telanjur geer karena mengira si kanebo kering mengkhawatirkan kondisi kesehatanku selama hamil. Ternyata .... Tck!

Aku ingin sekali menulis kisah tentang penindasan Jevin padaku dan mengirimkannya ke redaksi fiksi di TV. Siapa tahu ada tim kreatif atau produser yang tertarik menjadikannya sinema azab Ilahi. Judulnya mungkin 'Suami yang Menyembunyikan Kehamilan Istrinya Mati dikemuni Semut Rangrang dan Jenazahnya Berbau Arang'.

Eh, buset! Panjang banget judulnya? Au, ah! Bodo amat!

"Okay," putusku tanpa negosiasi yang melelahkan. Aku tahu bahwa keputusan Jevin adalah mutlak, sebagaimana sabdaraja atau keputusan Presiden, tidak bisa ditawar atau ditolak.

Sekarang dia membalikkan badan. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Dia menatapku sayu seperti orang yang mengantuk.

"Apalagi?" tanyaku malas. Bila dia menatapku seperti itu, pasti ada maunya lagi.

"The end. Please come out!"

Aku mendesah seraya merotasikan bola mata. Kenapa, sih, dia hobi banget manggil orang, terus diusir langsung tanpa dikasih pesangon? Apa dia enggak merasa bersalah udah menyita waktu gue yang sangat berharga?

Aku sudah hendak bangkit dari kursi saat pikiranku memberikan interupsi mendadak. Aku batal berdiri dan kembali duduk.

"Mas!" panggilku saat Jevin duduk di kursinya yang super nyaman.

Dia tidak menjawab, apalagi menatapku. Dia malah berputar ke kiri, menekuri PC all in one.

"Mas aku boleh minta uang jajan lagi enggak?"

Sebenarnya awal bulan tadi dia sudah mentransfer puluhan juta ke rekeningku. Sisa tabunganku pun masih banyak. Hanya saja, kali ini aku ingin minta uang tunai.

Alih-alih menjawab, dia malah mengambil HP yang tergeletak di samping wadah pulpen. Tanpa menghiraukanku yang masih menatap dan menunggu jawabannya, dia malah asyik mengutak-atik HP-nya.

"Mas! Dengar aku enggak, sih?" Aku mulai kesal diabaikan. "Aku minta sejuta doang, Mas. Tapi, cash. Kalau Mas enggak mau, jawab aja enggak-"

"Sudah saya transfer."

"Hah?" Alisku terangkat. "Tapi aku minta cash, Mas. Bukan transfer. Kalau transfer, nanti aku musti ke ATM lagi. Aku malas."

Dia merotasikan bola mata seraya mengembuskan napas. Dia meletakkan HP ke samping mouse wireless dan merogoh dompet di saku celana belakang. Dia mengeluarkan sejumput uang ratusan ribu yang tidak dihitung, lalu memberikannya padaku.

Aku tersenyum setelah menghitung jumlahnya yang tepat 10 lembar. "Bisa pas gitu, ya, Mas? Padahal kamu enggak hitung," candaku yang lagi-lagi tak dihiraukan karena dia sibuk menyimpan dompet.

"Pulang kerja nanti aku ke mall dulu, ya, Mas. Enggak usah nungguin aku. Aku mau bakar duit kamu," ujarku riang sambil menyimpan uang ke dalam saku celana.

Memang gampang menyenangkan perempuan-ralat-maksudku menyenangkan hatiku. Beri saja aku segepok uang-entah itu cash atau transfer-maka senyumku akan terbit secerah mentari pagi, meskipun cuaca di luar sedang suram-suramnya.

Aku meninggalkan ruangan bos-yang tadinya kumaki-maki-dengan hati yang riang. Aku bersiul membaca SMS-banking yang memberitahukan transferan masuk. Tak tanggung-tanggung, lima juta masuk ke rekeningku dalam sekejap mata. Jujur saja aku sedikit tidak menyangka bahwa sekali meminta aku akan mendapatkan transferan dan uang cash dengan mudah.

"Jevin loyal banget kalau soal duit," pujiku sambil menyimpan HP di kantong celana. Dia cuma pelit ngomong dan senyum.

Aku berlari penuh irama sambil terus bersiul menuju tempat kerjaku. Aku tidak peduli dengan gelengan rekan-rekan kantor yang mungkin menganggapku gila. Aku tidak peduli pada omongan mereka. Aku hanya tahu, uang membuat hatiku berbunga-bunga.

Baru saja duduk di depan kubikel, aku mendapat telepon dari Mamaku tercinta.

"Hello, Mom! How are you?" sapaku ceria sambil memegang mouse yang berkelap-kelip.

[I'am fine, and you?]

"I'am happy, Mom. Mas Jevin habis kasih duit soalnya."

Aku terkikik sendiri, menebak apa yang akan dikatakan Mamaku setelah ini. Pasti dia akan mengataiku ....

[Dasar matre kamu!]

Nah, benar, 'kan? Tapi tidak masalah. Aku pun menganggap diriku demikian.

"Aku mau ke mall habis pulang kerja. Mama mau ikut?"

[Enggak. Mama nelpon karena mau kasih tau, besok Mama dan Papa mau ke Medan. Papa ngisi seminar IDI di sana.]

Aku ber-oh panjang sedikit kecewa. "Berapa hari?"

[Mungkin sekitar 3-4 hari. Kamu mau titip oleh-oleh?]

Aku bergumam sambil berpikir. "Cariin lingerie aja, deh, Ma. Yang bagus dan belum pernah masuk koleksiku."

[Kamu ini lingerie terus, kayak bisa dimakan aja. Sekali-sekali titip oleh-oleh itu makanan kek, kue kek, cendera mata kek.]

Aku tertawa, sudah terbiasa menghadapi tanggapan Mamaku. "Ya, udah, deh, Ma. Nanti kita ngobrol lagi. Aku mau kerja dulu. Banyak deadline soalnya."

[Hm, jangan lupa makan, ya, Na. Sesibuk apa pun, kamu harus makan tepat waktu. Ingat lambungmu.]

"Iya, Ma. Dah, ya! Bye!"

Setelah aku memutuskan panggilan, lelaki yang duduk di kubikel sebelah bertepuk tangan. "Enak banget lo, ya, telpon-telponan! Enggak aware banget sama teman yang lagi riweuh ngerjain kerjaan lo. Istri sultan kadang memang kebangetan kalau bertingkah," sindirnya blak-blakkan.

"Tenang, Babe!" Kuelus kepalanya dengan santai. "Triple box siap meluncur ke meja lo," lanjutku seraya tersenyum dan menaik-turunkan alis.

"Nah, gitu, dong!" Dia menarik kursinya memasuki bawah meja lebih dalam. Dia juga mengusap-usap telapak tangan dengan penuh semangat. "Gue, 'kan, jadi semangat kerja kalau ada pengganjal perut."

Aku tak lagi menanggapi ucapannya, bersiap untuk melanjutkan pekerjaanku. Namun, baru beberapa detik menatap monitor perutku terasa bergejolak, seperti habis memakan sambal uleg di malam hari. Awalnya terasa biasa saja, tapi lama-kelamaan, air liurku mendesak keluar.

Gawat! Ini enggak aman!

Aku bangkit dan buru-buru ke toilet. Di kloset, aku menumpahkan cairan yang mengganggu kedamaian perutku. Ah, sepertinya aku mulai mengalami gejala kehamilan. Benar kata Jevin. Jika aku tetap bekerja, bukan tidak mungkin orang satu kantor akan mengetahui berita kehamilanku.

"Aaah, please, deh! Jangan pusing sekarang! Gue banyak kerjaan!" rengekku sambil mengurut pangkal hidung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status