"Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini.
Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah.
"Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluka. Dia pun tahu kenapa Anilla bersikap seperti ini? Yah, salah satunya karena perbuatan dia pada Anilla.
"Gak, Neng. Mamang mah aneh, baru pertama kali Mamang melihat neng Anilla seperti ini!" ucap Mamang dengan logat Sunda yang semakin kental.
Netra Anilla menatap sendu pada mamangnya yang tengah memandangi dengan tatapan aneh dan haru. "Neng! Mamang, tahu kamu dari kecil. Ini ada apa, Neng?" tanya Mamang semakin menambah luka pada hati Anilla, pasalnya dia tidak bisa begitu saja mengatakan segala masalah yang tengah menimpanya.
Perlahan Bagas mendekati Anilla dan membantunya untuk berdiri. "Anilla hanya mencemaskan Ayah dan Ambu, Mang! Tidak ada apa-apa, ya, 'kan, Ann!" seru Bagas sembari mencengkram tangan Anilla sedikit kasar. Dia tidak tahu lagi, harus bersikap apalagi untuk membuat Anilla terdiam dan memberi isyarat agar Anilla tidak bersikap berlebihan.
Dan benar saja, cengkraman Bagas mampu membuat Anilla tersadar dari emosinya yang terlalu berlarut. Dalam isak yang mulai reda, dia mengusap lelehan air matanya dengan punggung tangan.
"Aku khawatir sama Ambu, Mang. Kalau Ayah sakit pasti Ambu repot sendiri," ujar Anilla sesekali tangannya membersihkan cairan yang ada di hidungnya.
Bagas menyodorkan sapu tangan pada Anilla, namun ditepis kasar olehnya. Mata Bagas membulat menatap tajam pada Anilla, ingin rasanya dia menarik Anilla dan memberitahukan padanya untuk bersikap wajar.
Melihat dua keponakan yang terlihat sedang memiliki masalah, Mamang paham dan langsung berpamitan. "Neng Anilla telepon saja Ambu. Cari tahu mereka sedang di mana, ya. Jangan khawatir mereka baik-baik saja! Mamang pamit dulu, ya, Neng. Sabar! Segala sesuatu pasti ada hikmahnya," ucap Mamang sembari menasehatinya. Dia sangat mengerti, pasangan muda pasti ada saja masalahnya, walaupun dia tidak tahu permasalahannya apa. Kemudian dia berlalu meninggalkan Bagas dan Anilla dengan senyuman khasnya.
Bagas melepaskan Anilla setelah pamannya menghilang dari balik pagar. "Bisa, gak? Bersikap normal. Kamu tahu, kelakuan kamu, bisa membuat orang lain curiga! Kamu mau Ayah sama Ambu kamu, jadi bahan gunjingan orang-orang di desa ini? Hah!" tegas Bagas dengan membulatkan matanya. Tangan kanannya mengepal menahan rasa marah yang semakin membuncah.
"Aku juga tidak mau, hal yang buruk menimpa Ayah dan Ambu. Tapi, please, Ann jangan kayak anak kecil!" tegas Bagas dengan bariton tinggi.
Anilla tak berkata apapun pada Bagas, dia sebenarnya sudah muak dengan pembicaraan dan permintaan suaminya sendiri. Dia sangat tahu, pada saat suami marah seharusnya dia bersikap baik. Namun, berbeda dengan Anilla saat ini, dia tak peduli lagi pada Bagas. Tanpa menjawab apapun dia langsung merogoh ponsel yang ada di dalam tas mahal pemberian Bagas.
Jari lentiknya menekan tombol untuk menghubungi Ambu-nya. Setelah beberapa menit menunggu, pada akhirnya tersambung.
"Assalamualaikum, Ambu! Gimana kondisi Ayah? Sekarang Ambu di mana? Rumah sakit, mana? Ambu Anilla susul Ambu sama Ayah, ya!" tanya Anilla bagai petasan merepet.
[Neng! Ambu sama ayah baik-baik saja. Tidak terjadi apa-apa, atuh. Jangan cemas, kita mah lagi piknik, Neng. Berendam air panas di Garut!] jelas Citra ibu Anilla, suaranya terdengar jelas begitu bahagia.
Netra Anilla hanya bisa menatap ponsel kemudian menempelkan kembali pada indera pendengarannya. Dia tidak menyangka ketika dia terluka, orang tuanya malah menikmati liburan bersama.
"Kenapa Ambu gak ngajak, Nilla?" tanya Anilla dengan suara rengekannya.
Bagas hanya bisa menatap Anilla dengan tatapan sinis, ketika Anilla merengek dengan menghentakan kakinya. Dia hanya bergidik sesaat. "Dasar gadis manja!" selorohnya dalam hati.
Terdengar kembali dipendengaran Anilla ketika Citra berkata,
[Kamu, kan, lagi bulan madu. Masa ikut sama Ambu. Ada-ada saja kamu, Neng!]Bagai tersambar petir, Anilla hanya menahan air matanya ketika ibunya berkata seperti itu. "Iya, Ambu, Nilla lupa!" kilahnya yang disusul dengan kekehan kecil untuk menutupi rasa sesak dalam hati.
"Ambu, Nilla mau pamit pulang ke rumah, Mas Bagas. Nilla ke rumah untuk membereskan baju dan peralatan lainnya. Nilla masih simpan kunci cadangan rumah. Jadi Ambu sama Ayah jangan khawatir, ya!" jelas Anilla sembari menetralkan suasana.
[Neng, kamu, lagi, di mana? Kenapa ada di rumah? Terus mau ambil baju segala! Bukannya kamu masih bulan madu bareng, Den Bagas?] tanya Citra yang mulai mencium keganjilan.
"Mas Bagas ada keperluan mendadak, Ambu. Jadi bulan madunya digeser," sela Anilla berbohong untuk memberhentikan cerocos ibunya yang terkenal cerewet.
[Gak bisa gitu, Neng. Adat orang Sunda mah, kalau anak gadisnya mau ketempat suaminya, Ambu sama Ayah harus mengantar kalian. Sekalian Ambu ingin bertemu sama orang tua, Den Bagas.] jelas Citra karena ketika acara pernikahan, Bagas hanya datang bersama rekannya.
Anilla menarik panjang napas dan menghembuskannya kembali. Memang harusnya seperti itu, setelah menikah maka orang tua perempuan akan mengantarkan anak gadisnya menuju rumah suaminya.
"Gak apa-apa, Ambu. Nanti saja Ambu main ke rumah, Anilla, ya! Nilla pamit dulu, titip salam untuk Ayah. Nilla sayang kalian berdua," ujar Anilla sembari menekan tombol merah untuk menutup sambungan telepon.
Kakinya melangkah meraih tas yang dahulu sangat dia sukai, kini hanya terlihat tas yang menjijikan di depan matanya. Setelah membuka kunci pintu, Anilla bergegas menuju kamar tidur. Netranya menatap haru pada setiap jengkal ruangan yang menemaninya lebih dari dua puluh tahun. Dengan langkah gontai, dia berjalan menuju kasur dan meringkukkan tubuhnya.
Lelehan air mata kembali membasahi kelopak mata dan jatuh di atas bantal empuk bergambar boneka Teddy.Sedari tadi Bagas menunggu Anilla di teras luar dengan meyempilkan satu batang rokok diantara kedua jarinya. Satu batang telah dia habiskan. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang. Dia memberanikan diri masuk ke dalam rumah menuju kamar Anilla. Kemudian dia membuka pintu dan melihat Anilla yang tengah meringkuk, kini tubuh kecilnya semakin terlihat lemah. Perlahan dia mendekati Anilla.
"Ann, are you, ok?" tanya Bagas sembari mendekati Anilla.
Tak ada jawaban dari istrinya ini. Dia sangat tahu, apabila Anilla sangat terluka. Dia merangkak melewati kaki Anilla dan berbaring di sampingnya. Tangannya merambat perlahan membelai lembut pinggang Anilla.
Merasakan tangan kekar Bagas merangkulnya, Anilla langsung menaikkan tangan kekar Bagas. Namun, usahanya sia-sia. Semakin Anilla bergerak menjauhinya, Bagas semakin mengunci tubuh ramping Anilla.
"Aku tidak suka melihat, istri kecilku seperti ini. Aku akan mencoba memperbaiki semuanya dan beri aku waktu untuk mencintai kamu, Anilla Prameswari!" bisik Bagas terdengar di telinga Anilla. Bibirnya beberapa kali mengecup tengkuk Anilla yang terbuka.
Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja."Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.Netra Anilla beralih pad
Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya. Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghu
"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t
"Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn
Dalam kalut Anilla membereskan baju dari lemari, dan memindahkannya ke dalam koper.Dia sudah tidak peduli lagi, apa yang akan dikatakan oleh ayah dan ambu. Anilla sangat yakin ketika sampai di rumah, orang tuanya akan menghujani dengan rentetan pertanyaan dan wejangan. Tetapi hal itu akan lebih terasa lebih baik daripada terus bersinggungan dengan wajah-wajah munafik Bagas dan Adisti.Tok!Tok!Suara ketukan terdengar jelas, tapi tak memberhentikan aktivitas Anilla, dia terus membereskan barang-barangnya. Dia sangat yakin pasti Adisti dan Bagas ada di belakang pintu. Entah apa rencana mereka, apa untuk melepaskan atau menahannya?"Ann! Tolong buka pintunya! Kita harus bicara!" pinta Bagas sembari berdiri di balik pintu kamar Anilla. Wajah Anilla semakin berang, ketika mendengar suara Bagas. Tangannya terus memasukkan semua barang-barang miliknya dengan kasar."Ann!"Kini terdengar suara lembut Adisti
Pagi hari ini Anilla terlihat segar, dia semakin cantik dengan dress krem dengan motif bunga-bunga kecil. Tangannya begitu cekatan memotong semua sayuran yang ada di atas meja.Walaupun, dia terlihat lelah. Tapi, senyuman terus tercipta. Kemarin malam dia meminta izin pada Adisti untuk menyiapkan sarapan dan keperluan Bagas. "Pagi, Sayang!" sapa Bagas sembari mengalungkan tangannya di pinggang Anilla. "Pagi juga, Mas!"Cup!Bagas mengecup leher Anilla yang terbuka. Anilla terkejut mendapat perlakuan seperti ini, otaknya benar-benar tak bisa berpikir. Aroma soft gentle dari tubuh Bagas, begitu menenangkan. Walaupun, beberapa kali Bagas mendaratkan kecupan, Anilla tidak menolaknya. Malahan dia begitu menikmati. "Sarapan pagi ini, kamu aja, ya? Hehehe," kekeh Bagas seraya menyimpan spatula yang dipegang Anilla di atas panci. Kemudian dia memutar kenop kompor pada posisi off."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Anilla
Ketika melewati Anilla, Inggrid mendekatinya. Kebetulan Anilla tengah menyiapkan masakan untuk sarapan. Aroma dari berbagai rempah begitu menyeruak indera penciuman Inggrid. "Siapa yang masak ini?!" tanya Inggrid masih ketus. Matanya memindai setiap mangkuk dan piring yang telah terisi makanan yang menggugah selera.Kalimat Anilla terbata ketika menjawab pertanyaan Inggrid, "In-i-ini masakan Nilla, Bu. Maaf kalau Ibu tidak suka." "Emm... boleh ibu coba?" tanya Inggrid mulai mencair dengan senyuman tipis.Melihat senyuman tipis dari mertua yang belum dikenalnya, hati Anilla berbunga. Dengan cepat dia meraih sebuah piring, dan menyodorkannya pada Inggrid.Inggrid yang tadinya akan keluar dari rumah, terhenti dan kini duduk di meja makan bersama Anilla."Ibu, mau yang mana? Biar Nilla ambilkan?" tanya Anilla dengan suara lembut.Inggrid terkejut dengan lemah lembutnya Anilla, karena selama ini apabila dia datang ke rumah