Share

5. Mencoba Mencintai Kamu

"Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini.

Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah.

"Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluka. Dia pun tahu kenapa Anilla bersikap seperti ini? Yah, salah satunya karena perbuatan dia pada Anilla.

"Gak, Neng. Mamang mah aneh, baru pertama kali Mamang melihat neng Anilla seperti ini!" ucap Mamang dengan logat Sunda yang semakin kental.

Netra Anilla menatap sendu pada mamangnya yang tengah memandangi dengan tatapan aneh dan haru. "Neng! Mamang, tahu kamu dari kecil. Ini ada apa, Neng?" tanya Mamang semakin menambah luka pada hati Anilla, pasalnya dia tidak bisa begitu saja mengatakan segala masalah yang tengah menimpanya.

Perlahan Bagas mendekati Anilla dan membantunya untuk berdiri. "Anilla hanya mencemaskan Ayah dan Ambu, Mang! Tidak ada apa-apa, ya, 'kan, Ann!" seru Bagas sembari mencengkram tangan Anilla sedikit kasar. Dia tidak tahu lagi, harus bersikap apalagi untuk membuat Anilla terdiam dan memberi isyarat agar Anilla tidak bersikap berlebihan.

Dan benar saja, cengkraman Bagas mampu membuat Anilla tersadar dari emosinya yang terlalu berlarut. Dalam isak yang mulai reda, dia mengusap lelehan air matanya dengan punggung tangan.

"Aku khawatir sama Ambu, Mang. Kalau Ayah sakit pasti Ambu repot sendiri," ujar Anilla sesekali tangannya membersihkan cairan yang ada di hidungnya.

Bagas menyodorkan sapu tangan pada Anilla, namun ditepis kasar olehnya. Mata Bagas membulat menatap tajam pada Anilla, ingin rasanya dia menarik Anilla dan memberitahukan padanya untuk bersikap wajar.

Melihat dua keponakan yang terlihat sedang memiliki masalah, Mamang paham dan langsung berpamitan. "Neng Anilla telepon saja Ambu. Cari tahu mereka sedang di mana, ya. Jangan khawatir mereka baik-baik saja! Mamang pamit dulu, ya, Neng. Sabar! Segala sesuatu pasti ada hikmahnya," ucap Mamang sembari menasehatinya. Dia sangat mengerti, pasangan muda pasti ada saja masalahnya, walaupun dia tidak tahu permasalahannya apa. Kemudian dia berlalu meninggalkan Bagas dan Anilla dengan senyuman khasnya.

Bagas melepaskan Anilla setelah pamannya menghilang dari balik pagar.  "Bisa, gak? Bersikap normal. Kamu tahu, kelakuan kamu, bisa membuat orang lain curiga! Kamu mau Ayah sama Ambu kamu, jadi bahan gunjingan orang-orang di desa ini? Hah!" tegas Bagas dengan membulatkan matanya. Tangan kanannya mengepal menahan rasa marah yang semakin membuncah. 

"Aku juga tidak mau, hal yang buruk menimpa Ayah dan Ambu. Tapi, please, Ann jangan kayak anak kecil!" tegas Bagas dengan bariton tinggi.

Anilla tak berkata apapun pada Bagas, dia sebenarnya sudah muak dengan pembicaraan dan permintaan suaminya sendiri. Dia sangat tahu, pada saat suami marah seharusnya dia bersikap baik. Namun, berbeda dengan Anilla saat ini, dia tak peduli lagi pada Bagas. Tanpa menjawab apapun dia langsung merogoh ponsel yang ada di dalam tas mahal pemberian Bagas.

Jari lentiknya menekan tombol untuk menghubungi Ambu-nya. Setelah beberapa menit menunggu, pada akhirnya tersambung.

"Assalamualaikum, Ambu! Gimana kondisi Ayah? Sekarang Ambu di mana? Rumah sakit, mana? Ambu Anilla susul Ambu sama Ayah, ya!" tanya Anilla bagai petasan merepet.

[Neng! Ambu sama ayah baik-baik saja. Tidak terjadi apa-apa, atuh. Jangan cemas, kita mah lagi piknik, Neng. Berendam air panas di Garut!] jelas Citra ibu Anilla, suaranya terdengar jelas begitu bahagia.

Netra Anilla hanya bisa menatap ponsel kemudian menempelkan kembali pada indera pendengarannya. Dia tidak menyangka ketika dia terluka, orang tuanya malah menikmati liburan bersama.

"Kenapa Ambu gak ngajak, Nilla?" tanya Anilla dengan suara rengekannya.

Bagas hanya bisa menatap Anilla dengan tatapan sinis, ketika Anilla merengek dengan menghentakan kakinya. Dia hanya bergidik sesaat. "Dasar gadis manja!" selorohnya dalam hati.

Terdengar kembali dipendengaran Anilla ketika Citra berkata,

[Kamu, kan, lagi bulan madu. Masa ikut sama Ambu. Ada-ada saja kamu, Neng!]

Bagai tersambar petir, Anilla hanya menahan air matanya ketika ibunya berkata seperti itu. "Iya, Ambu, Nilla lupa!" kilahnya yang disusul dengan kekehan kecil untuk menutupi rasa sesak dalam hati.

"Ambu, Nilla mau pamit pulang ke rumah, Mas Bagas. Nilla ke rumah untuk membereskan baju dan peralatan lainnya. Nilla masih simpan kunci cadangan rumah. Jadi Ambu sama Ayah jangan khawatir, ya!" jelas Anilla sembari menetralkan suasana.

[Neng, kamu, lagi, di mana? Kenapa ada di rumah? Terus mau ambil baju segala! Bukannya kamu masih bulan madu bareng, Den Bagas?] tanya Citra yang mulai mencium keganjilan.

"Mas Bagas ada keperluan mendadak, Ambu. Jadi bulan madunya digeser," sela Anilla berbohong untuk memberhentikan cerocos ibunya yang terkenal cerewet.

[Gak bisa gitu, Neng. Adat orang Sunda mah, kalau anak gadisnya mau ketempat suaminya, Ambu sama Ayah harus mengantar kalian. Sekalian Ambu ingin bertemu sama orang tua, Den Bagas.] jelas Citra karena ketika acara pernikahan, Bagas hanya datang bersama rekannya.

Anilla menarik panjang napas dan menghembuskannya kembali. Memang harusnya seperti itu, setelah menikah maka orang tua perempuan akan mengantarkan anak gadisnya menuju rumah suaminya. 

"Gak apa-apa, Ambu. Nanti saja Ambu main ke rumah, Anilla, ya! Nilla pamit dulu, titip salam untuk Ayah. Nilla sayang kalian berdua," ujar Anilla sembari menekan tombol merah untuk menutup sambungan telepon.

Kakinya melangkah meraih tas yang dahulu sangat dia sukai, kini hanya terlihat tas yang menjijikan di depan matanya. Setelah membuka kunci pintu, Anilla bergegas menuju kamar tidur. Netranya menatap haru pada setiap jengkal ruangan yang menemaninya lebih dari dua puluh tahun. Dengan langkah gontai, dia berjalan menuju kasur dan meringkukkan tubuhnya.

Lelehan air mata kembali membasahi kelopak mata dan jatuh di atas bantal empuk bergambar boneka Teddy.

Sedari tadi Bagas menunggu Anilla di teras luar dengan meyempilkan satu batang rokok diantara kedua jarinya. Satu batang telah dia habiskan. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang. Dia memberanikan diri masuk ke dalam rumah menuju kamar Anilla. Kemudian dia membuka pintu dan melihat Anilla yang tengah meringkuk, kini tubuh kecilnya semakin terlihat lemah. Perlahan dia mendekati Anilla.

"Ann, are you, ok?" tanya Bagas sembari mendekati Anilla.

Tak ada jawaban dari istrinya ini. Dia sangat tahu, apabila Anilla sangat terluka. Dia merangkak melewati kaki Anilla dan berbaring di sampingnya. Tangannya merambat perlahan membelai lembut pinggang Anilla.

Merasakan tangan kekar Bagas merangkulnya, Anilla langsung menaikkan tangan kekar Bagas. Namun, usahanya sia-sia. Semakin Anilla bergerak menjauhinya, Bagas semakin mengunci tubuh ramping Anilla.

"Aku tidak suka melihat, istri kecilku seperti ini. Aku akan mencoba memperbaiki semuanya dan beri aku waktu untuk mencintai kamu, Anilla Prameswari!" bisik Bagas terdengar di telinga Anilla. Bibirnya beberapa kali mengecup tengkuk Anilla yang terbuka. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status