Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.
Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja.
"Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.
Netra Anilla beralih pada sumber suara. "Tumben perhatian? Apa ini bentuk rasa kasihan?" tanya Anilla dengan nada ejekan.
"Jangan mulai, Ann. Hari ini sudah berapa kali kamu membuat otak ku terasa tersengat listrik karena kata-kata kamu. Bicara yang sopan, Ann!" Bentak Bagas, terlihat oleh Anilla dada Bagas yang turun naik, wajahnya mulai memerah menahan rasa marah.
Dengan menarik senyum smrik, Anilla berkata, "Harusnya aku yang kayak gitu, Mas. Harusnya aku laporkan kamu dan istri kamu ke polisi, karena perbuatan tidak menyenangkan!"
Mendengar perkataan Anilla, Bagas langsung membanting stirnya ke arah trotoar, untung saja kala itu tak ada pejalan kaki.
Anilla hanya bisa mengatur napasnya karena syok dengan perlakuan Bagas. Tangan kirinya refleks meraih handle yang ada di atas pintu.
"Ahhkkhh, Mas! Apa yang sudah kamu lakukan?" teriak Anilla karena kepalanya terbentur jendela kaca mobil.
Tanpa pikir panjang, Bagas langsung membuka sabuk pengaman dan meraup wajah Anilla. Dia memiringkan wajah sedangkan tangannya menarik kepala Anilla. Bibirnya ranumnya kini memagut paksa bibir Anilla tanpa basa-basi.
Mata Anilla membulat karena kelakuan suaminya ini. Tangan kirinya memukul lengan Bagas sedangkan tangan kanannya menumpu pada kursi.
Pagutan Bagas semakin ganas, dia semakin menikmatinya, semakin Anilla berontak tangannya menjalar bebas menyentuh tubuh Anilla.
"Mas, lepas!" teriakan Anilla begitu sia-sia karena Bagas semakin asik memagut tanpa mempedulikan lagi erangan Anilla.
Dia menurunkan kursi mobil dan kini tubuh Anilla terlentang di hadapannya. Perlahan Bagas membuka sabuk pengaman Anilla. Netranya tajam menatap pada wajah Anilla yang telah basah oleh lelehan air mata yang tak mampu terhenti.
"Sebelum kamu melaporkan kami pada polisi, aku akan menghukum kamu dan keluarga kamu, Ann. Aku tidak segan melaporkan Ayah dan Ambu ke pihak kepolisian juga!" Ancam Bagas begitu menyayat di indera pendengaran Anilla.
"Apa yang tengah kamu pikirkan, Mas. Kenapa kamu selalu mengancam aku atas nama Ayah dan Ambu. Padahal kini, mereka juga orang tua kamu, Mas!" tegas Anilla yang sudah mulai bosan dengan aroma soft gentle dari tubuh Bagas. Dulu sebelum menikah Anilla sangat menyukai aroma parfum yang dipakai Bagas. Namun, sekarang semua berbalik. Dia merasakan bau yang sangat menyengat terganti dengan bau kebencian.
"Itu tergantung dari sikap kamu, Ann. Kalau kamu menghormati aku sebagai suami kamu. Maka aku tidak akan melaporkan mereka, tapi sebaliknya apabila kamu banyak membantah! Ingat Ayah dan Ambu kamu yang akan mendekam di dalam penjara, ngerti kamu, Anilla Prameswari!" perintah Bagas, terasa nyanyian horor di telinga Anilla.
Kini benaknya makin berkecamuk, pasrah! Ya, hanya kata ini yang bisa terkumpul dalam batinnya.
"Ok, Mas aku tidak akan mengulangi lagi ucapan kasar aku, jadi tolong beranjak dari tubuhku. Berat, Mas!" lirihnya dengan tatapan sendu.
Mendengar hal itu, Bagas menarik kembali senyumannya. "Bagus! Ternyata istri kecilku begitu pintar, ya!" ejek Bagas kembali terdengar, seakan melumpuhkan keberanian Anilla yang kini tak berdaya di bawah tubuh kekar Bagas.
"Tapi karena posisi kamu sudah pas, bagaimana kalau kita lanjutkan permainan kecil ini di dalam mobil. Kamu akan menyukainya, Ann!" Bibirnya kembali melumat bibir Anilla yang telah basah karena ulahnya.
Tanpa berkata, Anilla hanya bisa pasrah mengikuti permainan suaminya. Tangan Bagas mulai nakal menyentuh bagian sensitif yang ada diantara kedua kakinya. Anilla hanya bisa menikmati tanpa berkata.
"Kamu suka, Ann?" tanya Bagas sembari mengecup pipi Anilla yang lembut. Kini dia sangat suka menyentuh istri keduanya ini. Padahal ketika Adisti meminta Bagas menikahi Anilla, dia berjanji hanya menyentuh Anilla ketika berada pada masa subur.
"Kamu sudah membuat aku mabuk, Ann. Aku suka wangi tubuhmu! Apa kamu menyukaiku, Ann?" Tangannya membuka satu persatu kancing kemeja yang Anilla pakai. Sentuhan lembut dari tangan Bagas mampu membuat Anilla tersihir. Walaupun, ada rasa jijik pada suaminya ini, dia tidak bisa menghindar dari setiap sentuhannya. Rasa hangat dan sensasi berbeda yang kini tengah merajai dirinya.
Menatap istrinya yang mulai terbuai dengan sentuhannya, Bagas tidak menyiakan momen ini. Tubuh kekarnya perlahan menaiki tubuh Anilla. "Aku tidak akan kasar, Sayang!" Bibirnya terus memberikan pagutan halus di bibir Anilla.
Anilla memejamkan matanya, dia pun sudah pasrah dengan kondisi ini. "Nikmati saja, Anilla. Kamu harus ingat dosa yang lebih besar, apabila menolak ajakan suami!" lirih Anilla dalam batin.
Bagas menurunkan celana panjangnya bersiap membawa Anilla pada buaian terindah.
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan terdengar dari luar, sontak membuat Bagas terkejut ketika seorang anak kecil mengetuk kaca mobil. Anilla hanya tersenyum kecil sembari membenarkan posisi duduk dan mengancingkan kembali kemeja yang telah berantakan karena ulah Bagas.
"Rapihkan rambut kamu, Ann! Jangan sampai orang berpikir kita melakukan hal yang tidak-tidak di dalam mobil!" Bariton Bagas terdengar memerintah.
"Sudah, Mas. Aku juga tahu, gak usah diberi wejangan!" jawab Anilla dengan nada ketus.
Bagas menurunkan kaca jendela mobil dan memberikan Anilla dua lembar uang merah yang dia ambil dari dompetnya. "Apa ini tidak kebanyakan, Mas?" tanya Anilla yang masih terheran dengan sifat manusia minus rasa yang bergelar suami.
"Tak apa, Ann. Berikan saja, kita tidak tau dengan uang yang kita beri apakah membantunya untuk berbuat baik atau berbuat jahat? Tapi, setidaknya kita sudah membuat mereka gembira!" tutur Bagas menjelaskan.
Netra Anilla kini berbinar menatap Bagas penuh arti. Dia tidak menyangka Bagas akan mempunyai pemikiran bak malaikat penolong. "Mungkin suatu saat kita akan bersama dalam cintanya yang tulus, Mas!" gumam Anilla yang tidak terdengar jelas karena truk besar melewati mobil Bagas.
Dengan senyuman penuh kasih, Anilla memberikan uang pada anak kecil yang terlihat lusuh dengan pakaian compang camping. Wajahnya hitam terkena sorot cahaya matahari yang mulai meninggi.
"Terima kasih, Mbak! Semoga kalian berdua selalu bahagia, ya!" Senyuman tercipta dari wajah polos. Netranya berbinar ketika Anilla memasukan uang berwarna merah.
"Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian, Mbak. Uang ini akan aku belikan untuk obat ibu yang sedang sakit. Terima kasih, Mbak, Mas!" Dia berlalu dengan memainkan alat musik yang terbuat dari tutup kaleng bekas.
Setelah menutup kaca jendela, Anilla menatap kagum pada Bagas, dia tidak menyangka apabila Bagas memiliki jiwa humanis yang tinggi.
"Apa lihat-lihat? Biasa saja! Aku hanya memberikan jatah mereka yang masih tersimpan di dompet. Jangan terlalu memuji dengan tatapan seperti itu!" ketus Bagas, tangannya kembali memainkan stir dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Begitu banyak pertanyaan yang ada dalam benak Anilla pada saat ini. Menghadapi suaminya yang terkadang menyebalkan, tapi disisi lain bisa berhati malaikat. "Duh, Gusti. Semoga semuanya bisa aku jalani. Baik senang ataupun sudah, aku akan mencoba menjadi istri yang diridhoi suami." Dia tersenyum sendiri dengan perkataan yang hanya bisa didengar oleh dia sendiri.
Bagas menatap sekilas pada Anilla yang mulai berubah, "Semoga hati ini bisa mencintai kamu, Ann. Karena pada saat ini aku belum bisa membagi cintaku. Cintaku begitu besar pada Adisti. Maafkan aku, Ann!" lirih Bagas dalam hatinya.
Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya. Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghu
"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t
"Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn
Dalam kalut Anilla membereskan baju dari lemari, dan memindahkannya ke dalam koper.Dia sudah tidak peduli lagi, apa yang akan dikatakan oleh ayah dan ambu. Anilla sangat yakin ketika sampai di rumah, orang tuanya akan menghujani dengan rentetan pertanyaan dan wejangan. Tetapi hal itu akan lebih terasa lebih baik daripada terus bersinggungan dengan wajah-wajah munafik Bagas dan Adisti.Tok!Tok!Suara ketukan terdengar jelas, tapi tak memberhentikan aktivitas Anilla, dia terus membereskan barang-barangnya. Dia sangat yakin pasti Adisti dan Bagas ada di belakang pintu. Entah apa rencana mereka, apa untuk melepaskan atau menahannya?"Ann! Tolong buka pintunya! Kita harus bicara!" pinta Bagas sembari berdiri di balik pintu kamar Anilla. Wajah Anilla semakin berang, ketika mendengar suara Bagas. Tangannya terus memasukkan semua barang-barang miliknya dengan kasar."Ann!"Kini terdengar suara lembut Adisti
Pagi hari ini Anilla terlihat segar, dia semakin cantik dengan dress krem dengan motif bunga-bunga kecil. Tangannya begitu cekatan memotong semua sayuran yang ada di atas meja.Walaupun, dia terlihat lelah. Tapi, senyuman terus tercipta. Kemarin malam dia meminta izin pada Adisti untuk menyiapkan sarapan dan keperluan Bagas. "Pagi, Sayang!" sapa Bagas sembari mengalungkan tangannya di pinggang Anilla. "Pagi juga, Mas!"Cup!Bagas mengecup leher Anilla yang terbuka. Anilla terkejut mendapat perlakuan seperti ini, otaknya benar-benar tak bisa berpikir. Aroma soft gentle dari tubuh Bagas, begitu menenangkan. Walaupun, beberapa kali Bagas mendaratkan kecupan, Anilla tidak menolaknya. Malahan dia begitu menikmati. "Sarapan pagi ini, kamu aja, ya? Hehehe," kekeh Bagas seraya menyimpan spatula yang dipegang Anilla di atas panci. Kemudian dia memutar kenop kompor pada posisi off."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Anilla
Ketika melewati Anilla, Inggrid mendekatinya. Kebetulan Anilla tengah menyiapkan masakan untuk sarapan. Aroma dari berbagai rempah begitu menyeruak indera penciuman Inggrid. "Siapa yang masak ini?!" tanya Inggrid masih ketus. Matanya memindai setiap mangkuk dan piring yang telah terisi makanan yang menggugah selera.Kalimat Anilla terbata ketika menjawab pertanyaan Inggrid, "In-i-ini masakan Nilla, Bu. Maaf kalau Ibu tidak suka." "Emm... boleh ibu coba?" tanya Inggrid mulai mencair dengan senyuman tipis.Melihat senyuman tipis dari mertua yang belum dikenalnya, hati Anilla berbunga. Dengan cepat dia meraih sebuah piring, dan menyodorkannya pada Inggrid.Inggrid yang tadinya akan keluar dari rumah, terhenti dan kini duduk di meja makan bersama Anilla."Ibu, mau yang mana? Biar Nilla ambilkan?" tanya Anilla dengan suara lembut.Inggrid terkejut dengan lemah lembutnya Anilla, karena selama ini apabila dia datang ke rumah
"Sayang, aku ikut juga, ya! Boleh gak?" rengek Adisti, matanya berkaca-kaca. "Buat apa, Dis! Kamu di rumah aja. Aku ada meeting, kalau kamu ikut pasti bosen," kata Bagas sembari membenarkan posisi dasi yang belum pas melingkar di lehernya."Tapi kenapa Anilla kamu ajak ke kantor?" tanya Adisti. Tangannya sibuk menyiapkan sepatu pantofel hitam kesukaan Bagas."Dis! Tolong jangan kayak anak kecil, Anilla 'kan masih karyawan kita. Dia yang pegang design dari perusahaan klien kita! Proyek ini bernilai milyaran, jadi tolong pahami!" pinta Bagas seraya meraih tas yang ada di atas kasur.Adisti tersenyum ketika mendengar proyek besar Bagas. Dalam benaknya terbayang apabila proyek ini berhasil, dia bisa membeli mobil baru, dan perhiasan yang bisa diperlihatkan pada teman sosialitanya."Oh! Kalau memang proyeknya gede, aku do'ain aja di rumah!" Sengaja Adisti melembutkan suara agar terlihat lebih manja. Dia menarik lengan Bagas, kemudian memelukn