Share

4. Kalut Tersimpan Luka

Perjalanan hidup Anilla memang membingungkan. Sesekali dia membentur-benturkan kepala pada jok mobil, sembari memejamkan mata. Tangan kanan memijat bagian antara kedua alisnya. Dalam benak hanya memikirkan cara, supaya orangtuanya tidak mengetahui permasalahan yang tengah terjadi. Hati Anilla semakin pedih ketika dia harus berbohong. Tidak pernah sekalipun, dia berkata bohong di depan ayah dan ambu-nya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus melakukannya. "Ya Alloh! Ampuni segala dosa yang telah hamba perbuat!" lirih Anilla. Tanpa sadar lelehan air mata keluar dari tiap sudut matanya. Namun, dia tidak berani untuk membuka mata. Dia terus berpura-pura tertidur di dalam mobil sedan hitam milik Bagas.

Bagas menoleh pada Anilla yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa. Lelehan-lelehan air mata Anilla kini mulai mengusik rasa bersalahnya. "Kenapa aku harus jadi orang sejahat ini? Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti kamu, Ann. Maafkan aku!" gumamnya dalam batin.

"Ann! Kamu belum tidur, 'kan?" tanya Bagas pendek, matanya menatap sekilas pada Anilla kemudian fokus kembali menatap jalanan yang semakin sesak. 

Tapi, tidak ada jawaban dari seorang Anilla Prameswari. Dia tidak ingin mendengar atau berdebat lagi dengan laki-laki yang hanya berstatus sebagai suami dalam catatan KUA saja. Dengan sengaja dia membalikkan kepala dan menempelkannya di jendela mobil. 

"Andai waktu bisa diputar kembali aku tidak ingin berada di situasi ini!" gumam Anilla yang masih terdengar jelas oleh suaminya dan Bagas hanya bisa menghembuskan napas panjangnya ketika mendengar Anilla.

Sekitar satu jam dari kota Bandung, kini mereka tengah berada di pedesaan daerah Anilla. Jajaran gunung yang di selimuti pohon teh menambah keelokan daerah yang terkenal dengan olahan teh yang telah mendunia. Hampir semua warga termasuk orang tua Anilla adalah pemetik teh yang dikirimkan ke perusahaan milik negara. Hanya Anilla yang berkeinginan meneruskan studi di kota Bandung. Cita-citanya sebagai designer menjadi penyemangat untuk dia terlepas dari kebiasaan daerahnya. Sampai pada akhirnya Anilla bertemu dengan Bagas. Semua orang membicarakan kesuksesan Anilla, yang tadinya Anilla menjadi bahan cibiran karena tidak langsung bekerja selepas sekolah menengah. Kini dia, bak putri yang dipuja puji di daerahnya.

Anilla hanya bisa menatap dengan mata kosong hamparan indah di depannya. Biasanya dia bergembira apabila memasuki kawasan ini. Namun, kini hanya ada lelehan air mata yang terus mengalir deras tanpa suara.

Mobil sedan Bagas memasuki kawasan komplek pemetik daun teh. Bagas menurunkan kaca jendela mobil karena  dia tahu di daerah Anilla tatakrama masih diagungkan. Beberapa kali dia harus tersenyum ramah pada orang yang menyapanya. Begitupun dengan Anilla dia harus tersenyum lebar untuk menutupi rasa sakitnya. 

"Neng Anilla, kenapa sudah pulang lagi?" tanya seorang ibu dengan memakai hijab merah.

"Kangen ambu sama ayah, Bu. Makanya cepet-cepet pulang," ujar Anilla dari dalam mobil.

Si ibu seperti menaruh curiga pada mereka berdua karena kicauan ambu-nya yang mengatakan Anilla akan di bawa bulan madu keliling dunia.

"Ehm! Kata Ambu, neng Anilla bakal keliling dunia kenapa cuma sehari atuh? Cepet banget pulangnya, kehabisan ongkos, ya?" tanya si ibu sembari membenarkan hijab yang terkadang melorot ketika berbicara.

"Apa? Keliling dunia!" gumam Anilla. Pikir Anilla semakin kacau dengan kelakuan ibunya  yang memang terkenal rumpi. Tapi, Anilla tetap menghormati dan menyayanginya.

"Tadinya mau keliling dunia, cuma Anilla ketinggalan paspor nya, Bu. Jadi kami sekarang balik lagi untuk mengambilnya," jawab Bagas menutupi rasa malu yang tengah Anilla rasakan. Anilla hanya bisa memandang Bagas yang berhasil mengelabui si ibu berhijab.

"Oh, begitu, ya? Berarti Bu Citra tidak bohong, tadinya saya pikir dia bohong. Ya, sok atuh neng, dilanjutkan perjalanannya," ujar si ibu sembari menganggukkan kepalanya.

Wajah Anilla kini berubah menjadi merah padam, rasa marahnya semakin menjadi. Kenapa harus serumit ini? Mungkin memang benar seharusnya dia tengah bersenang-senang bersama suaminya. Berbulan madu di Paris menikmati secangkir kopi di cafe ternama yang berhadapan dengan menara Eiffel. Atau berada di Maldives, sepagi ini berjalan menyusuri pantai yang eksotis. Tapi semua itu hanya harapan dan kenangan. Kini mimpinya hanya sebuah ilusi yang tak mungkin terwujud bahkan berbalik.

"Ann! Kamu baik, saja, 'kan?" tanya Bagas ragu-ragu.

"Arhkkkk! Kenapa harus begini?" teriak Anilla yang semakin kesal dengan drama hidupnya.

"Ann! Tolong, bersikap normal! Kita hampir sampai, Ann!" jawab Bagas dengan bariton tegas.

Netra Anilla melirik tajam pada Bagas, seraya berkata, "Siapa yang tidak normal. Bukankah kalian yang membuat kami seperti ini! Kamu tau, Mas. Aku gak pernah bohong sama Ayah, tapi sekarang aku harus membohongi keduanya. Aaaaah!" Dia berkata sembari menghentak-hentakkan kakinya. Tangan kanannya terus menyisir rambut yang sudah berantakan. Kemudian dia membenturkan kembali kepalanya.

"Kalau kamu masih kayak orang gila gini. Aku balikkan arahnya menuju rumahku!" teriak Bagas.

"Aku gila gara-gara kalian!" teriak Anilla tidak kalah kencang.

"Stop it, Ann! Aku sudah jelaskan aku tidak akan membebani kamu. Kamu cukup melahirkan anak untuk kami. Itu saja! Apa susahnya, sih?" ujar Bagas sembari mendengkus kesal.

"Kalau begitu, aku menginginkan semua harta kamu! Adil, bukan? Dan aku menginginkan sebuah rumah mewah dengan segala isinya! Apa kamu bisa memenuhi syaratnya?" Pada saat ini Anilla hanya ingin membalas semua rasa sakitnya, dengan persyaratan yang dia sendiri pun sebenarnya tidak mengharapkannya.

Ketika Anilla berkata seperti itu, Bagas kembali menatap Anilla. "Baiklah aku akan mengabulkan semua persyaratan kamu, tapi dengan syarat kamu harus bisa memberikan kami satu anak setiap tahun! Dan ingat mereka tidak boleh menyebut kamu ibu! Apa kamu mau, Sayang?" jawab Bagas sembari menaikkan kedua alisnya.

Mata Anilla terbelalak mendengar perkataan Bagas, "Ya Tuhan, persyaratan macam apa ini. Mana ada seorang ibu langsung dipisahkan dari anaknya!"

"Yang kamu inginkan hanya harta, 'kan, Ann!" tegas Bagas.

Anilla seolah terjebak dengan perkataannya sendiri. Sebenarnya apa yang dia katakan hanya gertakan. 

"Baiklah, aku tidak akan menuntut apa pun dari kalian. Setelah aku memberikan anak, aku akan pergi dari kehidupan kalian!" gagas Anilla.

Bagas tersenyum penuh kemenangan. Dia berpikir gampang sekali gadis ini luluh, berbeda dengan Adisti, istri pertamanya. Tapi, Bagas tetep mencintai istrinya daripada Anilla. Dia selalu mengabulkan segala keinginannya, suka ataupun tidak.

Setelah melewati beberapa gang jalan, akhirnya mereka sampai di rumah orang tua Anilla.

Rumah yang terbuat dari kayu bergaya Sunda sangat kentara di setiap detailnya, tanah luas dengan hamparan rumput yang terpelihara. Kolam ikan menghiasi dengan gemericik air mancur menghiasi rumah dengan cat berwarna krem.

Anilla dan Bagas turun dari mobil dan berjalan menuju teras rumah. Tak ada yang keluar dari dalam rumah. Berkali-kali Anilla mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban.

Kebetulan paman Anilla melewati rumah Anilla. Anilla berteriak memanggil pamannya, "Mang di mana, Ambu?" 

"Eh, Neng Anilla kenapa udah balik lagi?" tanyanya sembari menarik garis dahi dan segera mendekati Anilla dan Bagas.

Bagas menyalami paman Anilla dengan sebaris senyuman. 

"Anilla kangen sama Ambu, Mang!" seru Anilla berusaha tersenyum walaupun di dalam hati menjerit menangis perih.

Paman Anilla kembali mengeryitkan dahinya, "Apa neng Anilla tidak tau, Ambu ke mana?" 

Rasa cemas sekarang yang Anilla rasakan, dia membayangkan terjadi apa-apa pada ayahnya karena ayahnya sudah lama mempunyai penyakit jantung.

"Ke mana mereka, Mang?" tanya Anilla dengan membulatkan matanya. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya. Perutnya terasa mulas, dia membayangkan orang tuanya ada di rumah sakit.

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status