Perjalanan hidup Anilla memang membingungkan. Sesekali dia membentur-benturkan kepala pada jok mobil, sembari memejamkan mata. Tangan kanan memijat bagian antara kedua alisnya. Dalam benak hanya memikirkan cara, supaya orangtuanya tidak mengetahui permasalahan yang tengah terjadi. Hati Anilla semakin pedih ketika dia harus berbohong. Tidak pernah sekalipun, dia berkata bohong di depan ayah dan ambu-nya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus melakukannya. "Ya Alloh! Ampuni segala dosa yang telah hamba perbuat!" lirih Anilla. Tanpa sadar lelehan air mata keluar dari tiap sudut matanya. Namun, dia tidak berani untuk membuka mata. Dia terus berpura-pura tertidur di dalam mobil sedan hitam milik Bagas.
Bagas menoleh pada Anilla yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa. Lelehan-lelehan air mata Anilla kini mulai mengusik rasa bersalahnya. "Kenapa aku harus jadi orang sejahat ini? Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti kamu, Ann. Maafkan aku!" gumamnya dalam batin.
"Ann! Kamu belum tidur, 'kan?" tanya Bagas pendek, matanya menatap sekilas pada Anilla kemudian fokus kembali menatap jalanan yang semakin sesak.
Tapi, tidak ada jawaban dari seorang Anilla Prameswari. Dia tidak ingin mendengar atau berdebat lagi dengan laki-laki yang hanya berstatus sebagai suami dalam catatan KUA saja. Dengan sengaja dia membalikkan kepala dan menempelkannya di jendela mobil.
"Andai waktu bisa diputar kembali aku tidak ingin berada di situasi ini!" gumam Anilla yang masih terdengar jelas oleh suaminya dan Bagas hanya bisa menghembuskan napas panjangnya ketika mendengar Anilla.
Sekitar satu jam dari kota Bandung, kini mereka tengah berada di pedesaan daerah Anilla. Jajaran gunung yang di selimuti pohon teh menambah keelokan daerah yang terkenal dengan olahan teh yang telah mendunia. Hampir semua warga termasuk orang tua Anilla adalah pemetik teh yang dikirimkan ke perusahaan milik negara. Hanya Anilla yang berkeinginan meneruskan studi di kota Bandung. Cita-citanya sebagai designer menjadi penyemangat untuk dia terlepas dari kebiasaan daerahnya. Sampai pada akhirnya Anilla bertemu dengan Bagas. Semua orang membicarakan kesuksesan Anilla, yang tadinya Anilla menjadi bahan cibiran karena tidak langsung bekerja selepas sekolah menengah. Kini dia, bak putri yang dipuja puji di daerahnya.
Anilla hanya bisa menatap dengan mata kosong hamparan indah di depannya. Biasanya dia bergembira apabila memasuki kawasan ini. Namun, kini hanya ada lelehan air mata yang terus mengalir deras tanpa suara.
Mobil sedan Bagas memasuki kawasan komplek pemetik daun teh. Bagas menurunkan kaca jendela mobil karena dia tahu di daerah Anilla tatakrama masih diagungkan. Beberapa kali dia harus tersenyum ramah pada orang yang menyapanya. Begitupun dengan Anilla dia harus tersenyum lebar untuk menutupi rasa sakitnya.
"Neng Anilla, kenapa sudah pulang lagi?" tanya seorang ibu dengan memakai hijab merah.
"Kangen ambu sama ayah, Bu. Makanya cepet-cepet pulang," ujar Anilla dari dalam mobil.
Si ibu seperti menaruh curiga pada mereka berdua karena kicauan ambu-nya yang mengatakan Anilla akan di bawa bulan madu keliling dunia.
"Ehm! Kata Ambu, neng Anilla bakal keliling dunia kenapa cuma sehari atuh? Cepet banget pulangnya, kehabisan ongkos, ya?" tanya si ibu sembari membenarkan hijab yang terkadang melorot ketika berbicara.
"Apa? Keliling dunia!" gumam Anilla. Pikir Anilla semakin kacau dengan kelakuan ibunya yang memang terkenal rumpi. Tapi, Anilla tetap menghormati dan menyayanginya.
"Tadinya mau keliling dunia, cuma Anilla ketinggalan paspor nya, Bu. Jadi kami sekarang balik lagi untuk mengambilnya," jawab Bagas menutupi rasa malu yang tengah Anilla rasakan. Anilla hanya bisa memandang Bagas yang berhasil mengelabui si ibu berhijab.
"Oh, begitu, ya? Berarti Bu Citra tidak bohong, tadinya saya pikir dia bohong. Ya, sok atuh neng, dilanjutkan perjalanannya," ujar si ibu sembari menganggukkan kepalanya.
Wajah Anilla kini berubah menjadi merah padam, rasa marahnya semakin menjadi. Kenapa harus serumit ini? Mungkin memang benar seharusnya dia tengah bersenang-senang bersama suaminya. Berbulan madu di Paris menikmati secangkir kopi di cafe ternama yang berhadapan dengan menara Eiffel. Atau berada di Maldives, sepagi ini berjalan menyusuri pantai yang eksotis. Tapi semua itu hanya harapan dan kenangan. Kini mimpinya hanya sebuah ilusi yang tak mungkin terwujud bahkan berbalik.
"Ann! Kamu baik, saja, 'kan?" tanya Bagas ragu-ragu.
"Arhkkkk! Kenapa harus begini?" teriak Anilla yang semakin kesal dengan drama hidupnya.
"Ann! Tolong, bersikap normal! Kita hampir sampai, Ann!" jawab Bagas dengan bariton tegas.
Netra Anilla melirik tajam pada Bagas, seraya berkata, "Siapa yang tidak normal. Bukankah kalian yang membuat kami seperti ini! Kamu tau, Mas. Aku gak pernah bohong sama Ayah, tapi sekarang aku harus membohongi keduanya. Aaaaah!" Dia berkata sembari menghentak-hentakkan kakinya. Tangan kanannya terus menyisir rambut yang sudah berantakan. Kemudian dia membenturkan kembali kepalanya.
"Kalau kamu masih kayak orang gila gini. Aku balikkan arahnya menuju rumahku!" teriak Bagas.
"Aku gila gara-gara kalian!" teriak Anilla tidak kalah kencang.
"Stop it, Ann! Aku sudah jelaskan aku tidak akan membebani kamu. Kamu cukup melahirkan anak untuk kami. Itu saja! Apa susahnya, sih?" ujar Bagas sembari mendengkus kesal.
"Kalau begitu, aku menginginkan semua harta kamu! Adil, bukan? Dan aku menginginkan sebuah rumah mewah dengan segala isinya! Apa kamu bisa memenuhi syaratnya?" Pada saat ini Anilla hanya ingin membalas semua rasa sakitnya, dengan persyaratan yang dia sendiri pun sebenarnya tidak mengharapkannya.
Ketika Anilla berkata seperti itu, Bagas kembali menatap Anilla. "Baiklah aku akan mengabulkan semua persyaratan kamu, tapi dengan syarat kamu harus bisa memberikan kami satu anak setiap tahun! Dan ingat mereka tidak boleh menyebut kamu ibu! Apa kamu mau, Sayang?" jawab Bagas sembari menaikkan kedua alisnya.
Mata Anilla terbelalak mendengar perkataan Bagas, "Ya Tuhan, persyaratan macam apa ini. Mana ada seorang ibu langsung dipisahkan dari anaknya!"
"Yang kamu inginkan hanya harta, 'kan, Ann!" tegas Bagas.
Anilla seolah terjebak dengan perkataannya sendiri. Sebenarnya apa yang dia katakan hanya gertakan.
"Baiklah, aku tidak akan menuntut apa pun dari kalian. Setelah aku memberikan anak, aku akan pergi dari kehidupan kalian!" gagas Anilla.
Bagas tersenyum penuh kemenangan. Dia berpikir gampang sekali gadis ini luluh, berbeda dengan Adisti, istri pertamanya. Tapi, Bagas tetep mencintai istrinya daripada Anilla. Dia selalu mengabulkan segala keinginannya, suka ataupun tidak.
Setelah melewati beberapa gang jalan, akhirnya mereka sampai di rumah orang tua Anilla.
Rumah yang terbuat dari kayu bergaya Sunda sangat kentara di setiap detailnya, tanah luas dengan hamparan rumput yang terpelihara. Kolam ikan menghiasi dengan gemericik air mancur menghiasi rumah dengan cat berwarna krem.
Anilla dan Bagas turun dari mobil dan berjalan menuju teras rumah. Tak ada yang keluar dari dalam rumah. Berkali-kali Anilla mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban.
Kebetulan paman Anilla melewati rumah Anilla. Anilla berteriak memanggil pamannya, "Mang di mana, Ambu?"
"Eh, Neng Anilla kenapa udah balik lagi?" tanyanya sembari menarik garis dahi dan segera mendekati Anilla dan Bagas.
Bagas menyalami paman Anilla dengan sebaris senyuman.
"Anilla kangen sama Ambu, Mang!" seru Anilla berusaha tersenyum walaupun di dalam hati menjerit menangis perih.
Paman Anilla kembali mengeryitkan dahinya, "Apa neng Anilla tidak tau, Ambu ke mana?"
Rasa cemas sekarang yang Anilla rasakan, dia membayangkan terjadi apa-apa pada ayahnya karena ayahnya sudah lama mempunyai penyakit jantung.
"Ke mana mereka, Mang?" tanya Anilla dengan membulatkan matanya. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya. Perutnya terasa mulas, dia membayangkan orang tuanya ada di rumah sakit.
"Di mana Ayah sama Ambu, Mang? Cepat katakan!" bentak sembari menangis. Kini tangisannya seakan tak mampu terkendali. Kedua tangannya mencengkram bahu Mamang dan tanpa sadar kini tubuhnya duduk di atas lantai dingin. Dia menangis meraung-raung, ditambah suaranya yang semakin lirih. Paman Anilla hanya mengeryitkan dahinya, ketika melihat kondisi Anilla yang tak pernah bersikap seperti ini. Dengan lembut dia menurunkan tangan Anilla, "Neng Anilla, dengarkan, Mamang! Mamang mah baru pertama lihat neng Anilla nangis seperti ini!" telisik si Mamang karena sepengatahuan dia, kehidupan Anilla sangat jauh dari kata sedih dan susah. "Anilla takut mereka sakit, Mang!" teriak Anilla meluapkan segala kekesalannya. Ya, mungkin dia menangis bukan hanya khawatir pada orang tuanya, tetapi lebih pada menyalurkan rasa marah dan sedih yang dia rasakan pada saat ini. Bagas tak berani mendekati Anilla karena dia pun sadar, memberikan ketenangan pada Anilla hanya membuatnya semakin terluk
Setelah membereskan pakaian Anilla dan beberapa barang kesayangannya. Mereka memutuskan langsung pulang ke rumah Bagas. Dalam hati, Anilla hanya berharap baik-baik saja. Meskipun rasa cemas terus bergelayut dalam pikirannya. Cemas membayangkan kalau istri pertama Bagas akan menjambak rambutnya yang selalu dia rawat. Membayangkan pukulan demi pukulan akan dia terima. Dengan menghela napas panjang Anilla hanya bisa pasrah. "Nasi sudah jadi bubur, Anilla. Jalani semua ini dengan ikhlas!" batin Anilla berkata.Perjalanan yang terasa panjang, pasalnya baru kali ini Anilla datang ke rumah Bagas. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, selama perjalanan benaknya hanya diliputi oleh semua pemikiran yang belum terjadi. Memang karakter Anilla seperti itu, dia gadis yang selalu terlihat ceria dan tenang padahal kenyataannya dia seorang gadis yang selalu merasa cemas dan manja."Kamu mau makan dulu, Ann?" Bariton Bagas memecah keheningan.Netra Anilla beralih pad
Mobil Bagas terparkir di rumah elite dengan design modern, cat warna putih mendominasi rumah tersebut. Taman terhampar mewah dengan rumput hijau yang terpelihara. Beberapa mobil terparkir di rumah besar. Seharusnya Anilla bahagia, ketika melihat segala kemewahan yang ditampilkan di depan mata. Namun, sekarang lihatlah kini dia hanya bisa menundukkan pandangannya. Tak bergeming ketika Bagas mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk, Ann!" ajak Bagas. Dia menunjuk dengan wajahnya. Anilla hanya tersenyum sekilas. Melihat suaminya, yang kini telah menjadi imamnya. Dia mengiringi langkahnya dengan do'a-do'a, hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Bagas melangkah melewati Anilla, sedangkan Anilla berjalan di belakangnya. Bagas mengetuk pintu dan keluar lah seorang perempuan cantik dengan riasan natural. Tanpa mempedulikan Anilla, Bagas langsung memeluk dan mencium istri pertamanya ini. Jangan tanya lagi kini hati Anilla begitu sakit, terasa ribuan belati menghu
"Tega kamu, Mas! Setiap detik kamu menghancurkan hidupku, terakhir kamu berkata akan berusaha mencintai aku! Tapi, sekarang kata-katamu bagai belati yang menusuk hati ini. Kamu terang-terangan tidak akan membagi cintamu untukku!" lirih Anilla, dia menarik kakinya dan melipatnya sedikit. Ingin rasanya berteriak atau menjambak kepala mereka yang dengan sengaja melukai dirinya."Tak ada lagi yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa diam dalam sunyi. Membayangkan kalian selalu bersama sedangkan aku hanya jadi boneka patung yang terpajang tanpa arti," gumam Anilla seraya menangisi semua kejadian yang baru saja dilihat dan didengarnya.Perlahan dia membalikkan tubuh ringkihnya karena tidak sanggup lagi menatap jelas suami dan sahabatnya, berpelukan di depan mata. "Kapan cintamu akan berlabuh pada hatiku, Mas? Apakah aku sanggup melihat dan menjalani semua ini? Aku menyerah, aku lemah, aku hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari takdir Illahi!" lirihnya kembali terdengar karen
"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam. "Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla. "Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas. Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja. Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya. Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" t
"Menurutlah! Kalau kamu masih membantah... maka ganjarannya, semua harta yang aku berikan pada ayah dan ambu akan aku tarik kembali! Camkan itu!" bentak Bagas setengah berbisik tepat di samping kanan daun telinga Anilla.Mendengar kata-kata Bagas yang terkesan menyombongkan diri, amarah kembali membuncah dalam batin Anilla. "Silakan ambil kembali semua harta yang telah Anda berikan. Tapi ingat kalau benih ini tumbuh menjadi janin, jangan coba-coba mengambilnya dariku!" ujar Anilla seraya membalikkan tubuh. Matanya kini menatap Bagas dengan tatapan tajam tanpa berkedip. Dalam benaknya hanya ada kata benci ketika Bagas selalu mengancam kelemahannya.Plak!Plak!Dua tamparan keras kini mendarat di pipi mulus Anilla. Sesaat Anilla menatap Bagas dengan tatapan penuh tanya. "Apa Adisti diperlakukan seperti ini juga?""Sakit? Tamparan ini adalah hukuman supaya kamu tidak berkata seperti itu lagi! Aku ini suami kamu, Anilla! Dosa hukumn
Dalam kalut Anilla membereskan baju dari lemari, dan memindahkannya ke dalam koper.Dia sudah tidak peduli lagi, apa yang akan dikatakan oleh ayah dan ambu. Anilla sangat yakin ketika sampai di rumah, orang tuanya akan menghujani dengan rentetan pertanyaan dan wejangan. Tetapi hal itu akan lebih terasa lebih baik daripada terus bersinggungan dengan wajah-wajah munafik Bagas dan Adisti.Tok!Tok!Suara ketukan terdengar jelas, tapi tak memberhentikan aktivitas Anilla, dia terus membereskan barang-barangnya. Dia sangat yakin pasti Adisti dan Bagas ada di belakang pintu. Entah apa rencana mereka, apa untuk melepaskan atau menahannya?"Ann! Tolong buka pintunya! Kita harus bicara!" pinta Bagas sembari berdiri di balik pintu kamar Anilla. Wajah Anilla semakin berang, ketika mendengar suara Bagas. Tangannya terus memasukkan semua barang-barang miliknya dengan kasar."Ann!"Kini terdengar suara lembut Adisti
Pagi hari ini Anilla terlihat segar, dia semakin cantik dengan dress krem dengan motif bunga-bunga kecil. Tangannya begitu cekatan memotong semua sayuran yang ada di atas meja.Walaupun, dia terlihat lelah. Tapi, senyuman terus tercipta. Kemarin malam dia meminta izin pada Adisti untuk menyiapkan sarapan dan keperluan Bagas. "Pagi, Sayang!" sapa Bagas sembari mengalungkan tangannya di pinggang Anilla. "Pagi juga, Mas!"Cup!Bagas mengecup leher Anilla yang terbuka. Anilla terkejut mendapat perlakuan seperti ini, otaknya benar-benar tak bisa berpikir. Aroma soft gentle dari tubuh Bagas, begitu menenangkan. Walaupun, beberapa kali Bagas mendaratkan kecupan, Anilla tidak menolaknya. Malahan dia begitu menikmati. "Sarapan pagi ini, kamu aja, ya? Hehehe," kekeh Bagas seraya menyimpan spatula yang dipegang Anilla di atas panci. Kemudian dia memutar kenop kompor pada posisi off."Maksud kamu apa, Mas?" tanya Anilla