Share

Bayangan Masa Lalu

“Sebaiknya kamu pulang dulu, nanti datang lagi ketika istri saya sudah pulih total.” Gerald berucap ketika Dena ikut duduk di tepian ranjang yang bersebelahan dengan dirinya. 

Gerald semakin merasa tidak suka, sebab Dena bertindak semakin jauh. Seolah bahwa dia adalah bagian dari keluarga. 

Dena mendengkus kesal, padahal ia ingin sekali mengambil hati Gerald. Apalagi sekarang adalah waktu yang tepat. Memasang topeng baik di depan target. 

Dengan terpaksa, Dena bangkit dari ranjang dan pamit untuk pulang.

Gerald hanya merespons dengan wajah datar dan deheman pelan ketika Dena pamit dan mulai menghilang dari balik pintu kamar. 

Begitulah Gerald. Dingin dan kaku terhadap wanita lain. Ia hanya bisa manja dan mencair jika tengah bersama pawangnya. Felicia. 

Di luar sana, Dena bertemu dengan beberapa gadis yang ingin mengikuti sesi interview, barang kali diterima oleh Gerald. Namun, dengan liciknya Dena menyebarkan berita yang bukan-bukan. Ia ingin menakuti orang-orang agar mengurungkan niat untuk bertemu Gerald.

“Ini hanya lowongan gadungan, mereka akan menculikmu dan menjualnya di dark web. Bayangkan, mana ada orang yang mau membayar pekerja begitu mahalnya.” 

“Itu tipuan, saya sudah ke sana. Hampir saja saya jadi target. Ternyata mereka mau jual organ kita. Mana ada orang ngadain wawancara di kamar apartemen.”

“Saya udah ke sana, ada dagis yang udah mati. Perutnya dibelah, mungkin mau dijual organnya.”

“Eh, jangan ke sana. Mereka mau nyari cewek buat dijadiin tumbal proyeg.” 

Ada banyak berita bohong yang disebar oleh Dena agar saingannya untuk mendapatkan pekerjaan itu berkurang. Baginya, Gerald adalah emas yang tidak boleh dilihat oleh orang. Hanya dia yang pantas untuk mendapatkan posisi sebagai istri seorang Gerald.

Sementara di kamar apartemen, Gerlad masih tidak ingin mengalihkan pandangan dari Felicia. Barang sedetik pun, tidak ia izinkan wanita yang ia cintai hilang dari sorot mata.

Berbagai macam pesan masuk ke ponselnya. Juga ada beberapa panggilan penting yang tidak ia jawab sama sekali. Bahkan, benda pintar itu ia nonaktifkan saat asisten pribadinya memanggil untuk urusan penting. Ia sedang tidak ingin diganggu. Ada banyak waktu yang ia habiskan untuk pekerjaan, tapi sedikit waktu yang ia beri untuk Felicia. Dan kini, wanita itu tengah sakit. Sejahat itukah ia yang lebih mementingkan pekerjaan daripada kekasih sendiri?

Namun, Felicia tahu bahwa Ferald begitu mencintanya. Dunia dan seisinya pun tahu akan hal itu. Bahkan, Dena yang hanya bersama mereka untuk waktu singkat saja merasa cemburu atas perlakuan Gerald terhadap Felicia.

Dena belum tahu bahwa status mereka hanya sepasang kekasih yang belum terikat janji suci. Ia hanya tahu bahwa Gerald dan Felicia ingin menyewa rahim untuk calon bayi mereka. Itu pertanda bahwa mereka adalah sepasang suami istri, apalagi Gerald menyebut Felicia adalah istrinya.

“Sayang.” Gerald kembali mengompres jidat Felicia. Meneruskan aktivitas yang tadi sempat dilakukan oleh Dena.

Setelah sekian lama terlelap dalam tidurnya, Felicia terbangun juga. Ia merasa bahwa dirinya sudah agak mendingan, sehingga meminta Gerald untuk pulang. Apalagi ibu Gerald tidak suka dengan dirinya yang dianggap sebagai wanita murahan. Hal itu akan membuat hubungan Felicia dan ibunya semakin runyam. Sebab, hari sudah mulai malam. 

“Kamu makan, ya? Aku pesenin bubur.” Gerald berucap manja. 

Setegas-tegasnya Gerald di kantor, ia hanyalah pria manja di hadapan Felicia. Wanita itu selalu tertawa jika melihat sikap manja kekasihnya mulai keluar.

“Yang sakit itu aku, kok kamu yang manja.” Felicia tertawa seraya memukul pelan ubun-ubun Gerald yang menenggelamkan wajah di lehernya.

“Aku tuh panik banget tau. Kamu sakit kok gak bilang-bilang?” Gerald mencubit hidung Felicia gemas.

“Kamu pulang aja, ya. Udah malam. Besok masih lanjut kerja ‘kan?” Felicia berusaha meminta Gerald untuk segera pulang. 

“Aku nginap di sini,” ucapnya seraya masuk ke dalam selimut Felicia dan memeluk tubuhnya. 

Felicia hanya bisa menghela napas dalam. Pasrah. Sebab, semua permintaan Felicia akan dikabulkan, kecuali yang satu ini. Gerald tidak ingin pulang jika bukan karena keinginan sendiri.

“Aku udah pesen bubur ayam satu,” ucap Gerald tanpa ditanya. Ia tengah memainkan ponsel Felicia, sebab ponselnya sendiri masih ia nonaktifkan. 

“Kok cuma satu, kamu gak makan?” Felicia melingkarkan tangannya ke perut Gerald dengan memutar posisi tubuh untuk menghadap pria itu. Bukan wajah Gerald yang ia lihat, tapi bagian belakang ponselnya.

Felicia mendengkus kesal dan merampas ponsel itu dari tangan Gerald.

Gerald hanya tertawa, hawa panas napasnya langsung membentur lembut wajah Felicia.

“Kok ketawa sih? Aku lagi ngambek nih.”

“Kamu kalau ngambek ngegemesin banget. Bikin makin cinta.” Gerald semakin merapatkan tubuhnya dengan tubuh Felicia.

Untuk beberapa saat, mereka tidak saling berbicara. Hanya menatap satu dengan yang lain untuk mengukur seberapa dalam rasa cinta dari sorot matanya.

“Sayang ... kita nikah aja yuk!” Lembut Gerald meminta. Berusaha agar kali ini Felicia tidak marah ketika Gerald memintanya untuk menikah.

Andai Felicia berkata iya, hubungan mereka tidak akan serumit ini. Sudah sejak lama mereka akan tinggal bersama dan hidup bahagia.

Felicia memalingkan wajah. Ia menghela napas dengan dalam. Sebenarnya ia pun ingin pernikahan terjadi di antara mereka. Hanya saja, masih ada rasa takut yang ia pendam dalam-dalam. Takut dicampakkan, takut sikap Gerald berubah setelah mereka menikah, takut jika ibu Gerald semakin tidak suka padanya, dan ketakutan-ketakutan lain yang sampai sekarang masih menghantui pikirannya.

Bagaimana jika sikap Gerald sama seperti ayahnya? Yang meninggalkan ibunya ketika ia masih berusia 5 bulan dalam kandungan. Bagaimana jika sikap Gerald sama seperti bapak tirinya, yang setiap hari main tangan bahkan sempat ingin melecehkan dirinya yang belum genap lima tahun waktu itu. Bagaimana jika sikap Gerald sama seperti bapak angkatnya yang menjual ia ke penampungan pelacur. 

Semua lelaki yang pernah ia jumpai sama bejatnya. Bersikap baik ketika ingin mendekati, lalu berubah brutal setelah merasa memiliki. Felicia hanya tidak ingin itu terjadi.

Tiga kali ia punya bapak, tapi tidak ada yang baik sama sekali.

Bahkan, ia harus kehilangan ibunya karena dijual oleh bapak tirinya ke seorang pidana yang baru keluar dari penjara. 

Ibunya harus meregang nyawa di depan mata Felicia sendiri, sebab menolak ingin disetubuhi. Puluhan kali pisau tajam itu menusuk dada ibu Felicia. Setelah kehilangan nyawa, pria bejat itu masih ingin menuntaskan nafsu dengan jasad ibu Felicia.

Felicia masih ingat dengan jelas, saat itu ia menangis di sudut kamar. Menyaksikan sendiri hal buruk yang menimpa ibunya tanpa mampu berbuat apa-apa.

Ia meringkuk ketakutan sembari memeluk kedua lutut gemetar. Takut jika akan menjadi korban selanjutnya oleh keganasan narapidana tersebut. 

Felicia masih ingat dengan jelas semua kejadian itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status