Share

Perasan yang Mengganjal

Felicia masih ingat semua kejadian pahit itu. Ketika ia berada dalam puncak ketakutan, sebab tidak ada orang dewasa di sana. Hanya dirinya, jasad sang ibu, dan juga si narapidana pembunuh. 

Setelah merasa puas menikmati tubuh jasad ibu Felicia, pria bejat itu beranjak mendekat ke arah sosok mungil Felicia. Gadis kecil itu semakin ketakutan, teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Ketika ibu dan bapaknya bertengkar hebat, sebab sang bapak sambung ingin menikmati tubuh Felicia. Sementara gadis itu belum genap 5 tahun usianya.  

Felicia semakin gemetar saat tubuh bugil penuh darah itu mendekat ke arahnya dengan tatapan ingin menerkam. Ia takut jika nasibnya akan sama seperti sang ibu. Tewas di tangan lelaki tidak bermoral. 

Tangan mungil itu sudah ditarik paksa, membuat tubuh mungil Felicia harus berdiri karenanya. 

Mata polos nan indah itu menatap sang pria dengan sorot penuh iba. Berharap diberikan kesempatan untuk melarikan diri. Meskipun ia tidak tahu harus ke mana.

Tangan kotor yang dipenuhi darah itu mulai menarik kaus Felicia. Berniat untuk melucuti paksa. Padahal ia tahu betul berapa usia anak yang kini tengah berdiri di hadapannya. Jika hewan dianggap makhluk rendahan, maka pria itu lebih rendah daripada hewan.

Benturan keras dari arah pintu membuat aksi si pria terhenti seketika. Seorang lelaki dewasa yang berpenampilan hampir serupa muncul di baliknya. Felicia semakin ketakutan. Satu pria saja mampu menghabisi nyawa ibunya, apalagi kini ada dua pria.

“Ini sudah kelewatan!” Si pria dengan tato naga di lengan kanan mencoba mengingatkan. 

“Urus saja urusanmu. Mereka sudah dijual padaku!” Si pria yang berlumuran darah tidak ingin mengalah.

“Kita memang bukan orang baik, tapi menyakiti anak kecil bukan jalan kita.” Pria berambut mohak itu masih mencoba untuk menghentikan.

“Aku berhak melakukan apa pun pada mereka, mereka sudah menjadi hak milikku!”

Ternyata mereka adalah teman seperjuangan. Yang menjadi penghuni baru rumah ini setelah dijual oleh bapak tiri Felicia. Bukan hanya rumah, ternyata semua isinya pun ikut dijual. Termasuk Felicia dan ibunya.

“Bukan cuma milikmu, tapi juga milikku! Aku juga berhak berbuat apa pun pada mereka!” Pria itu meninggikan suara. Emosi sudah menguasai dirinya.

Dengan kesal, pria itu tidak jadi menjalankan aksi. Ia membanting pintu kamar dengan kasar, lalu keluar begitu saja tanpa ada rasa bersalah sama sekali. 

Felicia akhirnya bisa bernapas dengan sedikit lebih lega. Setidaknya ia tidak jadi dihabisi saat itu juga. Namun, entah bagaimana nasibnya nanti, itu akan menjadi sebuah misteri baginya. Yang terpenting ia masih hidup. Dan pria bertato itu adalah penyelamat yang dikirim Tuhan untuknya.

Merasa punya utang budi, Felicia selalu bersikap baik pada pria bertato. Menganggap lelaki itu sebagai pengganti bapaknya yang sudah menjual ia pada dua lelaki itu.

Meskipun bukan orang yang baik, setidaknya pria itu tidak ada niat untuk berbuat jahat pada Felicia kecil. Ia hanya membentak dan menyuruh untuk melakukan ini dan itu. Setidaknya, ia merasa Felicia sedikit berguna dengan menjadikannya pengurus rumah. Semua pekerjaan rumah diserahkan seutuhnya kepada Felicia secara perlahan hingga gadis itu tumbuh remaja. 

Karena terlilit utang banyak, si pria tidak punya jalan selain menjual Felicia kepada penampungan pelacur. Gadis itu diminta untuk menjadi gadis penghibur.

Bertahun-tahun tinggal dengan dua mantan narapidana, membuat Felicia tumbuh menjadi gadis yang bermental kuat. Menjadi pekerja wanita di bar bukanlah masalah besar baginya. Ia pandai berkelahi, setidaknya untuk menjaga diri. 

“Maaf ....” Gerald kembali memeluk Felicia dengan erat. 

Melihat ekspresi wajah Felicia, membuat Gerald dipenuhi oleh rasa bersalah.

Pelukan itu membuat Felicia kembali dari kenangan pahit masa lalu. Bahkan, hingga kini ia tidak tahu di mana jasad ibunya dibuang. Ia juga tidak tahu mengapa kematian ibunya tidak sampai tercium oleh polisi. 

“Maafkan aku ....” Gerald kembali mengulang kata maaf.

Felicia hanya terdiam dengan air mata yang membasahi pipi. Ini bukan salah Gerald, dirinyalah yang bersalah di sini. Karena belum bisa berdamai dengan diri sendiri. Harusnya ia lupakan saja kenangan pahit itu, agar bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang masa lalu. 

Melihat Felicia menangis, Gerald semakin merasa bersalah. Apalagi tubuh wanita itu kembali bergetar hebat.

“Feli ... maaf jika aku bersalah.” Gerald masih tetap mencoba untuk meminta maaf.

Felicia mengusap wajah dengan kedua tangan. Dihelanya napas dengan dalam. Mencoba untuk menetralisir perasaan. 

“Kamu gak salah. Gak pernah salah,” ucap Felicia sembari kembali berbalik dan membalas pelukan Felicia.

Wanita itu kembali terisak dalam pelukan Gerald. Membuat pria itu bingung dengan sejuta pertanyaan. 

Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam dengan kondisi saling berpelukan. Tidak ada suara yang terdengar, hanya isak tangis Felicia yang sejak tadi masih belum bisa dihentikan.

Gerald tidak bisa berbuat apa-apa selain memberikan bahu untuk tempat bersandar. Dada untuk menumpahkan semua perasaan. Gerald tahu, Felicia hanya butuh pelukan.

Hingga bel pintu terdengar memecah keheningan.

“Sayang sebentar, ya, aku mau liat ke depan.” Gerald melepas pelukan dan beranjak dari ranjang. 

Ternyata pesanan makanan yang datang. Gerald bahkan sudah lupa jika belum makan seharian, karena terlalu terfokus pada Felicia. Ketika di kafe tadi siang pun, mereka hanya minum sebentar. Tidak sempat untuk menyicip makanan yang sudah dipesan.

Setelah membayar lewat aplikasi, Gerald kembali menutup pintu dan beranjak ke ranjang. Melihat makanan enak terhidang, perut Gerald mulai keroncongan menunjukkan rasa lapar.

“Makan dulu, yuk, kamu belum makan dari tadi siang.” Gerald mencoba untuk membujuk. 

Felicia hanya menggeleng lemah.

“Kalau kamu sakit, aku juga bakalan ikut sakit. Kalau aku sakit, siapa yang bakalan kamu repotin?” 

“Ada banyak yang antri.” Felicia menjawab sekenanya.

“Tapi gak ada yang sesabar aku.” Gerald berucap jujur.

Felicia hanya bisa menghela napas dengan dalam. Berdebat dengan Gerald tidak akan ada gunanya. Pria itu tidak akan ingin mengalah jika untuk memberikan yang terbaik bagi Felicia. 

“Suapin!” Felicia berucap sembari membuka mulut meminta untuk disuapi.

“Ribet banget punya bayi besar,” ucap Gerald seraya menyuapkan bubur ke mulut mungil Felicia. 

Felicia hanya tersenyum tipis. Begitu juga dengan Gerald. 

“Gimana interview-nya? Udah ada yang cocok?” 

“Kamunya aja sakit, gimana aku bisa fokus interview?” 

“Jadi, belum ada, ya?” 

Gerald menggeleng pelan.

Ujung bibir Felicia bergerak, seperti ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan.

“Batalin aja, ya?” Gerald ragu bertanya, takut jika Felicia kembali marah padanya.

Felicia menarik sudut bibir kanan, juga mengerutkan dahi. Bingung ingin menjawab apa. Ia ingin membatalkan, tapi masih ada perasaan yang mengganjal. Ingin melanjutkan pun, ia seakan enggan. Sebab, punya firasat besar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nursapitri Pitri
seru dan bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status