Share

Felicia Jatuh Sakit

Bagi Gerald, permintaan Felicia adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan. Wanita itu adalah hal penting dari semua yang terpenting. Ia adalah ratu kerajaan yang dibangun oleh Gerald. Sang pemilik hati yang tidak akan pernah terganti.

Sepanjang perjalanan, Gerald berulang kali menoleh ke arah Felicia demi memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja. Beberapa saat fokus ke jalan, lalu detik berikutnya kembali fokus ke arah Felicia. Selalu begitu hingga mereka tiba di parkiran apartemen.

Mobil melambat dan berhenti ketika mereka telah sampai. Gerald turun dengan cepat, lalu berlari ke arah sisi mobil lainnya untuk membukakan pintu bagi Felicia. Digendongnya tubuh langsing itu karena Felicia tampak sudah tidak berdaya untuk berjalan sendiri. Padahal ia selalu menjaga kesehatan, bahkan rutin untuk olah raga ke gym demi mendapatkan posri tubuh yang ideal.

Gerald juga selalu menunjang berbagai vitamin agar Felicia tetap fresh dan segar. Bertahun-tahun mereka bersama, ini untuk pertama kalinya Felicia jatuh sakit. Entah karena apa.

Felicia melingkarkan kedua tangannya ke leher Gerald dengan kepala yang menyender ke dada bidang milik lelaki berhidung mancung itu.

Kamar mereka berada di lantai atas, sehingga harus naik lift untuk segera tiba di sana. Gerald berulang kali menahan napas demi tetap bisa menggendong tubuh Felicia. Karena terlalu sibuk bekerja, ia jarang sekali bisa berolah raga, inilah akibatnya sekarang. Ia tidak begitu kuat untuk menggendong Felicia yang berharap lebih padanya.

Gerald mulai merasakan kebas di otot lengannya, tapi tetap berusaha setenang mungkin agar Felicia tetap nyaman di sana. Lift terbuka saat kotak besar itu telah tiba di lantai dasar. Gerald segera masuk ke sana dan menekan lantai di mana kamar mereka berada.

Hawa panas tubuh Felicia bahkan bisa dirasakan Gerald meski lelaki itu telah mengenakan pakaian tiga lapis. Kaus dalam, kemeja, juga jas. Mimik wajahnya terlihat begitu khawatir. Ia masih bertanya-tanya, apa yang terjadi ketika mereka di rumah sakit tadi?

Tubuh lemah Felicia dibaringkan di ranjang besar nan mewah oleh Gerald. Tanpa diminta, lelaki itu membuka sepatu juga mengganti pakaian milik Felicia. Ia merawat wanita itu layaknya istri sendiri. Lelaki berjas hitam itu beranjak untuk mengambil termometer dan menjepitkannya ke ketiak Felicia.

Di sana tertulis angka 42° pertanda bahwa demam Felicia sangat tinggi. Gerald panik seketika. Ia menghubungi dokter agar segera datang untuk mengecek kondisi kesayangannya. Di saat bersamaan, seorang wanita datang menekan bel.

Wanita itu tampaknya orang baik-baik. Ia mengenakan kemeja pink panjang dengan rok hitam panjang. Rambut hitam legam, lurus sepinggang. Rambut itu diikat rapi ke belakang. Terlihat sangat keibuan.

“Saya masih gadis,” jawab wanita itu saat Gerald bertanya tentang statusnya.

“Nama?”

“Dena.”

Berulang kali Gerald menoleh ke belakang, ke arah ranjang di mana Felicia berbaring lemah di sana. Gerald sudah menyelimuti tubuh itu dengan beberapa lapis selimut tebal, tapi ia tetap saja gemetar kedinginan.

“Istrinya kenapa?”

Dena bertanya dengan sorot mata mengikuti arah mata Gerald.

“Demam.” Gerald menjawab datar seraya kembali menoleh ke arah Dena.

Tanpa meminta izin, Dena bangkit dari sofa. Ia berjalan pelan menuju tempat di mana Felicia berada. Diletakkan punggung tangan ke arah dahi Felicia. Panas. Itu yang ia rasakan.

“Demamnya tinggi, kenapa tidak dikompres?” Dena bertanya dengan sorot mata lembut menatap Gerald.

Gerald duduk di tepian ranjang. Ia tidak menjawab pertanyaan Dena. Karena terlalu panik, lelaki itu tidak tahu harus berbuat apa.

Gerald mengusap ubun-ubun Felicia berkali-kali. Dimasukkannya tangan ke selimut untuk menggenggam tangan Felicia yang gemetar sejak tadi.

Entah kapan perginya, Dena kembali lagi ke ranjang dengan tangan kanan memegang gayung berisi air.

“Saya sudah mencari baskom ke mana-mana, tapi tidak ada,” ucapnya tanpa diminta.

Wajar saja, di apartemen ini tidak ada perabotan makan sama sekali. Bahkan Felicia tidak pernah memasak setelah berhubungan dengan Gerald. Semuanya dipenuhi dengan sangat baik. Catering, laundry, salon, gym, semuanya ditanggung oleh Gerald.

Bahkan sapu tangan pun tidak ada. Dena mengompres kening Felicia dengan kaus pendek yang ia dapat di dalam lemari. Ia mengambil tanpa izin.

Gerald merasa sedikit tidak nyaman dengan keberadaan Dena. Sebab, wanita tampak tidak ada segannya sama sekali. 

Setelah dikompres beberapa saat, suhu tubuh Felicia perlahan menurun meskipun persentasenya sangat tipis. 

Tidak lama berselang, dokter yang diminta Gerald akhirnya datang juga. Ia mengecek kondisi Felicia yang sedari tadi hanya terpejam dengan mulut terus memanggil nama Gerald.

“Ini saya beri obat penurun panas.” Dokter berucap setelah mengecek kondisi Felicia.

“Apa ada penyakit yang serius?” Gerald bertanya dengan nada penuh khawatir.

“Tidak, tapi sepertinya ia punya banyak beban pikiran.”

Gerald meremas tangan Felicia dengan lembut.  Beribu pertanyaan muncul dalam pikiran. Ingin sekali ia marah pada Felicia karena telah memendam masalah sendirian. Apa yang menjadi beban pikirannya? Mengapa ia tidak berbagi beban dengan Gerald?

“Feli.” Diciumnya kening Felicia lama. Tidak peduli dengan keberadaan Dena dan dokter di sana.

“Kurang-kurangi berpikir yang berat-berat. Imunitas tubuhnya juga menurun. Nanti saya beri vitamin penambah daya tahan tubuh, biar tidak mudah sakit.” Dokter kembali berucap.

Lelaki berjas putih itu beranjak menuju tas hitamnya untuk mengambil obat. Semua obat yang ada di dalam tas itu adalah yang terbaik dari yang terbaik. Mahal sudah pasti, tapi itu bukan masalah apa-apa bagi Gerald. Uang bukan masalah besar baginya, yang terpenting Felicia cepat pulih dan sehat.

“Jika panasnya belum turun dalam beberapa hari, hubungi saya kembali.” Dokter kembali berucap sebelum pamit pulang.

Gerald mengangguk pelan seraya merogoh saku untuk mengambil dompet. Namun, di sana sudah tidak ada lembaran uang, hanya tersisa kartu-kartu penting.

“Nanti saya bayar, masukkan saja dulu ke list seperti biasa,” ucap Gerald. Sebab, dokter itu dokter keluarga. Selalu rutin mengecek kondisi ibunya juga dia.

Sang dokter hanya mengangguk paham tanpa bertanya lebih lanjut lagi. Lalu, pamit untuk pergi karena masih ada pasien yang harus ia urus.

Gerald kembali fokus pada Felicia. Ia terlihat begitu peduli dan sayang pada wanita yang terbaring di hadapannya. Hal itu membuat Dena merasa iri, ingin berada di posisi Felicia kini. Merasa bahwa Felicia sangat beruntung, sebab bisa memiliki suami seperti Gerald yang kaya dan juga sangat perhatian. Merasa dirinya lebih layak, sebab Felicia tidak bisa memberikannya keturunan, sementara Dena merasa dirinya subur dan lebih pantas untuk Gerald, bukan Felicia.

Dena bertekad untuk bisa mendapatkan Gerald dan memilikinya seuntuhnya. Bahkan, jika bisa semua harta milik Gerald harus berpindah ke tangannya, agar ia bisa mengekang lelaki itu untuk berpisah Dengan Felicia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status