Share

Kepergian

Kepalaku menunduk begitu melihat kondisi Mama yang memilukan. Bukan lagi luka lebam dan jahitan, seluruh tubuhnya kini sudah dipasang beberapa perangkat alat rumah sakit yang mampu menunjang hidup untuk sementara waktu. Dokter yang menangani sampai meminta para wali siaga karena kondisi selama satu sampai dua hari ke depan menjadi penentu. Semoga tidak akan terjadi perburukan, semoga Mama bisa menerima obat dan hasil operasi yang tadi dilakukan, dan yang pasti semoga tidak ada komplikasi.

Kamar pemulihan ini hanya menyediakan satu bangsal, hanya diisi seorang pasien saja, sehingga kami bisa fokus melihat dan berdoa dalam ruangan. Hatiku sudah tak karuan begitupun detak jantung yang terasa semakin tidak menenangkan. Bukan maksud tidak percaya, sekali melihat saja aku sudah bisa merasakan kalau Mama tak akan mampu bertahan hidup lebih lama.

Ponsel dalam genggaman sudah melancarkan aksinya berkali-kali. Tiada henti aku mengirim pesan kepada Bagas supaya segera datang ke lokasi. Entah apa yang menjadi penyebab dia slow respons. Tidak ada satu pun sahutan yang masuk, baik untuk menenangkan atau bahkan memberiku kepastian kapan ia akan datang.

"An,"

"Ya?" Buru-buru aku mengangkat kepala. Melihat Bapak yang memanggil tiba-tiba.

"Bapak mau minta tolong boleh?" tanya beliau sungkan. Tidak seperti biasanya.

"Minta tolong apa, Pak?"

"Tolong jaga mama sebentar. Bapak mau pergi ke musala—"

"Duh, Bapak di sini, aja. Jangan pergi-pergi. Kalau ada apa-apa susah karena gak akan ada yang cari." Aku tidak mungkin meninggalkan pasien demi mencari Bapak 'kan?

"Kalau ada apa-apa kamu bisa chat atau telepon 'kan? Bapak benaran mau di musala, aja. Mau zikir dan mengaji."

Perasaanku semakin campur aduk saja. Ingin menangis, tetapi tak bisa. Ingin ditemani, tetapi Bapak tetap memilih pergi. Alhasil, Bagas yang terkena imbasnya. Berkali-kali aku mengirim pesan supaya dia cepat-cepat datang. Aku butuh teman karena ingin dikuatkan.

Jeritan hatiku sepertinya didengar baik oleh Tuhan. Tak berapa lama berselang dari kepergian Bapak. Pintu ruangan diketuk dari luar. Aku beranjak, menyaksikan dengan mata telanjang kedatangan Bapak Arya Setiawan. Tentu saja napasku langsung tertahan. Kenapa akhir-akhir ini beliau selalu datang, padahal aku tidak mengundang?

"Bapak tahu dari mana rumah sakit ini?" Spontanitas saja, sebagai wujud formalitas juga aku melancarkan sebuah sapaan.

"Cuma asal pikir saja, cuma rumah sakit ini yang jaraknya deket sama rumah kamu."

Yes, jawaban yang memang tidak mengecewakan. Sudah aku batasi, tetapi jalan pikirnya yang menolong diri sendiri. Memang layak diacungi jempol untuk kecerdasan beliau.

"Kamu sendiri?" Pak Arya melangkah guna mengikis jarak di antara kami.

"Tadi ada Bapak. Cuma Bapak pergi ke musala."

Pak Arya hanya mengangguk dan langsung mengalihkan pandangan dariku. Kedua tangannya menyentuh pinggiran bangsal, melihat dengan seksama alat pasien monitor yang diletakkan di samping tubuh Mama.

"Seharusnya, sih, gak akan ada masalah. InsyaAllah."

Aku termangu. Nyatanya, ada orang yang berkenan menghibur meskipun aku tidak memintanya melakukan hal tersebut. Syukurlah. Alhamdulillah. Setelah mendengarnya, hatiku jadi selangkah lebih tenang.

"An?"

"Ya, Pak," jawabku cepat sambil memandang wajah beliau.

"Boleh saya ikutan duduk? Saya juga mau ikut pantau kondisi mama kamu."

Jika tidak diizinkan, aku bisa sendirian bukan? Sayangnya, sekarang aku tidak mau sendirian di dalam ruangan. Namun, sebelum setuju, aku ingin mempertanyakan kondisi apotek terlebih dulu.

"Kalau Bapak ikut jaga, apotek gimana?"

"Ya, gak gimana-gimana. Sekarang tutup, kalau datang anak sif siang dibuka."

Benar. Aku lupa kalau beliau pemilik. Berpikir simpel saja ya, kan? Ada waktu buka, tak ada waktu toko ditutup saja.

Aku tidak mengajaknya bicara lagi. Hanya memberi beliau sebuah kursi sebagai bentuk persetujuan atas permohonan izinnya tadi. Iya, aku mengizinkan. Tidak apa, jika dia ingin bergabung memantau kondisi Mama. Toh, lebih enak begini. Aku lebih merasa percaya diri karena Bapak memilih pergi.

Sejam, dua jam kami menjaga Mama dalam suasana hening. Sengaja tidak mengajak Pak Arya bicara karena aku tidak mau terlalu dekat apalagi sampai menaruh harapan besar padanya. Bagaimanapun, aku harus sadar posisi dan situasi. Beliau hanya sekadar atasan di mataku. Tidak lebih dan tidak kurang.

Keheningan itu seakan pecah karena pasien monitor yang terhubung dengan tubuh Mama berbunyi. Pak Arya dengan sigap berjalan mendekat, membaca angka-angka parameter yang tertera sebelum akhirnya berkata, "Telepon bapak kamu, An."

Nyaliku ciut, belum lagi karena beliau menekan bel emergency berkali-kali untuk memanggil tim medis. Tanganku gemetaran, berusaha menekan layar hingga buyar. Aku menyaksikan tubuh Mama menegang, menghentak-hentak bangsal sampai deritnya membuat telingaku peka disertai mata yang terpejam. Situasi seakan menjadi tidak terkendali karena kedatangan tim medis yang cekatan. Pak Arya buru-buru merangkul tubuhku supaya mau berjalan menjauhi mereka yang hendak memberikan pelayanan.

Ponselku lantas diambil alih beliau. Aku yang fokus memperhatikan penanganan Mama hampir tidak peduli dengan gerak-gerik Pak Arya yang mencoba menghubungi Bapak. Tepat di detik selanjutnya, aku mendengar monitor pasien berbunyi nyaring. Garis status detak jantung yang tadinya naik-turun seperti gunung berubah putus-putus hingga menjadi lurus sempurna. Dokter yang sudah memberikan penanganan darurat pun berujung menengok arloji. Beliau dengan napas terengah berkata, "Tanggal 14 Mei 2021, pukul 11.01. Pasien atas nama Anggita Pradana dinyatakan meninggal dunia."

Spontan aku menjerit, berlari ke bangsal Mama yang dijauhi beberapa tim medis.

"Ma ...," teriakku yang belum percaya tentang ini. Aku sampai menggoyangkan tubuh beliau, berharap dengan begitu matanya terbuka barang untuk sedikit saja.

Sebuah tangan kemudian terasa menggenggam erat lenganku. Perlahan-lahan menarik tubuhku hingga berbalik dan jatuh ke dalam pelukannya. Aku menangis, meraung sejadinya tanpa peduli sosok yang memberiku dekapan erat dan penuh penguatan. Pikiranku teramat kacau sekarang. Terlebih saat Bapak datang dan memasuki ruangan. Tangisku semakin pecah begitu mendengar Bapak memanggil nama istrinya yang telah tiada.

***

Kami duduk dan termenung. Melihat seonggok tubuh yang kini terbaring tidak bernyawa dengan hati pasrah. Ini terlalu mendadak untuk kami, terlampau mengejutkan sehingga kami membutuhkan waktu lama untuk tersadar dari alam bawah sadar.

Sebuah sentuhan perlahan aku rasakan. Bapak menepuk-nepuk punggung tanganku sambil berkata, "An, bapak mau minta tolong boleh?"

"Gak boleh," tolakku mantap karena tak ingin ditinggal untuk yang kedua kali. Tidak ada Pak Arya di sini, aku takut jika menjaga Mama sendiri.

"Tolong bantu Arya urus surat-surat kepulangan Mama." Bapak tetap bersikukuh meminta tolong, padahal aku sudah menolaknya. "Kasihan dia. Pasti lama urus surat-surat karena gak tahu data-data Mama."

Mataku terpejam. Ada benarnya juga ucapan Bapak. Sudah terhitung dua puluh menit Pak Arya menghilang. Beliau pasti kesulitan mengisi data diri pasien sampai tidak bisa kembali secepatnya kemari.

"Sekarang biar bapak yang jaga, aja. Kamu boleh pergi cari angin sebentar."

Aku menurut, tidak lagi diam di kamar dan bergegas mencari atasan yang sedang mengurus ranah pribadi karyawannya. Pencarianku terhadap Pak Arya nyatanya tidak membutuhkan waktu lama. Beberapa detik melangkah, mataku sudah mendapati sosoknya tengah duduk di meja pengisian data. Dia terlihat bingung, tertekan, dan tak bisa menulis apa pun di sana. Wajahnya menunjukkan rasa penuh kekalutan, padahal hari ini yang meninggalkan dunia bukanlah ibunya. Tahu kesulitan yang sedang dialami beliau, aku lantas melanjutkan langkah untuk mendekatinya.

"Pak," tegurku karena beliau terlihat fokus membaca kertas tanpa menyadari kehadiranku di sini.

"An, kelamaan, ya? Maaf, saya bingung soalnya."

Aku tak bisa melewatkan diri untuk tersenyum. Bisa dibilang ini kali pertama aku mendengar beliau meminta maaf dan kebingungan karena tidak bisa menyelesaikan sesuatu. Tak mau menempatkan Pak Arya dalam posisi yang lebih sulit, aku bergegas menarik kursi, lalu duduk di sebelahnya.

"Sini, Pak. Saya pinjam pulpennya," kataku sambil mengulurkan tangan.

Pak Arya menggelengkan kepala. "Kamu cukup duduk dan sebutin, aja, data diri Mama Anggita. Urusan tulis menulis, biar saya yang wakili."

Entah kenapa telingaku merasa nyaman karena beliau menyebut mama dengan sebutan Mama Anggita. Mendadak terasa seperti tidak ada sekat di antara kami yang notabene berstatus sebagai atasan dan karyawan. Beliau seolah menunjukan perubahan sikap yang selama ini tidak pernah ia tunjukkan selama berada di tempat kerja. Sebuah hal yang mengganggu tiba-tiba melintas bertepatan dengan Pak Arya yang memberiku pertanyaan lanjutan.

"Tanggal lahir Mama, An?"

"Pak," panggilku tiba-tiba. Alih-alih menjawab dan melanjutkan pengisian data, aku malah tertarik untuk balik memberinya pertanyaan yang mengganggu benak. "Kalau posisinya yang meninggal itu orang tua Fuji atau Anisa, apa Bapak bakalan kayak gini juga?"

"Kayak gini, gimana maksudnya?" Pak Arya menolehkan kepala, membuat kami bersitatap dengan jarak yang sangat dekat.

"Kayak gini ... sepeduli ini," kataku tanpa mengedipkan mata. Aku yakin beliau paham arah pertanyaanku.

"An ...." Pak Arya tampak menimbang kata sebelum akhirnya melanjutkan ucapan. "Saya sepeduli ini karena kamu orangnya. Cukup kamu orangnya."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status