Di dalam salon mewah, suara alat-alat perawatan tiba-tiba lenyap, tergantikan keheningan yang menegangkan. Selena berdiri angkuh di tengah ruangan, jari-jarinya yang lentik menunjuk Kalingga yang duduk diam di sudut.
“Salon eksklusif seperti ini seharusnya tidak menerima sembarang orang,” ucap Selena dengan senyum tipis yang menawan, namun penuh racun. “Kalian harusnya tahu standar pelayanan di tempat seperti ini. Bukan untuk ... ya, orang seperti dia.” Kalingga menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. Hatinya terasa sakit mendengar hinaan itu, tapi ia tahu, melawan hanya akan mempermalukannya lebih dalam. Perasaan rendah diri yang selama ini dipendamnya mendadak menyeruak. Benar kata Selena, pikirnya getir. Aku memang bukan siapa-siapa. Bahkan di sini pun aku dianggap tak pantas. Namun sebelum suasana semakin panas, pintu kaca salon terbuka. Suara langkah sepatu tergesa, membawa aura darurat yang membuat semua orang menoleh. "Mbak Selena, janji temu dengan sutradara film itu maju jam tiga sore ini! Kita nggak akan keburu kalo harus perawatan. Cus kita ganti jadwal perawatannya besok saja!" kata perempuan yang membawa macbook itu terengah-engah. "Apa kamu bilang?" Selena terbelalak lalu beranjak pergi meninggalkan ruang perawatan salon dengan cepat. "Kamu nggak apa-apa, Ling?" Ilman mendekati Kalingga yang tampak lega setelah Selena membuatnya begitu rendah di hadapan semua staf. **** Di dalam mobil, perjalanan menuju toko terasa hening. Kalingga memandang keluar jendela, berusaha menahan rasa sesak di dadanya. Tapi semakin ia mencoba, semakin sulit mengendalikan perasaannya. “Mas Ilman ....” suaranya lirih, seperti memohon pengertian. Ilman melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali fokus pada kemudi. “Ada apa, Lingga?” Kalingga menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara. “Aku merasa ... bodoh. Kalau aku tahu semuanya akan seperti ini, mungkin aku tidak akan menyetujuinya.” Suaranya bergetar, mencerminkan kekacauan yang dirasakannya. “Ayah tetap meninggal meskipun aku melakukan ini,” lanjutnya, air matanya mulai menggenang. “Sekarang aku hanya menjadi boneka. Tidak dihormati, tidak dianggap. Cepat atau lambat, rahasia ini akan terbuka, dan hidupku akan hancur. Siapa yang mau menerima wanita seperti aku setelah ini?” Mendengar kalimat itu, Ilman menghentikan mobil di pinggir jalan. Ia menatap Kalingga, ada ketegasan dan kesedihan di matanya. “Lingga,” katanya pelan namun penuh keyakinan. “Kamu jauh lebih berharga dari apa yang kamu pikirkan. Jangan pernah merasa rendah diri hanya karena situasi ini.” “Tapi aku ....” Kalingga menunduk, air matanya jatuh satu per satu. “Aku sudah menghancurkan masa depanku sendiri. Apa yang bisa aku harapkan setelah ini?” Ilman menghela napas, lalu dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, “Aku akan menikahimu setelah semua ini berakhir.” Kalingga mendongak dengan mata terbelalak, tak percaya apa yang baru saja ia dengar. “Mas Ilman, jangan bercanda!” “Aku serius, Ling. Aku tidak bercanda.” Tatapan Ilman penuh keteguhan. “Aku sudah lama mencintaimu, bahkan sebelum semua ini terjadi. Kalau saja aku lebih cepat, mungkin aku sudah melamarmu saat kamu lulus SMA setahun lalu. Tapi sekarang, aku hanya bisa menunggu. Bertahanlah, Lingga. Semakin cepat semuanya selesai, semakin cepat kamu bisa bebas.” Kalingga tak mampu berkata-kata. Ada kehangatan yang merayap di hatinya, memberi sedikit harapan di tengah kegelapan. Kata-kata Ilman seperti lilin kecil yang menyalakan harapan di hati Kalingga. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Namun, di sisi lain, ia juga tahu bahwa hidupnya kini terikat pada perjanjian dengan Gala. Ketika mereka kembali ke rumah, setelah Kalingga baru saja masuk. Deru mobil lain memasuki halaman, Gala pulang ke rumah itu. Dengan tulus Kalingga menunjukkan perhatian kecilnya pada Gala. Ia menyiapkan teh hangat, membantu melepas jas, dan bahkan menawarkan untuk melonggarkan dasi suaminya. Tapi tangannya dihentikan oleh Gala dengan tiba-tiba. “Kamu tidak perlu melakukan ini.” Suara Gala dingin, seperti pisau yang menusuk hati Kalingga. “Kamu hanya akan hamil dan melahirkan anakku. Bukan menjadi pelayan atau istri yang melayaniku.” Kalingga menarik tangannya perlahan, menatap Gala dengan mata berkaca-kaca. Tapi kali ini, ia tak ingin diam. Aku harus melakukan hal memalukan ini. Semakin cepat hamil, semakin cepat pula belenggu ini terlepas. Kalingga menarik napas dalam-dalam dan bertekad dalam hatinya. Dalam diam, Kalingga melepaskan jilbabnya, mendekat dan mencoba menggoda Gala di kamar. Namun, Gala hanya mendorongnya pergi dengan kasar. Gala menatapnya sinis, “Kamu tak perlu merendahkan dirimu untuk mendapatkan apa yang memang sudah menjadi tugasmu. Kita lihat besok, Kalingga!” Kata-kata itu menjadi duri tajam yang tertancap dalam hati Kalingga. Dia menatap punggung Gala yang pergi meninggalkannya dengan perasaan hancur, tapi tekadnya semakin kuat. “Ayah saya sudah meninggal, Tuan,” katanya dengan suara gemetar mengehentikan langkah Gala. “Perjanjian sudah dibuat. Jika saya hanya bertugas untuk hamil dan melahirkan anak Anda, maka cepatlah lakukan. Saya ingin semuanya segera selesai.” Gala tertegun, tak menyangka keberanian itu muncul dari wanita yang selama ini dianggapnya polos dan lugu. Tatapan Kalingga berubah, ada kemarahan dan rasa terhina yang berkecamuk. Gala menatap Kalingga dengan tajam, “Kamu pikir aku pria murahan yang akan dengan mudah melakukannya?” Kalingga membalas tatapan tajam itu dengan berani. Dia harus menyelesaikan secepatnya tanpa harus terluka lebih dalam. Napas Kalingga memburu, hatinya sakit mendengar kata-kata Gala. Air mata Kalingga akhirnya jatuh, tapi ia menahannya agar tak terlihat lemah. Di dalam hatinya, ia bersumpah untuk membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar boneka yang pantas dihina. Kalingga menelan salivanya, berusaha menenangkan gemuruh dalam dadanya. Ia merasa hina, seperti barang yang hanya dinilai dari fungsinya. Gala kembali mendekat, tangannya mencengkeram lengan Kalingga, terasa seperti belenggu yang tak kasatmata. “Besok aku akan cuti. Kita akan periksakan kesehatanmu. Kita lihat apakah kamu layak mengandung keturunan Sagara atau tidak.” Nada suara Gala menusuk telinga Kalingga seperti duri yang menghujam. Ia menahan air matanya sekuat tenaga, tetapi tubuhnya bergetar. Layak. Kata itu terus terngiang di benaknya. Seakan-akan ia hanyalah sebuah mesin yang dinilai kelayakannya sebelum digunakan. "Keluar dari kamarku sekarang!" suara Gala terdengar kasar, memutus lamunannya. Kalingga mengangguk kecil tanpa berkata sepatah pun. Dengan langkah yang gemetar, ia meraih jilbab dan memakainya asal, kemudian berjalan keluar. Di lorong, air matanya akhirnya tumpah. Tangisannya tertahan, hanya sebatas isakan kecil yang tersedak di tenggorokan. Ya Allah ... Apakah aku salah memilih jalan ini? Namun, ia menggelengkan kepalanya cepat. Ini semua demi harga dirinya. Demi mendiang ayahnya. Ia tidak boleh menyesal, meskipun hatinya terasa remuk.Bagaimana Kalingga bertahan dengan sikap Gala padanya?
Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da
"Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t
"Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa
Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb
"Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal
Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada