Demi melunasi utang ayahnya, Kalingga yang lugu dan polos terpaksa menikah dengan Gala Sagara, seorang pria dingin yang telah memiliki istri. Pernikahan itu hanyalah kesepakatan—Kalingga diminta melahirkan seorang pewaris karena istri Sagara tak mau kariernya rusak karena anak. Setelahnya, ia harus pergi..! Lantas, bagaimana nasib Kalingga? Terlebih, di tengah pernikahan mereka yang penuh rahasia, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan keduanya.... Terdiri dari Season 1 mulai bab 1-52 Season 2 mulai bab 53 kisah anak-anak Gala-Kalinhga dan Selena enjoy reading 🤗🥰
View MoreSenyum Kalingga memudar kala mendengar suara gaduh dari ruang tamu.
Di sana, berdiri tiga orang pria berbadan besar yang wajahnya seperti ditorehkan amarah. Salah satu dari mereka sedang menunjuk-nunjuk ayahnya—Pak Kasno, yang berdiri gemetaran dengan tongkat kayunya. "Pak Kasno, kita dah kasih banyak waktu buat Bapak! Dan kita sudah cukup bersabar untuk ini! Kalau nggak bisa bayar sekarang, keluarkan semua barang-barang dan keluar dari rumah ini!" bentak salah satu pria, wajahnya memerah. "Bapak belum bisa kalo hari ini, Bang. Beri Bapak waktu lagi," Suara Pak Kasno serak dan lemah. "Berapa lama lagi? Tahun depan? Atau sampai kamu terbujur kaku?" Melihat itu, Kalingga segera berlari ke dalam rumah, menyelipkan tubuhnya di antara ayahnya dan para penagih utang. "Pak, ini ada apa?!" Pria bertubuh kekar menatap Kalingga dari ujung kepala sampai kaki. "Kamu anaknya? Bagus. Bapak kamu utang, harus dibayar lunas hari ini!" "Jangan bawa-bawa anak saya!" Pak Kasno berseru, meski suaranya lemah. Kalingga memeluk ayahnya, berusaha tegar. "Kalian nggak bisa seenaknya datang ke sini. Kami pasti bayar, tapi kasih waktu. Jangan main paksa!" "Ah, bocah kecil mau ngatur!" Pria itu melangkah maju, tapi gerakannya dihentikan seorang laki-laki lain. "Sudah, jangan pakai kekerasan. Kita kasih waktu, tapi nggak gratis. Bunganya naik lagi!" Perseteruan itu menarik perhatian tetangga. Beberapa orang mulai mendekat, termasuk Pak Darto, seorang pria tua yang sudah lama mengenal keluarga Kasno. Ia maju dengan wajah penuh keberanian. "Kalian ini nggak tahu aturan, ya? Orang tua sakit-sakitan kok malah ditekan begitu. Keluar kalian dari sini, atau saya laporkan Pak RT!" seru Pak Darto sambil menunjuk-nunjuk. Salah satu pria berbadan besar mendengkus dan mendorong Pak Darto hingga tersungkur. "Heh, Tua Bangka! Jangan ikut campur! Ini bukan urusan kamu!" Kekacauan itu makin memanas. Beberapa tetangga mencoba melerai, tapi tiga pria itu terlalu arogan untuk mendengarkan. Tiba-tiba, langkah berat mendekat. Suara sepatu mahal menginjak tanah berdebu diiringi bunyi pintu mobil ditutup. Semua orang menoleh. Seorang pria dengan penampilan rapi dan wajah dingin muncul di antara kerumunan. Juragan Sagara. Dengan jas hitam yang pas membalut tubuhnya, berdiri tenang namun menebar aura menekan. "Ada apa ini ribut-ribut?" Suaranya rendah, tapi cukup untuk menghentikan semua keributan. "Juragan!" Salah satu pria tadi langsung membungkuk. "Kami hanya menjalankan tugas." "Diam kamu!" Tatapan Juragan Sagara seperti pisau yang memotong keberanian mereka. Semua orang mundur, memberi jalan. Juragan Sagara menatap Pak Kasno dengan senyum kecil yang dingin. "Berapa total yang harus dilunasi Pak Kasno?" tanyanya tajam. "Seratus juta, Tuan!" jawab anak buahnya yang tadi paling lantang bicara. Pak Kasno gemetar. "Juragan, saya mohon, beri waktu lagi. Saya akan bayar, tapi tidak sekarang." Juragan Sagara mengabaikan permohonan itu. Sebaliknya, matanya tertuju pada Kalingga yang berdiri di sisi ayahnya. "Anak perempuan ini siapa?" tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya. Kalingga menggenggam tangan ayahnya, berusaha tegar. "Saya anaknya. Kalau mau bicara soal utang, bicara dengan saya. Jangan tekan bapak saya." Juragan Sagara mengangguk pelan. "Baik. Kalau begitu, dengarkan penawaranku." Semua mata tertuju padanya. Bahkan Pak Kasno tampak bingung, antara takut dan penasaran. "Saya ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara yang ... menguntungkan. Saya punya seorang anak laki-lak." Juragan Sagara berhenti sejenak, memberi jeda agar semua memperhatikan. "Dia sudah menikah lima tahun, tapi belum juga memiliki keturunan. Saya butuh seseorang yang bisa melahirkan keturunan untuk keluarga kami." Pak Kasno terperangah. "Apa maksud Juragan?" "Anakmu. Kalingga. Saya akan menikahkannya dengan Gala Sagara. Sampai dia melahirkan anak. Setelah itu, selesai. Dia bebas, dan utangmu lunas. Bahkan, saya akan tanggung semua kebutuhanmu sampai akhir hidupmu nanti." Suasana hening. Kalingga hanya bisa menatap pria itu dengan mata membulat. "Itu nggak mungkin!" serunya dengan suara bergetar. "Ini tawaran, bukan paksaan. Tapi ingat, kalau kamu tolak, rumah ini, tanah ini, semua akan saya ambil. Pilihannya ada di tanganmu." Kalingga memegang tangan ayahnya, menahan amarah dan kesedihan. Tapi sebelum ia bisa membalas, batuk Pak Kasno pecah, diikuti darah yang keluar dari mulutnya. "Pak!" Kalingga berteriak panik. "Tolong! Bantu saya bawa ayah ke rumah sakit!" Juragan Sagara menatap dingin. "Saya bisa bantu. Tapi kamu tahu apa yang saya minta." Kalingga menangis. Hatinya bergejolak, tetapi keadaan ayahnya membuat pikirannya kacau. Akhirnya, ia mengangguk lemah. "Tolong ayah saya dulu ... baru kita bicara." Juragan Sagara tersenyum puas. "Bagus. Kita akan siapkan semuanya." Sesampainya di rumah sakit, Pak Kasno tak segera mendapatkan penanganan. Masih menunggu anak buah Juragan Sagara yang mengurus administrasi sebelum tindakan dokter spesialis dilakukan. Kalingga memandang ayahnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya pucat dengan alat bantu oksigen yang terpasang di hidungnya. Napas Pak Kasno terdengar berat, seolah setiap tarikan napas adalah perjuangan. Seorang dokter wanita masuk ke ruangan, membawa berkas hasil pemeriksaan sementara. Wajahnya serius tapi tetap bersikap tenang. "Anda keluarga Pak Kasno?" tanyanya. Kalingga mengangguk, berdiri dengan gelisah. "Iya, Bu Dokter. Saya anaknya. Gimana keadaan Bapak saya?" Dokter menghela napas, meletakkan berkas di meja. "Pak Kasno mengalami komplikasi serius akibat sirosis hati stadium lanjut. Liver-nya sudah sangat rusak, dan fungsi hatinya hampir sepenuhnya gagal. Tadi beliau muntah darah karena ada perdarahan di saluran cerna, yang sering terjadi pada pasien dengan sirosis stadium akhir." Kalingga terkejut, matanya membelalak. "Maksud Dokter, Bapak saya ... sudah parah?" Dokter mengangguk pelan. "Iya. Ini kondisi yang sangat serius. Jika tidak segera dilakukan tindakan, risiko gagal hati dan perdarahan lebih parah bisa mengancam nyawa beliau." "Tindakan apa yang harus dilakukan?" tanya Kalingga dengan suara serak, hatinya berdegup kencang. "Kami perlu melakukan beberapa tindakan mendesak. Dalam jangka panjang, satu-satunya jalan untuk memperpanjang hidup beliau adalah transplantasi hati." "Transplantasi hati?" Kalingga mengulang dengan suara hampir tak terdengar. Dokter mengangguk. "Iya. Untuk saat ini, fokus kita adalah menghentikan perdarahan dan menstabilkan kondisinya." Kalingga merasa dunia seakan runtuh. Matanya berkaca-kaca, tangannya menggenggam ujung jilbabnya dengan erat. Kata-kata itu seperti pukulan di hati Kalingga. Ia tahu ayahnya tidak punya asuransi, dan tabungan mereka bahkan tak cukup untuk membayar. Ia menatap ayahnya yang terbaring lemah, lalu mengingat kata-kata Juragan Sagara. "Kalau kamu bersedia melahirkan keturunan keluarga saya, semua utang bapakmu lunas, dan kebutuhan hidup kalian akan saya tanggung seumur hidup." Perasaan berat dan bimbang memenuhi dadanya. Namun, melihat ayahnya yang sekarat, Kalingga tahu ia tidak punya pilihan lain. Dengan suara lemah, ia berbisik kepada dirinya sendiri. "Saya akan lakukan apa saja, asal Bapak selamat ...." "Dia sudah sakit liver parah," ucap Juragan Sagara dengan nada datar. "Kalau tidak segera ditangani, dia tidak akan bertahan lama." Tiba-tiba laki-laki bertubuh tinggi itu sudah berdiri menjulang di depan Kalingga yang menangis di depan IGD. "Tolong Tuan ... beri saya waktu!" Kalingga memekik, tangisnya pecah. "Terserah. Kalau mau bapakmu sembuh, kamu tahu apa yang harus dilakukan." Belum sempat Kalingga membuka suara untuk mengatakan kalimat persetujuan. Suara langkah kaki di lorong terdengar memburu dan mendekat. "Tunggu!"Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da
"Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t
"Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa
Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb
"Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal
Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments