Share

Bab 5

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-20 11:59:40

Di dalam kamar mandi, Gala berdiri di bawah pancuran air, pikirannya berputar tanpa arah. Ia memijat pelipisnya, mencoba mengabaikan bayangan wajah Kalingga—wajah itu yang sebelumnya penuh tekad, kini tergurat kesedihan.

Kenapa aku harus peduli? pikir Gala, mencoba menyangkal perasaan aneh yang merayap di dadanya. Namun, bayangan rambut panjang Kalingga yang sempat tergerai tadi terus menghantuinya. Bukan seperti Selena, yang sempurna tanpa cela, tetapi ada sesuatu dari gadis desa itu yang membuatnya terusik.

Gala mempercepat mandinya dan keluar dengan handuk melilit di pinggang. Aroma masakan menggugah selera menyeruak dari arah dapur. Dia mempercepat berpakaian dan keluar kamar. Langkah kakinya terhenti di ambang pintu dapur, matanya tertumbuk pada sosok Kalingga yang sibuk mengaduk wajan.

Gala mengamati dari kejauhan. Tangannya lihai memasak, gerak-geriknya penuh keanggunan. Sejenak, ia merasa sedang mengamati seorang istri sungguhan, sesuatu yang tak pernah ia lihat dari Selena. Tapi pikiran itu segera ia tepis.

Saat Kalingga meletakkan makanan di meja makan, tatapannya tak pernah bertemu Gala. Kalingga memilih diam, membiarkan luka di hatinya tetap tersembunyi.

“Buatkan aku kopi!” Suara Gala terdengar datar.

Kalingga berhenti sejenak, lalu mengangguk kecil. Ia membuatkan kopi tanpa sepatah kata, kemudian meletakkannya di depan Gala. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Namun, di balik itu, hatinya menjerit.

Kenapa aku harus berada di sini? Apa semua ini pantas untukku?

Gala memperhatikan Kalingga yang menunduk, seolah-olah ingin menghilang dari pandangannya. Tanpa sadar, ia meraih pergelangan tangan gadis itu, menghentikan langkahnya.

“Katakan,” Suara Gala lebih tegas. “Apa rencanamu setelah melahirkan keturunan untukku? Apa kamu tidak pernah berpikir bagaimana suamimu nanti mempertanyakan statusmu? Statusmu belum menikah, tapi sudah tidak perawan lagi, heuh?”

Kata-kata itu membuat Kalingga menatapnya dengan mata yang berkilat, penuh keberanian. Tetapi, sebelum ia sempat menjawab, Gala melanjutkan.

“Kamu punya hubungan apa dengan Ilman?” pertanyaan itu disusul senyum mengejek di wajah Gala. “Atau ... bagaimana kalau perjanjian ini batal? Kamu jadi istri keduaku selamanya. Apa yang akan kamu lakukan, heuh?”

Kalingga tak sempat menggeleng. Gala mengimpitnya, membuat tubuhnya bersandar di meja makan. Tangan Gala menahan tubuh kecil Kalingga agar tak menyentuh makanan yang masih panas.

“Tak perlu menunggu esok hari,” bisiknya dingin, “Lahirkan keturunan untukku sekarang juga!”

Kalingga menelan ludahnya dengan susah payah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tubuhnya gemetar saat Gala mengangkatnya dengan mudah dan menggendongnya menaiki tangga menuju kamar. Ia tidak melawan, hanya bisa pasrah, matanya menatap kosong, menghindari sorot tajam Gala yang tak beralih dari wajah Kalingga.

Ya Allah ... beri aku kekuatan untuk melewati semua ini. Aku mohon ....

Tubuh Kalingga gemetar di atas ranjang, napasnya memburu. Gala menatapnya dari atas, kedua matanya yang dingin menelisik penuh kesombongan. Dengan tangan kokohnya, ia hampir saja menarik kain di bahu Kalingga, tetapi tiba-tiba ia berhenti.

Gala berdiri tegak, langkahnya mundur perlahan. Matanya menyipit, seolah sedang menilai sesuatu. Ia menyilangkan tangan di dada, bibirnya melengkung tipis penuh ejekan.

“Aku tidak akan menyentuh sesuatu yang belum pasti sehat dan layak untukku,” katanya dingin.

Kalingga tertegun, tubuhnya membeku mendengar kata-kata itu. Matanya melebar, tidak percaya bahwa Gala bisa berkata sekejam itu.

“Tunggu saja,” lanjut Gala, suaranya menggema di dalam kamar yang sunyi. “Besok kita akan tahu apakah kamu benar-benar layak mengandung keturunanku atau tidak.”

Nada suaranya penuh hinaan, seperti racun yang menyengat hati Kalingga. Gadis itu menunduk, kedua tangannya mengepal erat di atas ranjang. Ia berusaha menahan isak tangisnya, tetapi air matanya tak terbendung lagi.

Gala, yang merasa puas dengan reaksinya, meraih kunci mobil dari atas meja. Ia melirik sekilas ke arah Kalingga, senyumnya sinis.

“Jangan terlalu berharap, Kalingga,” tambahnya sebelum melangkah keluar kamar. “Kamu hanyalah istri di atas kertas. Tidak lebih.”

Pintu kamar tertutup dengan keras, meninggalkan Kalingga yang masih terdiam di tempatnya. Detik berlalu dalam keheningan, hanya suara isakan kecilnya yang memenuhi ruangan.

Ya Allah ... Apa aku benar-benar hanya boneka? pikir Kalingga, hatinya seperti disayat ribuan pisau.

Ia memeluk lututnya, tubuhnya meringkuk di atas kasur yang terasa dingin dan asing. Tangannya mencengkeram kain di dadanya, mencoba menahan rasa sakit yang terus menghantam.

“Kenapa aku harus mengalami ini?” bisiknya lirih. “Kenapa aku harus menjadi istri kedua? Apa aku salah memilih jalan ini, Allah?”

Bayangan wajah Pak Kasno tersenyum saat terakhir kali di rumah sakit melintas di benaknya. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat alasan mengapa ia rela menempuh jalan ini. Demi ayahnya yang kini telah tiada. Namun, harga yang harus ia bayar terasa terlalu mahal.

Sementara itu, Gala duduk di dalam mobilnya, menyalakan mesin dengan kasar. Pikirannya berkecamuk, tetapi wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Ia memukul setir mobil sekali, mencoba melampiaskan kekesalannya.

Kenapa aku harus peduli pada gadis itu? pikirnya keras. Dia hanyalah istri untuk menghasilkan keturunan. Tidak lebih.

Namun, bayangan wajah Kalingga yang menangis tadi terus menghantui benaknya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang, sesuatu yang tidak ia pahami. Ia menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan perasaan itu.

Mobil melaju meninggalkan rumah, sementara di kamar, Kalingga berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk melewati semua ini. Hatinya mungkin terluka, tetapi tekadnya untuk bertahan tetap utuh. Demi janji setia Ilman untuk menikahinya setelah semua usai.

****

Sementara di tempat lain, istri Gala yang lain sedang menantikan kehadirannya. Dia sudah berhias siap melayani sang suami sepulang bekerja. Beberapa menit lalu Gala mengirim pesan agar Selena berdandan.

"Aku pulang sekarang! Pertemuan dengan klien ditunda. Pastikan kamu melayaniku malam ini." Begitu isi pesan Gala yang membuat Selena berbunga-bunga.

Selama menikah, suaminya itu tak pernah sekali pun meminta lebih dulu. Selalu Selena yang menggoda Gala dengan berbagai cara. Suaminya itu lebih memilih berkencan dengan tumpukan dokumen dari klien dibanding dirinya. Itu yang membuat pernikahannya selama ini terasa hanya formalitas dan hambar.

Lima tahun berlalu hubungan mereka semakin renggang. Gala yang disibukkan dengan banyak proyek dan Selena dengan banyak jadwal show di berbagai kota di dalam maupun luar negeri. Membuat keduanya jarang sekali berkomunikasi.

Pintu kamar Selena terbuka dengan keras. "Kamu sudah siap hamil?" tanya Gala berjalan sempoyongan dengan mata merah menyorot penuh gairah pada sang istri.

"Hamil?" desis Selena mempertajam pendengarannya sembari mendorong suaminya yang berbau alkohol ke ranjang.

"Kalingga! Kamu hanya perlu hamil!" Gala kembali meraih tubuh Selena dan meracau tak jelas.

"Kalingga?" gumam Selena menggeleng tak percaya. Apa Gala merahasiakan sesuatu? Hatinya memanas seiring dengan api asmara yang semakin membakar pasangan suami istri itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Tetap Bersama

    Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Maiza Menggila

    "Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Lakukan Saja!

    "Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Memilih Pergi

    Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Bebas atau Tidak?

    "Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal

  • Rahim yang Tergadai   Season 2 Kemarahan Galen

     Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status