Setelah malam panas itu, Selena terbangun lebih dulu, menatap suaminya yang masih terlelap. Sesekali Gala masih menggumamkan nama perempuan itu lagi—Kalingga, nama yang membuat hatinya terbakar amarah dan curiga.
"Kalingga ... kamu hanya perlu hamil ..." Gala bergumam pelan sebelum akhirnya diam. Selena mengerutkan keningnya, perasaan tak nyaman menghantui pikirannya. 'Siapa Kalingga? Kenapa nama itu terdengar begitu akrab dari mulut Gala?' Pagi harinya, keluarga Sagara duduk di meja makan. Papa Sagara, istrinya, Gala, dan Selena memulai sarapan dengan suasana yang tampak normal. Namun, tiba-tiba percakapan yang menusuk hati mulai mencuat. "Selena, kamu masih belum hamil juga?" tanya Sagara sambil menatap menantunya dengan tajam. "Kenapa tidak berhenti saja menjadi model? Mau sampai kapan kamu kejar kariermu? Kekayaan Sagara ini tidak cukup untukmu?" Selena hampir tersedak. Pertanyaan itu seperti panah yang langsung menghunjam hatinya. Ia menoleh ke Gala, berharap suaminya membela dirinya. Namun, Gala hanya diam, sibuk mengaduk kopi tanpa menyentuh makanannya. "Mama juga sudah bosan ditanya teman-teman arisan. Anak-anak mereka baru menikah empat tahun, tapi cucu sudah dua! Sedangkan kamu? Satu tanda pun tidak ada," tambah ibu Gala, semakin memanaskan suasana. Selena menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia merasa sendirian. Kehadiran Gala di sisinya terasa seperti ilusi. Gala meraih tangannya di bawah meja, mencoba menenangkannya, tetapi itu tak cukup untuk menghapus luka hatinya. "Apa yang sebenarnya kalian harapkan dalam pernikahan?" tanya Sagara lagi lebih tajam. "Pa! Sudah cukup, Pa! Kalo Selena berhenti jadi model, kalian akan bilang dia hanya hamburkan harta Sagara demi kesenangannya semata. Selena berpenghasilan sendiri kalian juga repot minta dia berhenti. Lagi pula, anak itu anugrah bukan mau kita belum memilikinya sampai sekarang!" Gala untuk pertama kalinya mengucapkan kalimat sepanjang itu di depan kedua orang tuanya. Selena bangkit dari kursinya dengan wajah yang memerah. “Maaf, saya sudah selesai,” katanya sebelum meninggalkan meja makan. Gala mengikuti Selena ke kamar mereka. Begitu pintu tertutup, Selena meledak. “Aku sudah tidak tahan dengan semua ini, Beib!” teriaknya, air mata mengalir deras di pipinya. Gala berdiri di dekat pintu, diam mendengarkan. Ia tahu Selena memiliki hak untuk marah, tetapi ia sendiri tak tahu bagaimana harus menjelaskan situasi yang sebenarnya. “Aku akan melepas IUD-ku!” ujar Selena tiba-tiba. “Aku akan meninggalkan karierku kalau itu yang kamu minta, Beib! Tapi tolong, setidaknya beri aku sedikit alasan untuk bertahan dalam pernikahan ini. Apakah kamu pernah mencintaiku?” Gala menghela napas panjang, lalu mendekat. Ia duduk di samping Selena yang masih menangis. “Aku tidak pernah meminta kamu berhenti dari apa yang kamu cintai, Selena. Karirmu adalah bagian dari hidupmu. Aku tahu itu.” Ia meraih tangan istrinya, mengusap lembut. Selena menoleh, matanya yang basah menatap Gala dengan penuh harap. “Lalu kenapa kamu tidak pernah peduli lagi seperti dulu? Kenapa kita hanya seperti teman sekamar?” Gala menatap Selena, kebingungan meliputi pikirannya. Ia tahu ini saat yang tepat untuk jujur, tetapi ada sesuatu yang menahannya. “Aku—,” kata Gala akhirnya. “Kita bisa memiliki anak tanpa mengorbankan karirmu.” Selena menatapnya dengan mata membesar. “Apa maksudmu?” Gala hanya tersenyum tipis, menyembunyikan ide yang tiba-tiba terlintas di pikirannya. Tapi Selena tidak bodoh. Ia mulai mengingat kembali nama yang disebut Gala semalam. “Kalingga,” gumam Selena, suaranya bergetar karena marah. “Siapa dia?” Gala terdiam, tak segera menjawab. Nama itu kini menjadi duri yang menusuk di antara mereka. “Aku bertanya, siapa Kalingga yang kamu sebut semalam?!” Suara Selena meninggi. Namun, sebelum Gala sempat menjawab, ponsel Selena berdering di nakas. "Siapa pun Kalingga, aku butuh penjelasan, Beib!" Selena mengabaikan suaminya, berjalan angkuh untuk mengambil ponsel itu, meninggalkan Gala dengan pikirannya yang semakin kacau. Selalu seperti itu, meski dalam kemarahan, Selena seperti tak benar-benar peduli dengan apa yang dilakukan suaminya. Dia lebih memilih semua yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Gala mengepalkan tangannya. Ia tahu situasi ini hanya akan semakin rumit. Rahasia yang ia simpan tentang Kalingga seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Di sisi lain, Selena mulai merasakan ada sesuatu yang disembunyikan suaminya, dan ia bertekad untuk mencari tahu kebenarannya. Di luar kamar, suara telepon Selena terdengar samar-samar. Gala hanya bisa menatap pintu, perasaannya terombang-ambing antara melindungi Selena, menjaga rahasia Kalingga, dan memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya sendiri. Tak lama ponsel Gala juga berbunyi, nama Ilman muncul di layar. Mengingatkan bahwa semua jadwal paginya hari ini sudah dikosongkan hingga siang untuk menemani Kalingga ke dokter spesialis kandungan. Embusan napas berat keluar dari mulut Gala bersamaan dengan ponsel yang dimasukkan ke saku celananya. Dia berjalan keluar mendekati Selena yang masih berbicara di telpon. Hanya kecupan singkat di kening yang seolah menjadi formalitas tanpa ada rasa dari hati. **** Mobil mewah melaju di jalanan kota, membawa tiga penumpangnya dalam keheningan yang penuh ketegangan. Gala duduk di kursi belakang bersama Kalingga, sementara Ilman yang berada di kursi pengemudi berusaha menjaga fokusnya. “Kamu tidak terlihat baik-baik saja, Lingga,” suara Gala terdengar lembut, tetapi ada nada sarkasme di dalamnya. Tatapannya tajam ke arah gadis itu yang duduk dengan pandangan menerawang ke luar jendela. “Tidak apa-apa, Tuan,” jawab Kalingga pelan, mencoba mengendalikan emosinya. Gala berpaling ke arah Ilman, yang terlihat tegang di kursi kemudi. “Ilman,” katanya dengan nada santai, “menurutmu, apakah IUI atau IVF lebih baik untuk kasus seperti ini? Bukankah ini lebih praktis daripada metode lain?” Ilman tidak langsung menjawab. Ia menekan emosi yang berkecamuk dalam hatinya. “Itu tergantung kondisi pasien, Pak. Keputusan ada di tangan dokter.” “Hmm, begitu ya?” Gala mengangguk seolah berpikir serius. “Kalau begitu, setelah anakku lahir, Kalingga bisa hidup bahagia dengan pria yang benar-benar mencintainya, bukan?” Ucapannya menusuk, membuat Ilman menggenggam setir lebih erat. Kalingga menundukkan kepala, merasa semakin kecil. Ia tahu dirinya tidak lebih dari alat di mata Gala, tetapi ia tak menyangka Gala akan membicarakan hal itu dengan begitu dingin di depannya. --- Di ruang dokter spesialis, Gala langsung menyampaikan tujuan kedatangannya tanpa basa-basi. “Saya ingin memastikan Kalingga siap untuk proses kehamilan dengan tanpa hubungan suami istri,” katanya tegas. "Dari hasil pemeriksaan pada rahim dan alat reproduksi Nona Kalingga ...."Hayoo apa kira-kira penjelasan dokter?
Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da
"Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t
"Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa
Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb
"Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal
Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada