Darren berlari sekuat tenaga, rasa nyeri di bahunya semakin menjadi di setiap kali dia melangkah. Darah terus mengalir menandai setiap langkahnya. Dalam suasana gelap pergantian malam menuju pagi hari, dia berlari menuju ke dermaga, berharap ada kapal melintas untuk membawanya pergi dari benua ini.Sebuah kapal nelayan melintas, kerlip lampu kapal menuntun Darren segera bertindak. Dia melambaikan tangan dan berteriak dengan sisa tenaga yang ada kepada nelayan tua yang berdiri di atas kapal. Suaranya timbul tenggelam dengan deru ombak yang memecah bibir pantai. Nelayan tua samar-samar mendengar suara dan melihat Darren yang melambaikan tangan segera menepikan kapalnya.“Butuh tumpangan?” Suara parau dan kasar terdengar dari pria tua itu. Namun, nada kepedulian juga tersirat dalam wajah yang memandang Darren dengan iba. Dia memperhatikan luka di bahu Darren dan tanpa ragu segera membantu pria itu naik ke atas kapalnya.Di atas kapal, Darren merasakan dunianya berputar. Luka akibat anak
“Kau melakukan tugas dengan baik, Darren.” Suara seorang pria yang terdengar begitu berwibawa mengagetkan Darren. Jenderal zombie itu langsung berdiri, kemudian membungkuk memberi salam kepada pria tersebut. Jubah megah menjuntai hingga ke lantai, sebuah mahkota bertakhta di kepalanya.“Salam Yang Mulia, maafkan saya tidak mengetahui kedatangan Anda.” Darren masih menatap kakinya tidak berani mengangkat kepala.“Lukamu tampak parah, Darren, apa tabib sudah melihatnya?” Leiz duduk di kursi yang ada, dia masih memperhatikan Darren dari ujung kepala hingga ujung kaki. Luka di bahunya telah diperban dengan baik, tidak ada darah yang menembus perban putih. “Sepertinya lukamu sudah lebih baik. Aku masih banyak urusan jadi apa kau mendapatkannya?”Darren mendongak, ucapan Leiz yang terlihat sepele merupakan suatu bentuk perhatian yang berharga bagi Darren. Darren mengangguk lalu mengambil harpa yang dia dapatkan dengan susah payah. Harpa dengan warna keemasan dan ukiran khas kerajinan para e
Prang!Sebuah gelas jatuh dari tangan, menyebabkan pecahan tak beraturan di bawahnya. Sawatari, wanita yang sudah meletakkan gelar permaisuri saat Pangeran Yuasa dinobatkan menjadi raja menjatuhkan gelas yang baru akan dia isi dengan air. Suaranya terdengar hingga pria yang dulu dipanggil raja muncul dengan wajah cemas. Dia dan Yuichi kini hidup bersama di Kota Naga, di puncak Pegunungan Jade.“Ada apa!?” Yuichi dengan cepat menghampiri istrinya dan melihat pecahan gelas yang ada di lantai. Dia meraih tangan lembut Sawatari dan memeriksanya dengan seksama. “Apa kau terluka?” Wajah cemas terlihat jelas, sepasang mata jamrud yang menatap wanita itu lekat-lekat.“Yuan, aku ...” Sawatari kebingungan menjelaskan, dalam hatinya dia merasakan sebuah firasat, firasat dari seorang ibu jarang meleset.“Tenanglah dulu,” ucap lembut Yuichi, memapah istri tercintanya menjauh dari pecahan kaca, mereka duduk di kursi panjang ruang tamu. Tempat itu rapi, indah dipenuhi barang-barang antik yang bercah
Yui memeluk erat Yuan, tubuhnya semakin lemah. Dia tidak berhasil mengejar Darren, dia juga tidak tahu bagaimana menyelamatkan Yuan saat ini. Satu hal yang pasti, nyawa kembarannya terancam saat ini.“Putri, bagaimana kalau pangeran beristirahat di dalam,” usul Ratu Fey Varsha dengan lembut, dia duduk di sebelah Yui dan memeriksa pergelangan tangan Yuan.Yui mengangkat wajahnya, melihat wajah cantik sang ratu es yang mirip dengan Eirlys. Dia menatap sepasang mata biru di hadapannya lalu bertanya dengan lembut, “Apa Anda memiliki ranjang es atau semacamnya?”Sebuah anggukan lembut membuat senyum tipis Yui terlihat. Melihat sang putri sedang berusaha memindahkan kembarannya, Yoru dengan sigap menggantikannya. Dia mengangkat tubuh sang pangeran dengan mudah.“Biar saya, saja,” ucap lembut Yoru saat sepasang mata hitam itu menatapnya. Senyuman kecil terlihat di wajah sang putri.“Terima kasihm Yoru,” ucap Yui. Suaranya lembut terdengar dan terngiang di kepala Yoru. Senyuman tipis terlihat
Desing suara anak panah menembus angin bersamaan dengan salju yang turun. Para pemanah memburu tiga orang yang diduga memiliki harpa ajaib. Mereka ras yang berbeda di antara para kristal hitam. Ketiganya memiliki rambut seputih salju. Mereka tengah berlari menghindari hujan anak panah.“Eirlys, jangan menengok ke belakang, teruslah berlari!” teriak seorang pemuda kepada gadis di depannya.Pemuda yang jauh lebih tinggi dari gadis yang dipanggil Eirlys tersebut berhenti dan berbalik, merapalkan mantra membentuk bunga-bunga es yang menghambat laju anak panah tersebut.“Terus berlari!” teriak pemuda tersebut kepada dua orang perempuan yang bersamanya.Napas mereka tersengal-sengal, kepulan uap air seperti asap di setiap napas yang mereka hembuskan karena udara yang begitu dingin. Bernapas saja terasa begitu berat, sementara salju turun perlahan membuat rambut putih mereka semakin putih tertutup salju.“Kak Lixue!” Gadis yang bernama Eirlys menoleh dan memanggil pemuda tersebut.“Menuju ke
Angin bertiup lembut membawa udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Para prajurit dengan baju tambahan berupa jubah tebal dari bulu binatang membungkus tubuh mereka. Namun, rasa dingin masih saja berhasil menyentuh kulit yang tak terlindung. Salah satu dari mereka melepaskan jubah tebal yang terbuat dari bulu binatang.“Yang benar saja, danau ini pasti dingin sekali,” protes prajurit yang dipaksa untuk masuk ke dalam danau oleh rekan-rekannya.Mereka melakukan undian untuk memutuskan siapa yang masuk ke dalam danau. Mereka mencari harpa ajaib yang kabarnya ada di sekitar tempat ini. Sebuah kisah dongeng tentang Istana Es yang tenggelam di danau tersebut membuat mereka dipaksa mencari keberadaannya. Mereka harus memeriksa dasar danau untuk melihat istana tersebut benar-benar ada, termasuk mencari keberadaan harpa.Kedua prajurit yang kalah saat melakukan undian dengan terpaksa masuk ke dalam air. Sebelumnya keduanya diberikan barrier pelindung untuk melindungi mereka dari dinginny
Kedua bocah kembar semakin memperhatikan Rafael yang membacakan cerita hingga keduanya menoleh karena suara dehaman di belakang mereka.“Sudah malam, sebaiknya kalian tidur,” ucap Alden dengan lembut membelai puncak kepala kedua anak kembar itu.“Baik, Kek,” sahut kedunya segera bangkit dan berlari menuju kamarnya.Yui menoleh dan melihat Kakek Alden masih berbincang dengan Rafael. Pria jangkung yang lebih tua itu duduk di sebelah Rafael. Entah apa yang mereka bicarakan, paman dari gadis yang kini sedang memperhatikannya terlihat membuang muka seakan apa yang sedang mereka bicarakan bukanlah hal yang menyenangkan.“Yui, ayo!” ajak Yuan memanggil kembarannya untuk segera ke kamar.“Hei, menurutmu apa cerita itu benar?” tanya Yui menyusul Yuan dan mereka berjalan bersama menuju ke kamar mereka.“Aku tidak tahu, tapi ada yang aneh dengan cerita Istana Es. Kisahnya menggantung dengan akhir yang menimbulkan banyak pertanyaan. Mungkin saja itu kisah nyata atau hanya rekaan,” jawab Yuan.Mer
“Kalian sudah siap?” Rafael sudah menunggu keduanya dan membukakan pintu kereta kuda. Sebuah kereta kuda dengan warna hitam pekat disertai ukiran naga berwarna keemasan.“Paman ikut?” sahut Yui menatap pria jangkung di depannya. Sebuah anggukan membuat gadis kecil itu tersenyum senang. Dia memasuki kereta kuda dan membuka sedikit tirai dari dalam, memperhatikan pria yang baru saja membantunya menaiki kereta. Rafael, di mata Yui terlihat begitu tampan. Sementara pemuda di sebelahnya berpikir hal lain. Yuan, dia hanya bisa menghela napas berat dan duduk di sebelah Yui. “Mau sampai kapan dia mencuri pandang seperti itu, kenapa tidak terus terang saja,” batin Yuan. Wajah memerah Yui cukup mengganggu pikirannya.“Yuan, apa Kak Razen tidak berlebihan?” ucap Yui melihat sekelompok orang datang di pimpin oleh Razen.Razen dengan pasukan di belakangnya telah siap mengantar Pangeran Yuan dan Putri Yui ke istana. Dia adalah salah satu jenderal di Kerajaan Kegelapan yang telah mendapatkan posisi