Share

BAB VI

Sekembalinya dari pesantren Al-Kautsar Blitar, Rama kembali menelepon boy di Padang.

"Bos, Mega ngamuk."

Tanpa to the poin, saat panggilan tersambung tiba-tiba boy langsung melapor soal Mega.

"Emang dia ngapain?"

"Dia mencoba datang ke rumah tapi tidak berhasil masuk."

"Lalu Bundo dimana?'

"Itu dia bos, kebetulan Bundo lagi ke Batusangkar, sebelumnya beliau berpesan keseluruh penghuni rumah terutama para satpam agar tidak mengizinkan siapapun ke rumah kecuali anggota keluarga."

"Lalu?" Rama dengan antusias menyimak laporan Boy.

"Mega datang ke kontrakan gue bos, dan membanting barang-barang gue.

"Hahaha."

"Loh kok tertawa, apanya yang lucu bos?"

"Masalah sepele gitu aja nggak tertangani, trus kamu bilang apa sama Mega?"

"Dia ngotot nanyain bos, gue jawab aja nggak tahu, sudah sebulan ini kita nggak ada urusan dan udah punya job masing-masing, gua jawab aja gitu."

"Good, emang lu bisa gue andalin, trus gimana, paket udah beres?" Rama kembali menanyakan soal barang haram yang diserahkan ke Boy.

"Aman, beres deh.pokoknya bos tenang aja."

"Boy, gua minta pastikan semuanya beres tanpa sisa."

"Loh kenapa gitu bos, yang bagian kita mana?"

"Kalau lu mau lanjut silahkan boy, kalau gue mau berhenti."

"Napa bos, lu yakin?" Boy hampir tidak percaya dengan ucapan Rama, kemudian dia tertawa.

"Napa lu tertawa, emang lucu?"

"Lah tadi bukannya bos yang nertawain gue, bos ngomongnya kayak orang mau tobat nasuha aja."

"Pala lu peang, lu berani nertawain gue kalau di telepon awas lu ya."

"Ampun bos ampun. Iya maksudnya bos serius mau berhenti?"

"Menurut gue kita lebih baik berhenti Boy, tapi terserah lu kalau mau lanjut, dan ingat, jangan pernah bawa-bawa nama gue!"

"Baiklah, sekarang gua ngerti ini semua pasti karena anak pak Uztadz yang bos jumpai di panti itu kan?"

"Udah nggak usah kepo dan soteuu lo, sekarang gimana setuju untuk stop nggak?"

"Terserah bos aja."

"Plus berhenti makek."

"What, emang kita bisa, maksud gue bos bisa nggak?"

"Nggak tahu."

"Gimana mau berhenti kalau bos aja nggak bisa?"

"Gua akan berusaha, lo sendiri gimana?"

"Sama aja, gua nggak bisa jawab bos."

"Terserah lu mau ngapain, mau lanjut silahkan, mau berhenti syukur, satu lagi boy, kalau lu mau lanjut ,gue terpaksa mecat lu, ini demi kebaikan semua!"

"Mmmak, segitunya bos, apa nggak bisa ditolerir lagi?"

"Gue serius Boy, gue mau berubah."

"Ok gue ngerti sekarang."

"Jadi gue minta pastikan detik ini juga kantor kita bersih dari barang tersebut dan jangan pernah mengangkat dan membalas telepon dari mereka."

"Ok siap."

"Gue tunggu kabar berikutnya besok."

Tut tut tut.

"Hah dasar orang kaya, belum sempat dijawab sudah dimatikan duluan." Gerutu boy.

Setelah selesai berbicara di telepon dengan Boy, Rama pun berniat ingin kembali ke kamar nya untuk berbaring, namun belum sempat melangkah dia mendengar suara Uztadz dari samping. Rama sempat kaget.

"Hah sejak kapan pak Uztadz datang?" Gumam Rama.

"Assalamu'alaikum nak Rama."

"Waalaikum salam pak Uztadz." Rama masih gugup.

"Kebetulan saya lewat, apa nak Rama belum tidur?"

"Belum pak Uztadz, kebetulan barusan selesai nelepon teman di Padang." jawab Rama.

"Oo, kebetulan sekali nak Rama, kalau memang belum ngantuk  gimana kalau nak Rama temani saya ke musholla sebentar sambil berbincang-bincang disana."

"Baik pak Uztadz , saya setuju."

Uztadz Marzuki pun mengajak Rama ke Mushola yang ada di seberang jalan rumahnya.

Di Mushola pak Uztadz berbagi cerita tentang masa lalunya yang kelam.

Saat itu Uztadz masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Semenjak kecil Marzuki tinggal dilingkungan pasar. Disekolah Marzuki kala itu merupakan ketua salah satu geng dilingkungan tempat tinggalnya. Mereka seringkali melakukan penjarahan dipasar dengan bersenjatakan kapak dan gasing, dua jenis senjata tajam itulah yang digunakan oleh kelompok Marzuki dimasa itu. 

Hasil jarahan mereka setiap harinya disetor kan kesebuah bangunan terbengkalai dan dijadikan sebagai markas mereka yang jauh dari pemukiman warga, namun seiring waktu bangunan tersebut sudah di sulap menjadi sebuah mall terbesar di Blitar saat ini.

Setiap malam Marzuki selalu pulang dalam keadaan mabuk dengan bau mulut yang menyengat.

Uztadz Marzuki terdiam ketika hendak melanjutkan ceritanya.

"Jadi pak Uztadz dulunya seorang pemabuk begitu?"

"Iya, dan ayah saya meninggal gara-gara Saya." Sambil menyeka air matanya berusaha melanjutkan ceritanya.

Marzuki memang sempat berhenti dan keluar dari geng nya. Namun anggota geng kembali memanggilnya untuk bergabung. Marzuki pun tertarik lagi untuk ikut, namun musibah kembali datang pada keluarga Uztadz Marzuki kala itu. Ibunda Marzuki kena serangan jantung dan meninggal ditempat tepatnya saat keluarga itu akan berangkat ke makam ayahandanya untuk berziarah. Namun sebelumnya memang terdengar kabar oleh sang ibu bahwa Marzuki masih berhubungan dengan geng perusuh itu.

Tidak berhenti disitu, sepertinya Uztadz Marzuki masih ingin berpetualang, dan yang terakhir tanpa di ketahui para anggota geng, saat mereka menjarah di pasar, ada seorang wanita yang mencoba melawan karena tas miliknya diambil paksa, dan perlawanannya itu membuat nyawanya melayang seketika dengan bersimbah darah dan kedua lengan terputus oleh gasing dan kapak milik anggota geng. Dan yang lebih menyakitkan bahwa wanita itu tak lain adalah saudara perempuan satu-satunya di keluarga mereka. Marzuki tinggal sebatang kara, untung saja masih ada beberapa kerabat yang masih peduli padanya hingga menjadikannya seperti saat ini. Salah satunya adalah Uztadz Ahmad yang merupakan kerabat jauh dari ibunya.

Saat itu juga Marzuki menyatakan berhenti dan keluar dari anggota geng. Tepatnya pas kenaikan kelas tiga SMA. Urusan Marzuki dengan geng belum selesai, setiap hari Marzuki di teror dan didatangi terang-terangan kesekolah bahkan mereka semua sempat mengancam akan membuat gaduh di sekolah Marzuki.

Pihak sekolah menghubungi pihak kepolisian untuk menggiring semuanya ke kantor polisi termasuk Marzuki, walau bagaimanapun dia juga salah satu dari mereka yang membuat gaduh di masa itu.

"Jadi nak Rama, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila kaum itu sendiri tidak mau merubahnya. Semuanya kembali ke fitrah, kembali ke diri kita sendiri apakah mau berubah atau tidak." 

"Baik pak Uztadz saya mengerti, pak Uztadz tolong ajari saya cara membaca Alqur'an dengan benar." Rama pun bermohon kepada ustadz Marzuki agar mau mengajarinya langsung.

Selama di Blitar, Rama merasa menemukan dunianya yang baru, walau kisah nya berbeda dengan Uztadz Marzuki di masa lampau, namun ia banyak memetik hikmah dari itu semua. Dan Rama sangat bersyukur bisa bertemu dengan keluarga Uztadz Marzuki. Dalam diam Rama berharap begitu besar kelak Azize berkenan untuk di suntingnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status