Share

Masih Ada Tuhan

Dua hari sudah ibu pulang dari rumah sakit. Keadaannya berangsur-angsur membaik. Hanya saja setiap ibu menarik napas karena terbatuk-batuk, saat itulah hati Rania tidak menentu karena khawatir. Namun semua itu sudah cukup bagi Rania, ibunya sehat. Rania untuk sementara ini mengirimkan surat kepada pihak kampus untuk tidak kuliah beberapa hari, ia menggantikan semua pekerjaan rumah sementara adiknya sekolah. Sore hari gantian Asya yang menjaga ibu sedang Rania berangkat bekerja.

“Kamu kuliah saja, Nia, ibu sudah tidak apa-apa!” ujar ibu kepada Rania ketika mereka duduk bersama di depan televisi.

“Aku sudah mengirim surat ke kampus, Bu! Jadi tidak apa-apa beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah!” sahut Rania sembari mengganti tayangan televisi.

“Nanti ketinggalan pelajaran?” kata ibu lagi.

“Tidak apa-apa, Nia bisa belajar sendiri, Bu. Yang penting,” Rania menghadap ibunya, “sekarang ibu sehat terlebih dahulu!” lanjutnya.

Pukul setengah dua belas siang ibu berjalan menuju kamar tidurnya, istirahat siang. Sudah dua hari ini ibu tidak banyak gerak, hanya mengerjakan hal-hal ringan seperti mencuci piring dan menyetrika, yang lain Rania yang mengerjakan.

Rania membuka-buka handphonnya, membalas pesan-pesan yang masuk. Satu di antara pesan-pesan itu tidak ada sama sekali pesan dari orang yang dinantinya. Rania kini tengah suka dengan seorang lelaki, dan dia adalah teman sekelasnya di kampus.

“Ah, mungkin aku yang terlalu berharap kepadanya!” ujar Rania sembari menarik napas panjang.

Selanjutnya dia membuka pesan dari temannya, Joni.

“Sudah makan atau belum?”

Rania menjawab, “Sudah dari kemarin!”

Pukul dua sore Asya pulang, sekarang giliran Rania meninggalkan rumah dan Asya menjaga ibu.

“Kakak berangkat kerja dulu, jaga ibu baik-baik! Obatnya ada di meja kamar ibu!” Rania menjelaskan kepada adiknya, Asya.

“Iya, Kak. Kakak hati-hati kerjanya!” pesan Asya.

“Iya!”

Rania berangkat menggunakan ojek online, lima menit menunggu di teras akhirnya ojek online datang. Sepeda motor Rania sudah dijual beberapa bulan lalu untuk membayar hutang keluarga. Memang tidak ada pilihan lain selain menjual motor itu, sisanya untuk kebutuhan sehari-hari.

Dia tidak langsung menuju toko tempatnya bekerja, ia terlebih dahulu menuju sebuah tempat. Rania akan melamar sebuah pekerjaan baru yang harapannya ialah bisa memenuhi kebutuhan keluarga selanjutnya.

“Di sini saja, Mas!” ujar Rania kepada tukang ojek.

“Iya, Mbak!”

Rania mengeluarkan uang sesuai dengan jumlah yang tertera diponsel.

“Terima kasih!” Rania melangkah pergi, masuk pada sebuah gedung dengan membawa tas kecilnya. Di tangan kanannya ada sebuah map berwarna merah, dan map itu berisikan dokumen-dokumen yang akan dia gunakan untuk melamar pekerjaan baru.

Ijasah terakhir Rania adalah ijasah SMA, jelas tidak laku jika digunakan untuk melamar perusahaan-perusahaan besar. Namun setidaknya Rania masih mempunyai harapan, di Surabaya mulai bermunculan perusahaan yang tidak memandang ijasah, asalkan mempunyai keahlian dan keinginan maka perusahaan tersebut akan mempertimbangkan.

Itulah sepertinya yang harus dirubah oleh masyarakat Indonesia, bahwa ijasah tidak bisa dan tidak boleh digunakan sebagai pertimbangan nomor satu. Ambil saja contoh aplikasi online saat ini, aplikasi untuk menulis. Banyak penulis-penulis berbakat di sana, namun masih dalam tingkat SMA, bahkan SMP. Nah, bisa saja lulusan S1 belum bisa membuat buku seperti anak-anak SMA itu. Itulah salah satu contoh dan alasan mengapa ijasah tidak bisa dijadikan sebagai pertimbangan nomor satu dalam menerima karyawan.

Malu-malu dengan langkah yang samar Rania memasuki sebuah toko baju besar, pengunjung berjibun masuk ke dalamnya. Toko itu terdiri dari empat lantai. Lantai satu untuk pakaian orang dewasa, lantai dua untuk pakaian anak, lantai tiga untuk wanita, dan terakhir untuk mainan dan kebutuhan rumah tangga ringan. Rania kagum dengan sosok di balik pendiri toko baju tersebut meskipun dia belum mengetahui siapa yang mendirikannya.

“Selamat siang, Mbak!” sapa Rania kepada salah satu kasir di antara enam kasir lain.

“Siang, ada yang bisa kami bantu?” tanya kasir wanita itu dengan menebar senyum kepada Rania, rupanya para kasir itu telah dilatih untuk memberikan senyum kepada semua orang.

“Mbak, maaf, apakah di sini masih membutuhkan karyawan lagi?” tanya Rania dengan malu-malu, penuh dengan kehati-hatian. Rania memperhatikan setiap gerak dari kasir itu. Rambutnya panjang lurus, kulit putih bersih, lebih tinggi tujuh senti dari Rania. Usianya sepertinya juga lebih tua dari Rania beberapa tahun.

“Dengan berat hati saya harus mengatakan kepada mbak bahwa kami belum membutuhkan karyawan baru. Masih pandemi, Mbak! Tidak seperti hari-hari biasa!” jawab kasir dengan penuh iba, atau rasa iba yang dibuat-buat.

Rania meninggalkan nomor handphone. Ia berpesan kepada kasir itu bahwa sewaktu-waktu dibutuhkan karyawan dia bisa dihubungi.

Toko pertama yang didatangi Rania tidak menyediakan lapangan kerja yang kosong, Rania belum bisa mendapatkan pekerjaan. Rania berjalan gontai menyusuri toko selanjutnya. Sebenarnya ada sebuah toko yang menyediakan lapangan pekerjaan, namun dengan syarat harus lulus S1 terlebih dahulu, jadilah Rania melangkah terus, sesekali menengok ke belakang.

Tidak terasa sudah dua toko dia masuki, dan tidak ada yang menerimanya. Rania berjalan gontai menuju tokonya setelah naik ojek beberapa belas menit. Dengan wajah yang kusam, tepat pukul lima kurang dia masuk pintu.

“Hai, Nia, kenapa wajahmu kusam sekali seperti itu?” tanya teman Rania.

“Habis jalan-jalan panjang!” sahut Rania sembari melenguh panjang.

“Jalan-jalannya bukannya tambah senang malah tambah susah. Aneh sekali kau, Nia!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status