Share

Datangnya Bantuan

agi benar Rania datang ke kampunya, bukan untuk melakukan kegiatan belajar, akan tetapi dia bermaksud menemui salah satunya temannya, rencananya akan ia mintai bantuan.

Teman yang dimaksud Rania belum datang, Rania harus menunggu sampai setengah jam berikutnya, pukul tujuh pagi baru dia masuk ke parkiran. Rania menyambutnya dan mengajaknya untuk segera masuk kelas.

“Ada apa, Nia?” tanya teman Rania sesampainya di dalam kelas.

“Begini, Niha, aku membutuhkan bantuanmu!” kata Rania penuh dengan kehati-hatian.

“Bantuan apa?” tanya Niha memincingkan mata.

“Ibuku sedang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit. Aku butuh biaya untuk membayar pihak rumah sakit, sedang tabunganku tidak cukup untuk itu!” ujar Rania menjelaskan masalah yang saat ini ia hadapi dan bantuan yang dia butuhkan.

“Berapa jumlahnya?” tanya Niha lagi dengan suara yang lebih pelan.

“Lima juta. Aku berharap kamu bisa membantu, Niha, meminjamkan uang untukku,” ujar Rania, air matanya kembali meleleh.

Niha menyadari dan mengerti keadaan Rania saat ini. Niha juga kurang lebihnya tahu keadaan Rania yang menjadi tulang punggung keluarganya, ditinggal mati oleh bapaknya. Akan tetapi lima juta adalah uang yang besar, dia sendiri tidak punya uang sebanyak itu.

“Aku bisa membantu, Nia,” ujar Niha. “Tapi, aku tidak bisa membantu sepenuhnya, uangku tidak cukup untuk jumlah itu!”

“Tidak apa-apa, sebisanya!” ujar Rania malu-malu. “Maafkan aku yang telah merepotkanmu, Niha!”

Niha tertawa, “Halah, tidak apa-apa, aku juga sering meminta bantuanmu!”

Selesai berbicara dengan Niha akhirnya Rania tidak langsung kembali ke rumah sakit, dia mencari bantuan kepada yang lain. “Aku ijin dahulu tidak masuk pelajaran, Niha.” Rania menitip pesan kepada Niha.

Pukul delapan pagi, matahari bersinar terik, di atas sana langit biru bersih memancarkan keceriaan. Rania datang ke tempatnya bekerja menjadi penjaga toko, bukan untuk bekerja, melainkan untuk meminjam uang kepada salah satu temannya.

Perjalanan membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit menggunakan motor. Rania sengaja melupakan bahwa dia tidak punyai surat ijin mengemudi, dia lupakan semua. Yang ia ingat sekarang hanya satu, yaitu segera mencari pinjaman untuk biaya rumah sakit ibunya.

Dua puluh menit akhirnya dia sampai di depan toko, beberapa kendaraan parkir di depannya. “Hai, Rania, sudah datang kau?” sambut salah satu teman Rania. Memang, Rania kegian shif malam, bukan pagi seperti ini.

“Ada urusan penting yang harus aku lakukan, Bos!” ujar Rania melangkah masuk tanpa memedulikan orang yang menyapanya tadi.

“Siap!”

“Hai, selamat pagi!” ujar Rania kepada kasir yang menunggu, itu adalah teman Rania yang dia maksudkan.

“Hai, Rania, pagi benar kamu datang?” sapa dia kembali.

“Aku membutuhkan bantuanmu!” ujar Rania tanpa basa-basi.

Perempuan di depannya itu, yang mengenakan kaos putih bercelana panjang, rambutnya terurai, tersenyum bingung. “Bantuan apa yang bisa aku berikan?” tanya dia.

“Ibuku sakit.” Rania menjelaskan tetap dengan posisi berdiri. “Dan saat ini aku membutuhkan biaya untuk pengobatannya!”

“Berapa jumlahnya?”

“Tiga juta!”

“Wah, banyak sekali. Sayangnya aku tidak punya uang sebanyak itu!”

“Tidak apa-apa, aku harap kamu bisa menghutangiku sesuai dengan kemampuanmu saat ini!” Rania kembali meneteskan air mata.

“Aku punya dua juta, hanya itu, tidak ada yang lain!”

“Terima kasih!”

Rania keluar dari toko, mencari satu atau dua orang lagi yang bisa membantunya. Pukul sembilan pagi, ia ingat bahwa ibu dan adiknya belum sarapan, hanya minum susu dan makan roti tawar. Rania segera kembali ke rumah sakit setelah membeli makanan dari warung tepian jalan. Rania membeli bubur ayam untuk ibunya. Rania paling mengerti bahwa ketika ibunya sakit, maka beliau tidak bisa makan nasi, maka Rania selalu membelikannya bubur.

“Ibu, Asya, aku bawakan sarapan!” ujar Rania. Dia lupa bahwa di sana masih ada Joni, dan dia tidak membelikan sarapan untuknya.

“Ibu dan Asya sudah sarapan, Nia!” ujar ibunya berusaha tersenyum. “Joni sudah membelikan sarapan!”

“Telat kamu, Nia!” ujar Joni mencibir dengan senyum khasnya.

“Iya, sudah, bisa dibuat untuk makan siang!” ujar Rania tidak memedulikan Joni yang mengajaknya bercanda. Joni paham, pastilah Rania tengah dalam masalah namun dipendamnya sendiri.

“Nia, ayo keluar!” ajak Joni, Rania menurut di belakangnya.

“Tenang saja, aku sudah bayar semua biaya ibumu di rumah sakit ini!” jelas Joni.

Deg...

Saat itulah air mata Rania tidak dapat dibendung lagi. Rania menangis dalam diam, berusaha menahan air matanya namun tidak mampu. Joni mengelus rambutnya dari belakang, berusaha menenangkan Rania.

Rania segera mengelap air matanya dengan telapak tangan, segera mengeluarkan uang yang dia pinjam dari teman-temannya. “Ini aku ganti!” ujar Rania sembari menguulurkan uang lima juta rupiah kepada Joni.

“Tidak usah, itu untuk tabungan kamu saja!” Joni menolak dengan halus, memasukkannya kembali ke dalam tas Rania.

“Terima kasih, Jon. Kalau aku sudah punya uang dan jadi orang kaya akan aku kembalikan!” ujar Rania, air matanya kembali mengalir.

“Amien!” Joni mengamini, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, Rania tertawa.

“Pasti kamu belum makan?” tebak Joni. “Nih, aku belikan makanan kesukaanmu!” Joni mengulurkan sebuah bungkusan plastik hitam kepada Rania.

Rania tahu isinya, dan dia senang sekali.

Di sudut ruangan, seorang wanita dengan rok pendek, kacamata hitam, dan kaos super ketat mengawasi Rania dan Joni. Ada sebuah tatapan licik yang terselubung. Rania dan Joni tidak menyadarinya sama sekali. Apakah ini adalah sebuah awal dari keremangan hidup yang akan terjadi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status