Share

Tidak Ada Jalan

Banyak teman Rania yang kaya, beruang, tapi tidak semudah itu mengatakan itu kepada mereka, Joni adalah salah satunya. Tidak mudah mengatakan tentang uang kepada teman, apalagi Joni sendiri juga tengah mendapatkan masalah. Entah siapa yang bsia membantu Rania, entah siapa yang akan ia mintai pertolongan.

Malam hari, Rania duduk termenung di kursi depan kamar rumah sakit, matanya memandang kejauhan, sesekali memerhatikan dokter atau suster yang lewat, atau wajah-wajah pengunjung yang penuh dengan beban. Mungkin salah satu masalah dari mereka ada yang sama dengan masalah Rania, yaitu soal biaya.

“Siapa yang harus aku mintai bantuan?” ujar Rania seperti putus asa terhadap nasibnya.

Lima juta bukan nominal yang sedikit bagi Rania. Bahkan, tabungannya mungkin hanya berkisar antara lima satus ribuan, dia masih memerlukan empat juga setegah untuk melengkapi. Perlahan Rania bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar ruangan ibu, melihat dari kaca pintu. Ibu tengah terbaring di sana, entah tidur atau pingsan. Asya di sampingnya meringkuk menyandarkan kepala pada sebagian kecil tempat tidur ibu, tangannya memegang tangan ibu yang lemas. Itu adalah penyemangat hidup Rania.

“Ran, kamu jangan bersedih!” Tiba-tiba ada suara dari belakang menyapanya. Rania kenal dengan suara itu.

“Hei, kamu kenapa malah ke sini, Jon?” tanya Rania heran sekalian khawatir.

“Aku sudah sembuh,” jawab Joni tidak merasa sakit sekalipun.

“Kok, kamu...” kata-kata Rania terhenti oleh suara Joni.

“Ada pesan masuk dari Asya, katanya ibumu masuk rumah sakit!” ujar Joni menerangkan perihal kedatangannya.

“Mana Alfin?” tanya Rania.

“Aku suruh dia pulang!”

Joni melangkah lemas menuju kursi putih di sudut ruangan, menyandarkan diri pada gagahnya dinding. Rania mengikutinya.

“Ibumu sakit apa?” tanya Joni.

“Entahlah, yang penting kronis!” jawab Rania asal-asalan.

Tapi dengan jawaban singkat itu Joni mengetahui bahwa Rania tengah dalam kesusahan, membutuhkan bantuan yang dia sulit untuk mengucapkannya. “Ada yang bisa aku bantu?” Joni menawarkan dengan ketulusan hati.

Rania menatap Joni sekilas, lalu membuang wajah. “Tidak ada, terima kasih,” ujar Rania. “Sok baik, kamu!” lanjut Rania.

“Yee... aku sungguh menawarkan bantuan, eh, malah ditolak!” Joni bersungut-sungut.

“Terima kasih. Nanti kalau aku butuh bantuan akan aku beri tahu!” ujar Rania, matanya sedikit mengantuk.

“Tidur saja kamu, Ran! Biar aku yang menunggu ibumu di luar sini!” Dengan tulus Joni menawarkan bantuan lagi.

“Seharusnya kamu yang segera tidur, Jon, lukamu belum benar-benar sembuh!”

Malam berlalu dengan cepatnya, dan Rania semakin memutar otak bagaimana untuk mendapatkan biaya yang sedemikian jumlahnya. Pukul setengah tiga akhirnya Rania membaringkan diri pada kursi, terlelap dalam dinginnya malam. Joni yang sedari tadi pura-pura tidur lantas bangkit dari posisi terbaringnya. Melepas jaket, menutupkannya pada tubuh Rania. Mereka adalah sahabat sejati yang takdir sulit untuk memisahkan.

Pukul lima pagi Joni beranjak dari kursinya, berjalan keluar rumah sakit, mencari warung terdekat. Joni bermaksud untuk membeli beberapa makanan ringan untuk mereka, juga minuman hangat. Jalanan mulai ramai, bahkan sejak subuh tadi. Kendaraan demi kendaraan saling merapat, memepet, saling mendahului. Mereka adalah pegawai kantoran yang harus datang tepat waktu, buruh pabrik yang menghidupi keluarga, para pencari kerja yang membawa ijasahnya ke mana-mana.

Satu warung sederhana di persimpangan jalan sudah membuka gerbangnya. Di sana banyak orang-orang berpakaian rapi duduk santai, kuli bangunan, sopir, bahkan beberapa wanita berdandan rapi. Joni masuk ke dalam, melihat seisi meja, banyak gorengan hangat tersaji.

“Susu putih hangat dua, susu putih dicampur teh satu, sama susu cokelat satu!” Joni memesan kepada penjaga warung, dia adalah ibu-ibu berjilbab hitam dengan celemek di depan tubuhnya.

“Siap!” jawabnya genit kepada Joni.

Joni mengambil plastik putih, lalu memasukkan beberapa gorengan, juga roti tawar. Beberapa saat kemudian semua pesanan sudah selesai disiapkan. “Silakan!” kata ibu itu ramah.

Tiga puluh ribu Joni membayar. Setelah itu Joni kembali berjalan menuju rumah sakit. Sesampainya dia di depan gerbang rumah sakit, ternyata keadaan lebih ramai dari pada ketika ia awal meninggalkannya. Rania tidak ada di kursi tempat ia membaringkan diri, Joni langsung melangkah menuju ruang ibunya Rania, mungkin di sana. Benar, Rania duduk di samping Asya.

“Assalamu’alaikum!” Joni berkata salam kepada mereka.

“W*’alaikum salam!” terdengar jawaban salam kompak, suara ibu paling lirih.

“Kamu dari mana, Jon?” tanya Rania setelah Joni mengambil kursi dan duduk.

“Beli minuman!” jawabnya.

Sekalian tadi Joni membeli empat gelas plastik. Joni membukakan susu putih untuk ibu, tampak wajah ibu lebih cerah dari sebelumnya, tapi rasa sakit masih tersimpan di sana. Ibu berusaha duduk, Asya membantunya.

“Terima kasih, Joni!” ujar ibu setelah sekali menyeruput susu putih di gelas plastik.

Joni hanya tertawa pelan. “Kalian puasa?” tanya Joni pada Rania dan Asya.

“Ini untuk aku, Mas?” tanya Asya kepada Joni.

“Iya, itu untuk kamu. Dan satunya lagi, itu untuk sesajen penunggu rumah sakit!” ujar Joni, melirik Rania. Asya tertawa, baru bangun langsung tertawa.

“Siapa?” Rania bertanya untuk meyakinkan.

“Kamu, lah!” sahut Joni.

Rania mengambil susu putih bercampur teh, itu adalah minuman kesukaan Rania. Ada cerita manis sekaligus mengharukan di balik minuman kesukaan Rania tersebut.

Pada suatu hari, Rania menangis meminta susu cokelat kepada bapaknya, hujan lebat, dan di rumah hanya ada susu putih. Akhirnya bapak berinisiatif untuk mencampur susu putih dengan teh agar warnanya berubah menjadi cokelat. Mulai saat itulah Rania menyukai minuman yang tidak terduga itu.

Ingat akan hal itu selalu membuat Rania menitikkan air mata. Tidak terasa air mata Rania mengalir, namun dengan segera ia menghapusnya sebelum orang-orang mengetahui.

“Hus, sudah tua dilarang menangis!” bisik Joni kepada Rania. Joni selalu tahu perubahan kecil pada wajah Rania.

“Aku masih ngantuk, bukan menangis!”

Joni tersenyum simpul, samar.

Rania teringat sebuah hal, dengan segera ia berpamitan kepada ibunya, Asya, dan Joni.

“Aku pergi dahulu, ada urusan penting dan mendadak!”

Semua menatap Rania dengan tatapan bingung.

Rania melangkah keluar rumah sakit tergesa-gesa, menuju parkiran dan segera menyalakan mesin motor, memacunya beradu dengan puluhan bahkan ratusan kendaraan lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status