Share

Awal Yang Suram

Di rumah, di kampus, bahkan di toko sekalipun banyak waktu yang dihabiskan Rania untuk melamun. Dia akhir ini sering sekali melamun. Bahkan, Desi, teman dekat Rania sejak kecil, merasa heran dengan keadaan Rania yang seperti tersebut.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa ibu Rania sakit kronis, dan Rania harus menanggung beban dan menjadi tulang punggung keluarga. Rania telah merasakan apa yang mnausia lain seusia dirinya tidak merasakan. Rania telah merasakan bagaimana sakit dan lelahnya mencari uang demi keluarga. Dia telah merasakan bagaimana sulitnya membeli sekilo beras, yang kadang-kadang gadis seusia dirinya begitu menyepelekan. 

Sepulang kerja, pukul sebelas malam, Rania melamun di depan rumahnya, berpikir tentang alur kehidupan Tuhan yang diberikan kepadanya.

“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Rania mengeluh, lenguhan panjang selanjutnya terdengar dari gerak bibirnya, napasnya terasa berat setiap kali ia menarik dan mengeluarkannya.

“Kakak, belum tidur?” Tiba-tiba Asya keluar dari dalam dan membuyarkan lamunan Rania.

“Belum, Dek! Kamu belum tidur?”

“Sudah, banyak nyamuk, jadi bangun lagi, deh!” ujar Asya memamerkan gigi rapinya.

“Kenapa tidak beli obat nyamuk?” tanya Rania.

“Asya tidak suka baunya, Kak!” jawab Asya. Dia berbohong. Sebenarnya yang membuat dia tidak membeli obat nyamuk adalah sebuah rasa prihatin. Dia tidak sampai hati membelikan uang yang diberikan kakaknya obat nyamuk. Asya mengerti betapa beratnya mencari uang, kendati dia sendiri belum penah melakukannya.

“Pakai kipas angin saja, nanti nyamuknya juga bakalan pergi!”

“Iya, Kak!”

Asya kembali masuk ke dalam rumah, masuk ke dalam kamarnya. Tidur.

Beberapa saat kemudian handphone Rania berbunyi, sebuah pesan singkat masuk. Nomor itu belum pernah menghubungi Rania sebelumnya, dia tidak mengenalnya.

“Siapa malam-malam ini kirim pesan?” tanya Rania pada gelapnya malam, pada suara gemerisik angin.

“Apakah kamu sudah tidur?”

Begitulah isi pesan singkat tersebut.

Rania membalas singkat dengan pertanyaan, “Siapa?”

Berselang tiga detik, nomor itu menelon Rania, Rania ragu-ragu mengangkatnya.

“Hai, Rania! Apa kabar? Kenapa malam-malam seperti ini belum tidur?” tanya suara dari seberang.

“Ini dengan siapa?” tanya balik Rania, dia tidak suka dengan basa-basi.

“Aku mengerti kamu tengah memikirkan jalan hidupmu, Rania.” Suara wanita dari seberang menebak-nebak, dan itu memang benar.

Suara wanita dari seberang benar-benar membuat Rania tercengang. Dia tidak pernah bercerita kepada siapapun, kecuali kepada teman-temannya, namun sekarang ada yang menebak nasib Rania dari kejauhan, yang bahkan Rania sendiri belum atau bahkan tidak bisa membayangkan wajah manusia itu.

“Sebenarnya kau siapa?” tanya Rania untuk yang kedua kalinya.

“Aku menawarkan pekerjaan kepadamu, dan kamu bisa mengobati ibumu, serta memenuhi kebutuhan keluarga!” ujar suara dari seberang lagi.

“Dari mana kau tahu bahwa aku tengah membutuhkan pekerjaan dan ibuku sakit?” tanya Rania lagi.

“Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah... aku menawarkan pekerjaan kepadamu dan gajinya tidak sepele!”

“Apa pekerjaannya?” Rania tertarik.

“Besok sore datanglah kau ke Taman Bunga Selatan!” ujar suara dari seberang.

“Untuk apa?”

Tot... tot... tot...

Telepon sudah dimatikan sepihak. Rania tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mengingat kata demi kata dari suara wanita itu. Separuh hati Rania langsung tertarik untuk menemuinya besok, namun hati lainnya mengatakan bahwa dia tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

“Aku harus mencobanya, siapa tahu dia benar-benar akan memberikan pekerjaan kepadaku dan bayarannya cukup untuk keluarga!” ujar Rania kepada dirinya sendiri.

“Tidak-tidak, bagaimana jika adalah penipuan-penipuan yang sering terjadi di televisi?” Hati Rania yang lain menolak untuk datang.

“Ah, tapi apa untungnya menipuku?”

Rania mondar-mandir di teras sepertinya nyamuk yang tengah menyasar mangsanya. Rania ragu, namun separuh hatinya tertarik.

Pukul setengah dua malam barulah Rania bisa mengambil sebuah keputusan. Rania memutuskan untuk berangkat menemui suara wanita dari telepon. Besok, pada waktu yang ditentukan oleh penelepon, Rania akan datang menemuinya. Ini adalah sebuah rahasia. Tidak ada yang boleh mengetahui rencana yang masih samar-samar ini.

Rania masuk ke dalam rumah, samar-samar terdengar suara ibunya terbatuk-batuk. Rania berjalan mendekati kamar ibunya, mengintip dari balik sela-sela lubang pintu. Terlihat oleh Rania ibunya tengah membenahi selimutnya yang sedikit turun. Dengan wajah kasihan dan penu rasa bersalah, sebab tidak bisa menjaga ibunya dengan baik, Rania menatap itu semua. Kemudian beberapa saat berikutnya Rania masuk ke dalam kamarnya.

Malam berjalan, menyelam dengan deru angin yang menyapu bumi. Selanjutnya pagi datang dengan sinarnya yang cerah. Rania segera bangkit dari ranjangnya dan membuka jendela, nikmat nian tidak semalaman dengan nyenyak.

Ibu sudah bisa ditinggal, keadaannya berangsur-angsur membaik. Rania berangkat kuliah, Asya berangkat sekolah seperti biasa. Rania menunggu temannya di teras rumah, Asya berangkat terlebih dahulu. Semua berjalan begitu monoton, kehidupan ini biasa-biasa saja dan berjalan sama seperti dengan hari sebelumnya.

Sore harinya, pukul setengah lima Rania berangkat menuju taman yang dimaksudkan oleh penelepon. Rania berangkat setelah sebelumnya menghias diri dengan cukup. Dia mencegat angkutan umum di depan rumah. Begitulah susahnya bepergian ketika tidak punya kendaraan pribadi, itulah yang sekarang dirasakan oleh Rania.

Kurang lebih sepuluh menit akhirnya ada angkutan umum lewat. Sebuah mobil dengan warna dasar biru muda, akhirnya memudar dengan warna kehitam-hitaman. Kendaraan demi kendaraan saling berjajar, saling mendahului, dengan kepentingan yang berbeda-beda.

“Taman, Pak!” ujar Rania kepada sopir angkutan umum.

“Siap!” sahut sopir dengan jawaban mantap.

Kurang lebih dua puluh menit Rania sampai di taman, suasana ramai oleh hingar-bingar pengunjung. Taman itu tidak terlalu besar, namun pemandangannya sangat memanjakan mata. Muda-mudi berjalan, saling bergandengan mengadu kasih menebar senyum, anak-anak berjalan di depan orang tuanya dan berlari, kemudian orang tua berteriak, “Jangan lari-lari, Nak!”

Namanya juga anak-anak, bagaimana pun orang tua melarangnya, mereka akan tetap melakukan apa yang membuatnya bahagia.

“Hai, apakah kamu Rania?” Tiba-tiba ada seorang wanita berjalan menghampiri Rania. Rania terheran-heran dengan keadaan itu.

“Iya, benar. Ada apa?” tanya Rania.

“Kau sudah ditunggu di kursi paling ujung itu!” jawab wanita muda. “Semoga kau berhasil!” lanjutnya.

Wanita itu berkata lagi, “Aku akan melanjutkan perjalananku, ada job!” Dengan menebar senyum.

Rania memandang wanita itu dengan pandangan curiga. Ada rasa tidak nyaman di dalam hatinya. Namun Rania tetap melangkah menuju kursi taman paling ujung. Di sana ada seseorang dengan rambut pirang panjang memunggungi Rania.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status