“Kamu… kenapa kamu basah-basahan begitu?” tanya Nindi penuh selidik.
“Maaf, Bu. Saya habis keramas, tapi lupa bawa handuk. Jadinya baju saya ikutan basah.”
Nindi bergeleng kecil. Tanpa banyak bicara, Nindi bergegas ke kamarnya. Ia membuka pintu perlahan, penuh keraguan. Pandangannya langsung tertuju pada ranjangnya.
Nindi menghela napas lega. Ternyata Daffa masih tidur. Dan skenario buruknya pun sama sekali tidak terjadi.
Nindi mendekati suaminya, menatap wajah Daffa yang terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Namun, ketenangan itu tidak mampu meredakan badai di hati Nindi. Bagaimana Daffa bisa tidur senyenyak itu, sementara ia sendiri dilanda kegelisahan yang luar biasa?
Nindi merasa ada yang tidak beres. Daffa harusnya sudah bangun dan bersiap-siap ke kantor. Tapi, Daffa justru masih tidur sampai saat ini.
Pikiran buruk pun kembali menyerang Nindi. Mungkinkah suaminya baru selesai bercinta dengan Mila, lalu karena kelelahan, Daffa kembali tertidur? Begitu pula Mila yang langsung ke toilet untuk membersihkan diri.
Ah, sialan! Kenapa adegan itu harus terlintas di otaknya?
“Sial, sial, sial!”
“Ah, Sayang. Sakit!” Daffa langsung membuka matanya kala merasakan pukulan kuat di dadanya. “Ada apa denganmu? Kenapa kamu mengumpat dan memukulku?”
Nindi mengatur napasnya, berusaha meredam amarah. “Aku ingin bertanya sesuatu.”
Daffa bangkit dari ranjang. “Ah, badanku sakit sekali!” keluhnya sembari meluruskan otot. Matanya tertuju pada isi koper yang terbongkar. “Sayang, kenapa baju kotorku belum kamu cuci?” Daffa heran, baru kali ini Nindi tidak membereskan kerjaannya.
“Mas….”
Daffa melihat lagi pekerjaan Nindi yang belum beres. Sebagian baju kotornya sudah masuk keranjang cucian, sisanya tergeletak di lantai. Dan ada satu benda yang mengalihkan pandangannya.
Celana dalam renda berwarna merah.
Daffa mengambilnya dan memberikannya pada Nindi. “Sayang, ini untukmu.”
Nindi langsung memanas. Ia mengumpat dalam hati. ‘Apa ini? Apa dia menyuruhku mencucikan pakaian dalam milik selingkuhannya! Sial!’
“Mas! Kamu kurang ajar!”
Daffa merasa bersalah. “Maaf, Sayang. Aku lupa ukuran punyamu berapa. Jadinya aku hanya membeli satu. Itu sudah sepaket sama lingerie-nya. Aku pikir kamu kamu akan terlihat seksi jika memakainya.”
Nindi bungkam seribu bahasa. Ia mengecek kembali koper Daffa. Dan benar saja di bawah tumpukan baju paling bawah ada lingerie merah, masih lengkap dengan label merk-nya.
“Aku benar-benar bingung harus membawakanmu apa dari China. Koleksi tas dan sepatumu banyak yang tak terpakai. Begitu juga perhiasanmu. Jadi kupikir, akan lebih berguna jika kubawakan baju dinas. Setidaknya kamu harus memakainya untukku!”
Daffa juga mengeluarkan syal kain sutra lalu melilitkannya di leher Nindi. “Kamu juga harus pakai ini saat shift malam! Biar tidak kedinginan!”
Mata Nindi mulai berkaca-kaca. Ia benar-benar malu.
‘Bisa-bisanya aku mencurigai Mas Daffa berbuat yang macam-macam,’ batinnya.
Melihat ekspresi Nindi menahan tangis, Daffa langsung cemas. “Kamu kenapa, Sayang? Apa yang membebanimu?”
“Aku… aku sempat meragukanmu, Mas. Aku pikir kamu mendua. Soalnya, semalam kamu sangat aneh. Dan pagi ini, kita tiba-tiba kedatangan pembantu baru yang masih muda. Aku jadi gelisah.”
“Soal itu, aku terlalu banyak minum alkohol selama penerbangan. Kamu tau sendiri kan, aku harus menghargai kolega bisnisku. Aku tidak bisa menolak ajakan minum mereka. Aku bahkan tidak ingat apa-apa setelah tiba di bandara.”
Nindi hanya mengangguk pelan.
“Apa jangan-jangan semalam aku ada menyakitimu?” tebak Daffa cemas.
Nindi tersenyum tipis. Ia tidak ingin Daffa semakin merasa bersalah. “Nggak kok, Mas. Kamu cuman sedikit kasar di ranjang, tapi itu nggak masalah.”
Daffa langsung memeluk Nindi dan mengecup ujung kepalanya. “Maaf, Sayang. Aku janji hal itu tidak terulang lagi. Dan soal pembantu baru kita, maaf, aku belum sempat berdiskusi denganmu. Karena kupikir, dia tibanya lusa, bukan hari ini.”
Daffa pun menjelaskan sosok Mila secara singkat. Mila adalah anak dari pembantu di rumah rekan kerjanya. Baru lulus SMA, dan langsung merantau mencari kerja.
“Aku bener-bener tidak enak saat Pak Raka cerita. Dia mau menampung anak itu, tapi dia sendiri sudah banyak pekerja. Kalaupun dipaksa, tidak ada kamar untuk Mila tiduri. Jadi aku memutuskan untuk menyuruhnya ke sini.”
“Lagian aku pikir, kita butuh pembantu. Soalnya kasihan kamu tiap hari beresin rumah padahal lagi capek juga. Kalaupun kamu tidak setuju, kamu boleh memecatnya. Tapi gunakan kata-kata yang bagus ya, biar dia tidak tersinggung,” lanjut Daffa.
“Nggak apa-apa, Mas. Biar aja dia bekerja di sini. Kalau kinerjanya kurang, baru deh aku pecat saja.”
Daffa memeluk erat tubuh Nindi. Begitu pula dengan Nindi yang sangat nyaman di dekapan suaminya.
Nindi benar-benar lega. Semua kekhawatirannya telah terjawab.
Daffa dan Nindi terus berpelukan, bahkan berciuman bibir sekilas. Tanpa mereka sadari, ada Mila yang mengintip di balik pintu yang tak tertutup rapat.
Nindi menghiraukan Miranda. Ia menerobos masuk ke dalam kamar.Miranda sontak membulatkan mata. Ia langsung menegur Nindi. “Apa-apaan ini, Bu? Mana sopan santun Ibu? Jangan asal masuk ke kamar orang!”Miranda mencegat Nindi yang ingin melangkah lebih jauh. “Ibu gak boleh nyelonong aja! Keluar, Bu!”Nindi mendorong tubuh Miranda. “Minggir kamu! Jangan halangi jalan saya!”Miranda masih tak terima. Ia bahkan menarik lengan Nindi kuat. “Ibu bisa saya laporkan ke polisi! Ibu mau dikenakan pasal karena sudah melanggar privasi saya?!”“Jangan berani menyentuh saya!” balas Nindi. Ia berusaha terlihat kuat. Air matanya sudah mengering, namun emosionalnya masih terasa.“Ibu Nindi!” teriak Miranda.Nindi berjalan dengan degup jantung tak karuan. Ia tergesa memasuki kamar orang. Pandangannya beredar ke penjuru ruangan. Tangannya bahkan mengobrak-abrik selimut di ranjang, berharap menemukan Daffa bersembunyi di bawah sana.“Di mana? Di mana kamu sembunyikan suami saya?!”“Ibu ini apa-apaan?! Ibu
Nindi meraba-raba dada atletis Daffa, tapi tak menemukan adanya tanda merah di sana.‘Mana? Mana bekas ciuman itu? Kenapa nggak ada?’Nindi menggila karena tak menemukan apa pun. Ia bahkan mengenduskan hidungnya, menghirup aroma dari leher dan dada Daffa.Daffa awalnya merasa aneh dengan gerak-gerik Nindi. Tapi ia juga tak menyangkal. Hasratnya naik karena sentuhan Nindi benar-benar luar biasa.“Sayang, sini aku masukin sekarang.”Daffa mulai menurunkan resleting celananya, tapi Nindi menahannya.“Kita lakukan di rumah saja, Mas.”Daffa mengernyit. “Kenapa? Katamu sudah tak tahan.”Nindi akhirnya turun dari pangkuan Daffa. “Benar katamu, Mas. Nanti ada yang melihat kita. Jadi sebaiknya, kita pulang saja.”“Hmm, baiklah, Sayang.”*Setibanya di rumah, Daffa langsung membawa tubuh Nindi ke ranjang.“Mas, enghh….”Nindi tak kuasa menahan desahannya kala Daffa meremas kedua payudaranya.“Kamu sungguh luar biasa, Sayang. Tubuhmu selalu berhasil membuatku tegang,” bisik Daffa parau. Lidahnya
Pukul empat sore, Nindi sudah bersiap-siap pulang.“Kamu mau ke mana, Nin?” tanya Kiara bingung.“Aku mau pulang, Ra. Nggak enak badan.”Kiara melipat tangan di dada. Ia menatap Nindi lelah. “Apa ini soal Daffa? Kamu mau nyari apa sih, Nin? Kalau kamu izin terus, lama-lama kamu ditegur pimpinan loh!”Nindi tidak peduli. Ia tetap melanjutkan langkahnya.Kiara mengejar sampai ke parkiran. “Nindi!” teriaknya. “Kalau kamu mau memastikan apa benar Daffa selingkuh, periksa saja tubuhnya!”Nindi mengangkat satu alisnya. “Maksudmu?”“Pria yang berselingkuh memang pintar beralibi, tapi dia tidak bisa menyembunyikan jejak perselingkuhan di tubuhnya, kan? Cobalah lihat dada suamimu, mungkin saja ada bekas ciuman di sana. Juga, periksa aroma tubuhnya. Mungkin parfum wanita itu masih tercium di tubuh suamimu.”Tanpa menunggu lama, Nindi langsung bergegas meninggalkan rumah sakit.***Saat ini, Nindi sudah berada di area kantor Daffa. Ia menunggu di dalam mobil sembari menunggu jam lima sore.Sebel
"Kamu dari mana, Mas? Ditelepon kok nggak diangkat? Chat-ku juga nggak dibalas," cecar Nindi.Daffa tersentak kaget mendapati Nindi ada di rumah, duduk di tepi ranjang sembari menatapnya tajam. “Loh, Sayang? Kamu tidak kerja?”"Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?!" ulang Nindi, tak sabar.Tadi Nindi mengecek kamar Mila, ternyata pembantunya itu sudah tidur. Namun, Nindi masih mencurigai suaminya."Kamu kan sudah tau, Sayang. Aku ada urusan sama klien.""Terus kenapa teleponku nggak diangkat?!" geram Nindi."Ponselku mati, Sayang. Kehabisan baterai," jawab Daffa sambil mendekati Nindi, mencoba meredakan ketegangan.Nindi sontak menutup hidung. Aroma alkohol begitu lekat di tubuh Daffa. “Kamu minum, Mas?”“Iya, Sayang. Aku tidak bisa menolak ajakan minum klienku. Untungnya aku tidak sampai mabuk seperti kemarin.”Nindi hanya bisa menghembuskan napas. “Lain kali kabari aku, Mas! Walaupun hp kamu mati, kamu cari cara untuk menghubungi aku! Kamu bisa pinjem hp temenmu, Mas. Aku khawatir k
Sore ini, Daffa mengajak Nindi ke rumah orang tuanya untuk menghadiri undangan makan malam khusus merayakan keberhasilan proyek Wijaya Group.Sesampainya di kediaman Wijaya, mereka disambut oleh suasana ruang tamu yang megah. Nindi mendadak terlihat gugup, Daffa pun menyadari hal itu."Sayang, rileks," bisik Daffa sambil menggenggam tangan Nindi.Nindi menarik napas panjang. Ia memang selalu gugup setiap kali akan bertemu dengan mertuanya. Meskipun sudah lima tahun menyandang status menantu, ketakutan itu tak pernah hilang.“Kalau Mama berkata sesuatu yang menyakitimu, abaikan saja,” kata Daffa.Nindi mencoba menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tahu betul bagaimana sifat Yunita. Ibu mertuanya itu memiliki lidah yang tajam, selalu ada saja perkataan tak terduga yang meluncur dari bibirnya, menusuk perasaan Nindi hingga ke ulu hati.Tak lama, Yunita bergabung di ruang tamu. Senyum tipis terukir di bibirnya saat pandangannya beralih dari Daffa ke Nindi. “Kalian datang lebih awal,” sap
“Kamu… kenapa kamu basah-basahan begitu?” tanya Nindi penuh selidik.“Maaf, Bu. Saya habis keramas, tapi lupa bawa handuk. Jadinya baju saya ikutan basah.”Nindi bergeleng kecil. Tanpa banyak bicara, Nindi bergegas ke kamarnya. Ia membuka pintu perlahan, penuh keraguan. Pandangannya langsung tertuju pada ranjangnya.Nindi menghela napas lega. Ternyata Daffa masih tidur. Dan skenario buruknya pun sama sekali tidak terjadi.Nindi mendekati suaminya, menatap wajah Daffa yang terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Namun, ketenangan itu tidak mampu meredakan badai di hati Nindi. Bagaimana Daffa bisa tidur senyenyak itu, sementara ia sendiri dilanda kegelisahan yang luar biasa?Nindi merasa ada yang tidak beres. Daffa harusnya sudah bangun dan bersiap-siap ke kantor. Tapi, Daffa justru masih tidur sampai saat ini.Pikiran buruk pun kembali menyerang Nindi. Mungkinkah suaminya baru selesai bercinta dengan Mila, lalu karena kelelahan, Daffa kembali tertidur? Begitu pula Mila yang langsung ke