Home / Rumah Tangga / Ranjang Panas Suamiku / Bab 2. Kedatangan Perempuan Asing

Share

Bab 2. Kedatangan Perempuan Asing

Author: Kak Gojo
last update Last Updated: 2025-08-07 14:31:00

Mata Nindi mulai memanas. Tangannya gemetar hebat dengan degup jantung tak karuan. Semakin dipikirkan, hati Nindi semakin tertusuk.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Lamunan Nindi buyar seketika. Ia mengusap air mata yang berhasil jatuh di pipi.

“Sebentar!” teriak Nindi.

Nindi terkesiap saat membuka pintu. Di depannya berdiri seorang gadis muda yang cantik dengan penampilan sederhana.

“Cari siapa ya?” tanya Nindi seraya menatap perempuan itu dari atas sampai bawah.

Gadis itu tersenyum dan menunduk sopan. “Perkenalkan saya Mila, Bu. Pembantu baru di rumah ini.”

Nindi mengernyit heran. “Pembantu? Siapa yang mempekerjakanmu?”

“Iya, Bu. Pak Daffa yang menyuruh saya ke sini. Ini benar rumahnya Pak Daffa, kan?” tanyanya memastikan.

“Iya. Dia suami saya. Tapi dia nggak ada ngomong apa-apa soal kamu.”

Mila hanya diam. Bingung harus berkata apa. Sedangkan Nindi menaruh rasa ragu pada Mila.

Dulu, di awal pernikahan, Nindi memang pernah meminta Daffa untuk mencari seorang ART. Nindi yang baru memulai karirnya sebagai perawat seringkali kesulitan membagi waktu antara bekerja dan mengurus rumah. Tetapi, Daffa selalu menolak dengan alasan ia tidak mau rumahnya dimasuki oleh orang asing.

Daffa yang kasihan pada Nindi pun mengungkapkan keinginannya agar Nindi berhenti bekerja dan fokus mengurus rumah tangga saja.  Tapi di saat bersamaan, Daffa memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan membangun perusahaan sendiri. Hal ini membuat Nindi ragu mengingat pendapatan Daffa belum stabil.

Namun, lama-kelamaan, Nindi sudah terbiasa menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Ia bahkan tak kenal lelah untuk membereskan semua pekerjaan rumah, sekalipun ia bekerja sampai larut.

Daffa pun beberapa kali membantu pekerjaan Nindi dan berkata mereka benar-benar tidak membutuhkan pembantu.

Namun, lihatlah sekarang!

Daffa mendadak mempekerjakan seorang pembantu tanpa diskusi dulu dengannya. Pembantu itu masih gadis pula!

Entah kenapa, hal ini justru membuat Nindi makin yakin dengan kecurigaannya.

‘Kenapa baru sekarang Mas Daffa nyari pembantu? Padahal semuanya baik-baik saja.’

“Tunggu sebentar,” kata Nindi akhirnya. Ia biarkan Mila berdiri di terasnya.

Nindi tak bisa menerima Mila begitu saja. Ia harus berdiskusi dulu dengan Daffa. Banyak hal yang mau ia tanyakan.

Tapi sialnya, Daffa tak kunjung bangun padahal Nindi sudah mencoba membangunkannya berulang kali.

“Ih, kamu ini mati atau gimana sih, Mas?!”

Nindi membuang napas kasar. Atensinya lalu beralih menatap celana dalam yang bukan miliknya itu. Ia mengambil benda itu lalu memperhatikannya seksama.

Celana dalam renda berwarna merah.

Motifnya sekilas mirip dengan motif pada pinggiran rok yang Mila kenakan.

Pikiran Nindi mendadak tak karuan. “Jangan-jangan gadis itu pemilik celana dalam ini?”

Dengan cepat Nindi kembali menemui Mila. Matanya fokus memperhatikan motif renda yang ada di rok Mila.

“Bukan mirip lagi, tapi sama persis!” gumam Nindi.

Mila yang mendengarnya pun bingung. “Maksud Ibu?”

Nindi lalu tersadar. Ia menggeleng pelan sembari tersenyum kikuk. Walaupun ia mencurigai Mila, tapi sebisa mungkin tak ia tunjukkan secara langsung.

Lagian dugaan Nindi belum pasti benar. Ia mau mendengar penjelasan dari Daffa dulu.

“Maaf, hari ini kamu belum bisa bekerja. Kamu bisa pulang dulu. Nanti saya hubungi lagi.”

Mila menyadari bahwa Nindi sedari tadi memperhatikan penampilannya. Ia lalu mengira ada yang salah dengan pakaiannya.

“Maaf, Bu. Saya pikir cukup memakai pakaian tertutup dan—”

“Bukan, bukan itu! Nggak ada yang salah dengan pakaian kamu. Hanya saja masih ada yang perlu saya diskusikan dengan suami saya. Jadi kamu boleh pulang dulu,” potong Nindi cepat.

Mila hening sejenak. Rasanya berat untuk mengiyakan.

“Kenapa? Ada masalah?” tanya Nindi menyadari keberatan Mila.

“Maaf, Bu. Rumah saya jauh dari sini. Perlu banyak ongkos dan makan waktu.”

Nindi kembali bertanya. Saat ia mengetahui tempat tinggal Mila yang berbeda pulau, Nindi dengan berat hati menerima Mila. Ia juga tidak setega itu mengusir Mila yang sudah susah payah datang jauh-jauh ke alamatnya.

Setelah Nindi mempersilakan Mila masuk ke rumahnya. “Kamu simpan aja dulu barang-barangmu di sini,” ujarnya seraya menunjukkan kamar untuk Mila.

Nindi lalu memberikan intruksi apa saja yang harus Mila kerjakan. Tak sedetik pun Mila lepas dari pengawasan Nindi. Hal itu membuat Mila menjadi salah tingkah.

Mila membuka tudung saji. Sarapan sudah tersedia di bawah sana, padahal baru saja Mila hendak memasak.

“Pak Daffa belum sarapan ya, Bu?”

Pertanyaan Mila barusan membuat suasana hati Nindi makin memburuk. Namun, Nindi masih bisa mengendalikannya.

“Suami saya masih tidur,” balas Nindi.

“Emangnya Bapak gak bekerja, Bu?” tanya Mila lagi, basa-basi.

Hati Nindi justru memanas. Ia menganggap Mila terlalu berlebihan. “Kamu fokus saja dengan kerjaanmu!” balasnya dingin.

Mila menunduk meminta maaf. Sementara Nindi kembali ke kamarnya, ia mencoba membangunkan Daffa. Namun, sia-sia. Tidur Daffa terlalu pulas.

Nindi semakin gelisah. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 06.30, dia akan terlambat bekerja jika menunggu Daffa bangun. Tapi, Nindi juga berat hati meninggalkan rumah sebelum ia mendengar penjelasan dari Daffa.

Nindi menarik napas panjang. Ia pasrah. Mau tidak mau, ia harus berangkat sekarang juga. Tapi sebelum itu, ia kembali menemui Mila di dapur.

“Kalau cucian piringmu itu sudah beres, langsung istirahat saja di kamarmu!”

“Apa saya gak perlu menyapu, Bu?”

“Nggak perlu. Saya sudah beberes kok.”

Mila sekilas memperhatikan lantai. “Soalnya masih kelihatan kotor, Bu.”

Nindi tersindir seketika. Ia memang selalu membersihkan rumah di sore hari, setelah pulang bekerja.

“Yaudah kalau mau nyapu lagi, silakan. Tapi jangan masuk ke kamar saya ya! Biar saya yang beresin sendiri.” Setelah berkata, Nindi langsung melenggang pergi.

Di dalam mobilnya, Nindi terlihat ragu.

“Semoga saja kekhawatiranku nggak terjadi,” ujar Nindi seraya melajukan mobilnya menuju jalan raya.

Sepanjang perjalanan, kegelisahan terus melanda dirinya. Ia bahkan tidak fokus menyetir bahkan hampir menabrak pengendara di depannya.

Sekeras apa pun usaha Nindi untuk konsentrasi, tetap saja pikirannya tentang Daffa yang kemungkinan selingkuh dengan Mila terus mengganggu.

Baru saja tiba di parkiran rumah sakit, Nindi langsung memutar balik mobilnya menuju rumah. Pikirannya dipenuhi berbagai skenario buruk.

“Jangan sampai… jangan sampai aku melihat adegan itu! Aku benar-benar nggak akan memaafkan Mas Daffa kalau dia meniduri perempuan lain di depan mataku!”

Nindi menyetir mobil dengan kelajuan maksimal. Bahkan Nindi mengabaikan panggilan masuk dari teman kerjanya. Nindi tak peduli lagi soal kerjaannya. Ia hanya ingin memastikan dugaannya itu tidak benar.

Setibanya di rumah, Nindi bergegas masuk dengan debaran jantung yang kuat. Ia berlari menuju dapur dan melihat Mila baru keluar dari toilet dengan rambut dan baju yang basah.

“Mila!” panggil Nindi dengan napas memburu. Ia berpikir mungkinkah Mila dan Daffa habis bercinta di dalam sana?

Mila terlihat kaget. “Eh, Ibu? Kok balik lagi, Bu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 114. Meninggalkan Rumah

    Setelah keluar dari Kejaksaan, Wilona segera meminta sopir untuk membawanya kembali ke rumah. Ia tahu ia harus bergerak cepat. Hari-hari terakhirnya dihabiskan dengan menjual semua koleksi tas dan baju branded-nya, menukar kemewahan itu dengan uang tunai.Di ruang tamu, Wilona mengumpulkan para pelayan dan sopir. Wajahnya lelah, tapi suaranya mantap. Ia menyerahkan tumpukan uang tunai kepada kepala pelayan dan sopirnya."Ini," kata Wilona, suaranya tercekat. "Ini gaji kalian yang belum dibayar bulan ini. Sekarang kalian pergilah dari sini, cari majikan baru yang lebih baik. Semoga kalian sukses di mana pun kalian berada."Para pelayan dan sopir menatap Wilona dengan iba. "Non... apa Non akan baik-baik saja?" tanya kepala pelayan, air matanya menetes."Jangan khawatir, Bi," sahut Wilona, memaksakan senyum yang terasa getir. "Aku bisa mengurus ini sendirian. Aku akan baik-baik saja," katanya mantap.Tak lama kemudian, rumah mewah itu pun kosong. Bunyi mobil para pelayan dan sopir yang me

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 113. Panggilan Penyidik

    Dua hari kemudian, Wilona harus meninggalkan Rumah Sakit Harapan Kasih. Bayinya, yang belum diberi nama, tidur pulas dalam pelukannya. Namun, Wilona tidak bisa tersenyum.Di tangannya, ia memegang tumpukan tagihan rumah sakit yang nominalnya fantastis, jauh melebihi uang tunai yang tersisa di dompetnya. Di saku bajunya, terselip surat panggilan dari Kejaksaan."Bu Wilona, kami harus menahan bayinya jika Anda tidak bisa melunasi sisa tagihan," kata Manajer Administrasi dengan nada menyesal namun tegas.Wilona merasakan amarah dan keputusasaan yang luar biasa. "Anda tidak bisa melakukan itu! Saya akan bayar! Tapi saya butuh waktu!""Berapa lama, Bu? Rekening Anda dibekukan. Perusahaan keluarga Anda tidak merespon panggilan kami."Wilona tahu, ia hanya punya satu jalan keluar. Ia pun meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang sudah lama tidak ia tekan. Nomor pengacara keluarga, yang dulu selalu siap sedia melayaninya."Tolong, Pak. Saya butuh bantuan hukum dan sedikit dana darurat. Ayah

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 112. Wilona Bangkrut Total

    Beberapa hari setelah melahirkan, Wilona terbaring lemah, nyaris tak berdaya, di kamar VVIP rumah sakit. Perutnya masih terasa sakit, tetapi tatapannya tak lepas dari bayi laki-lakinya yang terlelap pulas di ranjang kecil di sampingnya. Ketenangan yang ia dapatkan dari melihat wajah putranya tidak bertahan lama.Pintu terbuka. Seorang petugas administrasi rumah sakit masuk dengan wajah pucat dan membawa setumpuk dokumen. Ekspresi petugas itu jelas menunjukkan kabar buruk."Bu Wilona, kami mohon maaf," kata petugas itu, suaranya dipaksakan pelan. Ia meletakkan dokumen-dokumen itu di meja. "Semua biaya perawatan dan persalinan Anda sudah jatuh tempo. Hadikusuma Company gagal mengirimkan pembayaran. Kami tidak punya pilihan selain meminta Anda segera menyelesaikannya."Wilona merasa seolah dadanya diremas. Rasa sakit itu, lebih parah dari sisa kontraksi, menjalar ke seluruh tubuhnya. "Tidak mungkin! Uang kami... seharusnya ada di bank! Kirimkan saja tagihannya ke bagian keuangan!" sahut

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 111. Daffa Resmi Lengser

    Di kediaman Hadikusuma, suasana penuh kepanikan memecah keheningan malam.Wilona menjerit kesakitan di ranjangnya. Kontraksi yang ia rasakan sangat hebat dan tak tertahankan.“Bi, tolong… tolong… s-sepertinya aku mau melahirkan, Bi. Cepat bawa aku ke rumah sakit!” rintih Wilona.Para pelayan berlarian cemas, mencari sopir, dan yang lainnya membantu Wilona bangkit, memapahnya ke kursi roda. Sopir segera menyiapkan mobil secepatnya.Malam itu, di tengah kesendirian dan kesedihan yang mencekik, Wilona dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Kasih. Tidak ada Daffa yang mendampingi, tidak ada Baskara maupun Nanik yang bisa memberinya kekuatan. Hanya ada dua orang pelayan yang menemani dan mengurus segala administrasinya.Di ruang bersalin, Wilona berjuang melawan rasa sakit. Di sampingnya, berdiri seorang perawat, tak lain adalah Kiara.Setelah perjuangan yang panjang dan menyakitkan, tepat menjelang subuh, Wilona melahirkan seorang bayi laki-laki. Tangisan pertama sang bayi terdengar memecah kehe

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 110. Nindi, CEO Baru?

    Nindi mengendarai mobilnya kembali ke kantor Rexa. Ia tidak ingin kembali ke hotel, ia ingin berada di dekat Rexa, satu-satunya orang yang memberinya rasa aman dan nyaman.Nindi akhirnya tiba di kantor Rexa. Ia bergegas melangkah menuju ruang kerja pria itu.Rexa sendiri sedang menunggu Nindi di ruangannya, terlihat tenang namun dengan sedikit kekhawatiran."Aku sudah tau kamu pasti kemari, Sayang," kata Rexa, lalu bangkit dari kursinya saat Nindi masuk. Ia melihat ekspresi Nindi yang tidak secerah saat ia meninggalkan rumah Daffa kemarin."Aku baru saja dari rumah Wilona," ujar Nindi, suaranya lesu."Dan?" tanya Rexa, mendekat dan meraih tangan Nindi.Nindi menarik napas dalam-dalam. "Dan... aku baru sadar, Rexa. Daffa memang mencintaiku. Saking cintanya, dia selingkuh dengan Wilona hanya karena wanita itu mirip denganku versi muda. Aku lihat semua pakaiannya, bahkan koleksi barang-barangnya yang lain. Wilona meniruku. Semua barangnya mirip denganku."Air mata Nindi mulai menggenang.

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 109. Hanya Bayangan

    Keesokan harinya, Nindi merasa ada satu hal lagi yang harus ia tuntaskan untuk menyempurnakan kemenangan balas dendamnya. Ia ingin melihat kehancuran Wilona secara langsung.Nindi pergi sendiri, mengendarai mobil barunya menuju kediaman mewah keluarga Hadikusuma. Dengan mengenakan pakaian mahal dan kalung berliannya, ia masuk tanpa mengetuk pintu.Seorang pelayan yang terkejut segera mencegatnya di foyer. "Maaf, Nyonya! Anda tidak bisa masuk! Keluarga sedang berduka!"Nindi menepis tangan pelayan itu dengan dingin. "Aku punya urusan mendesak dengan Wilona. Minggir!"Nindi melangkah pasti memasuki rumah mewah nan luas itu.Pelayan itu mengikutinya dengan cemas, memohon agar Nindi berhenti.Nindi mengabaikannya, ia membuka pintu ruangan satu per satu dengan brutal, mencari kamar Wilona.Setelah membuka tiga pintu kamar kosong, tibalah Nindi di kamar yang terakhir. Ia lalu membuka pintu itu tanpa izin.Di dalam kamar yang mewah itu, Wilona sedang duduk di tepi ranjang, menyandarkan pungg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status