LOGINSore ini, Daffa mengajak Nindi ke rumah orang tuanya untuk menghadiri undangan makan malam khusus merayakan keberhasilan proyek Wijaya Group.
Sesampainya di kediaman Wijaya, mereka disambut oleh suasana ruang tamu yang megah. Nindi mendadak terlihat gugup, Daffa pun menyadari hal itu.
"Sayang, rileks," bisik Daffa sambil menggenggam tangan Nindi.
Nindi menarik napas panjang. Ia memang selalu gugup setiap kali akan bertemu dengan mertuanya. Meskipun sudah lima tahun menyandang status menantu, ketakutan itu tak pernah hilang.
“Kalau Mama berkata sesuatu yang menyakitimu, abaikan saja,” kata Daffa.
Nindi mencoba menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tahu betul bagaimana sifat Yunita. Ibu mertuanya itu memiliki lidah yang tajam, selalu ada saja perkataan tak terduga yang meluncur dari bibirnya, menusuk perasaan Nindi hingga ke ulu hati.
Tak lama, Yunita bergabung di ruang tamu. Senyum tipis terukir di bibirnya saat pandangannya beralih dari Daffa ke Nindi. “Kalian datang lebih awal,” sapanya anggun. “Tapi tak apa, sambil menunggu, bagaimana kalau kita minum teh dulu?”
Yunita mengajak mereka ke ruang keluarga.
Di sana, percakapan akan terasa lebih intim, dan pertanyaan-pertanyaan Yunita akan semakin menusuk. Hal ini membuat Nindi semakin gugup.
Pelayan segera menyajikan teh dan camilan. Setelah semua duduk dan menikmati teh, Yunita memulai percakapan. “Jadi, bagaimana pernikahan kalian? Ada kabar baik untukku? Atau masih sama?”
Seperti dugaan Nindi, pertanyaan itu langsung mengarah pada topik yang sering Yunita bahas: cucu. Nindi hanya bisa menggeleng pelan, rasa bersalah menyelimuti hatinya.
Yunita mendesah kecewa. “Mau sampai kapan? Kalian sudah lima tahun menikah loh! Umur kamu dan Daffa juga sudah 28 tahun! Sudah terlalu tua untuk menunda momongan!”
Dulu, Nindi memang pernah menunda kehamilannya di awal tahun pernikahan. Nindi berkata kepada keluarga besar mereka bahwa Nindi ingin menikmati momen pernikahannya berduaan saja dengan Daffa tanpa kehadiran anak. Selain itu, Nindi juga berpikir jika memiliki anak akan mengganggu karirnya sebagai perawat baru kala itu.
Namun siapa sangka, hingga di tahun kelima pernikahannya, Nindi belum juga diberi momongan.
Nindi membela diri, “Ma, kami sudah nggak menunda momongan. Kami bahkan ikut program kehamilan, hanya saja memang belum rezeki.”
“Kalian masih sering melakukan itu, kan?” tanya Yunita tanpa basa-basi.
Nindi bingung. “Maksudnya, Ma?”
“Berhubungan seks! Kalian masih sering melakukannya, kan?”
Nindi dan Daffa bertukar tatapan kaget.
Daffa geram. “Ma! Apa tidak ada pembahasan lain?”
“Mama harus tau semuanya, Daffa! Jangan bilang kalian udah nggak pernah berhubungan seks karena Nindi selalu sibuk! Mama kan udah sering bilang, mendingan kamu itu berhenti saja dari kerjaanmu itu, Nindi! Karena kerjaanmu itu, Daffa jadi nggak terurus lahir dan batin!”
Daffa memelotot ke ibunya, lalu menatap Nindi yang sudah menunduk dan terlihat murung. “Mama jangan sok tau soal rumah tangga kami! Nindi tidak pernah mengabaikan kebutuhanku sesibuk apapun dia. Lagian, di rumah sudah ada ART, jadi Mama tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi.”
“Ya, bagus! Sekalian saja suruh ART-mu itu melayanimu di ranjang! Jangan hanya memasak dan mencuci baju!”
“Mama!” teriak Daffa. “Mama sudah kelewat batas!”
Nindi tersentak melihat Daffa membentak Yunita. Pikiran buruk mulai merayap di benaknya. Apakah Daffa marah karena tersinggung? Apa Mila pernah melayaninya di ranjang?
'Tidak! Kenapa aku selalu berpikiran buruk pada suamiku sendiri?' batin Nindi cepat-cepat menepis. 'Mas Daffa pasti marah demi membelaku!'
Daffa langsung menarik tangan Nindi dan membawanya keluar dari rumah.
“Mas, kenapa kita pergi? Makan malamnya bahkan belum dimulai!” tanya Nindi heran.
“Kita makan di restoran saja,” jawab Daffa singkat sambil membukakan pintu mobil.
Nindi menolak masuk. Ada keraguan di wajahnya. “Bukan masalah makan malamnya, Mas. Tapi... keluargamu. Ini kan perayaan keberhasilan Wijaya Group. Apa kamu nggak masalah melewatkannya?"
“Itu tidak penting. Aku bukan lagi bagian dari Wijaya Group. Apa kamu lupa, Sayang? Aku sudah mendirikan perusahaanku sendiri.” Daffa meyakinkan. “Ayolah, Sayang. Naik! Apa kamu mau bertahan di sana dan mendengar omongan pedas Mama sepanjang malam?”
Nindi akhirnya luluh.
Sepanjang perjalanan, Nindi menatap suaminya dengan haru. Hingga saat ini, Daffa masih mempertahankan statusnya sebagai suami yang baik, pria yang berdiri di garda terdepan untuk membelanya di depan ibunya sendiri.
“Mas Daffa,” panggil Nindi lirih. Matanya berkaca-kaca.
Daffa melirik sejenak. Ia terlihat cemas. “Sayang? Apa yang membuatmu bersedih?”
Nindi menatap suaminya cukup lama.
“I love you, Mas,” ucap Nindi akhirnya. Suaranya terdengar gemetar penuh haru. Ia bahkan tak bisa menahan air matanya.
Daffa masih cemas. Namun ia berusaha menenangkan Nindi dengan mencium punggung tangan sang istri.
“I love you too, Sayangku,” balasnya lembut.
***
Setibanya di restoran, Daffa langsung memesan menu kesukaan Nindi.
“Kamu masih inget juga ya, Mas, kesukaan aku apa, padahal kita udah lama nggak makan di sini,” ucap Nindi terharu.
Nindi merasakan gelombang nostalgia, teringat masa pacaran mereka dulu. Daffa selalu mengajaknya makan malam di tempat ini.
Daffa terkekeh, tangannya meraih dan mengelus tangan Nindi. “Tentu saja, Sayang. Mana mungkin aku lupa menu favoritmu.” Ia menatap Nindi dalam-dalam. “Jangan pikirin ucapan Mama lagi, ya. Sekarang, ayo kita nikmati momen ini.”
Nindi mengangguk. Hatinya menghangat, mengingat betapa langkanya momen berdua mereka belakangan ini karena Daffa hampir lembur tiap malam.
Di saat Nindi dan Daffa menikmati santapan, sebuah deringan ponsel mengganggu ketenangan mereka.
“Sebentar, Mas. Dari rumah sakit.”
Sesaat setelah menjawab panggilan itu, wajah Nindi berubah pias. Ia buru-buru menutup telepon, lalu menatap Daffa dengan rasa tak enak.
“Maaf, Mas. Aku harus pergi.” Nindi bergegas mengambil tasnya. “IGD kelebihan pasien, dan jumlah perawat yang jaga enggak banyak. Aku harus bantu.”
Daffa mendengus kesal. “Aku kira hari ini kamu izin. Kenapa masih dipanggil kerja? Aku bahkan sudah mengosongkan seluruh jadwalku hari ini. Apa tidak bisa sekali saja kamu abaikan kerjaanmu itu, Sayang?”
Nindi terdiam, berpikir sejenak. Akhirnya, ia menghubungi rumah sakit kembali dan mengutarakan bahwa ia tidak bisa datang. Ia lalu kembali duduk.
“Udah, Mas. Jangan cemberut. Aku enggak jadi pergi, kok. Kita makan lagi, ya?”
Wajah Daffa masih terlihat masam hingga ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk, dan senyum lebar langsung mengembang di wajahnya.
“Dari siapa, Mas? Kok senyum-senyum?” tanya Nindi penasaran.
“Klien,” jawab Daffa riang. “Proposalku akhirnya disetujui!”
Nindi ikut tersenyum. “Selamat, Mas. Aku ikut senang dengarnya.”
Namun, senyuman Nindi perlahan memudar saat Daffa justru berpamitan.
“Ini tidak bisa ditinggal, Sayang. Kamu tahu sendiri perusahaanku belum stabil. Proyek ini satu-satunya jalan untukku,” Daffa menjelaskan, “Kamu harus mengerti, ya? Oh, ya. Kalau kamu mau berjaga di rumah sakit, gapapa. Kayaknya aku pulangnya juga larut malam.”
Nindi hanya bisa menghela napas, melihat Daffa yang pergi terburu-buru. Ia duduk sendirian di restoran itu, membiarkan pikirannya berkecamuk, sebelum akhirnya pergi ke rumah sakit
***
Pukul satu malam, Nindi sudah tiba di rumah.
“Loh, Mas Daffa belum balik?” gumam Nindi saat melihat hanya ada satu mobil di garasinya.
Nindi mengernyit. Ia mengira Daffa sudah pulang. Ia pun melangkah masuk ke rumah.
Perut Nindi tiba-tiba keroncongan. Nindi langsung menuju dapur, berharap ada lauk di balik tudung saji. Tapi sial, tidak ada apa-apa di sana.
“Mila rupanya enggak masak,” gerutunya.
Nindi akhirnya mengambil sebungkus mi instan—makanan yang selalu ia hindari—dari lemari penyimpanan.
Saat membuang kemasan mi, matanya terpaku pada sesuatu di dalam tong sampah. Jantungnya berdebar kencang.
Sebuah kondom bekas berisi cairan sperma, terselip di antara tumpukan tisu.
“S-siapa... yang membuang ini?” gumam Nindi, suaranya bergetar.
Pikirannya langsung dipenuhi kabut. Perkataan ibu mertua kembali terngiang. “Jangan-jangan...”
Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke kamar Mila.
Setelah keluar dari Kejaksaan, Wilona segera meminta sopir untuk membawanya kembali ke rumah. Ia tahu ia harus bergerak cepat. Hari-hari terakhirnya dihabiskan dengan menjual semua koleksi tas dan baju branded-nya, menukar kemewahan itu dengan uang tunai.Di ruang tamu, Wilona mengumpulkan para pelayan dan sopir. Wajahnya lelah, tapi suaranya mantap. Ia menyerahkan tumpukan uang tunai kepada kepala pelayan dan sopirnya."Ini," kata Wilona, suaranya tercekat. "Ini gaji kalian yang belum dibayar bulan ini. Sekarang kalian pergilah dari sini, cari majikan baru yang lebih baik. Semoga kalian sukses di mana pun kalian berada."Para pelayan dan sopir menatap Wilona dengan iba. "Non... apa Non akan baik-baik saja?" tanya kepala pelayan, air matanya menetes."Jangan khawatir, Bi," sahut Wilona, memaksakan senyum yang terasa getir. "Aku bisa mengurus ini sendirian. Aku akan baik-baik saja," katanya mantap.Tak lama kemudian, rumah mewah itu pun kosong. Bunyi mobil para pelayan dan sopir yang me
Dua hari kemudian, Wilona harus meninggalkan Rumah Sakit Harapan Kasih. Bayinya, yang belum diberi nama, tidur pulas dalam pelukannya. Namun, Wilona tidak bisa tersenyum.Di tangannya, ia memegang tumpukan tagihan rumah sakit yang nominalnya fantastis, jauh melebihi uang tunai yang tersisa di dompetnya. Di saku bajunya, terselip surat panggilan dari Kejaksaan."Bu Wilona, kami harus menahan bayinya jika Anda tidak bisa melunasi sisa tagihan," kata Manajer Administrasi dengan nada menyesal namun tegas.Wilona merasakan amarah dan keputusasaan yang luar biasa. "Anda tidak bisa melakukan itu! Saya akan bayar! Tapi saya butuh waktu!""Berapa lama, Bu? Rekening Anda dibekukan. Perusahaan keluarga Anda tidak merespon panggilan kami."Wilona tahu, ia hanya punya satu jalan keluar. Ia pun meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang sudah lama tidak ia tekan. Nomor pengacara keluarga, yang dulu selalu siap sedia melayaninya."Tolong, Pak. Saya butuh bantuan hukum dan sedikit dana darurat. Ayah
Beberapa hari setelah melahirkan, Wilona terbaring lemah, nyaris tak berdaya, di kamar VVIP rumah sakit. Perutnya masih terasa sakit, tetapi tatapannya tak lepas dari bayi laki-lakinya yang terlelap pulas di ranjang kecil di sampingnya. Ketenangan yang ia dapatkan dari melihat wajah putranya tidak bertahan lama.Pintu terbuka. Seorang petugas administrasi rumah sakit masuk dengan wajah pucat dan membawa setumpuk dokumen. Ekspresi petugas itu jelas menunjukkan kabar buruk."Bu Wilona, kami mohon maaf," kata petugas itu, suaranya dipaksakan pelan. Ia meletakkan dokumen-dokumen itu di meja. "Semua biaya perawatan dan persalinan Anda sudah jatuh tempo. Hadikusuma Company gagal mengirimkan pembayaran. Kami tidak punya pilihan selain meminta Anda segera menyelesaikannya."Wilona merasa seolah dadanya diremas. Rasa sakit itu, lebih parah dari sisa kontraksi, menjalar ke seluruh tubuhnya. "Tidak mungkin! Uang kami... seharusnya ada di bank! Kirimkan saja tagihannya ke bagian keuangan!" sahut
Di kediaman Hadikusuma, suasana penuh kepanikan memecah keheningan malam.Wilona menjerit kesakitan di ranjangnya. Kontraksi yang ia rasakan sangat hebat dan tak tertahankan.“Bi, tolong… tolong… s-sepertinya aku mau melahirkan, Bi. Cepat bawa aku ke rumah sakit!” rintih Wilona.Para pelayan berlarian cemas, mencari sopir, dan yang lainnya membantu Wilona bangkit, memapahnya ke kursi roda. Sopir segera menyiapkan mobil secepatnya.Malam itu, di tengah kesendirian dan kesedihan yang mencekik, Wilona dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Kasih. Tidak ada Daffa yang mendampingi, tidak ada Baskara maupun Nanik yang bisa memberinya kekuatan. Hanya ada dua orang pelayan yang menemani dan mengurus segala administrasinya.Di ruang bersalin, Wilona berjuang melawan rasa sakit. Di sampingnya, berdiri seorang perawat, tak lain adalah Kiara.Setelah perjuangan yang panjang dan menyakitkan, tepat menjelang subuh, Wilona melahirkan seorang bayi laki-laki. Tangisan pertama sang bayi terdengar memecah kehe
Nindi mengendarai mobilnya kembali ke kantor Rexa. Ia tidak ingin kembali ke hotel, ia ingin berada di dekat Rexa, satu-satunya orang yang memberinya rasa aman dan nyaman.Nindi akhirnya tiba di kantor Rexa. Ia bergegas melangkah menuju ruang kerja pria itu.Rexa sendiri sedang menunggu Nindi di ruangannya, terlihat tenang namun dengan sedikit kekhawatiran."Aku sudah tau kamu pasti kemari, Sayang," kata Rexa, lalu bangkit dari kursinya saat Nindi masuk. Ia melihat ekspresi Nindi yang tidak secerah saat ia meninggalkan rumah Daffa kemarin."Aku baru saja dari rumah Wilona," ujar Nindi, suaranya lesu."Dan?" tanya Rexa, mendekat dan meraih tangan Nindi.Nindi menarik napas dalam-dalam. "Dan... aku baru sadar, Rexa. Daffa memang mencintaiku. Saking cintanya, dia selingkuh dengan Wilona hanya karena wanita itu mirip denganku versi muda. Aku lihat semua pakaiannya, bahkan koleksi barang-barangnya yang lain. Wilona meniruku. Semua barangnya mirip denganku."Air mata Nindi mulai menggenang.
Keesokan harinya, Nindi merasa ada satu hal lagi yang harus ia tuntaskan untuk menyempurnakan kemenangan balas dendamnya. Ia ingin melihat kehancuran Wilona secara langsung.Nindi pergi sendiri, mengendarai mobil barunya menuju kediaman mewah keluarga Hadikusuma. Dengan mengenakan pakaian mahal dan kalung berliannya, ia masuk tanpa mengetuk pintu.Seorang pelayan yang terkejut segera mencegatnya di foyer. "Maaf, Nyonya! Anda tidak bisa masuk! Keluarga sedang berduka!"Nindi menepis tangan pelayan itu dengan dingin. "Aku punya urusan mendesak dengan Wilona. Minggir!"Nindi melangkah pasti memasuki rumah mewah nan luas itu.Pelayan itu mengikutinya dengan cemas, memohon agar Nindi berhenti.Nindi mengabaikannya, ia membuka pintu ruangan satu per satu dengan brutal, mencari kamar Wilona.Setelah membuka tiga pintu kamar kosong, tibalah Nindi di kamar yang terakhir. Ia lalu membuka pintu itu tanpa izin.Di dalam kamar yang mewah itu, Wilona sedang duduk di tepi ranjang, menyandarkan pungg







