Home / Rumah Tangga / Ranjang Panas Suamiku / Bab 5. Kamu Kemana Aja, Mas?

Share

Bab 5. Kamu Kemana Aja, Mas?

Author: Kak Gojo
last update Last Updated: 2025-08-07 14:40:03

"Kamu dari mana, Mas? Ditelepon kok nggak diangkat? Chat-ku juga nggak dibalas," cecar Nindi.

Daffa tersentak kaget mendapati Nindi ada di rumah, duduk di tepi ranjang sembari menatapnya tajam. “Loh, Sayang? Kamu tidak kerja?”

"Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?!" ulang Nindi, tak sabar.

Tadi Nindi mengecek kamar Mila, ternyata pembantunya itu sudah tidur. Namun, Nindi masih mencurigai suaminya.

"Kamu kan sudah tau, Sayang. Aku ada urusan sama klien."

"Terus kenapa teleponku nggak diangkat?!" geram Nindi.

"Ponselku mati, Sayang. Kehabisan baterai," jawab Daffa sambil mendekati Nindi, mencoba meredakan ketegangan.

Nindi sontak menutup hidung. Aroma alkohol begitu lekat di tubuh Daffa. “Kamu minum, Mas?”

“Iya, Sayang. Aku tidak bisa menolak ajakan minum klienku. Untungnya aku tidak sampai mabuk seperti kemarin.”

Nindi hanya bisa menghembuskan napas. “Lain kali kabari aku, Mas! Walaupun hp kamu mati, kamu cari cara untuk menghubungi aku! Kamu bisa pinjem hp temenmu, Mas. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa di luar sana, Mas.”

“Maaf, Sayang. Aku tidak kepikiran.”

Daffa membelai rambut Nindi lalu mengecup bibir Nindi sekilas.

Nindi masih terlihat kesal walaupun Daffa sudah meminta maaf dan membujuknya.

Entah apa yang ada di pikiran Nindi saat ini. Ia masih menaruh curiga terhadap suaminya.

‘Kalau bukan Mas Daffa, terus itu kondom bekas siapa? Lagian Mas Daffa juga semalaman nggak di rumah, arghh, ini sungguh memusingkan!’

***

Pagi ini, Nindi berangkat bekerja ditemani oleh Daffa. Nindi merasa lelah dan tidak sanggup menyetir sendiri.

“Sayang, kalau kamu kecapean, harusnya izin kerja saja. Toh, kemarin kamu pulangnya larut, tapi kenapa masih kebagian shift pagi?” sungut Daffa. Ia lama-lama kesal juga dengan pembagian shift Nindi yang tidak jelas.

“Udahlah, Mas. Udah risiko pekerjaanku,” sahut Nindi malas. Ia masih kepikiran dengan hal itu ‘kondom bekas’.

“Kamu tidak ada niatan pindah rumah sakit, Sayang? Cari rumah sakit yang jadwal kerjanya jelas! Kalau kamu kerja di situ terus, lama-lama kamu yang bakal jadi pasien!”

“Mas, udah ah! Kamu fokus nyetir aja!” tegur Nindi.

Nindi tiba-tiba mual. Ia mencari sesuatu di atas dashboard, tapi tak ada. “Tisu kamu mana, Mas? Biasanya kamu simpan di sini.”

Daffa juga terlihat bingung. “Coba lihat di laci, Sayang.”

Dan benar saja, tisu yang dicari Nindi ada di dalam laci.

Nindi mengomel. “Kenapa kamu simpan di sini sih, Mas? Bikin susah aja.”

Di saat Nindi mengambil tisu itu. Atensinya justru teralih pada sebuah pelembab bibir.

“Ini punya siapa, Mas?”

Daffa melirik sekilas. “Ah, itu… punyaku, Sayang.”

“Kok aku baru lihat?”

“Itu aku beli waktu perjalanan bisnis kemarin, Sayang. Biar bibirku tidak lembab di pesawat.”

Nindi memicingkan mata. “Harus banget warna merah, Mas? Rasa strawberry pula!”

Daffa terkekeh pelan. “Maklumin aja, Sayang. Aku tidak tau bahasa Mandarin. Aku asal membeli apa yang pramuniaga tawarkan.”

Nindi hanya diam sembari berprasangka buruk.

***

Setibanya di rumah sakit, Nindi terus kepikiran dengan kejanggalan yang ada.

Nindi menyempatkan diri menyeduh kopi di pantri. Tak berselang lama, Kiara, rekan kerja sekaligus sahabatnya datang menghampiri.

“Kamu kenapa, Nin? Ada masalah?”

Nindi menggeleng. Ia memasang senyum tipis. “Nggak ada apa-apa kok.”

“Masa sih? Dari kemarin kuperhatikan wajah kamu kayak nyembunyiin sesuatu. Kalau ada masalah, cerita dong!”

Kiara memang tipe orang yang penasaran. Apalagi Nindi adalah sahabatnya. Ia ingin memastikan apakah Nindi baik-baik saja.

Sebenarnya Nindi tidak ingin membagikan masalah rumah tangganya kepada orang lain. Apalagi ini soal perselingkuhan yang kebenarannya belum pasti.

Namun, Nindi tak sanggup menahan beban ini sendirian. Rasanya nyaris gila. Ia pun menyampaikan kecurigaannya kepada Kiara.

“Aku rasa Daffa punya wanita lain, Ra,” lirih Nindi.

Mendengar hal itu, Kiara justru menanggapi dengan tenang. “Daffa gak mungkin selingkuh, Nin!”

“Kenapa kamu bisa seyakin itu?”

“Kalian udah bersama belasan tahun loh! Kamu juga tau sendiri kalau Daffa orangnya setia banget dari dulu, kan? Apa dia pernah menduakan kamu saat kalian masih pacaran? Bahkan waktu kalian putus sebentar, kamu langsung punya pacar, sedangkan Daffa betah menyendiri!”

Nindi menggigit bibir bawahnya. Ia terlihat berpikir.

“Udahlah, Nin! Jangan mikir yang macem-macem! Mungkin kamu terlalu setress, makanya sensitif akhir-akhir ini!”

“Masa sih aku terlalu sensitif? Tapi emang Mas Daffa agak aneh, dia tiba-tiba suka pulang dalam keadaan mabuk, terus—”

“Berarti Daffa juga lagi setress!” potong Kiara. “Kamu tau kan, jadi CEO itu bukan pekerjaan mudah? Apalagi perusahaan Daffa itu terbilang baru. Pasti banyak hal yang mengganggu pikirannya! Aku saranin kamu ambil cuti. Bilangin ke Daffa juga, jangan mikirin perusahaan terus! Kalian berdua harus sering-sering ngedate, biar gak ada curigaan begini!”

Lagi-lagi, Nindi hanya bisa menghela napas.

Di saat bersamaan, Kiara memoles bibirnya. Sorot mata Nindi mendadak teralihkan. Pelembab bibir milik Kiara mirip dengan pelembab bibir milik Daffa.

“Itu… kamu beli di mana?” tanya Nindi.

“Ah, ini?” Kiara tersenyum sembari memamerkan produk itu. “Ini hadiah dari temenku! Bagus, kan?”

“H-hadiah?”

“Iya. Kamu harus cobain, Nin! Ini produk terkenal di China! Di sini belum ada yang jual! Warnanya merah alami, aromanya wangi lagi! Kalau kamu mau, aku masih punya satu di rumah.”

Nindi mendadak berasumsi buruk. ‘Apa jangan-jangan wanita simpanan Mas Daffa itu Kiara?’

Nindi dan Kiara sudah lama berteman. Bahkan Kiara pun sudah akrab dengan Daffa.

Nindi menggeleng pelan. ‘Aku pasti kehilangan akal! Kiara sahabatku, nggak mungkin dia setega ini mengkhianatiku. Mas Daffa juga mustahil sekejam ini bermain dengan sahabatku sendiri.’

“Nin, kamu gapapa?” tanya Kiara melihat keterdiaman Nindi.

Lamunan Nindi seketika buyar. Ia memasang senyum tipis. “Aku baik-baik saja, Ra. Aku visit pasien dulu ya.”

Di saat Nindi melewati lorong, seseorang memanggilnya.

Nindi berbalik. Seorang wanita cantik berpenampilan semi formal menghampirinya.

“Bu Nindi, apa kabar?”

Nindi hening. Ia tampak berpikir. Wajah wanita itu tampak familiar, tapi di mana mereka pernah bertemu?

Wanita itu tersenyum. “Saya Miranda, Bu. Kalau Ibu lupa, kita pernah bertemu saat peresmian Zenith Corp tiga tahun lalu.”

Nindi lantas mengangguk. “Ah, maaf. Saya baru ingat. Kamu stafnya Mas Daffa, ya?”

“Iya, Bu. Tapi sekarang saya sudah diangkat jadi sekretaris.”

Nindi mengernyit. Ia tidak pernah tau kalau Daffa mengganti sekretarisnya. “Oh? Sudah lama?"

"Sudah setahun, Bu." Senyum makin Miranda mengembang. “Saya bener-bener bingung mau balas budi pakai cara apa. Pak Daffa banyak membantu saya. Semenjak saya bercerai, Pak Daffa langsung mengangkat saya jadi sekretaris, karena dia tau gaji staf itu gak cukup buat menghidupi satu orang anak. Apalagi Pak Daffa selalu ngasih saya bonus lemburan, padahal saya sendiri selalu pulang jam lima sore.”

“Enak ya sekretaris bisa pulang tepat waktu. Padahal bosnya sendiri sering lembur,” sindir Nindi halus, teringat Daffa yang belakangan ini selalu pulang malam.

"Maksud Ibu?" Miranda tampak bingung. "Saya cuma mengikuti jam operasional kantor. Dan Pak Daffa juga selalu pulang jam lima sore. Sudah tiga bulan ini kami gak pernah lembur."

‘Apa ini?’ batin Nindi. ‘Padahal Mas Daffa bilang akhir-akhir ini kerjaannya makin padat dan harus lembur.’

Nindi terlihat kalut. Apalagi Miranda juga mengenakan syal yang sama dengan pemberian Daffa waktu itu.

“Syal kamu, cantik ya. Kamu beli di mana?” Nindi basa-basi.

Miranda tertawa anggun. “Oh, ini.” Ia mengelus syal itu. Pipinya merona, malu. “Ini pemberian dari pacar saya, Bu.”

Nindi membeku seketika. Kakinya mendadak lemas. Tubuhnya hampir saja terhuyung jika ia tak segera sadar.

“Bu Nindi baik-baik saja?” tanya Miranda cemas.

Nindi mengangguk kikuk. Ia paksakan senyumnya terukir. “Saya baik-baik saja.”

Setelah itu, Nindi langsung bergegas pamit dari hadapan Miranda.

Nindi berlari kecil menuju toilet wanita. Di sana ia mencoba menenangkan diri. Ia terus menggigit kukunya, dan tanpa sadar air matanya terjatuh.

Setelah Mila, Kiara, kini nama Miranda masuk dalam daftar kecurigaan Nindi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 114. Meninggalkan Rumah

    Setelah keluar dari Kejaksaan, Wilona segera meminta sopir untuk membawanya kembali ke rumah. Ia tahu ia harus bergerak cepat. Hari-hari terakhirnya dihabiskan dengan menjual semua koleksi tas dan baju branded-nya, menukar kemewahan itu dengan uang tunai.Di ruang tamu, Wilona mengumpulkan para pelayan dan sopir. Wajahnya lelah, tapi suaranya mantap. Ia menyerahkan tumpukan uang tunai kepada kepala pelayan dan sopirnya."Ini," kata Wilona, suaranya tercekat. "Ini gaji kalian yang belum dibayar bulan ini. Sekarang kalian pergilah dari sini, cari majikan baru yang lebih baik. Semoga kalian sukses di mana pun kalian berada."Para pelayan dan sopir menatap Wilona dengan iba. "Non... apa Non akan baik-baik saja?" tanya kepala pelayan, air matanya menetes."Jangan khawatir, Bi," sahut Wilona, memaksakan senyum yang terasa getir. "Aku bisa mengurus ini sendirian. Aku akan baik-baik saja," katanya mantap.Tak lama kemudian, rumah mewah itu pun kosong. Bunyi mobil para pelayan dan sopir yang me

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 113. Panggilan Penyidik

    Dua hari kemudian, Wilona harus meninggalkan Rumah Sakit Harapan Kasih. Bayinya, yang belum diberi nama, tidur pulas dalam pelukannya. Namun, Wilona tidak bisa tersenyum.Di tangannya, ia memegang tumpukan tagihan rumah sakit yang nominalnya fantastis, jauh melebihi uang tunai yang tersisa di dompetnya. Di saku bajunya, terselip surat panggilan dari Kejaksaan."Bu Wilona, kami harus menahan bayinya jika Anda tidak bisa melunasi sisa tagihan," kata Manajer Administrasi dengan nada menyesal namun tegas.Wilona merasakan amarah dan keputusasaan yang luar biasa. "Anda tidak bisa melakukan itu! Saya akan bayar! Tapi saya butuh waktu!""Berapa lama, Bu? Rekening Anda dibekukan. Perusahaan keluarga Anda tidak merespon panggilan kami."Wilona tahu, ia hanya punya satu jalan keluar. Ia pun meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang sudah lama tidak ia tekan. Nomor pengacara keluarga, yang dulu selalu siap sedia melayaninya."Tolong, Pak. Saya butuh bantuan hukum dan sedikit dana darurat. Ayah

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 112. Wilona Bangkrut Total

    Beberapa hari setelah melahirkan, Wilona terbaring lemah, nyaris tak berdaya, di kamar VVIP rumah sakit. Perutnya masih terasa sakit, tetapi tatapannya tak lepas dari bayi laki-lakinya yang terlelap pulas di ranjang kecil di sampingnya. Ketenangan yang ia dapatkan dari melihat wajah putranya tidak bertahan lama.Pintu terbuka. Seorang petugas administrasi rumah sakit masuk dengan wajah pucat dan membawa setumpuk dokumen. Ekspresi petugas itu jelas menunjukkan kabar buruk."Bu Wilona, kami mohon maaf," kata petugas itu, suaranya dipaksakan pelan. Ia meletakkan dokumen-dokumen itu di meja. "Semua biaya perawatan dan persalinan Anda sudah jatuh tempo. Hadikusuma Company gagal mengirimkan pembayaran. Kami tidak punya pilihan selain meminta Anda segera menyelesaikannya."Wilona merasa seolah dadanya diremas. Rasa sakit itu, lebih parah dari sisa kontraksi, menjalar ke seluruh tubuhnya. "Tidak mungkin! Uang kami... seharusnya ada di bank! Kirimkan saja tagihannya ke bagian keuangan!" sahut

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 111. Daffa Resmi Lengser

    Di kediaman Hadikusuma, suasana penuh kepanikan memecah keheningan malam.Wilona menjerit kesakitan di ranjangnya. Kontraksi yang ia rasakan sangat hebat dan tak tertahankan.“Bi, tolong… tolong… s-sepertinya aku mau melahirkan, Bi. Cepat bawa aku ke rumah sakit!” rintih Wilona.Para pelayan berlarian cemas, mencari sopir, dan yang lainnya membantu Wilona bangkit, memapahnya ke kursi roda. Sopir segera menyiapkan mobil secepatnya.Malam itu, di tengah kesendirian dan kesedihan yang mencekik, Wilona dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Kasih. Tidak ada Daffa yang mendampingi, tidak ada Baskara maupun Nanik yang bisa memberinya kekuatan. Hanya ada dua orang pelayan yang menemani dan mengurus segala administrasinya.Di ruang bersalin, Wilona berjuang melawan rasa sakit. Di sampingnya, berdiri seorang perawat, tak lain adalah Kiara.Setelah perjuangan yang panjang dan menyakitkan, tepat menjelang subuh, Wilona melahirkan seorang bayi laki-laki. Tangisan pertama sang bayi terdengar memecah kehe

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 110. Nindi, CEO Baru?

    Nindi mengendarai mobilnya kembali ke kantor Rexa. Ia tidak ingin kembali ke hotel, ia ingin berada di dekat Rexa, satu-satunya orang yang memberinya rasa aman dan nyaman.Nindi akhirnya tiba di kantor Rexa. Ia bergegas melangkah menuju ruang kerja pria itu.Rexa sendiri sedang menunggu Nindi di ruangannya, terlihat tenang namun dengan sedikit kekhawatiran."Aku sudah tau kamu pasti kemari, Sayang," kata Rexa, lalu bangkit dari kursinya saat Nindi masuk. Ia melihat ekspresi Nindi yang tidak secerah saat ia meninggalkan rumah Daffa kemarin."Aku baru saja dari rumah Wilona," ujar Nindi, suaranya lesu."Dan?" tanya Rexa, mendekat dan meraih tangan Nindi.Nindi menarik napas dalam-dalam. "Dan... aku baru sadar, Rexa. Daffa memang mencintaiku. Saking cintanya, dia selingkuh dengan Wilona hanya karena wanita itu mirip denganku versi muda. Aku lihat semua pakaiannya, bahkan koleksi barang-barangnya yang lain. Wilona meniruku. Semua barangnya mirip denganku."Air mata Nindi mulai menggenang.

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 109. Hanya Bayangan

    Keesokan harinya, Nindi merasa ada satu hal lagi yang harus ia tuntaskan untuk menyempurnakan kemenangan balas dendamnya. Ia ingin melihat kehancuran Wilona secara langsung.Nindi pergi sendiri, mengendarai mobil barunya menuju kediaman mewah keluarga Hadikusuma. Dengan mengenakan pakaian mahal dan kalung berliannya, ia masuk tanpa mengetuk pintu.Seorang pelayan yang terkejut segera mencegatnya di foyer. "Maaf, Nyonya! Anda tidak bisa masuk! Keluarga sedang berduka!"Nindi menepis tangan pelayan itu dengan dingin. "Aku punya urusan mendesak dengan Wilona. Minggir!"Nindi melangkah pasti memasuki rumah mewah nan luas itu.Pelayan itu mengikutinya dengan cemas, memohon agar Nindi berhenti.Nindi mengabaikannya, ia membuka pintu ruangan satu per satu dengan brutal, mencari kamar Wilona.Setelah membuka tiga pintu kamar kosong, tibalah Nindi di kamar yang terakhir. Ia lalu membuka pintu itu tanpa izin.Di dalam kamar yang mewah itu, Wilona sedang duduk di tepi ranjang, menyandarkan pungg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status