"Kamu dari mana, Mas? Ditelepon kok nggak diangkat? Chat-ku juga nggak dibalas," cecar Nindi.
Daffa tersentak kaget mendapati Nindi ada di rumah, duduk di tepi ranjang sembari menatapnya tajam. “Loh, Sayang? Kamu tidak kerja?”
"Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?!" ulang Nindi, tak sabar.
Tadi Nindi mengecek kamar Mila, ternyata pembantunya itu sudah tidur. Namun, Nindi masih mencurigai suaminya.
"Kamu kan sudah tau, Sayang. Aku ada urusan sama klien."
"Terus kenapa teleponku nggak diangkat?!" geram Nindi.
"Ponselku mati, Sayang. Kehabisan baterai," jawab Daffa sambil mendekati Nindi, mencoba meredakan ketegangan.
Nindi sontak menutup hidung. Aroma alkohol begitu lekat di tubuh Daffa. “Kamu minum, Mas?”
“Iya, Sayang. Aku tidak bisa menolak ajakan minum klienku. Untungnya aku tidak sampai mabuk seperti kemarin.”
Nindi hanya bisa menghembuskan napas. “Lain kali kabari aku, Mas! Walaupun hp kamu mati, kamu cari cara untuk menghubungi aku! Kamu bisa pinjem hp temenmu, Mas. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa di luar sana, Mas.”
“Maaf, Sayang. Aku tidak kepikiran.”
Daffa membelai rambut Nindi lalu mengecup bibir Nindi sekilas.
Nindi masih terlihat kesal walaupun Daffa sudah meminta maaf dan membujuknya.
Entah apa yang ada di pikiran Nindi saat ini. Ia masih menaruh curiga terhadap suaminya.
‘Kalau bukan Mas Daffa, terus itu kondom bekas siapa? Lagian Mas Daffa juga semalaman nggak di rumah, arghh, ini sungguh memusingkan!’
***
Pagi ini, Nindi berangkat bekerja ditemani oleh Daffa. Nindi merasa lelah dan tidak sanggup menyetir sendiri.
“Sayang, kalau kamu kecapean, harusnya izin kerja saja. Toh, kemarin kamu pulangnya larut, tapi kenapa masih kebagian shift pagi?” sungut Daffa. Ia lama-lama kesal juga dengan pembagian shift Nindi yang tidak jelas.
“Udahlah, Mas. Udah risiko pekerjaanku,” sahut Nindi malas. Ia masih kepikiran dengan hal itu ‘kondom bekas’.
“Kamu tidak ada niatan pindah rumah sakit, Sayang? Cari rumah sakit yang jadwal kerjanya jelas! Kalau kamu kerja di situ terus, lama-lama kamu yang bakal jadi pasien!”
“Mas, udah ah! Kamu fokus nyetir aja!” tegur Nindi.
Nindi tiba-tiba mual. Ia mencari sesuatu di atas dashboard, tapi tak ada. “Tisu kamu mana, Mas? Biasanya kamu simpan di sini.”
Daffa juga terlihat bingung. “Coba lihat di laci, Sayang.”
Dan benar saja, tisu yang dicari Nindi ada di dalam laci.
Nindi mengomel. “Kenapa kamu simpan di sini sih, Mas? Bikin susah aja.”
Di saat Nindi mengambil tisu itu. Atensinya justru teralih pada sebuah pelembab bibir.
“Ini punya siapa, Mas?”
Daffa melirik sekilas. “Ah, itu… punyaku, Sayang.”
“Kok aku baru lihat?”
“Itu aku beli waktu perjalanan bisnis kemarin, Sayang. Biar bibirku tidak lembab di pesawat.”
Nindi memicingkan mata. “Harus banget warna merah, Mas? Rasa strawberry pula!”
Daffa terkekeh pelan. “Maklumin aja, Sayang. Aku tidak tau bahasa Mandarin. Aku asal membeli apa yang pramuniaga tawarkan.”
Nindi hanya diam sembari berprasangka buruk.
***
Setibanya di rumah sakit, Nindi terus kepikiran dengan kejanggalan yang ada.
Nindi menyempatkan diri menyeduh kopi di pantri. Tak berselang lama, Kiara, rekan kerja sekaligus sahabatnya datang menghampiri.
“Kamu kenapa, Nin? Ada masalah?”
Nindi menggeleng. Ia memasang senyum tipis. “Nggak ada apa-apa kok.”
“Masa sih? Dari kemarin kuperhatikan wajah kamu kayak nyembunyiin sesuatu. Kalau ada masalah, cerita dong!”
Kiara memang tipe orang yang penasaran. Apalagi Nindi adalah sahabatnya. Ia ingin memastikan apakah Nindi baik-baik saja.
Sebenarnya Nindi tidak ingin membagikan masalah rumah tangganya kepada orang lain. Apalagi ini soal perselingkuhan yang kebenarannya belum pasti.
Namun, Nindi tak sanggup menahan beban ini sendirian. Rasanya nyaris gila. Ia pun menyampaikan kecurigaannya kepada Kiara.
“Aku rasa Daffa punya wanita lain, Ra,” lirih Nindi.
Mendengar hal itu, Kiara justru menanggapi dengan tenang. “Daffa gak mungkin selingkuh, Nin!”
“Kenapa kamu bisa seyakin itu?”
“Kalian udah bersama belasan tahun loh! Kamu juga tau sendiri kalau Daffa orangnya setia banget dari dulu, kan? Apa dia pernah menduakan kamu saat kalian masih pacaran? Bahkan waktu kalian putus sebentar, kamu langsung punya pacar, sedangkan Daffa betah menyendiri!”
Nindi menggigit bibir bawahnya. Ia terlihat berpikir.
“Udahlah, Nin! Jangan mikir yang macem-macem! Mungkin kamu terlalu setress, makanya sensitif akhir-akhir ini!”
“Masa sih aku terlalu sensitif? Tapi emang Mas Daffa agak aneh, dia tiba-tiba suka pulang dalam keadaan mabuk, terus—”
“Berarti Daffa juga lagi setress!” potong Kiara. “Kamu tau kan, jadi CEO itu bukan pekerjaan mudah? Apalagi perusahaan Daffa itu terbilang baru. Pasti banyak hal yang mengganggu pikirannya! Aku saranin kamu ambil cuti. Bilangin ke Daffa juga, jangan mikirin perusahaan terus! Kalian berdua harus sering-sering ngedate, biar gak ada curigaan begini!”
Lagi-lagi, Nindi hanya bisa menghela napas.
Di saat bersamaan, Kiara memoles bibirnya. Sorot mata Nindi mendadak teralihkan. Pelembab bibir milik Kiara mirip dengan pelembab bibir milik Daffa.
“Itu… kamu beli di mana?” tanya Nindi.
“Ah, ini?” Kiara tersenyum sembari memamerkan produk itu. “Ini hadiah dari temenku! Bagus, kan?”
“H-hadiah?”
“Iya. Kamu harus cobain, Nin! Ini produk terkenal di China! Di sini belum ada yang jual! Warnanya merah alami, aromanya wangi lagi! Kalau kamu mau, aku masih punya satu di rumah.”
Nindi mendadak berasumsi buruk. ‘Apa jangan-jangan wanita simpanan Mas Daffa itu Kiara?’
Nindi dan Kiara sudah lama berteman. Bahkan Kiara pun sudah akrab dengan Daffa.
Nindi menggeleng pelan. ‘Aku pasti kehilangan akal! Kiara sahabatku, nggak mungkin dia setega ini mengkhianatiku. Mas Daffa juga mustahil sekejam ini bermain dengan sahabatku sendiri.’
“Nin, kamu gapapa?” tanya Kiara melihat keterdiaman Nindi.
Lamunan Nindi seketika buyar. Ia memasang senyum tipis. “Aku baik-baik saja, Ra. Aku visit pasien dulu ya.”
Di saat Nindi melewati lorong, seseorang memanggilnya.
Nindi berbalik. Seorang wanita cantik berpenampilan semi formal menghampirinya.
“Bu Nindi, apa kabar?”
Nindi hening. Ia tampak berpikir. Wajah wanita itu tampak familiar, tapi di mana mereka pernah bertemu?
Wanita itu tersenyum. “Saya Miranda, Bu. Kalau Ibu lupa, kita pernah bertemu saat peresmian Zenith Corp tiga tahun lalu.”
Nindi lantas mengangguk. “Ah, maaf. Saya baru ingat. Kamu stafnya Mas Daffa, ya?”
“Iya, Bu. Tapi sekarang saya sudah diangkat jadi sekretaris.”
Nindi mengernyit. Ia tidak pernah tau kalau Daffa mengganti sekretarisnya. “Oh? Sudah lama?"
"Sudah setahun, Bu." Senyum makin Miranda mengembang. “Saya bener-bener bingung mau balas budi pakai cara apa. Pak Daffa banyak membantu saya. Semenjak saya bercerai, Pak Daffa langsung mengangkat saya jadi sekretaris, karena dia tau gaji staf itu gak cukup buat menghidupi satu orang anak. Apalagi Pak Daffa selalu ngasih saya bonus lemburan, padahal saya sendiri selalu pulang jam lima sore.”
“Enak ya sekretaris bisa pulang tepat waktu. Padahal bosnya sendiri sering lembur,” sindir Nindi halus, teringat Daffa yang belakangan ini selalu pulang malam.
"Maksud Ibu?" Miranda tampak bingung. "Saya cuma mengikuti jam operasional kantor. Dan Pak Daffa juga selalu pulang jam lima sore. Sudah tiga bulan ini kami gak pernah lembur."
‘Apa ini?’ batin Nindi. ‘Padahal Mas Daffa bilang akhir-akhir ini kerjaannya makin padat dan harus lembur.’
Nindi terlihat kalut. Apalagi Miranda juga mengenakan syal yang sama dengan pemberian Daffa waktu itu.
“Syal kamu, cantik ya. Kamu beli di mana?” Nindi basa-basi.
Miranda tertawa anggun. “Oh, ini.” Ia mengelus syal itu. Pipinya merona, malu. “Ini pemberian dari pacar saya, Bu.”
Nindi membeku seketika. Kakinya mendadak lemas. Tubuhnya hampir saja terhuyung jika ia tak segera sadar.
“Bu Nindi baik-baik saja?” tanya Miranda cemas.
Nindi mengangguk kikuk. Ia paksakan senyumnya terukir. “Saya baik-baik saja.”
Setelah itu, Nindi langsung bergegas pamit dari hadapan Miranda.
Nindi berlari kecil menuju toilet wanita. Di sana ia mencoba menenangkan diri. Ia terus menggigit kukunya, dan tanpa sadar air matanya terjatuh.
Setelah Mila, Kiara, kini nama Miranda masuk dalam daftar kecurigaan Nindi.
Tak lama setelah Daffa pergi, Mila masuk ke kamar majikannya. Ia langsung mendapati Nindi sudah tersedu-sedu. Nindi terduduk lemah di lantai, bersandar pada dinding, dengan bahunya bergetar hebat.Mila menyadari bahwa Nindi pasti telah mendengar keributan di luar. Ia meletakkan semangkuk bubur di meja nakas, lalu bergegas menghampiri Nindi dan mengusap bahunya.Nindi mendongak, menatap Mila dengan tatapan sinis dan penuh luka. “Harusnya kamu bergabung saja dengan para pengkhianat itu. Jangan berpura-pura baik di depanku.”Mila menggigit bibirnya, air mata penyesalan menggenang. “Ibu… saya sungguh bisa jelaskan.…”“Jangan menjelaskan apapun!” potong Nindi tajam. “Kamu sama saja seperti mereka! Tega merusak kepercayaanku!"Mila makin merasa bersalah. Ia tahu Nindi benar. Seharusnya ia tidak pernah menutupi perselingkuhan Daffa, walau di bawah ancaman.“Sejak kapan? Sejak kapan kamu
Tak lama setelah kembali dari pemakaman, saat Nindi duduk merenung dalam keheningan ruang tamu yang berat, ponsel Daffa berdering. Ia melihat nama penelepon di layar—Wilona—dan seketika panik.Daffa langsung bergegas menuju dapur, meninggalkan Nindi sendirian.Daffa menjawab panggilan itu dengan suara berbisik dan tegang. “Maaf, Sayang. Aku gak sempat balas chat-mu. Istriku baru saja keguguran, dan ini baru selesai pemakaman.”Di seberang sana, suara Wilona terdengar cemas dan lembut. “Iya, aku mengerti, Daffa. Aku cuma mau mastiin, kamu nggak kenapa-napa, kan? Jangan sedih, ya. Ingat, kamu masih punya anak di kandungan aku,” katanya, mencoba menghibur sekaligus mengingatkan akan ikatan mereka.“Iya, Sayangku. Kamu jangan khawatir,” jawab Daffa, nadanya meredup karena ia masih berada di rumah.“Btw, Daffa, aku kangen. Kamu nggak ke sini nanti malam?” tanya Wilona, penuh harap.
Daffa tiba di ruangan tujuan dengan napas tersengal. Ia mendorong pintu dan langsung melihat istrinya. Nindi sudah tak berdaya, seperti orang yang kehilangan seluruh semangat hidup. Istrinya hanya terduduk lemah di ranjang perawatan, bersandar pada bantal dengan pandangan kosong menatap dinding putih.Daffa menelan ludah, rasa takut dan bersalah mencengkeramnya. Ia pun melangkahkan kaki amat pelan, setiap langkah terasa berat, menuju ranjang perawatan.“Sayang….” Daffa memanggil lembut. “Kamu baik-baik saja?”Mila, yang tadinya duduk menangis di kursi sudut ruangan, langsung bangkit begitu melihat Daffa. Matanya merah dan bengkak.Daffa sekilas melirik Mila yang berdiri tegang, lalu kembali fokus pada Nindi.“Sayang, maaf aku baru sempat ke sini,” katanya, tangannya meraih tangan Nindi yang dingin. Nindi tidak merespon, tangannya lemas di genggaman Daffa. “Aku… aku kira kamu baik-baik saja, ma
Nindi menarik napas berat. “Aku sudah tau selama ini kamu menutupi perselingkuhan Mas Daffa. Membelanya mati-matian, bahkan jadi mata-mata, melaporkan semua kegiatanku kepadanya agar dia aman selama bermain dengan selingkuhannya.”Napas Kiara seketika tercekat. Wajahnya langsung memucat, pengkhianatannya terbongkar di saat yang paling buruk.“Nindi, soal itu… a-aku bisa menjelaskannya. Ada alasan kenapa aku melakukan itu…”“Nggak ada yang perlu dijelasin lagi!” Nindi memotong, suaranya meninggi dengan getaran emosi yang tertahan. “Aku nggak mau mendengar penjelasan dari orang munafik sepertimu!”Mendengar kata 'munafik', mata Kiara mendadak memanas. Ia merasa marah dan kecewa dituduh seperti itu. “Munafik? Nindi, aku ini sahabatmu!”Nindi tak mau kalah. Dadanya makin bergemuruh, mengingat semua dukungan palsu Kiara. “Maka jadilah sahabat yang baik, Kiara! Stop
Sore itu, Daffa menyempatkan diri menemui Wilona.Kali ini mereka bertemu di sebuah kamar hotel mewah, jauh dari risiko ketahuan.Ibu Wilona, Nanik, sudah menjalani perawatan intensif di rumahnya dengan dokter pribadi, jadi Daffa tidak perlu lagi mengunjungi rumah sakit hanya demi bertemu Wilona.Wilona tersenyum lepas saat membuka pintu, senyum yang langsung menerangi wajahnya. Daffa berdiri di ambang pintu, membawa seikat bunga mawar merah favorit Wilona.Wilona mengambil bunga itu dengan gembira, mencium aromanya sekilas, lalu mempersilakan Daffa masuk.Begitu pintu tertutup, Daffa langsung menarik Wilona ke dalam pelukan dan melabuhkan ciuman yang mendesak di bibir wanita itu.Wilona spontan mengalungkan tangannya ke leher Daffa, membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama.Ciuman Daffa makin turun, bergerak dari bibir, beralih liar ke leher, lalu menuju lekukan dada Wilona. Saat Daffa hendak meremas buah dada Wilona di balik
Makin hari, Daffa makin jarang pulang. Ia selalu tiba larut malam, beralasan bahwa ia lembur di kantor. Nindi juga tidak begitu memedulikan suaminya, tidak lagi bertanya atau melarang. Hatinya sudah mati rasa terhadap keberadaan Daffa.Nindi hanya tersiksa karena ia harus terus menunda proses perceraian ini, entah sampai kapan, hingga Rexa menghubunginya lagi.Tanpa ia sadari, ia sudah larut dalam pusaran kesedihan yang mendalam. Nafsu makannya hilang, dan ia hanya menghabiskan waktu dengan menangis sepanjang hari. Di luar sana, ia tahu, Daffa sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya, menikmati kebebasan dari kewajiban pernikahan.Pukul satu malam, Daffa tiba. Ia membuka pintu kamar perlahan dan melihat Nindi meringkuk di sisi ranjang, tubuhnya gemetar tanpa selimut.Jujur, Daffa merasa iba melihat pemandangan itu. Ia mengambil selimut tebal dan dengan hati-hati menutupi tubuh sang istri yang kedinginan.“Sayang.…” Daffa mem