Mag-log inPukul empat sore, Nindi sudah bersiap-siap pulang.
“Kamu mau ke mana, Nin?” tanya Kiara bingung.
“Aku mau pulang, Ra. Nggak enak badan.”
Kiara melipat tangan di dada. Ia menatap Nindi lelah. “Apa ini soal Daffa? Kamu mau nyari apa sih, Nin? Kalau kamu izin terus, lama-lama kamu ditegur pimpinan loh!”
Nindi tidak peduli. Ia tetap melanjutkan langkahnya.
Kiara mengejar sampai ke parkiran. “Nindi!” teriaknya. “Kalau kamu mau memastikan apa benar Daffa selingkuh, periksa saja tubuhnya!”
Nindi mengangkat satu alisnya. “Maksudmu?”
“Pria yang berselingkuh memang pintar beralibi, tapi dia tidak bisa menyembunyikan jejak perselingkuhan di tubuhnya, kan? Cobalah lihat dada suamimu, mungkin saja ada bekas ciuman di sana. Juga, periksa aroma tubuhnya. Mungkin parfum wanita itu masih tercium di tubuh suamimu.”
Tanpa menunggu lama, Nindi langsung bergegas meninggalkan rumah sakit.
***
Saat ini, Nindi sudah berada di area kantor Daffa. Ia menunggu di dalam mobil sembari menunggu jam lima sore.
Sebelumnya, Nindi sudah bertanya, apakah hari ini Daffa lembur atau tidak. Dan jawaban Daffa masih sama, pekerjaannya masih banyak, kemungkinan pulang jam tujuh malam.
‘Mari kita lihat, Mas. Apa benar kamu lembur atau tidak?’ batin Nindi.
Tepat jam lima sore, Nindi melihat Daffa keluar dari kantornya.
Nindi merasa dibohongi. Ia kecewa. Tapi, Nindi tetap membuntuti Daffa diam-diam.
Mobil Daffa mulai bergerak menuju jalan yang tidak asing.
Nindi mengernyit. “Ini bukankah jalan ke panti asuhan?”
Dan benar saja, mobil Daffa berhenti tepat di Kawasan Panti Asuhan Bakti Jaya, sebuah panti di bawah kepemilikan Wijaya Group.
Nindi melangkahkan kakinya masuk ke lobi. Seorang resepsionis menyambutnya.
“Apa Pak Daffa ada di dalam?” tanya Nindi.
Resepsionis mengangguk. “Mau saya antar, Bu?”
“Ah, tidak. Saya bisa sendiri. Terima kasih.”
Dengan perasaan gugup, Nindi mulai mengangkat kakinya. Ia berjalan ragu menuju ruang kunjungan. Di sana, ia melihat suaminya sedang berinteraksi dengan sekumpulan anak. Mereka terlihat akrab, penuh canda dan tawa.
“Selamat datang, Bu Nindi,” sambut pengurus panti.
Daffa langsung menoleh tatkala mendengar nama Nindi disebut. Pandangannya langsung tertuju pada Nindi yang saat ini berdiri di ambang pintu.
“Sayang? Kamu kok ada di sini?” tanya Daffa heran.
Nindi hening. Sorot matanya tampak berkaca.
Daffa mengajak Nindi ke ruangan lain untuk mengobrol berdua.
Suasana hening cukup lama. Hingga akhirnya Nindi membuka suara.
“Aku… aku tadi ingin menemuimu di kantor. Tapi kamu justru keluar duluan, jadinya aku mengikutimu sampai ke sini.”
“Kenapa kamu tiba-tiba ingin menemuiku di kantor?” tanya Daffa penuh selidik.
Nindi tidak bisa menyembunyikan niatnya. Ia pun berkata jujur. “Tadi aku bertemu Miranda, kami mengobrol singkat, dia bilang kamu selalu pulang jam lima sore. Aku jadi kepikiran, Mas. Soalnya, kamu akhir-akhir ini selalu pulang malam.”
Daffa memperhatikan raut wajah Nindi yang suram. Ia pun paham, istrinya sedang banyak pikiran. “Sayang, maaf. Aku tidak bermaksud membohongimu. Aku hanya ingin bertemu anak-anak. Walaupun aku bukan lagi bagian dari Wijaya Group, tapi aku merasa masih punya kewajiban di sini. Aku ingin memastikan panti asuhan ini berjalan dengan baik.”
Sebelum mendirikan perusahaan sendiri, Daffa memang pernah bekerja di Wijaya Group dan juga diberi kepercayaan untuk memimpin Yayasan Bakti Jaya. Banyak tanggung jawab yang tidak bisa Daffa tinggalkan begitu saja, walaupun ia bukan lagi direkturnya. Terlebih lagi, ia juga sudah akrab dengan anak-anak panti.
Daffa meraih kedua tangan Nindi dan mengelusnya. “Jangan mengkhawatirkan hal-hal bodoh, Sayang. Aku tidak mungkin berbuat yang aneh-aneh di belakangmu.”
Nindi mengangguk pelan. Ia langsung menyandarkan tubuhnya dalam dekapan Daffa.
Setelah merasa tenang, Nindi berucap pamit. “Kamu lanjutin aja, Mas. Anak-anak mungkin masih mau main sama kamu. Aku menunggu di luar aja.”
Daffa tersenyum, sementara Nindi langsung pergi.
Resepsionis kembali menyapa Nindi. “Terima kasih atas kunjungannya, Bu. Kami merasa dihargai karena Bapak dan Ibu masih bisa menyempatkan diri di sela-sela kesibukan.”
Nindi tersenyum canggung. “Jangan berterima kasih sama saya, karena saya baru sempat datang lagi sekian lama. Sampaikan saja terima kasih kalian ke suami saya, karena dia yang rajin ke sini.”
Resepsionis itu mengerutkan kening. “Maaf, Bu. Tapi Pak Daffa terakhir kali ke sini saat tahun baru imlek.”
Sontak Nindi membulatkan mata. Tahun baru imlek? Itu sudah lima bulan lalu.
“Oh, ya?”
“Iya, Bu. Pak Daffa hanya sesekali menelpon, menanyakan kabar anak-anak.”
Tubuh Nindi mendadak lemas. Perkataan Daffa sangat berbeda dengan apa yang dikatakan resepsionis.
Nindi akhirnya keluar dari panti dengan kaki yang gemetar. Kepalanya mendadak pusing. Ia masuk ke dalam mobil, lalu memukul kemudi setir dengan kuat.
Satu jam kemudian, Daffa baru keluar dari bangunan itu.
Nindi menghampirinya dan ikut masuk ke dalam mobil Daffa.
“Aku gak bisa nyetir, Mas. Kepalaku mendadak pusing.”
Daffa hanya tersenyum. Ia hendak memasangkan sabuk pengaman di tubuh Nindi, tapi dicegat.
“Sayang, pakai sabuknya biar aman.”
Tanpa bisa ditebak, Nindi langsung melabuhkan ciumannya pada Daffa.
“Aku menginginkanmu sekarang, Mas,” bisik Nindi.
Daffa terkesiap. Baru kali ini ia melihat Nindi beraksi lebih dulu.
“Sayang, bersabarlah! Lihat tempat juga, kita masih di mobil!”
Nindi mengabaikan teguran Daffa. Ia terus menyentuh tubuh suaminya. Tangannya bergerak bebas mengelus permukaan dada bidang Daffa. Bibirnya pun tak berhenti melumat bibir sang suami.
“Mari kita lakukan di sini, Mas!” desak Nindi tak sabar. Ia langsung naik ke pangkuan suaminya itu.
Daffa menahan tangan Nindi yang hendak membuka kemejanya. “Sayang, apa kamu sudah gila? Bagaimana kalau ada yang melihat kita?”
Nindi tak peduli. Ia benar-benar tak sabar ingin membuka baju Daffa. Ia ingin membuktikan sendiri perkataan Kiara di rumah sakit.
Ada dua hal yang harus ia pastikan jika Daffa sungguh berselingkuh. Pertama, tanda cinta di area dada. Kedua, aroma parfum sang wanita yang kemungkinan tertinggal di tubuh suaminya.
‘Kalau benar kamu berselingkuh dengan Miranda, kemungkinan dua jejak itu masih ada di tubuh kamu, Mas,’ batin Nindi.
Setelah keluar dari Kejaksaan, Wilona segera meminta sopir untuk membawanya kembali ke rumah. Ia tahu ia harus bergerak cepat. Hari-hari terakhirnya dihabiskan dengan menjual semua koleksi tas dan baju branded-nya, menukar kemewahan itu dengan uang tunai.Di ruang tamu, Wilona mengumpulkan para pelayan dan sopir. Wajahnya lelah, tapi suaranya mantap. Ia menyerahkan tumpukan uang tunai kepada kepala pelayan dan sopirnya."Ini," kata Wilona, suaranya tercekat. "Ini gaji kalian yang belum dibayar bulan ini. Sekarang kalian pergilah dari sini, cari majikan baru yang lebih baik. Semoga kalian sukses di mana pun kalian berada."Para pelayan dan sopir menatap Wilona dengan iba. "Non... apa Non akan baik-baik saja?" tanya kepala pelayan, air matanya menetes."Jangan khawatir, Bi," sahut Wilona, memaksakan senyum yang terasa getir. "Aku bisa mengurus ini sendirian. Aku akan baik-baik saja," katanya mantap.Tak lama kemudian, rumah mewah itu pun kosong. Bunyi mobil para pelayan dan sopir yang me
Dua hari kemudian, Wilona harus meninggalkan Rumah Sakit Harapan Kasih. Bayinya, yang belum diberi nama, tidur pulas dalam pelukannya. Namun, Wilona tidak bisa tersenyum.Di tangannya, ia memegang tumpukan tagihan rumah sakit yang nominalnya fantastis, jauh melebihi uang tunai yang tersisa di dompetnya. Di saku bajunya, terselip surat panggilan dari Kejaksaan."Bu Wilona, kami harus menahan bayinya jika Anda tidak bisa melunasi sisa tagihan," kata Manajer Administrasi dengan nada menyesal namun tegas.Wilona merasakan amarah dan keputusasaan yang luar biasa. "Anda tidak bisa melakukan itu! Saya akan bayar! Tapi saya butuh waktu!""Berapa lama, Bu? Rekening Anda dibekukan. Perusahaan keluarga Anda tidak merespon panggilan kami."Wilona tahu, ia hanya punya satu jalan keluar. Ia pun meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang sudah lama tidak ia tekan. Nomor pengacara keluarga, yang dulu selalu siap sedia melayaninya."Tolong, Pak. Saya butuh bantuan hukum dan sedikit dana darurat. Ayah
Beberapa hari setelah melahirkan, Wilona terbaring lemah, nyaris tak berdaya, di kamar VVIP rumah sakit. Perutnya masih terasa sakit, tetapi tatapannya tak lepas dari bayi laki-lakinya yang terlelap pulas di ranjang kecil di sampingnya. Ketenangan yang ia dapatkan dari melihat wajah putranya tidak bertahan lama.Pintu terbuka. Seorang petugas administrasi rumah sakit masuk dengan wajah pucat dan membawa setumpuk dokumen. Ekspresi petugas itu jelas menunjukkan kabar buruk."Bu Wilona, kami mohon maaf," kata petugas itu, suaranya dipaksakan pelan. Ia meletakkan dokumen-dokumen itu di meja. "Semua biaya perawatan dan persalinan Anda sudah jatuh tempo. Hadikusuma Company gagal mengirimkan pembayaran. Kami tidak punya pilihan selain meminta Anda segera menyelesaikannya."Wilona merasa seolah dadanya diremas. Rasa sakit itu, lebih parah dari sisa kontraksi, menjalar ke seluruh tubuhnya. "Tidak mungkin! Uang kami... seharusnya ada di bank! Kirimkan saja tagihannya ke bagian keuangan!" sahut
Di kediaman Hadikusuma, suasana penuh kepanikan memecah keheningan malam.Wilona menjerit kesakitan di ranjangnya. Kontraksi yang ia rasakan sangat hebat dan tak tertahankan.“Bi, tolong… tolong… s-sepertinya aku mau melahirkan, Bi. Cepat bawa aku ke rumah sakit!” rintih Wilona.Para pelayan berlarian cemas, mencari sopir, dan yang lainnya membantu Wilona bangkit, memapahnya ke kursi roda. Sopir segera menyiapkan mobil secepatnya.Malam itu, di tengah kesendirian dan kesedihan yang mencekik, Wilona dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Kasih. Tidak ada Daffa yang mendampingi, tidak ada Baskara maupun Nanik yang bisa memberinya kekuatan. Hanya ada dua orang pelayan yang menemani dan mengurus segala administrasinya.Di ruang bersalin, Wilona berjuang melawan rasa sakit. Di sampingnya, berdiri seorang perawat, tak lain adalah Kiara.Setelah perjuangan yang panjang dan menyakitkan, tepat menjelang subuh, Wilona melahirkan seorang bayi laki-laki. Tangisan pertama sang bayi terdengar memecah kehe
Nindi mengendarai mobilnya kembali ke kantor Rexa. Ia tidak ingin kembali ke hotel, ia ingin berada di dekat Rexa, satu-satunya orang yang memberinya rasa aman dan nyaman.Nindi akhirnya tiba di kantor Rexa. Ia bergegas melangkah menuju ruang kerja pria itu.Rexa sendiri sedang menunggu Nindi di ruangannya, terlihat tenang namun dengan sedikit kekhawatiran."Aku sudah tau kamu pasti kemari, Sayang," kata Rexa, lalu bangkit dari kursinya saat Nindi masuk. Ia melihat ekspresi Nindi yang tidak secerah saat ia meninggalkan rumah Daffa kemarin."Aku baru saja dari rumah Wilona," ujar Nindi, suaranya lesu."Dan?" tanya Rexa, mendekat dan meraih tangan Nindi.Nindi menarik napas dalam-dalam. "Dan... aku baru sadar, Rexa. Daffa memang mencintaiku. Saking cintanya, dia selingkuh dengan Wilona hanya karena wanita itu mirip denganku versi muda. Aku lihat semua pakaiannya, bahkan koleksi barang-barangnya yang lain. Wilona meniruku. Semua barangnya mirip denganku."Air mata Nindi mulai menggenang.
Keesokan harinya, Nindi merasa ada satu hal lagi yang harus ia tuntaskan untuk menyempurnakan kemenangan balas dendamnya. Ia ingin melihat kehancuran Wilona secara langsung.Nindi pergi sendiri, mengendarai mobil barunya menuju kediaman mewah keluarga Hadikusuma. Dengan mengenakan pakaian mahal dan kalung berliannya, ia masuk tanpa mengetuk pintu.Seorang pelayan yang terkejut segera mencegatnya di foyer. "Maaf, Nyonya! Anda tidak bisa masuk! Keluarga sedang berduka!"Nindi menepis tangan pelayan itu dengan dingin. "Aku punya urusan mendesak dengan Wilona. Minggir!"Nindi melangkah pasti memasuki rumah mewah nan luas itu.Pelayan itu mengikutinya dengan cemas, memohon agar Nindi berhenti.Nindi mengabaikannya, ia membuka pintu ruangan satu per satu dengan brutal, mencari kamar Wilona.Setelah membuka tiga pintu kamar kosong, tibalah Nindi di kamar yang terakhir. Ia lalu membuka pintu itu tanpa izin.Di dalam kamar yang mewah itu, Wilona sedang duduk di tepi ranjang, menyandarkan pungg







