Share

Bab 6. Mari Bercinta, Mas!

Penulis: Kak Gojo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-07 14:42:01

Pukul empat sore, Nindi sudah bersiap-siap pulang.

“Kamu mau ke mana, Nin?” tanya Kiara bingung.

“Aku mau pulang, Ra. Nggak enak badan.”

Kiara melipat tangan di dada. Ia menatap Nindi lelah. “Apa ini soal Daffa? Kamu mau nyari apa sih, Nin? Kalau kamu izin terus, lama-lama kamu ditegur pimpinan loh!”

Nindi tidak peduli. Ia tetap melanjutkan langkahnya.

Kiara mengejar sampai ke parkiran. “Nindi!” teriaknya. “Kalau kamu mau memastikan apa benar Daffa selingkuh, periksa saja tubuhnya!”

Nindi mengangkat satu alisnya. “Maksudmu?”

“Pria yang berselingkuh memang pintar beralibi, tapi dia tidak bisa menyembunyikan jejak perselingkuhan di tubuhnya, kan? Cobalah lihat dada suamimu, mungkin saja ada bekas ciuman di sana. Juga, periksa aroma tubuhnya. Mungkin parfum wanita itu masih tercium di tubuh suamimu.”

Tanpa menunggu lama, Nindi langsung bergegas meninggalkan rumah sakit.

***

Saat ini, Nindi sudah berada di area kantor Daffa. Ia menunggu di dalam mobil sembari menunggu jam lima sore.

Sebelumnya, Nindi sudah bertanya, apakah hari ini Daffa lembur atau tidak. Dan jawaban Daffa masih sama, pekerjaannya masih banyak, kemungkinan pulang jam tujuh malam.

‘Mari kita lihat, Mas. Apa benar kamu lembur atau tidak?’ batin Nindi.

Tepat jam lima sore, Nindi melihat Daffa keluar dari kantornya.

Nindi merasa dibohongi. Ia kecewa. Tapi, Nindi tetap membuntuti Daffa diam-diam.

Mobil Daffa mulai bergerak menuju jalan yang tidak asing.

Nindi mengernyit. “Ini bukankah jalan ke panti asuhan?”

Dan benar saja, mobil Daffa berhenti tepat di Kawasan Panti Asuhan Bakti Jaya, sebuah panti di bawah kepemilikan Wijaya Group.

Nindi melangkahkan kakinya masuk ke lobi. Seorang resepsionis menyambutnya.

“Apa Pak Daffa ada di dalam?” tanya Nindi.

Resepsionis mengangguk. “Mau saya antar, Bu?”

“Ah, tidak. Saya bisa sendiri. Terima kasih.”

Dengan perasaan gugup, Nindi mulai mengangkat kakinya. Ia berjalan ragu menuju ruang kunjungan. Di sana, ia melihat suaminya sedang berinteraksi dengan sekumpulan anak. Mereka terlihat akrab, penuh canda dan tawa.

“Selamat datang, Bu Nindi,” sambut pengurus panti.

Daffa langsung menoleh tatkala mendengar nama Nindi disebut. Pandangannya langsung tertuju pada Nindi yang saat ini berdiri di ambang pintu.

“Sayang? Kamu kok ada di sini?” tanya Daffa heran.

Nindi hening. Sorot matanya tampak berkaca.

Daffa mengajak Nindi ke ruangan lain untuk mengobrol berdua.

Suasana hening cukup lama. Hingga akhirnya Nindi membuka suara.

“Aku… aku tadi ingin menemuimu di kantor. Tapi kamu justru keluar duluan, jadinya aku mengikutimu sampai ke sini.”

“Kenapa kamu tiba-tiba ingin menemuiku di kantor?” tanya Daffa penuh selidik.

Nindi tidak bisa menyembunyikan niatnya. Ia pun berkata jujur. “Tadi aku bertemu Miranda, kami mengobrol singkat, dia bilang kamu selalu pulang jam lima sore. Aku jadi kepikiran, Mas. Soalnya, kamu akhir-akhir ini selalu pulang malam.”

Daffa memperhatikan raut wajah Nindi yang suram. Ia pun paham, istrinya sedang banyak pikiran. “Sayang, maaf. Aku tidak bermaksud membohongimu. Aku hanya ingin bertemu anak-anak. Walaupun aku bukan lagi bagian dari Wijaya Group, tapi aku merasa masih punya kewajiban di sini. Aku ingin memastikan panti asuhan ini berjalan dengan baik.”

Sebelum mendirikan perusahaan sendiri, Daffa memang pernah bekerja di Wijaya Group dan juga diberi kepercayaan untuk memimpin Yayasan Bakti Jaya. Banyak tanggung jawab yang tidak bisa Daffa tinggalkan begitu saja, walaupun ia bukan lagi direkturnya. Terlebih lagi, ia juga sudah akrab dengan anak-anak panti.

Daffa meraih kedua tangan Nindi dan mengelusnya. “Jangan mengkhawatirkan hal-hal bodoh, Sayang. Aku tidak mungkin berbuat yang aneh-aneh di belakangmu.”

Nindi mengangguk pelan. Ia langsung menyandarkan tubuhnya dalam dekapan Daffa.

Setelah merasa tenang, Nindi berucap pamit. “Kamu lanjutin aja, Mas. Anak-anak mungkin masih mau main sama kamu. Aku menunggu di luar aja.”

Daffa tersenyum, sementara Nindi langsung pergi.

Resepsionis kembali menyapa Nindi. “Terima kasih atas kunjungannya, Bu. Kami merasa dihargai karena Bapak dan Ibu masih bisa menyempatkan diri di sela-sela kesibukan.”

Nindi tersenyum canggung. “Jangan berterima kasih sama saya, karena saya baru sempat datang lagi sekian lama. Sampaikan saja terima kasih kalian ke suami saya, karena dia yang rajin ke sini.”

Resepsionis itu mengerutkan kening. “Maaf, Bu. Tapi Pak Daffa terakhir kali ke sini saat tahun baru imlek.”

Sontak Nindi membulatkan mata. Tahun baru imlek? Itu sudah lima bulan lalu.

“Oh, ya?”

“Iya, Bu. Pak Daffa hanya sesekali menelpon, menanyakan kabar anak-anak.”

Tubuh Nindi mendadak lemas. Perkataan Daffa sangat berbeda dengan apa yang dikatakan resepsionis.

Nindi akhirnya keluar dari panti dengan kaki yang gemetar. Kepalanya mendadak pusing. Ia masuk ke dalam mobil, lalu memukul kemudi setir dengan kuat.

Satu jam kemudian, Daffa baru keluar dari bangunan itu.

Nindi menghampirinya dan ikut masuk ke dalam mobil Daffa.

“Aku gak bisa nyetir, Mas. Kepalaku mendadak pusing.”

Daffa hanya tersenyum. Ia hendak memasangkan sabuk pengaman di tubuh Nindi, tapi dicegat.

“Sayang, pakai sabuknya biar aman.”

Tanpa bisa ditebak, Nindi langsung melabuhkan ciumannya pada Daffa.

“Aku menginginkanmu sekarang, Mas,” bisik Nindi.

Daffa terkesiap. Baru kali ini ia melihat Nindi beraksi lebih dulu.

“Sayang, bersabarlah! Lihat tempat juga, kita masih di mobil!”

Nindi mengabaikan teguran Daffa. Ia terus menyentuh tubuh suaminya. Tangannya bergerak bebas mengelus permukaan dada bidang Daffa. Bibirnya pun tak berhenti melumat bibir sang suami.

“Mari kita lakukan di sini, Mas!” desak Nindi tak sabar. Ia langsung naik ke pangkuan suaminya itu.

Daffa menahan tangan Nindi yang hendak membuka kemejanya. “Sayang, apa kamu sudah gila? Bagaimana kalau ada yang melihat kita?”

Nindi tak peduli. Ia benar-benar tak sabar ingin membuka baju Daffa. Ia ingin membuktikan sendiri perkataan Kiara di rumah sakit.

Ada dua hal yang harus ia pastikan jika Daffa sungguh berselingkuh. Pertama, tanda cinta di area dada. Kedua, aroma parfum sang wanita yang kemungkinan tertinggal di tubuh suaminya.

‘Kalau benar kamu berselingkuh dengan Miranda, kemungkinan dua jejak itu masih ada di tubuh kamu, Mas,’ batin Nindi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ranjang Panas: Selingkuh Membawa Petaka   Bab 8. Memergoki Daffa di Hotel

    Nindi menghiraukan Miranda. Ia menerobos masuk ke dalam kamar.Miranda sontak membulatkan mata. Ia langsung menegur Nindi. “Apa-apaan ini, Bu? Mana sopan santun Ibu? Jangan asal masuk ke kamar orang!”Miranda mencegat Nindi yang ingin melangkah lebih jauh. “Ibu gak boleh nyelonong aja! Keluar, Bu!”Nindi mendorong tubuh Miranda. “Minggir kamu! Jangan halangi jalan saya!”Miranda masih tak terima. Ia bahkan menarik lengan Nindi kuat. “Ibu bisa saya laporkan ke polisi! Ibu mau dikenakan pasal karena sudah melanggar privasi saya?!”“Jangan berani menyentuh saya!” balas Nindi. Ia berusaha terlihat kuat. Air matanya sudah mengering, namun emosionalnya masih terasa.“Ibu Nindi!” teriak Miranda.Nindi berjalan dengan degup jantung tak karuan. Ia tergesa memasuki kamar orang. Pandangannya beredar ke penjuru ruangan. Tangannya bahkan mengobrak-abrik selimut di ranjang, berharap menemukan Daffa bersembunyi di bawah sana.“Di mana? Di mana kamu sembunyikan suami saya?!”“Ibu ini apa-apaan?! Ibu

  • Ranjang Panas: Selingkuh Membawa Petaka   Bab 7. Ajakan Bercinta dari Wanita Lain?

    Nindi meraba-raba dada atletis Daffa, tapi tak menemukan adanya tanda merah di sana.‘Mana? Mana bekas ciuman itu? Kenapa nggak ada?’Nindi menggila karena tak menemukan apa pun. Ia bahkan mengenduskan hidungnya, menghirup aroma dari leher dan dada Daffa.Daffa awalnya merasa aneh dengan gerak-gerik Nindi. Tapi ia juga tak menyangkal. Hasratnya naik karena sentuhan Nindi benar-benar luar biasa.“Sayang, sini aku masukin sekarang.”Daffa mulai menurunkan resleting celananya, tapi Nindi menahannya.“Kita lakukan di rumah saja, Mas.”Daffa mengernyit. “Kenapa? Katamu sudah tak tahan.”Nindi akhirnya turun dari pangkuan Daffa. “Benar katamu, Mas. Nanti ada yang melihat kita. Jadi sebaiknya, kita pulang saja.”“Hmm, baiklah, Sayang.”*Setibanya di rumah, Daffa langsung membawa tubuh Nindi ke ranjang.“Mas, enghh….”Nindi tak kuasa menahan desahannya kala Daffa meremas kedua payudaranya.“Kamu sungguh luar biasa, Sayang. Tubuhmu selalu berhasil membuatku tegang,” bisik Daffa parau. Lidahnya

  • Ranjang Panas: Selingkuh Membawa Petaka   Bab 6. Mari Bercinta, Mas!

    Pukul empat sore, Nindi sudah bersiap-siap pulang.“Kamu mau ke mana, Nin?” tanya Kiara bingung.“Aku mau pulang, Ra. Nggak enak badan.”Kiara melipat tangan di dada. Ia menatap Nindi lelah. “Apa ini soal Daffa? Kamu mau nyari apa sih, Nin? Kalau kamu izin terus, lama-lama kamu ditegur pimpinan loh!”Nindi tidak peduli. Ia tetap melanjutkan langkahnya.Kiara mengejar sampai ke parkiran. “Nindi!” teriaknya. “Kalau kamu mau memastikan apa benar Daffa selingkuh, periksa saja tubuhnya!”Nindi mengangkat satu alisnya. “Maksudmu?”“Pria yang berselingkuh memang pintar beralibi, tapi dia tidak bisa menyembunyikan jejak perselingkuhan di tubuhnya, kan? Cobalah lihat dada suamimu, mungkin saja ada bekas ciuman di sana. Juga, periksa aroma tubuhnya. Mungkin parfum wanita itu masih tercium di tubuh suamimu.”Tanpa menunggu lama, Nindi langsung bergegas meninggalkan rumah sakit.***Saat ini, Nindi sudah berada di area kantor Daffa. Ia menunggu di dalam mobil sembari menunggu jam lima sore.Sebel

  • Ranjang Panas: Selingkuh Membawa Petaka   Bab 5. Kamu Kemana Aja, Mas?

    "Kamu dari mana, Mas? Ditelepon kok nggak diangkat? Chat-ku juga nggak dibalas," cecar Nindi.Daffa tersentak kaget mendapati Nindi ada di rumah, duduk di tepi ranjang sembari menatapnya tajam. “Loh, Sayang? Kamu tidak kerja?”"Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?!" ulang Nindi, tak sabar.Tadi Nindi mengecek kamar Mila, ternyata pembantunya itu sudah tidur. Namun, Nindi masih mencurigai suaminya."Kamu kan sudah tau, Sayang. Aku ada urusan sama klien.""Terus kenapa teleponku nggak diangkat?!" geram Nindi."Ponselku mati, Sayang. Kehabisan baterai," jawab Daffa sambil mendekati Nindi, mencoba meredakan ketegangan.Nindi sontak menutup hidung. Aroma alkohol begitu lekat di tubuh Daffa. “Kamu minum, Mas?”“Iya, Sayang. Aku tidak bisa menolak ajakan minum klienku. Untungnya aku tidak sampai mabuk seperti kemarin.”Nindi hanya bisa menghembuskan napas. “Lain kali kabari aku, Mas! Walaupun hp kamu mati, kamu cari cara untuk menghubungi aku! Kamu bisa pinjem hp temenmu, Mas. Aku khawatir k

  • Ranjang Panas: Selingkuh Membawa Petaka   Bab 4. Undangan Makan Malam

    Sore ini, Daffa mengajak Nindi ke rumah orang tuanya untuk menghadiri undangan makan malam khusus merayakan keberhasilan proyek Wijaya Group.Sesampainya di kediaman Wijaya, mereka disambut oleh suasana ruang tamu yang megah. Nindi mendadak terlihat gugup, Daffa pun menyadari hal itu."Sayang, rileks," bisik Daffa sambil menggenggam tangan Nindi.Nindi menarik napas panjang. Ia memang selalu gugup setiap kali akan bertemu dengan mertuanya. Meskipun sudah lima tahun menyandang status menantu, ketakutan itu tak pernah hilang.“Kalau Mama berkata sesuatu yang menyakitimu, abaikan saja,” kata Daffa.Nindi mencoba menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tahu betul bagaimana sifat Yunita. Ibu mertuanya itu memiliki lidah yang tajam, selalu ada saja perkataan tak terduga yang meluncur dari bibirnya, menusuk perasaan Nindi hingga ke ulu hati.Tak lama, Yunita bergabung di ruang tamu. Senyum tipis terukir di bibirnya saat pandangannya beralih dari Daffa ke Nindi. “Kalian datang lebih awal,” sap

  • Ranjang Panas: Selingkuh Membawa Petaka   Bab 3. Ternyata Suamiku....

    “Kamu… kenapa kamu basah-basahan begitu?” tanya Nindi penuh selidik.“Maaf, Bu. Saya habis keramas, tapi lupa bawa handuk. Jadinya baju saya ikutan basah.”Nindi bergeleng kecil. Tanpa banyak bicara, Nindi bergegas ke kamarnya. Ia membuka pintu perlahan, penuh keraguan. Pandangannya langsung tertuju pada ranjangnya.Nindi menghela napas lega. Ternyata Daffa masih tidur. Dan skenario buruknya pun sama sekali tidak terjadi.Nindi mendekati suaminya, menatap wajah Daffa yang terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Namun, ketenangan itu tidak mampu meredakan badai di hati Nindi. Bagaimana Daffa bisa tidur senyenyak itu, sementara ia sendiri dilanda kegelisahan yang luar biasa?Nindi merasa ada yang tidak beres. Daffa harusnya sudah bangun dan bersiap-siap ke kantor. Tapi, Daffa justru masih tidur sampai saat ini.Pikiran buruk pun kembali menyerang Nindi. Mungkinkah suaminya baru selesai bercinta dengan Mila, lalu karena kelelahan, Daffa kembali tertidur? Begitu pula Mila yang langsung ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status