LOGINNindi meraba-raba dada atletis Daffa, tapi tak menemukan adanya tanda merah di sana.
‘Mana? Mana bekas ciuman itu? Kenapa nggak ada?’
Nindi menggila karena tak menemukan apa pun. Ia bahkan mengenduskan hidungnya, menghirup aroma dari leher dan dada Daffa.
Tidak ada aroma yang aneh. Nindi hanya mencium wangi vanilla dari tubuh Daffa. Itu adalah aroma dari parfum Nindi sendiri, parfum dengan wangi vanilla kesukaan Daffa.
Daffa awalnya merasa aneh dengan gerak-gerik Nindi. Tapi ia juga tak menyangkal. Hasratnya naik karena sentuhan Nindi benar-benar luar biasa.
“Sayang, sini aku masukin sekarang.”
Daffa mulai menurunkan resleting celananya, tapi Nindi menahannya.
“Kita lakukan di rumah saja, Mas.”
Daffa mengernyit. “Kenapa? Katamu sudah tak tahan.”
Nindi akhirnya turun dari pangkuan Daffa. “Benar katamu, Mas. Nanti ada yang melihat kita. Jadi sebaiknya, kita pulang saja.”
“Hmm, baiklah, Sayang.”
*
Setibanya di rumah, Daffa langsung membawa tubuh Nindi ke ranjang.
“Mas, enghh….”
Nindi tak kuasa menahan desahannya kala Daffa meremas kedua payudaranya.
“Kamu sungguh luar biasa, Sayang. Tubuhmu selalu berhasil membuatku tegang,” bisik Daffa parau. Lidahnya menjulur menjilati telinga Nindi.
Nindi menatap mata suaminya yang terlihat berkabut penuh gairah. Ia berkata dalam hati, menanyakan keraguannya.
‘Apa benar kamu menduakanku, Mas? Tapi jika benar begitu, kenapa kamu masih menginginkanku?’
Nindi menahan sejenak tangan Daffa yang ingin membuka bajunya.
“Kenapa, Sayang?” tanya Daffa.
“Aku ingin memastikan sesuatu, Mas.”
“Memastikan apa, Sayang? Ayolah! Aku sudah tak tahan!”
Sorot mata Nindi berkaca. “Apa kamu mencintaiku, Mas?”
Daffa tersenyum mengiyakan. Ia melabuhkan bibirnya dan mencium Nindi lembut. “Aku tidak akan menyentuhmu, kalau aku tidak mencintaimu, Sayang.”
Nindi tersenyum tipis. Walaupun ia masih ragu, setidaknya perkataan Daffa menenangkan hatinya sesaat.
Nindi akhirnya membiarkan Daffa menyentuh tubuhnya menyeluruh. Ia terlena karena Daffa memperlakukannya lembut, seperti biasanya.
“Terima kasih, Sayang. Kamu memang hebat,” puji Daffa setelah puas bermain.
Nindi tersenyum bahagia saat Daffa mencium pipi dan keningnya berkali-kali. Ia merasa sangat dicintai, bahkan ia sejenak lupa kalau ia saat ini sedang mencurigai suaminya selingkuh.
Nindi langsung menjauhkan dirinya dari Daffa setelah tersadar.
“Mas, kamu mandi gih!” Nindi tidak mau lama-lama disentuh oleh Daffa, ia bisa gila.
Daffa terkekeh pelan. “Kamu ini kebiasaan langsung nyuruh aku mandi setelah berhubungan. Padahal aku kan masih mau main-main sebentar!” katanya seraya meremas buah dada Nindi.
Nindi menjauhkan tangan Daffa. “Mandi dulu, Mas!”
Daffa akhirnya bangkit dari ranjang. Namun, sebelum masuk ke kamar mandi, ia mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada seseorang.
Nindi bergerak cepat mengambil ponsel Daffa tatkala suaminya itu sudah menghilang dari pandangan. Ia terlihat ragu membuka ponsel suaminya. Takut sakit hati.
Setelah mengambil napas, Nindi memberanikan diri mengecek ponsel milik Daffa. Mulai dari galeri, riwayat panggilan, hingga isi pesan.
Namun, semuanya normal-normal saja. Ponsel itu hanya berisi seputar pekerjaan.
“Hmm, apa emang aku yang terlalu sensitif? Tapi kenapa Mas Daffa membohongiku?”
Nindi menggigit kukunya, berpikir keras.
Tak berselang lama, satu pesan masuk ke ponsel Daffa. Pesan itu dari Miranda.
Dengan jari gemetar, Nindi membuka pesan itu.
[Saya sudah memesan kamar, Pak. Hotel Diamond, 345]
Nindi mendadak mual. Kepalanya berdenyut. Jantungnya seperti ada yang meremas, membuatnya kesulitan bernapas.
Nindi tiba-tiba merasa jijik. Memikirkan Daffa yang masih bisa menyentuh wanita lain setelah bercinta dengannya.
Nindi menoleh ketika langkah kaki Daffa terdengar dekat. Suaminya itu sudah mandi. Nindi sempat terbuai ketika mencium aroma tubuh Daffa yang wangi. Ditambah lagi suaminya terlihat seksi dengan lilitan handuk sepinggang, memamerkan dada atletisnya.
Daffa mengusap pipi Nindi lembut. “Sayang, ada apa? Kamu terlihat aneh.”
Nindi sontak menepis tangan Daffa kala tersadar. “Jangan sentuh aku, Mas! Tanganmu basah!”
Lagi-lagi Daffa terkekeh. “Kamu ini! Terlalu bawel! Tanganku kan bersih, masa dilarang nyentuh kamu?” serunya bercanda.
“Kamu masih kotor, Mas!” tegur Nindi, marah.
Daffa langsung diam melihat ekspresi Nindi serius, seakan ingin menerkamnya.
Suasana menjadi kikuk.
Daffa langsung mengambil ponselnya lalu terburu-buru mengenakan pakaian.
“Kamu mau ke mana, Mas?” Nindi bertanya saat melihat Daffa berpakaian rapi.
“Ada klien yang ingin bertemu, Sayang.”
“Selarut ini?”
Daffa melihat jam di pergelangan tangannya. “Ini belum larut, Sayang. Masih jam sembilan.”
Nindi kembali mual. Daffa terlihat khawatir.
“Kamu baik-baik saja? Kenapa akhir-akhir ini kamu sering mual, Sayang? Asam lambungmu kambuh? Mau kubelikan obat?”
Nindi langsung memeluk Daffa erat. Ia tidak bisa menjelaskan perasaannya saat ini. Nindi marah, kecewa, dan merasa jijik pada suaminya itu. Tapi di sisi lain, ia tidak mau Daffa pergi, ia tidak ikhlas jika Daffa meluangkan waktunya untuk wanita lain.
“Aku butuh kamu di sini, Mas,” bisik Nindi memohon.
Daffa membelai kepala Nindi. Namun perlahan ia melepaskan pelukan itu. “Maaf, tapi aku harus pergi. Kerjaanku tidak bisa ditinggal.”
Nindi hanya bisa menatap kepergian Daffa dengan sorot mata berkaca. Hatinya terluka melihat Daffa lebih memilih wanita lain dibanding dirinya.
*
Nindi memutuskan untuk mengikuti Daffa diam-diam. Setibanya di hotel tujuan, Daffa terlihat sedang menelpon seseorang.
“Awas saja kamu, Mas! Langsung aku viralkan kalian berdua!” sungut Nindi.
Nindi terus mengikuti jejak suaminya. Namun sial, ia kehilangan kontak visual saat berada di lobi. Terlalu banyak orang berlalu-lalang di sana.
Di saat bersamaan, Nindi melihat Miranda sedang berjalan menuju lift. Dengan tergesa, Nindi mengikuti wanita itu.
Mereka memasuki lift yang berbeda. Tapi Nindi sudah tau tujuan Miranda ke lantai berapa.
Dengan hati berdebar kencang, Nindi terus mengikuti langkah Miranda hingga ke sebuah kamar.
Kamar 345.
Kini Nindi sudah berdiri di depan kamar tersebut. Kira-kira sudah 10 menit lamanya sejak Miranda masuk lebih dulu.
Nindi mengarahkan tangannya perlahan memegang kenop pintu. Ingin rasanya membuka pintu itu sekarang, tapi bayangan buruk lebih dulu menyerangnya.
Nindi memegang dadanya sendiri. Ia tak sanggup jika harus melihat Daffa bercinta dengan wanita lain.
‘Aku nggak boleh begini! Aku harus buktikan sendiri!’ batinnya.
Nindi akhirnya memutar kenop pintu berulang kali, mencoba membukanya. Tapi sayang, pintu kamar itu sudah pasti terkunci dari dalam.
Nindi bahkan menggedor-gedor keras. Tapi tak ada sahutan dari dalam.
Nindi pasrah. Ia menangis tersedu-sedu. Ia sungguh tak sanggup membayangkan betapa serunya permainan Daffa bersama Miranda hingga tak ada yang membukakannya pintu.
Tetiba pintu kamar terbuka, Miranda melihat Nindi dengan tatapan aneh.
“Ibu Nindi? Sedang apa Ibu di sini?”
Selamat datang di novel keduaku. Semoga suka. Jgn lupa follow aku di inst4gram: xbabyyjoe .
Setelah keluar dari Kejaksaan, Wilona segera meminta sopir untuk membawanya kembali ke rumah. Ia tahu ia harus bergerak cepat. Hari-hari terakhirnya dihabiskan dengan menjual semua koleksi tas dan baju branded-nya, menukar kemewahan itu dengan uang tunai.Di ruang tamu, Wilona mengumpulkan para pelayan dan sopir. Wajahnya lelah, tapi suaranya mantap. Ia menyerahkan tumpukan uang tunai kepada kepala pelayan dan sopirnya."Ini," kata Wilona, suaranya tercekat. "Ini gaji kalian yang belum dibayar bulan ini. Sekarang kalian pergilah dari sini, cari majikan baru yang lebih baik. Semoga kalian sukses di mana pun kalian berada."Para pelayan dan sopir menatap Wilona dengan iba. "Non... apa Non akan baik-baik saja?" tanya kepala pelayan, air matanya menetes."Jangan khawatir, Bi," sahut Wilona, memaksakan senyum yang terasa getir. "Aku bisa mengurus ini sendirian. Aku akan baik-baik saja," katanya mantap.Tak lama kemudian, rumah mewah itu pun kosong. Bunyi mobil para pelayan dan sopir yang me
Dua hari kemudian, Wilona harus meninggalkan Rumah Sakit Harapan Kasih. Bayinya, yang belum diberi nama, tidur pulas dalam pelukannya. Namun, Wilona tidak bisa tersenyum.Di tangannya, ia memegang tumpukan tagihan rumah sakit yang nominalnya fantastis, jauh melebihi uang tunai yang tersisa di dompetnya. Di saku bajunya, terselip surat panggilan dari Kejaksaan."Bu Wilona, kami harus menahan bayinya jika Anda tidak bisa melunasi sisa tagihan," kata Manajer Administrasi dengan nada menyesal namun tegas.Wilona merasakan amarah dan keputusasaan yang luar biasa. "Anda tidak bisa melakukan itu! Saya akan bayar! Tapi saya butuh waktu!""Berapa lama, Bu? Rekening Anda dibekukan. Perusahaan keluarga Anda tidak merespon panggilan kami."Wilona tahu, ia hanya punya satu jalan keluar. Ia pun meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang sudah lama tidak ia tekan. Nomor pengacara keluarga, yang dulu selalu siap sedia melayaninya."Tolong, Pak. Saya butuh bantuan hukum dan sedikit dana darurat. Ayah
Beberapa hari setelah melahirkan, Wilona terbaring lemah, nyaris tak berdaya, di kamar VVIP rumah sakit. Perutnya masih terasa sakit, tetapi tatapannya tak lepas dari bayi laki-lakinya yang terlelap pulas di ranjang kecil di sampingnya. Ketenangan yang ia dapatkan dari melihat wajah putranya tidak bertahan lama.Pintu terbuka. Seorang petugas administrasi rumah sakit masuk dengan wajah pucat dan membawa setumpuk dokumen. Ekspresi petugas itu jelas menunjukkan kabar buruk."Bu Wilona, kami mohon maaf," kata petugas itu, suaranya dipaksakan pelan. Ia meletakkan dokumen-dokumen itu di meja. "Semua biaya perawatan dan persalinan Anda sudah jatuh tempo. Hadikusuma Company gagal mengirimkan pembayaran. Kami tidak punya pilihan selain meminta Anda segera menyelesaikannya."Wilona merasa seolah dadanya diremas. Rasa sakit itu, lebih parah dari sisa kontraksi, menjalar ke seluruh tubuhnya. "Tidak mungkin! Uang kami... seharusnya ada di bank! Kirimkan saja tagihannya ke bagian keuangan!" sahut
Di kediaman Hadikusuma, suasana penuh kepanikan memecah keheningan malam.Wilona menjerit kesakitan di ranjangnya. Kontraksi yang ia rasakan sangat hebat dan tak tertahankan.“Bi, tolong… tolong… s-sepertinya aku mau melahirkan, Bi. Cepat bawa aku ke rumah sakit!” rintih Wilona.Para pelayan berlarian cemas, mencari sopir, dan yang lainnya membantu Wilona bangkit, memapahnya ke kursi roda. Sopir segera menyiapkan mobil secepatnya.Malam itu, di tengah kesendirian dan kesedihan yang mencekik, Wilona dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Kasih. Tidak ada Daffa yang mendampingi, tidak ada Baskara maupun Nanik yang bisa memberinya kekuatan. Hanya ada dua orang pelayan yang menemani dan mengurus segala administrasinya.Di ruang bersalin, Wilona berjuang melawan rasa sakit. Di sampingnya, berdiri seorang perawat, tak lain adalah Kiara.Setelah perjuangan yang panjang dan menyakitkan, tepat menjelang subuh, Wilona melahirkan seorang bayi laki-laki. Tangisan pertama sang bayi terdengar memecah kehe
Nindi mengendarai mobilnya kembali ke kantor Rexa. Ia tidak ingin kembali ke hotel, ia ingin berada di dekat Rexa, satu-satunya orang yang memberinya rasa aman dan nyaman.Nindi akhirnya tiba di kantor Rexa. Ia bergegas melangkah menuju ruang kerja pria itu.Rexa sendiri sedang menunggu Nindi di ruangannya, terlihat tenang namun dengan sedikit kekhawatiran."Aku sudah tau kamu pasti kemari, Sayang," kata Rexa, lalu bangkit dari kursinya saat Nindi masuk. Ia melihat ekspresi Nindi yang tidak secerah saat ia meninggalkan rumah Daffa kemarin."Aku baru saja dari rumah Wilona," ujar Nindi, suaranya lesu."Dan?" tanya Rexa, mendekat dan meraih tangan Nindi.Nindi menarik napas dalam-dalam. "Dan... aku baru sadar, Rexa. Daffa memang mencintaiku. Saking cintanya, dia selingkuh dengan Wilona hanya karena wanita itu mirip denganku versi muda. Aku lihat semua pakaiannya, bahkan koleksi barang-barangnya yang lain. Wilona meniruku. Semua barangnya mirip denganku."Air mata Nindi mulai menggenang.
Keesokan harinya, Nindi merasa ada satu hal lagi yang harus ia tuntaskan untuk menyempurnakan kemenangan balas dendamnya. Ia ingin melihat kehancuran Wilona secara langsung.Nindi pergi sendiri, mengendarai mobil barunya menuju kediaman mewah keluarga Hadikusuma. Dengan mengenakan pakaian mahal dan kalung berliannya, ia masuk tanpa mengetuk pintu.Seorang pelayan yang terkejut segera mencegatnya di foyer. "Maaf, Nyonya! Anda tidak bisa masuk! Keluarga sedang berduka!"Nindi menepis tangan pelayan itu dengan dingin. "Aku punya urusan mendesak dengan Wilona. Minggir!"Nindi melangkah pasti memasuki rumah mewah nan luas itu.Pelayan itu mengikutinya dengan cemas, memohon agar Nindi berhenti.Nindi mengabaikannya, ia membuka pintu ruangan satu per satu dengan brutal, mencari kamar Wilona.Setelah membuka tiga pintu kamar kosong, tibalah Nindi di kamar yang terakhir. Ia lalu membuka pintu itu tanpa izin.Di dalam kamar yang mewah itu, Wilona sedang duduk di tepi ranjang, menyandarkan pungg







