Share

Dua

Author: Gleoriud
last update Last Updated: 2021-10-19 20:53:16

Luna mencoba mencocokkan alamat dengan apartemen tua di depannya. Apartemen yang sebenarnya sudah layak direnovasi karena banyak kerusakan di sana-sini.

Luna tak habis fikir, Jim bukannya orang miskin, dia adalah anak orang kaya yang memiliki perusahaan media cetak ternama di Indonesia. Tapi laki-laki itu bagaikan siput yang lebih memilih bersembunyi dengan dunianya sendiri dan menutup diri dari dunia luar.

Tanpa ragu, Luna mengetuk pintu kayu yang dipenuhi tempelan pesan menggunakan kertas yang sudah di tulis. Artinya, siapa yang berkepentingan dengan pria itu, dia lebih memilih berbicara lewat tulisan dari pada menunggu Jim keluar dari sarangnya.

Beberapa detik kemudian pintu terbuka, seorang pria tinggi menjulang dengan rambut berantakan dan kacamata minus sedikit kaget memandangnya. Tentu saja, bahkan laki-laki itu tak layak disebut suami.

"Boleh aku masuk?" Luna tak menunggu persetujuan Jim. Pria itu pun tak punya daya untuk melarang saat wanita yang berstatus istrinya langsung masuk tanpa menunggu jawabannya.

Hal pertama yang didapati Luna adalah ruangan berantakan dengan kertas berserakan. Sisa kaleng makanan instan serta tumpahan cat yang sudah menetes ke lantai. Luna sampai tak mampu berkata-kata, pemandangan ini membuat suasana hatinya semakin kacau.

"Duduklah di sini." Jim memberikan sebuah kursi kerja yang warnanya sudah memudar.

Luna duduk setelah menepuk-nepuk kursi itu menghalau debu yang melekat. Laki-laki itu, terlihat matang dan dewasa dengan bulu yang memenuhi pipi dan dagunya. Dia masih Jim yang dulu. Misterius.

"Bagaimana kabarmu?" Luna memulai pembicaraan.

"Seperti yang kau lihat."

"Aku tak ingin kita berbasa-basi, aku mohon! Mari kita akhiri pernikahan kita yang tak sehat ini. Aku sudah menyiapkan dokumennya, kau tinggal tanda tangan."

Luna menyerahkan map itu beserta sebuah pena. Mata di balik kacamata minus itu menatapnya dingin.

"Apa ini?"

"Surat gugatan cerai."

Srakk...! Bunyi robekan terdengar jelas berasal dari dokumen yang baru saja di berikan Luna.

"Apa yang kau lakukan?" Luna menggertakkan giginya emosi.

"Tak ada perceraian." Jim membuka kaca matanya dan memandang Luna dingin.

"Hentikan tingkah gilamu! Aku sudah cukup sabar selama lima tahun ini. Jangan menambah bebanku, banyak hal yang aku pikirkan sampai aku serasa mau gila."

"Sekali lagi, tidak akan pernah ada perceraian, apa kau mengerti?"

Luna memijit keningnya lelah. Laki-laki itu, masih saja seenaknya.

"Aku masih bisa mencetak surat itu, walaupun seribu kali kau merobeknya."

"Luna!" Jim membentak.

"Lepaskan aku! Aku lelah dengan semua ini. Kau dan aku adalah orang asing. Dan kau bahkan tak pernah memperlakukan aku layaknya sebagai seorang istri. Apa ada di dunia ini orang sepertimu? Menikah dan tak pernah pulang untuk sekedar berpamitan." Luna mengeluarkan semua kemarahannya.

"Kau tak mengerti. Dan takkan mengerti."

"Aku tak ingin lagi mengerti saat ini. Kita bercerai, titik." Luna meraih tasnya, namun langkahnya terhalang saat laki-laki itu merentangkan tangan di depan pintu.

"Aku sudah bilang, takkan ada perceraian. Sekarang, tunggu aku lima menit, aku akan ikut pulang ke apartemen bersamamu."

"Apa?" Luna memucat. "Aku ke sini bukan menjemputmu, tapi meminta cerai."

"Lima menit. Aku akan mandi secara kilat."

Luna hanya menganga dengan pria aneh di depannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Sembilan ( End )

    Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Delapan

    Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Tujuh

    Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Enam

    Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Lima

    "Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Empat

    Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status