Share

Dua

Luna mencoba mencocokkan alamat dengan apartemen tua di depannya. Apartemen yang sebenarnya sudah layak direnovasi karena banyak kerusakan di sana-sini.

Luna tak habis fikir, Jim bukannya orang miskin, dia adalah anak orang kaya yang memiliki perusahaan media cetak ternama di Indonesia. Tapi laki-laki itu bagaikan siput yang lebih memilih bersembunyi dengan dunianya sendiri dan menutup diri dari dunia luar.

Tanpa ragu, Luna mengetuk pintu kayu yang dipenuhi tempelan pesan menggunakan kertas yang sudah di tulis. Artinya, siapa yang berkepentingan dengan pria itu, dia lebih memilih berbicara lewat tulisan dari pada menunggu Jim keluar dari sarangnya.

Beberapa detik kemudian pintu terbuka, seorang pria tinggi menjulang dengan rambut berantakan dan kacamata minus sedikit kaget memandangnya. Tentu saja, bahkan laki-laki itu tak layak disebut suami.

"Boleh aku masuk?" Luna tak menunggu persetujuan Jim. Pria itu pun tak punya daya untuk melarang saat wanita yang berstatus istrinya langsung masuk tanpa menunggu jawabannya.

Hal pertama yang didapati Luna adalah ruangan berantakan dengan kertas berserakan. Sisa kaleng makanan instan serta tumpahan cat yang sudah menetes ke lantai. Luna sampai tak mampu berkata-kata, pemandangan ini membuat suasana hatinya semakin kacau.

"Duduklah di sini." Jim memberikan sebuah kursi kerja yang warnanya sudah memudar.

Luna duduk setelah menepuk-nepuk kursi itu menghalau debu yang melekat. Laki-laki itu, terlihat matang dan dewasa dengan bulu yang memenuhi pipi dan dagunya. Dia masih Jim yang dulu. Misterius.

"Bagaimana kabarmu?" Luna memulai pembicaraan.

"Seperti yang kau lihat."

"Aku tak ingin kita berbasa-basi, aku mohon! Mari kita akhiri pernikahan kita yang tak sehat ini. Aku sudah menyiapkan dokumennya, kau tinggal tanda tangan."

Luna menyerahkan map itu beserta sebuah pena. Mata di balik kacamata minus itu menatapnya dingin.

"Apa ini?"

"Surat gugatan cerai."

Srakk...! Bunyi robekan terdengar jelas berasal dari dokumen yang baru saja di berikan Luna.

"Apa yang kau lakukan?" Luna menggertakkan giginya emosi.

"Tak ada perceraian." Jim membuka kaca matanya dan memandang Luna dingin.

"Hentikan tingkah gilamu! Aku sudah cukup sabar selama lima tahun ini. Jangan menambah bebanku, banyak hal yang aku pikirkan sampai aku serasa mau gila."

"Sekali lagi, tidak akan pernah ada perceraian, apa kau mengerti?"

Luna memijit keningnya lelah. Laki-laki itu, masih saja seenaknya.

"Aku masih bisa mencetak surat itu, walaupun seribu kali kau merobeknya."

"Luna!" Jim membentak.

"Lepaskan aku! Aku lelah dengan semua ini. Kau dan aku adalah orang asing. Dan kau bahkan tak pernah memperlakukan aku layaknya sebagai seorang istri. Apa ada di dunia ini orang sepertimu? Menikah dan tak pernah pulang untuk sekedar berpamitan." Luna mengeluarkan semua kemarahannya.

"Kau tak mengerti. Dan takkan mengerti."

"Aku tak ingin lagi mengerti saat ini. Kita bercerai, titik." Luna meraih tasnya, namun langkahnya terhalang saat laki-laki itu merentangkan tangan di depan pintu.

"Aku sudah bilang, takkan ada perceraian. Sekarang, tunggu aku lima menit, aku akan ikut pulang ke apartemen bersamamu."

"Apa?" Luna memucat. "Aku ke sini bukan menjemputmu, tapi meminta cerai."

"Lima menit. Aku akan mandi secara kilat."

Luna hanya menganga dengan pria aneh di depannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status