Share

Bab 2

Penulis: Rira Faradina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-11 10:59:33

Kini Vania telah kembali ke rumah.

Dia menghela nafas panjang ketika melihat Rendi melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dengan cepat, ia memalingkan wajahnya segera ke cermin. Gadis itu malas jika nantinya kedatangan sang suami ke kamarnya, akan berakhir dengan sebuah pertengkaran.

Selalu itu yang terjadi, tiga bulan pernikahan ini, ia jalani dengan hambar tanpa adanya kemesraan di antara mereka. Vania mengakui bahwa setelah menikah, ada getar yang terasa jika melihat lelaki itu. Namun, tak pernah ia tunjukkan. Vania menahan diri karena menyadari posisi dirinya.

Tuhan, salahkah jika ia mulai memiliki rasa pada suaminya sendiri?

Seminggu setelah pernikahan, banyak sekali Vania mendengar orang- orang yang menghujat, memaki, dan mengutuk dirinya, bahkan julukan sebagai pelakor pun disematkan padanya. Tapi, tahukah mereka jika hatinya juga sangat tersiksa dengan pernikahan ini?

Sungguh, menerima pernikahan ini seperti buah simalakama bagi Vania. Jika bukan karena bapak dan ibu ... siapa yang mau dijadikan istri kedua?

"Vania, ini uang nafkah untukmu bulan ini," ucap Rendi kemudian meletakkan sebuah amplop putih di atas meja riasnya.

"Terima kasih," ucap Vania datar. Mengambil amplop itu dan menyimpannya di dalam laci meja rias.

"Maaf, aku kehilangan nomer rekeningmu," lanjutnya lagi seakan mengetahui apa yang dipikirkan Vania. Wajar saja, karena dua bulan terakhir Rendi mentransfer uang nafkah untuknya melalui rekening.

"Karin memintaku untuk tidur disini bersamamu," ucap lelaki itu ragu.

Vania mengangguk lalu kembali memandang pantulan wajahnya dicermin.

Selama tiga bulan menjalani pernikahan ini, hanya beberapa kali saja Rendi mendatangi kamarnya. Itupun karena paksaan Karin, kakak madunya

Namun, Jangan berpikir mereka akan menghabiskan malam dengan percintaan yang panas seperti layaknya pasangan pengantin baru. Vania dan Rendi akan tidur dengan punggung saling membelakangi meski berada di atas ranjang yang sama.

Sakit?

Jangan ditanyakan. Bukan keinginan Vania untuk bisa menjadi orang ketiga dalam pernikahan mereka. Lagi, dia hanya dapat bisa berandai ... andai saja, gadis itu bisa menolaknya.

"Aku tidur dulu, mas," ucap Vania datar.

Tak ada jawaban dari Rendi, lelaki itu memilih bungkam. Vania tak terlalu peduli.

Setelah ritual perawatan wajah selesai, Vania beranjak dari hadapan meja riasnya, menuju ke peraduan, merebahkan tubuhnya perlahan lalu menarik selimutnya.

"Mas kembali saja ke kamar Mbak Karin. Temani saja dia. Maaf, aku lelah, ingin tidur."

Tak terdengar suara jawaban dari Rendi. Hanya helaan nafasnya yang terdengar berat.

"Vania ..." panggilnya.

"Ada apa?"

"Aku minta maaf karena membuatmu terjebak dalam pernikahan ini."

"Tak perlu minta maaf, mas. Aku menerima pernikahan ini demi membalas jasa keluargamu."

"Papa dan mama sudah mendesakku agar segera memberi kabar tentang kehamilanmu." Ucapan Rendi terdengar begitu pelan.

Vania memejamkan mata. Ada rasa teriris di hati mendengarnya.

"Mbak Karin pasti sangat terluka mendengarnya," lirih Vania pelan, menjawabnya.

"Aku ...."

"Pergilah ke kamar Mbak Karin. Maaf, aku lelah." Vania mengulangi kalimatnya.

Bukan maksud gadis itu menolak untuk menunaikan kewajiban seorang istri pada suaminya, tapi ia lelah dengan keadaan ini. Setiap hari, ia selalu berdoa dan berharap ada jalan keluar terbaik untuknya agar bisa mengakhiri dan terbebas dari hubungan ini. Vania menjerit dalam hatinya.

"Vania." Lagi, Rendi memanggilnya.

"Mas, adakah jalan keluar bagi kita untuk mengakhiri pernikahan ini?" Sungguh, terasa sesak dada Vania ketika mengatakan kalimat ini.

"Cobalah untuk menerimanya, maka semua akan berjalan baik-baik saja."

"Benarkah, bisa seperti itu?" Vania bangkit dari tidurnya dan menatap tajam pada Rendi, suaminya.

"Bolehkah aku bertanya satu hal saja padamu, mas?"

"Apa kau menerima pernikahan ini dengan bahagia?" cecar Vania. "TIDAK, bukan? Lalu mengapa kau bisa mengira semua akan baik-baik saja jika pada akhirnya kita bertiga akan terluka?"

Pipi Vania terasa hangat, sekuat mungkin ia menahan air mata agar tidak jatuh. Ia tak mau Rendi melihatnya menangis.

"Vania. Jika kau hamil, maka semua masalah akan selesai. Bukankah tujuan pernikahan ini adalah ..."

"Seorang bayi. Penerus nama keluarga Atmadja. Aku tahu itu, mas," potong Vania cepat.

"Jika kau cepat hamil dan memberikan keturunan untuk keluargaku, maka aku ..."

"Kau akan menceraikanku, begitu bukan?"

Rasanya Vania ingin tertawa mendengarnya. Ya, itulah alasannya mengapa ia masuk menjadi istri kedua. Hanya demi seorang penerus keluarga. Mereka hanya menganggapnya sebagai alat penghasil bayi.

Sayangnya, Rendi terikat janji pada Karin untuk tidak menceraikannya, kecuali atas permintaan mertuanya. Orang tua Rendi sendiri!

Sebegitu rumitnya hubungan mereka, membuat Vania kadang ingin menyerah. Dan, menekan perasaannya pada Rendi bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukannya!

Belum lagi, sikap mertua yang begitu baik juga menjadi pertimbangan Vania. Andai saja ibu mertua bersikap seperti mertua kejam dalam chanel TV ikan terbang yang sering ia tonton atau cerita-cerita di grup kepenulisan yang ia baca ... sudah tentu gadis itu akan sangat gembira karena memiliki alasan untuk bisa mengakhiri pernikahan ini.

"Kembalilah ke kamar Mbak Karin, mas. Maaf, jika diijinkan, aku ingin tidur."

"Vania, malam ini ijinkan aku tidur di sini. Karin pasti akan kecewa jika ia melihatku kembali ke kamarnya," pintanya terdengar memelas.

"Terserah mas saja."

Segera Vania rebahkan kembali tubuhnya, lalu berbalik membelakanginya. Selalu saja berakhir seperti ini. Mereka akan bertengkar lebih dulu setiap kali suaminya datang ke kamarnya, membahas alasan dibalik pernikahan mereka. Sungguh, jika tidak mengingat akan hutang budi kedua orang tuanya. Rasanya, sudah lama Vania pergi sejauh mungkin dari kota ini dan tentunya dari pernikahan ini.

****

Mata Karin terlihat sedikit sembab pagi ini. Vania tahu, kakak madunya itu pasti mengira ia dan Rendi menghabiskan malam panas dengan berbagi peluh di ranjang. Ia bisa mengetahuinya dari sorot mata Karin yang kini tengah menatapnya sayu.

Selalu saja seperti ini. Vania merasa seakan begitu disudutkan. Karena, gadis itu yakin di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Karin juga tak rela membagi suaminya dengan wanita lain.

Sejatinya, tak ada seorang wanita manapun yang mau membagi suami dan cintanya kepada wanita lain. Dalam situasi ini, keikhlasan dan kebodohan kadang hanya dibedakan dengan selembar kertas tipis.

"Vania, ayo makanlah dulu. Mbak sudah minta Bi Asih membuatkan nasi goreng kesukaanmu," tawar Karin dengan senyum tipis. Vania bisa melihatnya, Senyuman yang diperlihatkan Karin padanya penuh dengan keterpaksaan.

"Terima kasih."

Rendi datang tanpa menyapanya dan langsung duduk bersebelahan dengan Karin. Vania memilih diam melihat kembali kemesraan mereka di meja makan ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengakhiri sarapan ini secepat mungkin, karena terlalu lama melihatnya akan terbetik rasa cemburu di hatinya.

"Aku sudah selesai. Maaf, berangkat kerja dulu," pamit Vania lalu menggeser kursinya.

"Oh ya, sekalian aku mau minta izin padamu, mas. Nanti setelah pulang kerja, aku akan kembali ke kontrakanku."

Sebulan sebelum pernikahan mereka digelar, ayah Vania, Hasan memutuskan untuk berhenti bekerja dan pindah ke kampung halamannya di Purwokerto. Kedua orang tuanya memilih menghabiskan masa tua di sana. Mereka berpikir jika setelah menjadi menantu keluarga Atmaja, hidup putrinya akan bahagia. Nyatanya, kenyataan itu tidaklah benar.

Tapi, apa daya? Vania tak mungkin menceritakan masalahnya pada orang tuanya. Ia tak akan tega membebani mereka dengan masalah rumah tangganya. Dan juga, gadis itu tak akan sanggup melihat ibunya yang akan berlinang air mata jika mengetahui kenyataannya.

"Kenapa harus kembali ke sana, Vania?" tanya Karin.

"Karena ini bukan rumahku, Mbak," ucap Vania tegas sambil menoleh pada Rendi, suami mereka.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 90 / Ending

    Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 89

    Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 88

    ""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 87

    "Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 86

    "Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 85

    "Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status