Flashback Karin 2Tubuh Karin seketika membeku mendengarnya, tatapan matanya tampak kosong. Melihat putrinya tampak tak baik-baik saja dan terpaku diam cukup lama, membuat Yuna akhirnya berinisiatif mengambil ponsel tersebut dari tangan Karin."Maaf, boleh tahu dengan siapa saya bicara?" Sapa Yuna ramah, tak lama terdengar suara seorang lelaki di ujung sambungan telepon itu membalasnya dan kembali menjelaskan maksud dan tujuannya.***Karin terpaku melihat sosok tubuh yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit itu, jangan ditanya betapa hancur hati dan perasaannya saat ini. Wajahnya begitu pilu tanpa air mata yang keluar. Entah sudah berapa kali ia jatuh pingsan.Yah, air mata Karin sudah mengering menangisi kepergian calon suaminya yang tak terduga ini. Sungguh, dalam mimpi pun tak pernah terbayangkan olehnya akan mengalami nasib yang menyedihkan seperti ini.Jodoh, maut, rejeki memang sudah menjadi rahasia tuhan. Tak akan ada seorang pun yang bisa mengubah ataupun menolaknya. Na
Flashback 3Sepeninggal Henny, pandangan mata Karin kini terfokus pada pemuda yang masih berdiri mematung di depan pintu kamar jenazah ini. Wajah pemuda itu tampak begitu terpukul. Dalam hati ia bertanya siapa gerangan pemuda itu dan mengapa ia terlihat begitu sedih?"Maaf, anda siapa?" Karin memberanikan diri bertanya padanya."Saya Rendi." Jawab Rendi lalu menoleh menatap Karin. ***Mata Karin kini menyipit, mencoba mengingat kembali sosok lelaki yang berdiri di hadapannya. Tak salah lagi, wajah itu rasanya pernah di lihatnya di suatu tempat.Tapi di mana? Untuk sesaat Karin mencoba mengingat, tapi sayang tak membuahkan hasil. Ingin rasanya Karin bertanya, Namun saat niat itu hendak dilakukannya, suara lelaki itu terdengar lebih dulu, menghentikan lidahnya untuk mengeluarkan sebuah kalimat tanya."Maaf, apa kau yang bernama Karin?"Pertanyaan itu cukup menyentak Karin. Tebakannya benar, ia pernah melihat wajah itu di suatu tempat. Buktinya lelaki ini mengenal dirinya."Iya, saya Kar
Karin mendesah, ingin rasanya ia pergi jauh dari tempat ini, pergi ke tempat di mana tak seorang pun mengenalnya dan memulai hidup baru di sana. "Semoga saja keluargamu bisa menerima kehamilanku, mas. Sungguh aku tidak kuat jika harus menanggung semua ini sendiri," bisik Karin begitu lirih.***Taksi yang membawa Karin dan keluarganya akhirnya berhenti di sebuah rumah bertingkat dua dengan cat berwarna kuning pucat itu. Tubuh Karin seketika gugup kala membayangkan terakhir kali ia mendatangi rumah ini.Ya, satu bulan yang lalu ia datang kesini bersama Hans, kekasih nya. Wajahnya kala itu tersenyum bahagia sambil menggandeng tangan Hans masuk ke rumah ini, kini kebahagiaan itu tak akan di rasakannya lagi karena lelaki yang menggandeng tangannya sudah tidak ada lagi di dunia ini.Haruskah ia menyalahkan takdir?Ingin sekali Karin menjerit, namun ia masih sadar jika dirinya tak seharusnya melakukan hal itu sekarang. Beberapa kali ia mengigit bibirnya demi menahan air mata yang hendak ke
Tubuh Karin seketika lemah, apa yang diharapkan tidak akan terkabul. Bahunya berguncang keras karena reaksi penolakan keluarga Hans.Haruskah ia mendengarkan ucapan mereka, menggugurkan kandungannya dan menata kembali hidupnya? ***"Aku mau langsung tidur saja, mas," ucap Karin begitu taksi yang mereka tumpangi tiba kembali ke hotel."Baiklah, tapi jika lapar beri tahu aku atau mama, ya," pinta Khrisna sambil mengelus rambut adik kesayangannya itu."Iya," jawab Karin lemah."Dan maaf jika mas tidak bisa berbuat apapun untukmu,""Sudahlah, tak perlu minta maaf. Semua ini adalah kesalahanku. Oh ya, besok Mas langsung naik pesawat ke Palembang?"Iya, karena itu mas minta kau jaga dirimu baik-baik, dan juga titip mama," lirih suara Khrisna terdengar parau.Mereka lalu berjalan beriringan masuk ke dalam hotel menuju kamar masing-masing dengan rasa kecewa yang tergurat di wajah mereka. Sungguh mereka tak pernah menyangka jika nantinya akan di perlakukan buruk seperti itu oleh keluarga Hans
Di tengah kemelut pikirannya, Karin tak memperhatikan langkahnya, hingga akhirnya terpeleset, tubuhnya terguling menuruni tangga hingga akhirnya membentur lantai, Karin pingsan dengan rembesan darah membasahi rok yang dipakainya.***Sentuhan lembut yang terasa membuat Karin perlahan membuka matanya. Tampak di sebelahnya ada ibunya tengah menatapnya cemas. Karin memandang sekelilingnya, ruangan bercat putih dengan selang infus tampak menjuntai di lengannya. Sejenak ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang telah menimpanya.Tangan Yuna mengelus lembut kepala Karin, membuat Karin akhirnya membuka matanya kembali, kepalanya sedikit berdenyut, memaksa salah satu tangannya untuk memijat demi meredakannya."Apa yang terjadi, ma?" Tanya Karin dengan suara parau."Kau terpeleset di tangga. Bibik menemukanmu sudah terbaring di lantai, untung saat itu mama sudah dalam perjalanan pulang ke rumah," jelas Yuna dengan pandangan teduh memandang putrinya."Lalu apa yang terjadi selanjutnya, ma
Flashback Karin 7Sejak kapan kau mengkonsumsinya, Karin?" Selidik Yuna saat melihat Karin keluar dari kamar mandi."Aku butuh minuman itu untuk menghilangkan beban dan rasa bersalahku Ma, apa salah?" Jawab Karin sambil tersenyum membuat Yuna akhirnya menampar pipi putrinya.***Dari hari ke hari sikap Karin semakin tertutup, matanya terlihat cekung begitu pula dengan berat badannya yang turun membuat Yuna semakin mencemaskannya.Bukan sekali dua kali Yuna memergokinya mengkonsumsi alkohol, sudah sangat sering mereka bertengkar, karena Karin begitu keras kepala untuk di minta meninggalkan minuman keras tersebut, membuat Yuna akhirnya mengambil tindakan tegas. Mengurung putri bungsunya itu di rumah dan menutup semua rekening ataupun dompet digital Karin.Pernah beberapa kali Yuna menyarankannya agar pergi berlibur atau tinggal di tempat Sang kakak untuk sementara waktu, namun saran itu ditolak Karin, gadis itu seakan sudah tidak peduli pada dirinya sendiri. Membuat Yuna begitu kasihan m
Rendi duduk bertopang dagu dengan pandangan mata kosong, pikirannya tak menentu memikirkan Vania yang entah sedang berada di mana.Beberapa kali ia mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang menggelayut di benaknya. Sungguh ia sangat mengkhawatirkan Vania beserta janinnya.Sudah beberapa orang teman Vania yang ia temui, tak satupun di antara mereka yang mengetahui keberadaan istrinya tersebut. Entahlah, Rendi tak ingin berpikiran buruk, meskipun ia sangat yakin jika Vania pasti menghubungi salah seorang temannya.Rendi memijat kepalanya yang berdenyut. Sudah tiga hari Vania menghilang, selama itu pula ia nyaris tak bisa tidur, memikirkannya."Haruskah kau menghukumku seperti ini, Vania?" Gumam Rendi dengan mata berkaca-kaca.Yah, lelaki itu menangis dalam diamnya. Kali ini ia telah benar-benar menyadari perasaan cintanya untuk Vania, bukan rasa tanggung jawab karena harus memberikan seorang keturunan kepada kedua orangtuanya atau rasa bersalah karena telah melibatkan Vania dalam masalah
"Berikan alamatnya dan juga bagaimana aku harus membalas jasamu ini?" Tanya Rendi yang terlihat begitu bersemangat. ***Tangan Rendi tampak gemetar, diliriknya kembali layar ponselnya, berharap yang sedang terjadi bukanlah halusinasinya, tak lama suara seseorang kembali terdengar, membuat lelaki itu yakin jika ini nyata."Tak perlu, anggap saja karena aku kasihan pada Vania. Jika kau ingin membalasnya, tolong jangan sia siakan dirinya. Hanya itu saja.""Baiklah, katakan di mana alamatnya karena aku akan menjemputnya sekarang?""Akan kukatakan. Tapi berjanjilah jika kau tidak akan menyakitinya. Saat ini Vania sedang hamil dan emosinya gampang tersulut. Tolong jangan membuatnya kesal karena aku sangat mengkhawatirkan keadaannya."Panggilan telepon itu terputus tak lama sebuah pesan WA masuk, segera tangan Rendi menggeser layar hingga sebuah alamat pun kini terucap dari bibirnya."Aku tahu tempat ini, bukankah ini hanya berjarak beberapa gang saja dari kost-kostan Vania yang lama?" Bibi