Karena merasa sangat tertekan di dalam rumah, yang sama sekali tak mendukung pertumbuhannya dan pola pikirnya, membuat Siska memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah tanpa diketahui oleh siapapun yang tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing itu.
Siska pun memilih malam hari untuk bisa keluar dari rumah, menunggu sampai keadaan terasa hening dan sepi. Setelah merasa aman Siska pun mengendap-endap menuruni anak tangga dengan perlahan berharap tak akan ada orang yang mengetahuinya.
Berbekalkan tas kecil yang ia bawa dan beberapa lembar uang, membuat Siska benar-benar nekat memutuskan untuk pergi dari rumah meninggalkan keluarga yang selama ini menjadi pelindung dan penaungnya di rumah.
Namun, meskipun begitu Siska sama sekali tidak merasa bahwa mereka benar-benar melindungi dirinya, justru yang Siska rasakan hanyalah kesibukan dan waktu terbuang dengan sia-sia di luar rumah, tak ada satu orang pun yang benar-benar tulus menemani dan menaunginya.
'Gue harus segera cabut dari rumah ini, Gue nggak tahan lama-lama ada di rumah neraka ini.' batin Siska membuka pintu utama dengan sangat berhati-hati.
Setelah berhasil membuka dan menutup kembali pintu utama, Siska harus membuka pintu gerbang dan menguncinya kembali dari luar.
'Untung, Gue punya kunci gerbang sendiri, jadi Gue nggak perlu susah-susah nyari kunci di laci dekat ruangan Mami.' bisik Siska kepada dirinya sendiri.
Pukul 01:00 pagi, Siska berhasil keluar dari rumah mewah milik kedua orang tuanya itu, sebelumnya Siska sudah menghubungi Runi dan Runi menunggu di simpang jalan dengan mobil taksi yang ia pesan.
Berjalan dengan setengah berlari, Siska pun menghampiri Runi yang sudah menunggunya sejak tadi.
"Sorry Ni, Gue baru aja lolos," kata Siska yang mencoba mengatur nafasnya karena berlari.
"Nggak papa Kia, ayo masuk. Nanti nyokap bokab Lo tahu lagi kalau Lo pergi dari rumah." ajak Runi yang langsung membukakan pintu dan meminta Siska segera masuk.
Dengan tanpa berpikir panjang, Siska pun mengikuti ajakan Runi dan mereka pun pergi menggunakan taksi berwarna biru itu.
"Kita mau kemana, Ni?" tanya Siska yang masih bingung melihat ruas jalan yang begitu asing baginya.
"Kita akan pergi ke kota Kia, di sana kita akan mencari kehidupan yang baru, tanpa harus memikirkan bagaimana nasib kita yang terasingkan di dalam rumah sendiri." jelas Runi dengan semangat dan melempar senyum kepada Siska.
Nasib buruk antara Siska dan Runi membuat keduanya memilih jalan untuk pergi meninggalkan keluarga yang selama ini justru tak menghargainya. Kepergian keduanya pun hanya berbekal beberapa pakaian dan beberapa lembar uang untuk hidup di kota.
Siska pun dengan patuh menuruti apa yang dikatakan oleh Runi, karena sudah bersahabat sejak duduk di sekolah dasar, membuat Siska percaya bahwa Runi tidak akan meninggalkannya seorang diri.
"Kenapa si Ni, nasib kita harus begini, banyak harta tapi kasih sayang dari kedua orang tua sama sekali tidak pernah kita rasakan," keluh Siska memeluk Runi dengan erat.
"Karena mungkin kita bukan anak yang diharapkan oleh mereka, Kia. Sekarang Gue juga udah ikhlasin semuanya dan mencoba untuk bertahan hidup tanpa bantuan mereka." jawab Runi yang berusaha lebih tegar dari Siska.
Dalam perjalanan, Siska dan Runi sempat memejamkan kedua matanya karna lelah dan terasa sangat mengantuk, sementara supir taksi yang akan membawa Siksa dan Runi itu pun masih dengan fokus menyetir karena jalanan terasa gelap dan sepi.
***
Pukul 05:00 pagi.
Mobil taksi yang membawa Siska dan Runi akhirnya berhenti di stasiun kali deres. Pak Doni, sang supir taksi itu pun membangunkan Siska dan Runi yang sedang tertidur sangat pulas.
"Neng, ayo bangun. Kita sudah sampai."
Pak Doni mencoba menggerak-gerakkan tangan Siska dan Runi. Runi pun terbangun disusul dengan Siska yang juga terlihat sangat lelah.
"Terima kasih, Pak," kata Runi mengucapkan terima kasih dan menyodorkan beberapa lembar kertas sebagai bayaran.
"Terima kasih kembali, Neng. Hati-hati di kota ini sangat keras, kalian sebagai pendatang harus bisa menjaga diri kalian dengan baik." jawab pak Doni yang memberikan pesan singkat kepada kedua penumpangnya itu.
Dengan anggukkan kepala dan melemparkan senyum kepada pak Doni, Siska dan Runi pun keluar dari mobil dan berjalan menjauhi mobil yang ia tumpangi.
Suasana masih terlihat sangat sepi, bahkan mereka tak ada tujuan harus pergi ke mana, tak ada sanak saudara bahkan tak ada satu pun yang bisa membawanya ke suatu tempat yang bisa membuat mereka bertahan hidup.
"Kita mau kemna, Ni?" tanya Siska yang sejak tadi memperhatikan stasiun yang cukup luas itu.
"Gue sendiri nggak tahu, Kia. Yang jelas, di tempat ini kita akan mencari kehidupan baru kita." jawab Runi dengan tegas.
Mereka pun berjalan menuju rumah makan lesehan yang ada di sekitar stasiun, karena perut mereka terasa lapar, mereka tak lagi memikirkan tentang standar kebersihan yang selalu diajarkan oleh kedua orang tua dan lingkungannya.
"Beneran kita akan makan di sini, Ni?" tanya Siska memastikan.
"Iya, mau di mana lagi? Lestoran bintang lima nggak akan mampu kita singgahi karena bekal kita juga nggak banyak, Kia." jelas Runi memaksa Siska masuk dan duduk diantara kursi-kursi yang sudah tersedia.
Terlihat kursi itu memang sangat kotor, warnanya pun sudah mulai pudar, tembok putih yang berubah menjadi kekuning-kuningan itu membuat Siska merasa sedikit geli, namun hal itu segera disadarkan oleh Runi agar Siska tidak membawa kebiasaannya di rumah.
Tak lama kemudian, wanita paruh baya datang menemui Siska dan Runi, menyapa dengan sangat lembut dan tulus.
"Mau pesan makanan apa, Neng?" tanyanya dengan ramah.
"Nasi padang dua bungkus, Bu." jawab Runi melempar senyum.
Dengan anggukkan kepala, wanita paruh baya itu pun pergi meninggalkan Siska dan Runi, untuk meracik makanan yang mereka pesan. Runi bukanlah orang miskin, bahkan kemewahan yang dimiliki oleh kedua orang tuanya sejajar dengan orang tua Siska, namun karena ia sudah terbiasa makan dilesehan, Runi sudah tidak merasa jijik dan canggung.
Tak lama kemudian, makanan itu pun datang, dan dengan ramah wanita itu menyerahkan makanan itu kepada Siska dan Runi.
"Silahkan dimakan, Neng," kata wanita itu.
"Terima kasih, Bu." jawab Runi melempar senyum.
Wanita itu pergi meninggalkan Runi dan Siska.
"Ni, makannya pakek tangan?" tanya Siska dengan wajah geli.
"Iya Kia, nasi padang itu enaknya pakek tangan, kalau pakek sendok nggak nikmat." jawab Runi yang langsung melahap makanan yang ia pesan.
Karena melihat Runi dengan nikmat dan lahap menyantap makanan yang ia pesan, Siska pun akhirnya mengikuti cara Runi, tanpa memikirkan tentang kebersihan yang selalu menjadi standar kualitas dalam hidupnya selama ini.
#Beberapa Minggu Kemudian#Kepergian Siska dari rumah membawanya kedunia baru yang lebih bebas dari sebelumnya, Runi yang memang sudah menjadi wanita malam tanpa sepengetahuan Siska itu pun memberikan makan dan tempat tinggal untuk Siksa dari hasilnya bekerja di salah satu bar yang tidak jauh dari kontrakan mereka. Sementara kebebasan Siska tidak sebanding dengan kebebasan Runi, Runi masih merahasiakan pekerjaannya sebagai wanita malam, Siska hanya bermain-main di malam hari bersama beberapa anak kontrakan yang bernasib sama seperti dirinya. Sementara saat itulah, Runi pergi meninggalkan Siska dan mulai bekerja sebagai wanita penghibur sampai pukul dua belas malam. Kegiatan Runi yang masih baru beberapa hari itu berjalan dengan lancar, Runi pun sudah mendapatkan uang muka dari atasannya karena sudah berhasil menggait beberapa laki-laki hidung belang dalam waktu semalam.
Setelah selesai mengerjakan tugasnya, Runi pun memutuskan untuk segera pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi dini hari, rasa kantuk dan lelahnya membuat Runi tak mampu menyeimbangi tubuhnya yang berjalan menyusuri jalan.Runi tak menyadari bahwa Dimas yang sejak tadi menunggunya di persimpangan jalan, saat melihat Runi melintas di hadapannya, Dimas pun berlari menghampiri dan menyapa Runi."Dimas, kok Lo masih di sini, si?" tanya Runi yang membuka kedua matanya lebih lebar. "Ya, Gue sengaja nungguin Lo di sini," sahut Dimas melempar senyum. "Untuk apa Lo nungguin Gue, eh ini tu udah malam kali, harusnya Lo itu bobok cantik di rumah!" sahut Runi yang melempar senyum kepada Dimas. "Hahaha, Lo lucu ya, Lo bilang jam segini waktunya bobok cantik di rumah, sementara Lo sendiri baru keluar tu dari tem
Karena merasa bahwa mentari pagi cukup membuat Runi dan Siska merasa ingin keluar untuk berolahraga, mereka pun akhirnya memutuskan untuk mengganti baju tidur mereka dengan pakaian olahraga. "Sis, ayo kita berangkat. Mumpung masih pagi, nih," ajak Runi yang sudah merasa siap dan menunggu di depan pintu kontrakan. "Iya, tunggu sebentar! Gue lagi ngiket rambut, nih." jawab Siska yang masih berdiri di depan cermin. Runi tak menghiraukan ucapan Siska, ia memilih untuk berjalan lebih dulu karena sudah tidak sabar menikmati pagi yang baru pertama kali ia rasakan. "Coba aja, Gue nggak terjebak di pekerjaan malam seperti ini, mungkin hari-hari Gue masih bisa Gue nikmatin dengan lebih indah dari pada mentari pagi ini." Ungkap Runi dengan gerakan langkah kakinya yang ia ayunkan, tak lama kemudian Siksa pun menyusul Runi yang sudah berjalan lebih dulu
Kedua wanita cantik yang memiliki karismatik tinggi itu, dengan senang hati berjalan kaki menyusuri jalan raya yang dipadati kendaraan yang simpang siur. Siska dan Runi berusaha untuk menjadi manusia baru di tengah padatnya penduduk kota, niat mereka tidak hanya membeli sepatu untuk Siska yang sudah tidak bisa ia pakai.Mereka ingin menghabiskan waktu dengan bersantai menikmati hari mereka di luar kontrakan, karena pada malam hari Runi tidak akan ada waktu, maka Runi memanfaatkan waktu siang harinya untuk menemani Siska yang kesepian."Ni, kita mau beli sepatu di mana, si?" tanya Siska yang mulai lelah dengan langkah kakinya."Udah, Lo ikuti Gue aja. Nggak lama lagu sampai, kok." jawab Runi yang membawa Runi pergi ke tempat yang belum pernah ia tuju.Runi sengaja mengajak Siska jalan-jalan menyusuri kota, meskipun terlihat wajah Siska yang terlihat masam karena harus berjalan kaki sejauh ma
Setelah menikmati harinya dengan jalan-jalan bersama, Siska dan Runi pun memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah, di tengah panasnya sengatan matahari membuat mereka memilih untuk tidur di kamar. Karena hanya siang hari yang bisa membuat Runi tidur, ia pun tak menunggu waktu lama saat merebahkan tubuhnya di atas kasur, Runi terlelap dengan cepat sementara Siska yang tidak bisa tidur secepat itu hanya bisa ke sana ke sini untuk memfokuskan pusat pikirannya. Siska masih sangat penasaran dengan baju-baju yang dibeli oleh sahabatnya itu, begitu seksi dan terbuka, Siska terfokus dengan pekerjaan malam yang Runi lakukan. Karena tak ingin ketinggalan informasi, Siska pun memilih untu tidak tidur. 'Lebih baik Gue nggak usah tidur, karena beberaja jam lagi hari sudah gelap, malam ini Gue harus ikuti Runi.' kata Siska yang memutuskan untuk memilih beberes rumah dan mencucui pakaian yang baru saja ia beli itu. Peralatan seadanya membuat Siska harus terbiasa
Dimas menatap ke arah Siska yang menatapnya marah, ia menyadari bahwa wanita yang ia lihat adalah wanita yang pernah bersama Runi beberapa hari yang lalu."Lo, Lo kan...?" Dimas merasa bahwa ia benar-benar mengenal Siska.Siska yang juga tak merasa asing dengan laki-laki yang ada di hadapannya itu menarik pakaian Dimas hingga jarak anatara bibir Dimas dan bibir Siska sangat dekat.Siska menyadari hal itu dan mendorong tubuh Dimas hingga tubuh Dimas terhempas jatuh."Aduh! Lo kasar banget, si?!" hardik Dimas merasa kesakitan di bagian pinggangnya."Sukurin! Lo sengaja kan cari kesempatan dalam kesempitan, ngaku Lo?" sahut Siska menuduh Dimas dengan prasangkanya.Dimas bangkit dan mendekat ke arah Siska dan menatapnya dengan tajam, Dimas merasa tersinggung dengan perkataan Siska yang menuduhnya."Eh, Lo jangan nuduh dong! Gue tu nggak sengaja nambrak Lo!" sahut Dimas tak terima."Alah, jangan bohong Lo! Laki-laki kayak Lo i
Dimas yang merasa begitu nyaman saat menghabiskan malamnya dengan Siska itu tak melewatinya begitu saja, Dimas berusaha untuk move on dari mantan kekasihnya yang meninggalkan dirinya. "Ternyata Lo asik juga, ya," kata Dimas memuji sikap Siksa. "Asik? Asik gimana maksud Lo?" tanya Siska tersenyum tipis karena merasa bahwa hidupnya lebih bermakna saat bertemu dengan Dimas. "Ya, Lo asik aja gitu di ajak ngobrol. Eh, lain kali kita makan bakso bareng lagi yuk?" tawar Dimas menatap wajah Siska tajam. "Boleh aja, si. Tapi Lo yang tlaktir ya, soalnya Gue nganggur belum ada kerjaan, Gue nggak mungkin minta sama Runi!" jelas Siska melotot ke arah Dimas. "Santai aja, ngasih makan Lo nggak banyak ini, Gue bisa aja nelaktir Lo setiap hari." jawab Dimas dengan nada sedikit sombong. Siska melirik ke arah Dimas, sembari mencubit manis pinggangnya karena mendengar jawaban Dimas yang membuat Siska geli. "Sombong Lo ya, emang Lo udah kerja?" tan
Sampainya di clup malam, Dimas melepaskan helemnya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam clup tersebut. Dimas berharap bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh Runi sudah selesai hingga membuatnya sedikit ada waktu untuk berbincang-bincang. Tibanya di dalam ruangan, Dimas pun merasa beruntung karena melihat Runi yang sedang duduk seorang diri menikmati minuman yang ada di tangannya. Dimas pun langusng mendekati Runi. "Hai," sapa Dimas yang langsung duduk di samping Runi. "Eh, Lo lagi. Lo ngapain di sini?" tanya Runi yang menyadari keberadaan Dimas. "Mau anter Lo pulang." jawab Dimas singkat. Mendengar jawaban Dimas membuat Runi tertawa lucu, dan hal itu membuat Dimas menatap penuh tanya. "Kenapa Lo ketawa? Emang ada yang lucu, ya?" tanya Dimas menatap Runi sinis. "Lucu lah,