Share

Part 7, Pergi Dari Rumah

Karena merasa sangat tertekan di dalam rumah, yang sama sekali tak mendukung pertumbuhannya dan pola pikirnya, membuat Siska memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah tanpa diketahui oleh siapapun yang tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing itu. 

  Siska pun memilih malam hari untuk bisa keluar dari rumah, menunggu sampai keadaan terasa hening dan sepi. Setelah merasa aman Siska pun mengendap-endap menuruni anak tangga dengan perlahan berharap tak akan ada orang yang mengetahuinya. 

 Berbekalkan tas kecil yang ia bawa dan beberapa lembar uang, membuat Siska benar-benar nekat memutuskan untuk pergi dari rumah meninggalkan keluarga yang selama ini menjadi pelindung dan penaungnya di rumah. 

  Namun, meskipun begitu Siska sama sekali tidak merasa bahwa mereka benar-benar melindungi dirinya, justru yang Siska rasakan hanyalah kesibukan dan waktu terbuang dengan sia-sia di luar rumah, tak ada satu orang pun yang benar-benar tulus menemani dan menaunginya. 

  'Gue harus segera cabut dari rumah ini, Gue nggak tahan lama-lama ada di rumah neraka ini.' batin Siska membuka pintu utama dengan sangat berhati-hati. 

  Setelah berhasil membuka dan menutup kembali pintu utama, Siska harus membuka pintu gerbang dan menguncinya kembali dari luar. 

  'Untung, Gue punya kunci gerbang sendiri, jadi Gue nggak perlu susah-susah nyari kunci di laci dekat ruangan Mami.' bisik Siska kepada dirinya sendiri. 

  Pukul 01:00 pagi, Siska berhasil keluar dari rumah mewah milik kedua orang tuanya itu, sebelumnya Siska sudah menghubungi Runi dan Runi menunggu di simpang jalan dengan mobil taksi yang ia pesan. 

  Berjalan dengan setengah berlari, Siska pun menghampiri Runi yang sudah menunggunya sejak tadi. 

  "Sorry Ni, Gue baru aja lolos," kata Siska yang mencoba mengatur nafasnya karena berlari. 

  "Nggak papa Kia, ayo masuk. Nanti nyokap bokab Lo tahu lagi kalau Lo pergi dari rumah." ajak Runi yang langsung membukakan pintu dan meminta Siska segera masuk. 

  Dengan tanpa berpikir panjang, Siska pun mengikuti ajakan Runi dan mereka pun  pergi menggunakan taksi berwarna biru itu. 

  "Kita mau kemana, Ni?" tanya Siska yang masih bingung melihat ruas jalan yang begitu asing baginya. 

  "Kita akan pergi ke kota Kia, di sana kita akan mencari kehidupan yang baru, tanpa harus memikirkan bagaimana nasib kita yang terasingkan di dalam rumah sendiri." jelas Runi dengan semangat dan melempar senyum kepada Siska. 

  Nasib buruk antara Siska dan Runi membuat keduanya memilih jalan untuk pergi meninggalkan keluarga yang selama ini justru tak menghargainya. Kepergian keduanya pun hanya berbekal beberapa pakaian dan beberapa lembar uang untuk hidup di kota. 

  Siska pun dengan patuh menuruti apa yang dikatakan oleh Runi, karena sudah bersahabat sejak duduk di sekolah dasar, membuat Siska percaya bahwa Runi tidak akan meninggalkannya seorang diri. 

  "Kenapa si Ni, nasib kita harus begini, banyak harta tapi kasih sayang dari kedua orang tua sama sekali tidak pernah kita rasakan," keluh Siska memeluk Runi dengan erat. 

  "Karena mungkin kita bukan anak yang diharapkan oleh mereka, Kia. Sekarang Gue juga udah ikhlasin  semuanya dan mencoba untuk bertahan hidup tanpa bantuan mereka." jawab Runi yang berusaha lebih tegar dari Siska. 

  Dalam perjalanan, Siska dan Runi sempat memejamkan kedua matanya karna lelah dan terasa sangat mengantuk, sementara supir taksi yang akan membawa Siksa dan Runi itu pun masih dengan fokus menyetir karena jalanan terasa gelap dan sepi. 

  ***

  Pukul 05:00 pagi. 

  Mobil taksi yang membawa Siska dan Runi akhirnya berhenti di stasiun kali deres. Pak Doni, sang supir taksi itu pun membangunkan Siska dan Runi yang sedang tertidur sangat pulas. 

  "Neng, ayo bangun. Kita sudah sampai."

Pak Doni mencoba menggerak-gerakkan tangan Siska dan Runi. Runi pun terbangun disusul dengan Siska yang juga terlihat sangat lelah. 

  "Terima kasih, Pak," kata Runi mengucapkan terima kasih dan menyodorkan beberapa lembar kertas sebagai bayaran. 

  "Terima kasih kembali, Neng. Hati-hati di kota ini sangat keras, kalian sebagai pendatang harus bisa menjaga diri kalian dengan  baik." jawab pak Doni yang memberikan pesan singkat kepada kedua penumpangnya itu. 

  Dengan anggukkan kepala dan melemparkan senyum kepada pak Doni, Siska dan Runi pun keluar dari mobil dan berjalan menjauhi mobil yang ia tumpangi. 

  Suasana masih terlihat sangat sepi, bahkan mereka tak ada tujuan harus pergi ke mana, tak ada sanak saudara bahkan tak ada satu pun yang bisa membawanya ke suatu tempat yang bisa membuat mereka bertahan hidup. 

  "Kita mau kemna, Ni?" tanya Siska yang sejak tadi memperhatikan stasiun yang cukup luas itu. 

  "Gue sendiri nggak tahu, Kia. Yang jelas, di tempat ini kita akan mencari kehidupan baru kita." jawab Runi dengan tegas. 

  Mereka pun berjalan menuju rumah makan lesehan yang ada di sekitar stasiun, karena perut mereka terasa lapar, mereka tak lagi memikirkan tentang standar kebersihan yang selalu diajarkan oleh kedua orang tua dan lingkungannya. 

  "Beneran kita akan makan di sini, Ni?" tanya Siska memastikan. 

  "Iya, mau di mana lagi? Lestoran bintang lima nggak akan mampu kita singgahi karena bekal kita juga nggak banyak, Kia." jelas Runi memaksa Siska masuk dan duduk diantara kursi-kursi yang sudah tersedia. 

  Terlihat kursi itu memang sangat kotor, warnanya pun sudah mulai pudar, tembok putih yang berubah menjadi kekuning-kuningan itu membuat Siska merasa sedikit geli, namun hal itu segera disadarkan oleh Runi agar Siska tidak membawa kebiasaannya di rumah. 

  Tak lama kemudian, wanita paruh baya datang menemui Siska dan Runi, menyapa dengan sangat lembut dan tulus. 

  "Mau pesan makanan apa, Neng?" tanyanya dengan ramah. 

  "Nasi padang dua bungkus, Bu." jawab Runi melempar senyum. 

  Dengan anggukkan kepala, wanita paruh baya itu pun  pergi meninggalkan  Siska dan Runi, untuk meracik makanan yang mereka pesan. Runi bukanlah orang miskin, bahkan kemewahan yang dimiliki oleh kedua orang tuanya sejajar dengan orang tua Siska, namun karena ia sudah terbiasa makan dilesehan, Runi sudah tidak merasa jijik dan canggung. 

  Tak lama kemudian, makanan itu pun datang, dan dengan ramah wanita itu menyerahkan makanan itu kepada Siska dan Runi. 

  "Silahkan dimakan, Neng," kata wanita itu. 

  "Terima kasih, Bu." jawab Runi melempar senyum. 

  Wanita itu pergi meninggalkan Runi dan Siska. 

 "Ni, makannya pakek tangan?" tanya Siska dengan wajah geli. 

  "Iya Kia, nasi padang itu enaknya pakek tangan, kalau pakek sendok nggak nikmat." jawab Runi yang langsung melahap makanan yang ia pesan. 

  Karena melihat Runi dengan nikmat dan lahap menyantap makanan yang ia pesan, Siska pun akhirnya mengikuti cara Runi, tanpa memikirkan tentang kebersihan yang selalu menjadi standar kualitas dalam hidupnya selama ini. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status