Share

7. Kelakuan

Author: Girl_Rain
last update Last Updated: 2021-10-15 01:40:24

“Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya.

Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya.

Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya.

 Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?”

Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih.

Maafkan aku, kak. Ini semua salahku, batinnya. Agina menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan seraya memejamkan matanya. Bayang-bayang kejadian kelam kembali menghantuinya.

“Tolong lepaskan, aku. Tidak-tidak, akh... Jangan!” Gang sempit itu, di sana saksi bisu kesedihan kedua kakak-beradik yang saling menyayangi itu.

“Kakak,” lirihnya sebelum keduanya matanya tertutup dan hilang kesadaran sepenuhnya.

Bunyi ponsel mengalihkan perhatian. Agina merogoh saku celana dan keningnya mengeryit.

“Siapa?” tanya Nathan.

“Gak tau.” Agina mendusel tombol hijau dan meletakkan benda pipih itu di telinga.

“Selamat malam, nona Agina.”

Sontak Agina menjauhkan ponsel itu dengan pandangan ngeri. “Musibah.”

“Siapa?” Sebelah alisnya terangkat, bingung dengan Agina yang sepertinya meremang.

“Agra,” bisiknya.

“Hah, kok bisa. Dari mana dia mendapatkan nomormu?”

“Ck, pasti lelaki bermata empat itu yang memberikannya. Awas saja nanti.” Mendumel sebentar sebelum merapatkan ponsel itu ke telinganya. Dia menekan tombol speaker agar Nathan ikut mendengarkan percakapan mereka. “Maaf membuat Anda menunggu, tapi ada hal penting apa Anda menelpon saya malam-malam begini?”

“Tidak ada, aku hanya ingin mendengar suaramu.”

Sontak Agina membanting ponsel dan menjauhkan tubuhnya ke ujung sofa. Bulu kuduknya seketika berdiri dan bergidik ngeri mendengar ucapan Agra. Ada apa dengannya? Salah minum obat ‘kah?

Sedangkan Nathan memukul-mukul sofa dengan gemas sebagai pelampiasan. Mulutnya tertutup rapat berusaha agar tawa dalam dirinya tidak meledak seketika. Ayolah... Kalimat yang diucapkan Agra begitu menggelikan baginya.

Berbeda dengan Agra yang malah tersenyum di seberang sana. Berpikir bahwa Agina bersemu akibat ucapannya barusan, makanya gadis itu telat menyahut. Huh, mudah sekali menaklukkannya. Wanita makhluk baperan.

Agina mengambil kembali benda persegi itu. Dia berdehem yang mana malah membuat Agra semakin tersenyum lebar karena dipikirannya gadis itu sedang gugup. Kenapa Anda ingin mendengar suara saya?”

“Aku tidak tau, ada sesuatu dalam diriku berteriak ingin segera bertemu denganmu. Apakah itu yang disebut rindu?”

Astaga. Agina memegang kepalanya yang terasa pening. Rencana ya rencana, tapi tidak perlu gini juga. Bikin pengen bunuh diri aja rasanya, gerutunya dalam hati.

Nathan bahkan terjatuh dari sofa dengan diiringi suara tawa yang menggelegar. Dia memegang perutnya yang terasa sakit. “Aduh, aduh. Capek,” lenguhnya, merasa tidak sanggup lagi.

“Tunggu! Siapa itu? Apa ada orang yang mendengarnya juga?” panik Agra.

“Aku tidak bilang, aku sendirian. Kau tau? Dia tertawa terpingkal-pingkal bahkan sampai jatuh dari sofa karena mendengar ucapan anehmu itu.” Gadis bersurai coklat itu menyeringai, mendengar suara yang menandakan panggilan berakhir. Sedetik kemudian. “Haha...” Agina tertawa.

Nathan kembali menduduki dirinya. Sempat juga meletakkan bantal pada tempatnya. “Agra gak pernah berubah ‘ya? Selalu lugu terhadap perasaan yang dirasakannya, tapi aku tau dia tegas cara menanggapinya.”

“Hais, dia memang selalu aneh dari dulu.” Geleng-geleng kepala.

“Ya, kau benar. Aku jadi ingat saat kau didekati laki-laki secara terang-terangan, Agra jadi suka ngambek gak jelas, buat onar biar diperhatiin olehmu, pura-pura jauhin, tsundere gitu sikapnya. Tapi kau malah cuek sampai akhirnya Agra mengalah dan memilih mengaku apa yang dirasakannya,” terang Nathan.

Agina memandang langit-langit ruangan tamu, menerawang ingatan pada Sekolah Menengah Pertama. “Aku juga tau kalau itu bentuk dari tindak protesnya, tapi aku memilih menunggu Agra mengatakannya.”

“Dasar kau ini.” Nathan tersenyum melihatnya pemandangan di depannya. Di mana Agina tersenyum secerah cahaya yang mengalahkan sinar mentari.

“Dia, Agraku.”

Prang!

“FATHAN!”

~~~

Sepanjang perjalanan, Agina melangkah dengan menghentak-hentakkan kakinya dan jangan lupakan kedua pipinya yang menggembung.

“Fathan sialan! Awas saja kalau kau berani menampakkan dirimu di hadapanku sebelum dua hari, motor kesayanganmu akan kuhancurkan berkeping-keping,” cecarnya.

Rasa kesal yang sempat dideranya semalam akibat hewan milik si kembar tertua memecahkan kaca jendela dengan bata, malah menjadi amarah yang tertahan saat ia membuka mata dan melihat hewan berbulu yang sering disebut “Raja pisang” itu sedang tidur terduduk di atas kasurnya. Spontan dirinya menjeritkan nama sang pelaku kejadian.

“Kalau saja monyet itu termasuk kategori penjahat, sudah aku guliti dia hidup-hidup.” Agina bahkan tidak lagi memperdulikan pandangan aneh orang-orang terhadapnya. Yang dia pikirkan saat ini adalah cara untuk melampiaskan emosi menggebu-gebu dalam dirinya.

“MAU MATI YA!”

Monyet itu melompat ke pelukan Fathan setelah mendengar teriakan memekakkan telinga. Wajah Agina memerah dengan napas memburu, membuatnya jelas kalau sang pemilik sedang berada dalam mode gunung berapi yang siap meletus.

“Ayolah, Agina... Jangan marah begitu. Dia cuma makhluk yang tidak diberi akal seperti kita,” ucap Fathan menggendong monyet itu.

Mulut atas Agina berkedut, mendengar perkataan Fathan. “Jangan marah katamu. Kau tau bukan, apa yang sadari tadi dicoba ambilnya.” Agina menunjukkan kalung dengan liontin kecil berbentuk hati di lehernya. “Ini. Monyet itu mengikutiku karena menginginkan kalung ini dan kau bilang jangan marah, hemm.”

“Tapi tak perlu semarah itu, kau membuatnya ketakutan.” Mengelus bulu itu dengan sayang.

Agina menghela napas mencoba meredakan emosinya. Percuma bicara pada maniak hewan satu ini. “Kalau kau terus seperti ini, bisa-bisa nanti tidak ada yang mau nikah denganmu.”

Fathan mengibas tangannya. “Itu gak mungkin. Secara ‘kan aku ini tampan, pintar, punya banyak bakat plus aku juga kaya raya.” Menggusar rambutnya ke belakang, mempesona.

Agina menunduk, menarik napasnya dalam-dalam. “NIKAH AJA SAMA TARZAN SANA!”

Dan pertengkaran itu berakhir tangis dengan Agina yang harus berlari ke luar hutan karena tidak sempat mengambil motornya dikarenakan monyet itu kembali mengejarnya.

Agina berhenti berjalan dan mengatur napasnya. Lelah rasanya berjalan setengah jam dan baru sampai melihat jalan raya.

Sebuah motor sport berhenti di sampingnya dan pengendaranya turun. “Ini motornya, Nona.”

Agina menghembuskan napas dan menatap anak buahnya. “Kenapa lama sekali!”

Dan ya, pengawal itu yang menjadi tempat semprotnya Agina.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rasa Yang Hilang   25. Isi Hati Agra

    Gadis kecil itu mengulurkan tangan seraya berucap, “Perkenalkan, namaku Claudya Agina. Salam kenal, kak Oli.” Tersenyum polos. Perlahan bayangan wajah itu menghilang seiring mata itu terbuka yang memperlihatkan tatapan berkaca-kaca sampai akhirnya runtuhlah air mata yang sadari tadi ditahannya. Olivia menutup matanya dengan lengan. “Benar-benar....” ....... Setelah menyelesaikan proses pembukaan pintu, barulah Agina bisa masuk dengan wajah datar melihat Agra yang senyum-senyum. “Kenapa, kau, lagi iklan pasta gigi?” Agra menopang dagu. “Aku senang kau mau jauh-jauh datang ke sini.” Hidung Agina mengembang, hal yang biasa terjadi ketika tak habis pikir dengan kelakuan seseorang. “Jadi, menurutmu perjalanan lima belas menit dari rumah Olivia Dreandara ke sini itu jauh?” “Ya, jauh. Sampai-sampai membutuhkan waktu delapan tahun bagi kau untuk menginjakkan kaki di ruanganku.” Itu sindiran, dan Agina yang mengerti hanya memutar bola mata. “Ini tidak adil. Kau bisa sesuka hati keluar-m

  • Rasa Yang Hilang   24. Ketegasan Agina

    Manik sewarna colanya berkeliaran menatap seluruh isi restoran. Semua sudah tertata dari kursi dan meja dan beberapa hiasan dinding lainnya. Kakinya melangkah ke tempat pembuatan makanan, dapur. Melihat berbagai perlengkapan serta bahan-bahan memasak sudah diatur pada tempatnya. Agina berbalik dan memandang orang yang sadari tadi mengikutinya dan sedang menunduk hormat. “Sempurna.” Hanya satu kata, tapi cukup membuat orang tersebut mendongak dan menunjukkan raut wajah bahagia. “Kerja bagus.” Agina melewatinya, membiarkan bawahannya menikmati kesenangannya. Merogoh jas dan mengambil benda persegi panjang di sana, lalu meletakkannya di telinga. “Bagaimana?” Mendapat jawaban, Agina mengakhiri dan langsung mengalihkan panggilannya ke nomor lain. “Siapkan mobil, kita ke kediaman Dreandara sekarang.” Setelahnya memasukkan kembali ponselnya dalam jas. Menghela napas. “Lebih cepat, lebih baik-” Agina menjawil hidungnya dan tersenyum. “Tapi kata-kata itu sudah tidak pantas dikatakan sekar

  • Rasa Yang Hilang   23. Bantuan yang Dibalas

    Agina menguap sambil menyentuh bahu dan membuat gerakan memutar, dilanjutkan dengan sisi lainnya. “Sulit juga tanpa, Sean.” Ponselnya berdering menampilkan nama kontak '256’. Agina meletakkannya di telinga. “Ada apa?” “Oh, kalian menyelesaikan lebih cepat dari perkiraanku. Kerja bagus. Besok pagi aku ke sana untuk melihatnya.” Agina menaruh ponselnya kembali di sudut atas meja. Memutar kursi menghadap kaca yang memantulkan cahaya oranye. “Sudah sore. Lembur di sini atau kerjakan di rumah ya?” Monolognya. Di tengah kebingungannya, ketukan pintu membuat Agina memutar haluan ke tempat semula. Menekan tombol yang terhubung dengan perbatasan luar dan ruangan. Bibirnya menyungging seringaian melihat sang tamu langsung duduk di sofa yang belum disembunyikan. “Oh, sekretaris Ezwar. Kebetulan sekali.” Yang diseru menaikkan satu keningnya. “Kau juga membutuhkanku?” tanyanya pada gadis yang ikut duduk di depannya. “Iya, tapi katakan dulu keperluanmu mendatangiku.” “Begini....” Ezwa

  • Rasa Yang Hilang   22. Pertanyaan dan Sanggahan

    Agina menghela napas. Kejadian beberapa jam lalu di gedung kejaksaan sangat membebaninya. Para tokoh politik terus menyudut mereka dengan perkataan negara Flowering bukanlah tempat pertarungan pribadi mereka. Memang tidak ada korban jiwa atas tragedi kemarin, tapi tetap saja kejadian itu bisa terulang dan tidak ada yang tahu masa depan di detik selanjutnya. Pemimpin Seven Devil’s sebagai Agen Keamanan Negara dipertanyakan perbuatannya. Steven dengan tangkas menjawab bahwa ini di luar praduga. Untuk penyerangan mendadak ini adalah keputusan pihak lawan dan tugas mereka hanya mencegah. Perdebatan tadi cukup memakan waktu dua jam. Saling menyudutkan dan melempar pertanyaan balik sebagai pemojokan, semua orang mengeluarkan keluhannya di sana. Hingga Jaksa memutuskan mengakhiri pengadilan dengan kedua tokoh keamanan negara yaitu kepolisian dan SSA untuk menjalankan tugas dengan semestinya. SSA juga disarankan untuk memastikan pertarungan Seven Devil’s tidak dilakukan di tempat umum yang

  • Rasa Yang Hilang   21. Kejutan Istimewa

    “Kau,” desisnya, memundurkan wajah menjauh lantaran syok. Mata Claudya menyipit. “Kakak teman kak Oli yang sering mampir ke rumah ‘kan?” tebaknya. “Iya, kau siapa Olivia?” Mendorong kening itu menjauh karena itu tidak baik untuk jantungnya. Claudya memberungut, lantas menarik kursi dan duduk. Satu tangannya menopang dagu menatap laki-laki itu. “Masa kakak gak tau? Padahal aku sering loh lihat kakak merhatiin aku pas lagi ngerjain pr sama kak Oli.” Laki-laki itu terbatuk ludahnya sendiri. “Eum ya, itu aku heran aja setiap pergi ke rumah Olivia kau ada, padahal seingatku Olivia anak tunggal. Tapi setelah tau kau adik angkatnya, aku paham.” Berdehem, kemudian barulah membalas tatapan polos gadis kecil di sampingnya. Claudya mengangguk-angguk. “Oh ya, nama kakak siapa?” “Heh, kau tidak tau namaku? Ku pikir karena aku sering memperhatikanmu, kau jadi penasaran dan bertanya pada Olivia!” pekiknya. “Nggak juga.” Menghendikkan bahu seenteng jawabannya. Berdecak kesal, meski begitu teta

  • Rasa Yang Hilang   20. Pertemuan Pertama (Spesial)

    “Aku pernah nonton film. Gurunya bilang pada protagonisnya ‘Tempat di mana seseorang memikirkanmu adalah tempat yang bisa kau sebut rumah’. Apa aku memiliki tempat seperti itu?” Gadis itu memiringkan kepalanya sambil tersenyum. Senyuman yang menurut anak laki-laki menyimpan sejuta luka. “Mau mencarinya?” tanya anak laki-laki tersenyum. Kedua tangan saling menggosok cepat kemudian menempelkannya pada pipi gadis itu, mencoba menyalurkan rasa hangat meski dirinya sendiri kedinginan karena kaosnya basah. Gadis itu memberikan tatapan bingung. “Mamaku bilang perempuan adalah rumah bagi laki-laki yang mencintainya, begitu pun sebaliknya. Memang benar tempat di mana seseorang memikirkan kita bisa disebut rumah, tapi kita tidak harus menunggu seseorang memikirkan kita ‘kan? Kita bisa mencarinya atau memberikan rumah ternyaman bagi orang lain dan orang itu akan memikirkan kita saat mengingat rumah, jadilah kita memiliki tempat itu juga.” Gadis itu membeku dengan mulut terbuka, namun s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status