Share

7. Kelakuan

“Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya.

Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya.

Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya.

 Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?”

Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih.

Maafkan aku, kak. Ini semua salahku, batinnya. Agina menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan seraya memejamkan matanya. Bayang-bayang kejadian kelam kembali menghantuinya.

“Tolong lepaskan, aku. Tidak-tidak, akh... Jangan!” Gang sempit itu, di sana saksi bisu kesedihan kedua kakak-beradik yang saling menyayangi itu.

“Kakak,” lirihnya sebelum keduanya matanya tertutup dan hilang kesadaran sepenuhnya.

Bunyi ponsel mengalihkan perhatian. Agina merogoh saku celana dan keningnya mengeryit.

“Siapa?” tanya Nathan.

“Gak tau.” Agina mendusel tombol hijau dan meletakkan benda pipih itu di telinga.

“Selamat malam, nona Agina.”

Sontak Agina menjauhkan ponsel itu dengan pandangan ngeri. “Musibah.”

“Siapa?” Sebelah alisnya terangkat, bingung dengan Agina yang sepertinya meremang.

“Agra,” bisiknya.

“Hah, kok bisa. Dari mana dia mendapatkan nomormu?”

“Ck, pasti lelaki bermata empat itu yang memberikannya. Awas saja nanti.” Mendumel sebentar sebelum merapatkan ponsel itu ke telinganya. Dia menekan tombol speaker agar Nathan ikut mendengarkan percakapan mereka. “Maaf membuat Anda menunggu, tapi ada hal penting apa Anda menelpon saya malam-malam begini?”

“Tidak ada, aku hanya ingin mendengar suaramu.”

Sontak Agina membanting ponsel dan menjauhkan tubuhnya ke ujung sofa. Bulu kuduknya seketika berdiri dan bergidik ngeri mendengar ucapan Agra. Ada apa dengannya? Salah minum obat ‘kah?

Sedangkan Nathan memukul-mukul sofa dengan gemas sebagai pelampiasan. Mulutnya tertutup rapat berusaha agar tawa dalam dirinya tidak meledak seketika. Ayolah... Kalimat yang diucapkan Agra begitu menggelikan baginya.

Berbeda dengan Agra yang malah tersenyum di seberang sana. Berpikir bahwa Agina bersemu akibat ucapannya barusan, makanya gadis itu telat menyahut. Huh, mudah sekali menaklukkannya. Wanita makhluk baperan.

Agina mengambil kembali benda persegi itu. Dia berdehem yang mana malah membuat Agra semakin tersenyum lebar karena dipikirannya gadis itu sedang gugup. Kenapa Anda ingin mendengar suara saya?”

“Aku tidak tau, ada sesuatu dalam diriku berteriak ingin segera bertemu denganmu. Apakah itu yang disebut rindu?”

Astaga. Agina memegang kepalanya yang terasa pening. Rencana ya rencana, tapi tidak perlu gini juga. Bikin pengen bunuh diri aja rasanya, gerutunya dalam hati.

Nathan bahkan terjatuh dari sofa dengan diiringi suara tawa yang menggelegar. Dia memegang perutnya yang terasa sakit. “Aduh, aduh. Capek,” lenguhnya, merasa tidak sanggup lagi.

“Tunggu! Siapa itu? Apa ada orang yang mendengarnya juga?” panik Agra.

“Aku tidak bilang, aku sendirian. Kau tau? Dia tertawa terpingkal-pingkal bahkan sampai jatuh dari sofa karena mendengar ucapan anehmu itu.” Gadis bersurai coklat itu menyeringai, mendengar suara yang menandakan panggilan berakhir. Sedetik kemudian. “Haha...” Agina tertawa.

Nathan kembali menduduki dirinya. Sempat juga meletakkan bantal pada tempatnya. “Agra gak pernah berubah ‘ya? Selalu lugu terhadap perasaan yang dirasakannya, tapi aku tau dia tegas cara menanggapinya.”

“Hais, dia memang selalu aneh dari dulu.” Geleng-geleng kepala.

“Ya, kau benar. Aku jadi ingat saat kau didekati laki-laki secara terang-terangan, Agra jadi suka ngambek gak jelas, buat onar biar diperhatiin olehmu, pura-pura jauhin, tsundere gitu sikapnya. Tapi kau malah cuek sampai akhirnya Agra mengalah dan memilih mengaku apa yang dirasakannya,” terang Nathan.

Agina memandang langit-langit ruangan tamu, menerawang ingatan pada Sekolah Menengah Pertama. “Aku juga tau kalau itu bentuk dari tindak protesnya, tapi aku memilih menunggu Agra mengatakannya.”

“Dasar kau ini.” Nathan tersenyum melihatnya pemandangan di depannya. Di mana Agina tersenyum secerah cahaya yang mengalahkan sinar mentari.

“Dia, Agraku.”

Prang!

“FATHAN!”

~~~

Sepanjang perjalanan, Agina melangkah dengan menghentak-hentakkan kakinya dan jangan lupakan kedua pipinya yang menggembung.

“Fathan sialan! Awas saja kalau kau berani menampakkan dirimu di hadapanku sebelum dua hari, motor kesayanganmu akan kuhancurkan berkeping-keping,” cecarnya.

Rasa kesal yang sempat dideranya semalam akibat hewan milik si kembar tertua memecahkan kaca jendela dengan bata, malah menjadi amarah yang tertahan saat ia membuka mata dan melihat hewan berbulu yang sering disebut “Raja pisang” itu sedang tidur terduduk di atas kasurnya. Spontan dirinya menjeritkan nama sang pelaku kejadian.

“Kalau saja monyet itu termasuk kategori penjahat, sudah aku guliti dia hidup-hidup.” Agina bahkan tidak lagi memperdulikan pandangan aneh orang-orang terhadapnya. Yang dia pikirkan saat ini adalah cara untuk melampiaskan emosi menggebu-gebu dalam dirinya.

“MAU MATI YA!”

Monyet itu melompat ke pelukan Fathan setelah mendengar teriakan memekakkan telinga. Wajah Agina memerah dengan napas memburu, membuatnya jelas kalau sang pemilik sedang berada dalam mode gunung berapi yang siap meletus.

“Ayolah, Agina... Jangan marah begitu. Dia cuma makhluk yang tidak diberi akal seperti kita,” ucap Fathan menggendong monyet itu.

Mulut atas Agina berkedut, mendengar perkataan Fathan. “Jangan marah katamu. Kau tau bukan, apa yang sadari tadi dicoba ambilnya.” Agina menunjukkan kalung dengan liontin kecil berbentuk hati di lehernya. “Ini. Monyet itu mengikutiku karena menginginkan kalung ini dan kau bilang jangan marah, hemm.”

“Tapi tak perlu semarah itu, kau membuatnya ketakutan.” Mengelus bulu itu dengan sayang.

Agina menghela napas mencoba meredakan emosinya. Percuma bicara pada maniak hewan satu ini. “Kalau kau terus seperti ini, bisa-bisa nanti tidak ada yang mau nikah denganmu.”

Fathan mengibas tangannya. “Itu gak mungkin. Secara ‘kan aku ini tampan, pintar, punya banyak bakat plus aku juga kaya raya.” Menggusar rambutnya ke belakang, mempesona.

Agina menunduk, menarik napasnya dalam-dalam. “NIKAH AJA SAMA TARZAN SANA!”

Dan pertengkaran itu berakhir tangis dengan Agina yang harus berlari ke luar hutan karena tidak sempat mengambil motornya dikarenakan monyet itu kembali mengejarnya.

Agina berhenti berjalan dan mengatur napasnya. Lelah rasanya berjalan setengah jam dan baru sampai melihat jalan raya.

Sebuah motor sport berhenti di sampingnya dan pengendaranya turun. “Ini motornya, Nona.”

Agina menghembuskan napas dan menatap anak buahnya. “Kenapa lama sekali!”

Dan ya, pengawal itu yang menjadi tempat semprotnya Agina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status