“Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya.
Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya.
Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya.
Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?”
Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih.
Maafkan aku, kak. Ini semua salahku, batinnya. Agina menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan seraya memejamkan matanya. Bayang-bayang kejadian kelam kembali menghantuinya.
“Tolong lepaskan, aku. Tidak-tidak, akh... Jangan!” Gang sempit itu, di sana saksi bisu kesedihan kedua kakak-beradik yang saling menyayangi itu.
“Kakak,” lirihnya sebelum keduanya matanya tertutup dan hilang kesadaran sepenuhnya.
Bunyi ponsel mengalihkan perhatian. Agina merogoh saku celana dan keningnya mengeryit.
“Siapa?” tanya Nathan.
“Gak tau.” Agina mendusel tombol hijau dan meletakkan benda pipih itu di telinga.
“Selamat malam, nona Agina.”
Sontak Agina menjauhkan ponsel itu dengan pandangan ngeri. “Musibah.”
“Siapa?” Sebelah alisnya terangkat, bingung dengan Agina yang sepertinya meremang.
“Agra,” bisiknya.
“Hah, kok bisa. Dari mana dia mendapatkan nomormu?”
“Ck, pasti lelaki bermata empat itu yang memberikannya. Awas saja nanti.” Mendumel sebentar sebelum merapatkan ponsel itu ke telinganya. Dia menekan tombol speaker agar Nathan ikut mendengarkan percakapan mereka. “Maaf membuat Anda menunggu, tapi ada hal penting apa Anda menelpon saya malam-malam begini?”
“Tidak ada, aku hanya ingin mendengar suaramu.”
Sontak Agina membanting ponsel dan menjauhkan tubuhnya ke ujung sofa. Bulu kuduknya seketika berdiri dan bergidik ngeri mendengar ucapan Agra. Ada apa dengannya? Salah minum obat ‘kah?
Sedangkan Nathan memukul-mukul sofa dengan gemas sebagai pelampiasan. Mulutnya tertutup rapat berusaha agar tawa dalam dirinya tidak meledak seketika. Ayolah... Kalimat yang diucapkan Agra begitu menggelikan baginya.
Berbeda dengan Agra yang malah tersenyum di seberang sana. Berpikir bahwa Agina bersemu akibat ucapannya barusan, makanya gadis itu telat menyahut. Huh, mudah sekali menaklukkannya. Wanita makhluk baperan.
Agina mengambil kembali benda persegi itu. Dia berdehem yang mana malah membuat Agra semakin tersenyum lebar karena dipikirannya gadis itu sedang gugup. Kenapa Anda ingin mendengar suara saya?”
“Aku tidak tau, ada sesuatu dalam diriku berteriak ingin segera bertemu denganmu. Apakah itu yang disebut rindu?”
Astaga. Agina memegang kepalanya yang terasa pening. Rencana ya rencana, tapi tidak perlu gini juga. Bikin pengen bunuh diri aja rasanya, gerutunya dalam hati.
Nathan bahkan terjatuh dari sofa dengan diiringi suara tawa yang menggelegar. Dia memegang perutnya yang terasa sakit. “Aduh, aduh. Capek,” lenguhnya, merasa tidak sanggup lagi.
“Tunggu! Siapa itu? Apa ada orang yang mendengarnya juga?” panik Agra.
“Aku tidak bilang, aku sendirian. Kau tau? Dia tertawa terpingkal-pingkal bahkan sampai jatuh dari sofa karena mendengar ucapan anehmu itu.” Gadis bersurai coklat itu menyeringai, mendengar suara yang menandakan panggilan berakhir. Sedetik kemudian. “Haha...” Agina tertawa.
Nathan kembali menduduki dirinya. Sempat juga meletakkan bantal pada tempatnya. “Agra gak pernah berubah ‘ya? Selalu lugu terhadap perasaan yang dirasakannya, tapi aku tau dia tegas cara menanggapinya.”
“Hais, dia memang selalu aneh dari dulu.” Geleng-geleng kepala.
“Ya, kau benar. Aku jadi ingat saat kau didekati laki-laki secara terang-terangan, Agra jadi suka ngambek gak jelas, buat onar biar diperhatiin olehmu, pura-pura jauhin, tsundere gitu sikapnya. Tapi kau malah cuek sampai akhirnya Agra mengalah dan memilih mengaku apa yang dirasakannya,” terang Nathan.
Agina memandang langit-langit ruangan tamu, menerawang ingatan pada Sekolah Menengah Pertama. “Aku juga tau kalau itu bentuk dari tindak protesnya, tapi aku memilih menunggu Agra mengatakannya.”
“Dasar kau ini.” Nathan tersenyum melihatnya pemandangan di depannya. Di mana Agina tersenyum secerah cahaya yang mengalahkan sinar mentari.
“Dia, Agraku.”
Prang!
“FATHAN!”
~~~
Sepanjang perjalanan, Agina melangkah dengan menghentak-hentakkan kakinya dan jangan lupakan kedua pipinya yang menggembung.
“Fathan sialan! Awas saja kalau kau berani menampakkan dirimu di hadapanku sebelum dua hari, motor kesayanganmu akan kuhancurkan berkeping-keping,” cecarnya.
Rasa kesal yang sempat dideranya semalam akibat hewan milik si kembar tertua memecahkan kaca jendela dengan bata, malah menjadi amarah yang tertahan saat ia membuka mata dan melihat hewan berbulu yang sering disebut “Raja pisang” itu sedang tidur terduduk di atas kasurnya. Spontan dirinya menjeritkan nama sang pelaku kejadian.
“Kalau saja monyet itu termasuk kategori penjahat, sudah aku guliti dia hidup-hidup.” Agina bahkan tidak lagi memperdulikan pandangan aneh orang-orang terhadapnya. Yang dia pikirkan saat ini adalah cara untuk melampiaskan emosi menggebu-gebu dalam dirinya.
“MAU MATI YA!”
Monyet itu melompat ke pelukan Fathan setelah mendengar teriakan memekakkan telinga. Wajah Agina memerah dengan napas memburu, membuatnya jelas kalau sang pemilik sedang berada dalam mode gunung berapi yang siap meletus.
“Ayolah, Agina... Jangan marah begitu. Dia cuma makhluk yang tidak diberi akal seperti kita,” ucap Fathan menggendong monyet itu.
Mulut atas Agina berkedut, mendengar perkataan Fathan. “Jangan marah katamu. Kau tau bukan, apa yang sadari tadi dicoba ambilnya.” Agina menunjukkan kalung dengan liontin kecil berbentuk hati di lehernya. “Ini. Monyet itu mengikutiku karena menginginkan kalung ini dan kau bilang jangan marah, hemm.”
“Tapi tak perlu semarah itu, kau membuatnya ketakutan.” Mengelus bulu itu dengan sayang.
Agina menghela napas mencoba meredakan emosinya. Percuma bicara pada maniak hewan satu ini. “Kalau kau terus seperti ini, bisa-bisa nanti tidak ada yang mau nikah denganmu.”
Fathan mengibas tangannya. “Itu gak mungkin. Secara ‘kan aku ini tampan, pintar, punya banyak bakat plus aku juga kaya raya.” Menggusar rambutnya ke belakang, mempesona.
Agina menunduk, menarik napasnya dalam-dalam. “NIKAH AJA SAMA TARZAN SANA!”
Dan pertengkaran itu berakhir tangis dengan Agina yang harus berlari ke luar hutan karena tidak sempat mengambil motornya dikarenakan monyet itu kembali mengejarnya.
Agina berhenti berjalan dan mengatur napasnya. Lelah rasanya berjalan setengah jam dan baru sampai melihat jalan raya.
Sebuah motor sport berhenti di sampingnya dan pengendaranya turun. “Ini motornya, Nona.”
Agina menghembuskan napas dan menatap anak buahnya. “Kenapa lama sekali!”
Dan ya, pengawal itu yang menjadi tempat semprotnya Agina.
“Begitu ‘ya. Baiklah, aku keluar. Di mana kau sekarang?” Agina mengangguk setelah mendapat jawaban dan mematikan ponsel. Meletakkan ponselnya di meja dan bangkit dari kursi kebesarannya. Ia menyampirkan blazer berwarna mocca di kedua pundaknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan. Namun belum sempat menekan sandi, pintu itu lebih dulu terbuka. “Sean,” ucapnya. “Ah, Nona. Saya ingin memberitahukan kalau orang itu mengorupsi lagi, namun kali ini dengan jumlah lebih besar yaitu sekian. Apa yang harus saya lakukan?” Menyampaikan dengan intonasi cepat. Lelaki bersurai pirang itu menghembuskan napasnya agar kembali tenang. Agina mendekap dadanya dengan lengan kiri, sedangkan siku lengan kanan bertopang serta jari telunjuk yang berada di dagu. Khas gaya berpikirnya. “Kalau begitu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.” “Pasti akan saya lakukan, Nona,” tegas Sean. Agina balas tersenyum.
“Seberapa banyak yang kau dapatkan?” tanya Agra. Ia menegapkan tubuhnya pada sofa saat sekretarisnya menyerahkan berkas padanya. “Informasinya tetap sama seperti sebelumnya,” jawab Ezwar. “Sama? Berarti sebelumnya kau sudah pernah menyelidiki tentang Agina ya.” Agra membacanya. Hembusan napas panjang menandakan ketidakpuasan dari apa yang dibacanya. “Sesedikit ini. Bahkan foto masa kecil serta nama panti asuhannya pun tidak ada.” Nama: Agina Pratama Umur: 23 tahun Pekerjaan: Ceo Makanan kesukaannya pun tidak ada, batinnya. “Pertama kali bertemu Agina, aura kepemimpinan begitu kentara menguar dari dirinya. Agina bahkan mampu mengerjakan tugas dengan sempurna. Jadi tidak ada alasan bagi saya membantah saat Ayah mengatakan dia sebagai Ceo Pratama Group,” terang Ezwar. Sedikit menunjukkan reaksi mendengar orang itu juga dibawa-bawa sekretarisnya. “Paman Ilham juga termasuk rupanya. Entah kenapa aku merasa kita berdua dikhia
Ezwar menyalip diantara kendaraan lainnya dengan hati-hati serta menjaga jarak aman dari Agina agar dia tidak curiga. Sial. Apa Agina seorang pembalap profesional juga? Bagaimana bisa dia menyalip kendaraan semulus itu padahal membawa motor dengan cepat. Merepotkan, gerutu Ezwar dalam hati. Begitulah, Ezwar. Selain mengikuti Agina, dia juga tidak berhenti ngedumel dalam hati. Bertanya-tanya anak siapa sampai bisa sehebat ini. Tempat yang didatangi Agina langsung menghasilkan kenyitan di dahinya. Ezwar memarkirkan motornya tidak jauh dari sana dan berjalan mengendap-endap. Melihat rumah besar yang dimasuki Agina. “Anggara Material Art” nama itu yang tertulis di papan atas. “Anggara? Marga itu terdengar gak asing.” Mengetuk-ngetuk kepalanya dengan telunjuk, mencoba mengingat-ingat kata itu kembali namun nihil. “Bagus, Agina tidak menutup pintunya,” ucapnya, melihat Agina yang membuka pintu lebar-lebar tapi lupa menutupnya. Dengan berjinjit-jinji
Suara ketukan pintu menghentikan kegiatan Agina yang sedang mengecek dokumen. Ia menekan tombol remote untuk membuka pintu. Memperlihatkan seorang pria gagap yang berjalan ke arahnya dengan sebuah kardus besar di tangannya. “Apa itu?” tanya Agina. Ia menyingkirkan beberapa berkas ke pinggiran meja, membiarkan kardus besar itu diletakkan di sana. “Kiriman dari orang yang tak diketahui, Nona,” ucapnya. Agina menelisik wajah pria itu yang disangka bawahannya. “Orang baru?” Pria itu membungkuk sedikit. “Ya, Nona. Saya baru diterima dua hari yang lalu.” Tubuhnya ia tegakkan kembali. Sontak matanya melotot melihat pistol yang ditodongkan padanya. Agina langsung menembak tepat mengenai perut. Pria itu terduduk sesaat sebelum akhirnya badannya jatuh tengkurap. Bibirnya tersenyum miring. “Maaf ya, tapi anggota Seven Devil’s punya sesuatu simbol yang tidak dimiliki anggota organisasi lain.” Memasukkan kembali pistol ke dalam saku celana lainnya.
“Kenapa membawaku ke tempat seperti ini?” tanya gadis yang sedang menumpu kaki dengan jus ungu di tangannya. “Tempat ini berbeda dengan tempat biasanya kita kunjungi yang pasti selalu mewah, di sini suasananya hangat dan penuh kegembiraan. Aku ingin merasakan itu denganmu, Tamaki,” kata Erwin dengan senyum. Gadis itu memalingkan mukanya, tanpa tahu kalau perbuatan itu malah semakin memperlihatkan kemerahan di pipinya. “T-tapi ini ‘kan tempatnya kencan pasangan remaja,” tuturnya. “Kita juga belum tua. Lagi pula dengan pakaian seperti ini, tidak akan ada yang tau kalau sebenarnya kita bukan remaja lagi.” Benar. Dengan Erwin yang memakai kaos oblong hitam ditutupi oleh Jaket kulit hijau dipadukan dengan celana jins biru serta sepatu sneakers navy-putih dan Tamaki memakai crop hoodie tosca dengan rok krim selutut juga sepatu sneakers Putih membuat mereka terlihat seperti remaja. “Pantas saja kau menyuruhku memakai pakaian seperti ini tadi,” ucap T
Air tampak oranye dikarenakan pantulan sinar matahari tepat mengarah pada tengah-tengah air, menciptakan suasana damai bagi siapa pun yang melihatnya. Agina memandang sendu danau di hadapannya. “Kita pasti ke danau ini saat sedih tidak berubah ya.” Agina tersenyum menanggapi suara dengan langkah kaki yang semakin mendekat yang kini berdiri di sampingnya. “Tempat ini penuh kenangan.” “Maaf ya,” ujar Alfin. Menoleh pada Agina yang saat ini matanya menjurus ke air. Agina menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf pada kalian, terutama pada Erwin. Demi keselamatan satu orang, aku sampai mengorbankan nyawa banyak orang,” ucapnya. Alfin bergumam hingga tersenyum simpul. “Soal pikiranmu itu, aku gak tau harus mengatakan apa. Karena hanya kau sendiri yang bisa menghilangkannya. Tapi ingat ‘kan ‘Satu diantara kita yang bermasalah, maka kita akan menanggungnya bersama-sama’. Dari dulu kita telah menghadapi banyak hal bersama, jadi jangan merasa b
Tamaki sontak melepas lingkaran tangannya pada punggung Erwin begitu merasakan ponselnya bergetar dalam saku. Langsung saja perempuan tersebut sedikit menjauh dari kekasihnya melihat nama yang tertera di layar ponsel dan mengangkatnya. Erwin tersenyum miris. “Inilah saatnya,” gumamnya sangat lirih menyiratkan kesedihan mendalam. Wajah muram durja sudah terlihat dari gadis itu mendengar penjelasan dari sang penelepon, dan mata coklat terang itu memandang tajam penuh amarah padanya. “Jadi, ini tujuanmu mengajakku ke sini?” sarkas Tamaki alias Mikaela Anderson, pemimpin era sekarang dari organisasi gelap bernama R.A (Ronald Anderson) Ruthless Meski tatapannya sarat akan kemarahan, namun jika dilihat lebih teliti ada kekecewaan di sana. Bulu mata itu turun hampir menutupi bola matanya. “Tidak, apapun pradugamu sekarang sama sekali tidak benar. Aku memang mengajakmu ke sini untuk menghabiskan waktu bersama mu,” jelas Erwin. Seketika Mikaela bertepuk tangan
“Berhenti!” Dua suara bernada sama menginterupsi kegiatan mereka. Anggota Seven Devil’s lantas menghentikan gerakannya, begitu pun dengan anggota R.A Ruthles setelah mendengar perintah dari gadis bersurai hitam yang berjalan tergesa-gesa ke arah mereka. “Erwin! Mikaela!” seru Agina tersenyum miring dengan tangan melipat di depan dada. “Tidak sopan memanggil lawan tanpa embel-embel apapun, Nona Heart,” sarkas Mikaela berdiri di depan Agina, membalas gadis itu berkacak pinggang. Agina menghendikkan bahu dan menatap Erwin yang berdiri di sebelah Alfin. Laki-laki memalingkan muka, menghindari segala pertanyaan melalui mata sahabat perempuannya. “Jadi, Nona Mikaela.... Kau ingin melanjutkan diskusinya Nona Sheryl dan memutuskan tawaran kami?” tanya Agina melirik Sheryl di belakang Mikaela. Mikaela menoleh pada asisten pribadinya seraya menaikkan sebelah alisnya. Mulutnya bergerak seakan bertanya pada perempuan tersebut. Sheryl melangkah ke samping atasannya. Dengan datar ia berkata,