Share

Chapter 8

“Kyr, nanti temenin ya ke gedung santriwan,” cetus Ataya saat sedang fokus menyelesaikan tugas prakarya. 

“Mau ngapain ke gedung santriwan?” tanya Kyra terkejut. 

“Biasa, uang saku Ataya abis. Kemarin Umma titipin ke abang. Ya, jadi mau ngambil uangnya ke abang.” 

“Owalah, jadi kamu gak megang uang saku sekarang?” 

“Sekarang masih, tapi tinggal dikit. Ya mungkin besok atau nanti sore. Ataya juga lupa uang yang sisa ada berapa.”

“Oke, oke. Nanti Kyra temenin. Bilang aja kalo mau ambil ke gedung santriwan.”

“Oke, thanks. Tapi eh tapi, Ataya gak tau kamar Abang sebelah mana. Haish, males sebenernya harus ngambil uang ke sana. Kudu nyari nyari kamar atau paling gak tanya sama ustadz.” Keluh Ataya.

“Ya nanti ku temenin. Sanss, kita keliling gedung santriwan nanti.”

“Jiakh, cuci mata ya kamu. Wuuuhh, iyooo makasih sebelumnya.”

“Gak, astaghfirullah. Yooo, masama.” 

Selesai sudah obrolan keduanya saat jam pelajaran prakarya. Kyra dan Ataya memang tak bisa disatukan. Keduanya sama sama suka berbicara. 

“Kyr, nanti kamu yang prensentasiin hasil yaa,” ujar salah seorang teman disisi kanan Kyra. Sebelumnya, ustadzah sudah memberi arahan untuk segera menyelesaikan tugas prakarya dan mempresentasikannya hari itu di depan kelas. 

“Ho oh, kamu aja Kyr. Kamu pinter ngomong depan umum, sama ustadzah juga kan deket, jadi gak gugup gugup benget.” timpal teman lain yang sekelompok dengan Kyra dan Ataya. 

“Setuju!! Kyra aja yang presentasi. Aku gak bisa presentasi serius, berdiri maju depan temen temen yang lain aja gemeterr,” sambung teman yang duduk di pojok kelas dan tentunya masih satu kelompok dengan Kyra.

“Iyaa, iya. Tapi nanti kalian juga bantu ngomong sedikit sedikit, biar kelompok kita juga ada nilainya, gak mendominasi di satu orang aja.” jawab Kyra menerangkan. 

“Uwookeh,”

“Oke, oke.”

“Sip,” respon teman teman yang lain mendengar penjelasan Kyra. Kini, kelompok mereka berusaha menyelesaikan tugas prakarya secepatanya, agar tetap mendapat giliran untuk presentasi. 

*******************     

“Baik, sekian yang bisa Kyra dan kelompok presentasikan. Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf jika selama penyampaian ada kesalahan, waassallamu’allaikum warrahmatullahi wabarakatuh.” Ucap Kyra menutup sesi presentasi kelompoknya. Ya, kelompok mereka menyelesaikan tugas prakarya tepat waktu dan bisa mempresentasikannya di hari yang sama. 

“Wa’allaikumussallam warrahmatullahi wabarakatuh,” jawab ustadzah dan teman satu kelas yang menyimak. 

“Maa Sya Allah, keren. Sedikit tambahan dari ustadzah, besok besok kalo presentasi, teman yang lainnya juga ikut bicara ya. Ustadzah perhatikan, dari awal sampai akhir Kyra yang jau lebih banyak bicara. Nah, nanti kedepannya di perbaiki lagi, bisa bagi tugas aja. Misal, yang presentasi bagian ini, Ataya. Nanti bagian yang ini Kyra, dan seterusnya. Baik, silahkan boleh duduk.” Jelas ustadzah dengan ramah memberi komentar dan saran untuk kelompok Kyra. 

“Siap, ibu!” jawab kelompok Kyra serentak. Mereka kembali ke tempat duduknya masing masing. 

“Fyuh, kan tadi udah dibilang jangan Kyra aja yang ngomong.” Ujar Kyra sedikit kesal dengan nada pelan. Sekesal apapun gadis itu, ia tak pernah meluapkan kekesalannya. Itulah sebabnya, Kyra sering kali dimanfaatkan teman sekelas, karena sikapnya yang baik, selalu menuruti keinginan orang lain, dan tak pernah marah.

“Maaf ya Kyr, tadi Ataya mau coba bantu, tapi takut. Jadinya Cuma bantu presentasi dikit doang tadi.”

“Iya, gak papa. Makasih udah bantu, maaf ya kalo presentasi Kyra kurang maksimal.” Balas Kyra. Kyra mencoba ikhlas memaafkan kesalahan teman sekelompoknya tadi. Tapi sayangnya, yang berani berbicara untuk meminta maaf hanya Ataya, selebihnya tak peduli dan justru malah pergi menghilang.

“Heh, udah bagus tadi itu. Eh iya, Ataya suka gaya public speaking kamu Kyr. Kyra jago ih, gak gugup gitu. Biasa ngomong di depan umum ya?” 

“Maa Sya Allah, jangan lupa ih. Tar jadi ain,” 

“Eh iya, astaghfirullah. Maa Sya Allah, Kyra.” 

“Hehe, makasih. Gak juga sih, Kyra emang suka aja gitu ngobrol ngobrol sama orang, apalagi temen sendiri, terus mereka pada dengerin Kyra ngomong di depan, berasa banget di hargai gitu.” 

“Pantess, cakep cakepp,”

“Eh iya, kayaknya ambil uang saku nya nanti sore Kyr. Ataya baru inget, uang Ataya gak sisa banyak. Kalo gak ngambil sore, besok gak bisa jajan.”

“Oh, oke oke. Nanti Kyra temenin.” 

“Makasih, entar Ataya traktir. Cielahh,”

“Eaaaa, gak usah juga gak papa.”

“Yakin? Gak kepengen basreng pake bumbu jagung manis plus balado? Ekhem, ekhemmm,”

“Aishhh, kalo itu gak bisa nolak. Iya, iya, liat aja entar. Makasih sebelumnya lhoo.” 

“Yoii, sama sama.” 

“Baik, alhamdulillah selesai sudah pelajaran prakarya hari ini. Untuk kelompok yang belum kebagian presentasi hari ini, dilanjut pekan depan yaa.” Ucap ustadzah merapikan barang hasil prakarya para santriwati hari itu.

“Oke, ustadzah.” Jawab santriwati serentak.

Berakhir sudah kegiatan belajar mengajar hari itu. Ustadzah menutup kelasnya, dan pergi meninggalkan ruangan.

********************

Seusai shalat ashar dan membaca dzikir petang sekaligus menyelesaikan ritual ritual sore pada umunya, Ataya meminta Kyra untuk menemaninya mengunjungi abang nya di gedung santriwan. 

“Ayo, Kyr. Ataya gak paham ruangan ruangannya.”

“Yoo, yoo. Bismillah, semoga aja ketemu ruangan abang mu.”

“Ataya deg degan, asli. Malu, keliling keliling gedung santriwan.” 

“Samaa, makannya bismillah semoga cepet ketemu. Biar gak malu maluin kita disana.”

“Oke, bismillah.” Ataya ditemani Kyra berjalan menuju gedung santriwan sore itu. Biasanya, setiap sore tak ada jadwal kegiatan padat bagi santriwan maupun santriwati. Di saat saat inilah, mereka sedikit bebas untuk pergi ke kantin dan bermain.

“Ini kemana? Astaghfirullah, napa rame bener deh disini.” Ucap Ataya sedikit mendekatkan tubuh pada Kyra. Ataya tampak gugup dan takut. 

“Shttt, shtttt. Udah diem. Malu ih, diliatin.” Balas Kyra melepas genggaman erat Ataya. Ataya bukan hanya menggenggam kuat tangan Kyra, ia juga besembunyi di balik tubuh gadis itu, membiarkan Kyra berjalan lebih dulu. 

“Huhh, itu ruang guru tuh! Apa mau kesitu aja kita, Kyr?”

“Ih, entar. Eh, tapi gak papa ding. Kamu yang ngetuk pintunya tapi ya,”

“Aaaa gak mau, udah bareng bareng aja, yuk.” 

“Haissh, ayolah ayo,”

/Tok,tok

Kyra dan Ataya memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan itu. 

“Assallamuallaikum,” ujar Kyra dan Ataya mengucap salam bersamaan. 

“Iya, wa’allaikumussallam,” jawab seorang ustdaz dari dalam ruangan. Tapi pintu itu masih tertutup rapat.

/klek, 

Pintunya mulai terbuka, salah seorang ustadz mengecek siapa yang datang. 

“Iya? Ada perlu apa?”

“T-tuh, ngomong Ataya,” ucap Kyra sedikit gugup dan menyenggol tubuh Ataya menyruhnya berbicara.

“M-maaf ustadz, mau tanya kamarnya Abian dimana ya? Saya adiknya, ustadz. Ada perlu sama Abian.” 

“Oh, Abian. Ini, kesini. Kamar yang ketiga.” Jawab ustadz mengarahkan tangannya ke arah kanan.

“Oh, baik ustadz. Terimakasih, kita permisi.” 

“Assallamuallaikum,” Kyra dan Ataya dengan cepat meningalkan ruangan itu, dan menuju ke kamar Abian sesuai dengan arahan yang diberikan. 

“Emang jam segini abangmu gak mandi?” 

“Gak tau, semoga aja gak. Males nunggu kalo emang dia lagi mandi.”

“Ini kan berarti? Kamar nomor 3 tadi katanya,” Kyra menunjuk kamar santriwan yang ketiga. Sejujurnya, Kyra dan Ataya tak nyaman berada disana. Gedung itu benar benar penuh dengan santriwan.

“Iya, coba tak ketuk,”

/Tok,tok

“Assallamuallaikum,” Ataya emmberanikan diri mengetuk pintu kamar Abian. 

“Wa'allaikumussallam,” jawab sesorang sambil membuka pintu.

“Nahh, ketumu. Tau aja, Ataya kesini.” Ujar Ataya mengetahui abangnya yang membuka pintu itu. Seorang laki laki yang terbilang cukup tinggi, dengan kacamata, dan kopiah di kepalanya. Kyra yang juga melihatnya pun, menghembuskan napas lega. 

“Hm? Butuh apa?” 

“Jajann!! Duit Ataya dari umma masih ada di Abang,”

“Bentar,” Abian memasuki kamarnya kembali dan mecoba mengambil uang saku milik adik perempuannya.

“Oh, abang mu dingin juga yaaa.” Bisik Kyra memperhatikan Abian yang kembali memasuki kamar.

“Dah dibilang, prend. Dia emang gitu,” 

“Nih,” Abian kembali dengan sebuah amplop yang menyembunyikan uang untuk Ataya.

“Ciee, dah ada duit lagi,” sela Kyra ditengah pembicaraan keduanya. 

“Eheee, jajan basreng kita!!”

“Siapp, m-mm as-assallamuallaikum kak Abi,” sapa Kyra yang sejak tadi hanya diam tak berbicara. Ia merasa kurang sopan jika tak menyapa yang lebih tua.

“Wa'allaikumussallam,” jawab Abi singkat membuang wajah ke arah lain. Kyra tak berani menatapnya. Ia menundukkan pandangannya di depan lawan jenis.

“Udah?” Abian membuka kopiah dan sedikit merapikan rambutnya. Matanya benar benar tak menatap Kyra ataupun Ataya. Terlihat, Abian sangat menjaga pandangannya, bahkan dengan adiknya sendiri.

“Udah, makasih. Ataya balik ya. Assallamuallaikum,” Ataya menggenggam amplop putih itu dan menarik paksa tangan Kyra untuk meninggalkan kamar itu.

“Wa’allaikumussallam,” Abian menjawabnya, setelah melihat mereka menjauh pergi.

Akhirnya, Ataya bisa mendapatkan kembali uang sakunya. Kini, seperti janji Ataya pada Kyra sebelumnya, ia akan mentraktir Kyra seporsi bakso goreng. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status