Katanya, perempuan yang kuat itu tak banyak bicara. Tapi nyatanya, aku banyak berpikir. Diam-diam menimbang semua luka, seperti menakar garam dalam adonan- secukupnya, biar tak asin tapi tetap terasa.
Namaku Ajeng, tahun ini genap 30 usiaku. Seorang ibu, seorang istri, dan entah siapa lagi—karena kadang, aku bahkan tak merasa sedang menjadi diriku sendiri.
Setiap hari kupakai banyak nama.
Ibu, saat Khaira terbangun dan memelukku dengan tangan mungilnya.
Bu Ajeng, saat rekan kerja menyodorkan berkas sambil menyebut posisiku yang nyaris tak berdaya menghadapi birokrasi.
Sayang, saat Chandra sempat-sempatnya memanggil manis hanya ketika ingin sesuatu.
Tapi siapa yang memanggilku... hanya Ajeng?
“Apa kabar kamu hari ini, Ajeng?”
Dan jawabanku selalu sama. "Baik. Tapi capek. Tapi harus baik.”
Kupikir dulu, menikah akan membuatku merasa penuh. Nyatanya aku seperti gelas kosong yang terus dipaksa menampung tanpa pernah diisi.
Chandra bukan orang jahat. Tapi bukan juga orang yang pernah benar-benar menatap mataku belakangan ini. Tangannya terlalu sibuk dengan ponsel. Kata-katanya terlalu sibuk menilai, bukan mendengar.
Satu-satunya suara yang masih membangunkanku setiap pagi—secara harfiah dan emosional—adalah suara Khaira yang tertawa.
“Kamu kuat, Ajeng. Kamu harus kuat.” Itu mantra batin yang terus kuputar-putar, seperti rekaman rusak yang tak pernah tahu kapan boleh berhenti.
Aku suka membaca. Suka menulis. Suka berimajinasi tentang dunia di mana perempuan sepertiku tak harus minta izin untuk merasa lelah. Tapi kenyataan tak pernah seindah imajinasi.
Karena di dunia nyata, saat aku berkata, “Aku lelah,” mereka menjawab, "Namanya juga istri. Namanya juga ibu."
Lalu aku diam lagi. Menjadi Ajeng yang tahu diri. Yang tahu tempat. Yang tahu kapan harus menangis, dan kapan harus menghapus air mata sebelum orang lain melihatnya.
Tapi jujur... Kadang aku ingin hilang.
Hilang dari semua tuntutan. Hilang dari rutinitas. Bukan untuk mati. Tapi untuk rehat. Rehat dari peran-peran yang terlalu berat kupikul sendirian.
Dan di tengah semua keheningan ini, aku hanya ingin...
Bukan sebagai istri.
Meski mungkin, itu terlalu egois. Terlalu naif. Terlalu... manusiawi?
Padahal dulunya aku tidak begini. Dulu aku perempuan yang suka tertawa. Yang duduk di kafe sendirian tanpa rasa canggung.
Sekarang? Aku bahkan lupa kapan terakhir menulis sesuatu yang bukan laporan atau rencana kerja. Tulisanku lebih banyak tentang pelaporan keuangan, bukan tentang rasa.
Jam beker berdetak pelan.
Seharusnya aku sudah bangun dari tadi. Tapi tubuh ini enggan. Kepala masih ingin bersandar di bantal. Tapi suara kecil dari kamar sebelah sudah memanggil lembut. “Mamaa…”
Aku tersenyum—palsu atau tulus, entahlah—dan melangkah. Dua kaki yang selalu tahu jalan ke tempat Khaira tidur.
Kupeluk tubuh kecilnya. Hangat.
“Udah bangun, Sayang?”
Khaira mengangguk setengah sadar.
Di momen ini, aku selalu diam-diam bertanya,“Apakah aku ibu yang cukup baik?”
Karena aku tahu, aku sering kelelahan. Sering marah karena hal sepele. Sering ingin sendiri tapi tak bisa benar-benar sendiri.
Dan yang paling membuatku merasa bersalah adalah aku sering merasa tidak bahagia.
Tapi bagaimana caranya bahagia, kalau cinta yang seharusnya jadi rumah malah berubah jadi ruang tunggu?
Chandra belum bangun. Sudah seminggu dia pulang larut. Alasannya kerja. Rapat. Ketemu klien.
Aku tak lagi bertanya. Bukan karena percaya, tapi karena lelah. Lelah bertanya, lelah curiga, lelah mengulang siklus luka yang sama.
Tiga tahun lalu, aku pernah menangis karena tahu dia selingkuh. Tahun berikutnya, aku kembali menangis karena tahu itu bukan yang terakhir.
Aku pernah berteriak, pernah marah, pernah memohon agar dia berubah.
Tapi siapa yang bisa mengubah seseorang kalau dia sendiri tidak merasa bersalah?
Aku tetap di sini. Di rumah yang setiap sudutnya menyimpan kenangan, juga kebohongan.
Karena aku punya Khaira. Karena aku takut sendirian. Karena dunia terlalu kejam pada ibu tunggal.
Dan karena... aku belum cukup berani untuk pergi.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Ajeng?”
Suaraku sendiri terdengar asing. Nyaring, tapi tanpa gema.
Aku menyiapkan sarapan seperti biasa. Telur dadar, nasi hangat, dan potongan buah. Khaira suka anggur. Sementara aku sendiri belum tahu apa yang kusuka. Semuanya terasa hambar.
Aku memandang bayanganku di cermin dapur. Lingkar mata hitam. Kulit kusam. Perempuan ini… siapa?
“Kamu masih Ajeng. Masih. Hanya... lelah.”
Tapi lelah yang ditumpuk setiap hari bisa berubah jadi hilang. Hilang arah. Hilang rasa. Hilang keberanian untuk mencintai diri sendiri.
Aku bekerja dari pukul delapan sampai empat sore. Jam-jam formal untuk seorang staf dinas di bidang akuntansi. Tapi pekerjaanku tidak berhenti di situ. Aku juga petugas piket rumah tangga. Penjaga emosi. Penampung keluhan. Pengantar dan penjemput. Pembersih luka batin yang tak pernah kelihatan.
Dan tetap saja, belum ada yang bilang, "Terima kasih, Ajeng."
Tubuhnya masih memelukku dari belakang. Kulit kami bersentuhan tanpa jeda, dan napasnya yang hangat masih menyentuh tengkukku. Tak ada kata, hanya detak jantung yang mulai melambat, mengiringi keheningan yang nyaman.Kepalaku bersandar di lengannya. Mataku baru setengah terpejam saat kulirik jam digital di nakas—12.19. Tuhan. Kami sudah lebih dari dua jam terbenam dalam satu sama lain.Aku menarik napas pelan. Masih ada sisa gemetar di otot pahaku. Bukan hanya karena lelah, tapi karena terlalu lama ditahan oleh rasa yang tak biasa. Arga belum juga melepaskan. Ia hanya memelukku makin erat, seolah tak ingin malam ini berakhir.“Sayang,” bisiknya lembut di belakang telingaku. “Kita harus bersihin diri, ya?”Aku mengangguk kecil. Tubuhku masih berat, tapi aku tahu kami tak bisa berlama-lama. Esok hari masih ada acara pagi yang harus kami hadiri. Dunia luar menunggu. Tapi untuk saat ini, dunia kami hanya berisi pelukan dan kulit yang saling mengenal tanpa kata.Dengan lembut, Arga menarik
Tubuhku masih gemetar ringan, tersisa dari ledakan yang baru saja meluluhlantakkan seluruh keberadaanku. Tapi bukan hanya tubuhku yang masih bergetar. Hatiku. Nadiku. Napasku.Dan Arga masih di atas tubuhku, dalam keheningan yang syahdu, seolah turut merasakan semuanya dalam satu aliran napas yang sama. Dahi kami bersentuhan. Napas kami bertabrakan. Tidak ada jarak.Tangannya masih menggenggam jemariku yang lembab dan lemas. Lalu pelan-pelan, ia mencium pundakku—hangat, basah, penuh rasa. Seolah ingin mengucapkan terima kasih kepada tubuh yang baru saja memberinya tempat untuk tinggal.Kemudian, dengan satu tarikan napas panjang, ia menarik dirinya keluar dari dalamku. Perlahan. Tidak tergesa. Dan saat ia melepaskannya, aku bisa merasakan setiap milimeter dari kepergiannya—menghangatkan, menyisakan jejak di rongga tubuhku.Sebelum sempat kehilangan, ia langsung membungkuk mencium keningku, lalu pipiku, satu per satu. Keduanya masih basah oleh peluh dan sisa air mata kecil yang entah k
Tubuhku masih bergetar dalam pelukannya. Nafasku belum sepenuhnya kembali, tapi hatiku telah lebih dulu jatuh tenang di dadanya. Arga tidak terburu-buru. Ia mendekapku, membiarkan jantungku berdetak di antara jarak yang lenyap. Satu tangannya mengusap lenganku pelan, seolah ingin menyampaikan bahwa malam ini belum selesai—bahwa semuanya baru saja dimulai.Ia mencium tengkukku, lembut sekali. “Masih bisa?” bisiknya, napasnya hangat menyentuh kulitku.Aku tak menjawab dengan kata. Hanya menarik jemarinya yang tadi memeluk pinggangku, membawanya ke arah bibirku. Kucium punggung tangannya perlahan, lalu memutar tubuhku hingga aku bisa menatap matanya.Dan dalam diam, aku menyentuhnya, dibalik celana pendek.Tubuhnya masih hangat, tegang, seolah belum benar-benar selesai. Aku membiarkan jemariku menyapunya pelan, merespons kekerasan yang masih penuh rasa itu. Sorot matanya berubah—redup, dalam, tapi menyala.Kemudian ia bangkit dari kasur.Berdiri di ujung ranjang, membuka kaos dan celana
Aku tidak tahu berapa lama ia bermain di dadaku. Tapi waktu terasa melambat.Mungkin karena ia begitu lembut. Mungkin karena aku terlalu menikmatinya.Tangannya kini berada di pahaku, di balik celana pendekku. Ia tidak melepasnya langsung, hanya membelai di balik jeans biru ini. Sentuhannya ringan, nyaris seperti angin—tapi justru itu yang membuatku menggigit bibir, menahan suara.“Relain semua ya,” katanya. “Nggak usah ditahan.”Tangannya mengusap lembut paha bagian dalamku, mendekat ke pusat rasa, tapi belum menyentuh langsung. Sementara bibirnya kembali menjelajahi dadaku, pelan—seolah tubuhku sebuah peta yang ingin ia hafalkan ulang. "Aku udah gak tahan sayang." pintaku manja.Ia mulai menurunkan celanaku perlahan.Aku mengangkat pinggul agar ia lebih mudah melepasnya.Ia mencium bagian bawah perutku, lalu turun ke paha, lutut, dan pergelangan kaki, sebelum kembali naik—membiarkan bibir dan jari-jarinya menandai setiap inci tubuhku dengan rasa.Ia memelukku dulu. Mengusap rambutk
Aku tak ingat kapan terakhir kali dunia terasa setenang ini. Hanya dengungan lembut AC, suara air kolam dari balik jendela, dan napas kami—bertemu di udara yang sama, di ruang yang tak seharusnya kami miliki.Tangannya masih di tengkukku, menahan kepalaku tetap dalam pelukannya. Bibirnya melekat pada milikku, mencium seperti mengingat, seperti menghafal ulang apa yang mungkin hilang esok pagi. Tak ada suara, hanya napas kami yang makin tak beraturan, dan detak jantungku yang bergetar di seluruh tubuh.Ia menarik tubuhku pelan, menyandarkanku pada dadanya. Keningku menyentuh lehernya. Aku bisa mencium aroma kulitnya—hangat, samar seperti kayu dan hujan. Tangannya membelai rambutku, jemarinya menyusup lembut ke pangkal leher. Lalu mengusap perlahan punggungku, turun, mengunci punggung bawahku dalam dekapan yang utuh.“Malam ini, giliranku,” bisiknya. Sederhana. Tapi suara itu membuat jantungku berdentum keras.Aku membuka mulut untuk bicara, tapi ia sudah menunduk, mencium bibirku lembu
Di kamar, Tyas langsung tertidur. Aku duduk dalam gelap, menatap layar ponsel yang kosong.Tak ada pesan.Tapi aku tahu, dia sedang menunggu. Sama sepertiku.Aku menarik napas dalam. Lalu mulai mengetik, pelan-pelan, dengan hati yang berdegup tak menentu.Aku (23.41): Kamu masih bangun?mylovember: Masih. Aku nunggu kamu ngetik duluan 😌Aku: Aku booking kamar lain.mylovember: Hah? Buat siapa?Aku: Kamar 106. Lantai bawah. Dekat kolam.Aku: Buat kita.Ada jeda cukup lama sebelum ia membalas lagi.mylovember: Kamu sendirian sekarang?Aku: Tyas udah tidur. Aku turun duluan ya. Pintu nggak dikunci.Aku menutup ponsel, berdiri pelan-pelan, memastikan suara langkahku tak membangunkan siapa pun. Lorong kamar sunyi. Lampu-lampu temaram menggantung di dinding, memantulkan bayangan samar ke ubin yang dingin.Di lantai bawah, kamar 106 tampak sunyi. Tirainya tertutup. Lampu taman memantul di permukaan kolam, menciptakan siluet bergelombang di dinding luar kamar. Aku membuka pintu dan masuk. Ka