Home / Romansa / Rasaku Ditelanjangi / Bab 2: Menikah Tapi Sendiri

Share

Bab 2: Menikah Tapi Sendiri

Author: AYURI
last update Last Updated: 2025-07-21 13:26:08

Chandra. Dia bukan lelaki paling romantis. Tapi dia tampak dewasa, pekerja keras, dan berasal dari keluarga yang cukup disegani di kota kecil ini. Anaknya mantan Sekda, ibunya pun masih aktif sebagai pejabat di dinas kota ini. Setiap kali kami berdua berjalan berdampingan, aku bisa merasakan bagaimana orang-orang memberi hormat padanya. Ada kekaguman dalam sorot mata mereka. Ada gengsi yang secara otomatis melindungi langkah-langkahnya.

Sementara aku... aku hanya gadis biasa dari keluarga yang biasa pula. Ayahku pensiunan guru SD, ibuku menjahit baju dari rumah. Kami tidak punya nama besar yang bisa membuka pintu, tapi kami punya cinta. Setidaknya begitu aku pikir dulu.

Ketika Chandra datang ke rumah untuk melamarku, aku melihat sesuatu di mata ibuku yang jarang kulihat: bahagia dan penuh harap. Ayahku yang biasanya skeptis pun langsung menyetujui. “Kalau memang sudah yakin, tidak perlu tunggu lama-lama,” katanya waktu itu. Seolah mereka berdua sedang melihat tiket masa depanku yang lebih mapan—lebih pasti.

Dan aku? Aku ikut bahagia. Bahagia karena bisa membuat mereka bangga. Bahagia karena mungkin inilah takdirku. Takdir yang terlihat bersinar dari kejauhan, meski samar-samar.

Pernikahan kami berlangsung meriah. Aku masih ingat betul gaun putihku saat akad itu—bukan buatan butik ternama, tapi dijahit sendiri oleh tangan ibuku. Chandra menggenggam tanganku dengan erat, dan malam itu dia mencium keningku lembut sekali.

“Aku akan jaga kamu, sayang,” bisiknya.

Aku percaya.

Minggu pertama pernikahan kami seperti surga yang tak terjelaskan. Ada tawa, ada masakan bersama, ada tubuh yang saling mencari di malam hari. Aku mulai menata hidup baru. Rumah kecil pemberian orangtuanya kami isi perlahan. Tanpa sadar, aku mulai membayangkan hidup bersamanya dalam jangka panjang—puluhan tahun ke depan, uban, cucu, dan semua skenario romantis yang dibentuk oleh film-film lama.

Hingga suatu hari, aku terlambat haid.

Aku menunggu seminggu. Lalu dua minggu. Aku tak segera memberitahunya, tapi di dalam diam aku mulai menyiapkan nama-nama bayi. Sampai akhirnya, aku membeli test pack dan hasilnya… dua garis. Positif.

Aku ingat aku tersenyum di kamar mandi. Kertas bergaris merah itu kupeluk seperti surat cinta. Kupotret. Kukirim padanya. Kuketik.

“Kita akan jadi orang tua.”

Tapi balasannya hanya “Oh. Serius?”

Tak ada tanda seru. Tak ada emoji. Hanya dua kata itu.

Sejak saat itu, aku tahu, bahagia ini mungkin hanya milikku.

Minggu berikutnya, aku mengalami pendarahan. Dini hari, aku terbangun dengan rasa nyeri hebat dan darah membasahi seprai kami. Aku panik, mengguncang bahu Chandra. Dia bangun pelan, menatapku dengan pandangan setengah sadar. “Kamu pasti kecapekan,” katanya.

Kami ke rumah sakit. Dokter bilang janinnya lemah, nyaris tak tertolong. Dan benar saja, dua hari kemudian, aku mengalami keguguran.

Aku merasa tubuhku gagal. Aku merasa hatiku ikut luruh bersama jaringan merah kecil yang tak sempat kupanggil dengan nama. Tapi yang paling sakit bukan itu. Yang paling menghancurkan adalah Chandra tak menangis. Dia tak memelukku. Dia hanya mengangguk waktu dokter menjelaskan prosedur kuretase.

Aku sendirian. Bahkan sebagai istri, aku tetap merasa sendirian.

Beberapa bulan kemudian, ketika luka mulai mengering, aku mendapati satu kenyataan pahit lagi bahwa Chandra berselingkuh.

Dengan siapa? Dengan sahabat sekolah menengahnya. Yang katanya hanya bertukar kabar.

Aku mengamuk. Menangis. Marah. Tapi pada akhirnya, aku memaafkan. Aku terlalu takut pulang ke rumah orang tuaku dan mengaku bahwa rumah tanggaku gagal bahkan sebelum ulang tahun pernikahan pertama kami. Aku tetap tinggal. Berusaha percaya. Berusaha memperbaiki.

Kami mulai program hamil lagi. Kata orang, kalau bisa punya anak, laki-laki akan berubah. Mereka akan punya alasan untuk pulang lebih awal, untuk tidak sembarangan main hati. Jadi aku beli susu penyubur, atur pola makan, hitung masa subur, dan pasrahkan tubuhku pada takdir Tuhan.

Dan ternyata… aku hamil lagi.

Tapi luka lama ternyata bukan jaminan dia akan belajar. Di bulan ketiga kehamilanku, aku kembali menemukan jejak perselingkuhan—kali ini lebih vulgar. Foto-foto di galeri. Screenshot percakapan. Transfer uang. Dan satu kalimat yang terus terngiang di telingaku. “Kalau kamu sabar, nanti aku ceraikan dia.”

Aku muntah malam itu. Bukan karena morning sickness. Tapi karena jijik. Jijik karena tubuhku yang sedang mengandung anaknya malah jadi tameng untuk kebohongannya.

Aku tidak tinggalkan dia saat itu. Entah karena aku lemah, atau karena aku yakin anak ini butuh keluarga utuh. Tapi sesuatu dalam diriku mati. Sesuatu yang dulu menyalakan harapan itu… kini hanya tinggal abu.

Dan meski aku akhirnya melahirkan anak yang cantik dan kuat, aku tahu cinta yang kutanam di awal dulu… sudah layu sejak lama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 29: Sebelum Fajar

    Tubuhnya masih memelukku dari belakang. Kulit kami bersentuhan tanpa jeda, dan napasnya yang hangat masih menyentuh tengkukku. Tak ada kata, hanya detak jantung yang mulai melambat, mengiringi keheningan yang nyaman.Kepalaku bersandar di lengannya. Mataku baru setengah terpejam saat kulirik jam digital di nakas—12.19. Tuhan. Kami sudah lebih dari dua jam terbenam dalam satu sama lain.Aku menarik napas pelan. Masih ada sisa gemetar di otot pahaku. Bukan hanya karena lelah, tapi karena terlalu lama ditahan oleh rasa yang tak biasa. Arga belum juga melepaskan. Ia hanya memelukku makin erat, seolah tak ingin malam ini berakhir.“Sayang,” bisiknya lembut di belakang telingaku. “Kita harus bersihin diri, ya?”Aku mengangguk kecil. Tubuhku masih berat, tapi aku tahu kami tak bisa berlama-lama. Esok hari masih ada acara pagi yang harus kami hadiri. Dunia luar menunggu. Tapi untuk saat ini, dunia kami hanya berisi pelukan dan kulit yang saling mengenal tanpa kata.Dengan lembut, Arga menarik

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 28: Dalam Satu Tarikan Nafas

    Tubuhku masih gemetar ringan, tersisa dari ledakan yang baru saja meluluhlantakkan seluruh keberadaanku. Tapi bukan hanya tubuhku yang masih bergetar. Hatiku. Nadiku. Napasku.Dan Arga masih di atas tubuhku, dalam keheningan yang syahdu, seolah turut merasakan semuanya dalam satu aliran napas yang sama. Dahi kami bersentuhan. Napas kami bertabrakan. Tidak ada jarak.Tangannya masih menggenggam jemariku yang lembab dan lemas. Lalu pelan-pelan, ia mencium pundakku—hangat, basah, penuh rasa. Seolah ingin mengucapkan terima kasih kepada tubuh yang baru saja memberinya tempat untuk tinggal.Kemudian, dengan satu tarikan napas panjang, ia menarik dirinya keluar dari dalamku. Perlahan. Tidak tergesa. Dan saat ia melepaskannya, aku bisa merasakan setiap milimeter dari kepergiannya—menghangatkan, menyisakan jejak di rongga tubuhku.Sebelum sempat kehilangan, ia langsung membungkuk mencium keningku, lalu pipiku, satu per satu. Keduanya masih basah oleh peluh dan sisa air mata kecil yang entah k

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 27: Dia Belum Selesai

    Tubuhku masih bergetar dalam pelukannya. Nafasku belum sepenuhnya kembali, tapi hatiku telah lebih dulu jatuh tenang di dadanya. Arga tidak terburu-buru. Ia mendekapku, membiarkan jantungku berdetak di antara jarak yang lenyap. Satu tangannya mengusap lenganku pelan, seolah ingin menyampaikan bahwa malam ini belum selesai—bahwa semuanya baru saja dimulai.Ia mencium tengkukku, lembut sekali. “Masih bisa?” bisiknya, napasnya hangat menyentuh kulitku.Aku tak menjawab dengan kata. Hanya menarik jemarinya yang tadi memeluk pinggangku, membawanya ke arah bibirku. Kucium punggung tangannya perlahan, lalu memutar tubuhku hingga aku bisa menatap matanya.Dan dalam diam, aku menyentuhnya, dibalik celana pendek.Tubuhnya masih hangat, tegang, seolah belum benar-benar selesai. Aku membiarkan jemariku menyapunya pelan, merespons kekerasan yang masih penuh rasa itu. Sorot matanya berubah—redup, dalam, tapi menyala.Kemudian ia bangkit dari kasur.Berdiri di ujung ranjang, membuka kaos dan celana

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 26: Pelan Tapi Membakar

    Aku tidak tahu berapa lama ia bermain di dadaku. Tapi waktu terasa melambat.Mungkin karena ia begitu lembut. Mungkin karena aku terlalu menikmatinya.Tangannya kini berada di pahaku, di balik celana pendekku. Ia tidak melepasnya langsung, hanya membelai di balik jeans biru ini. Sentuhannya ringan, nyaris seperti angin—tapi justru itu yang membuatku menggigit bibir, menahan suara.“Relain semua ya,” katanya. “Nggak usah ditahan.”Tangannya mengusap lembut paha bagian dalamku, mendekat ke pusat rasa, tapi belum menyentuh langsung. Sementara bibirnya kembali menjelajahi dadaku, pelan—seolah tubuhku sebuah peta yang ingin ia hafalkan ulang. "Aku udah gak tahan sayang." pintaku manja.Ia mulai menurunkan celanaku perlahan.Aku mengangkat pinggul agar ia lebih mudah melepasnya.Ia mencium bagian bawah perutku, lalu turun ke paha, lutut, dan pergelangan kaki, sebelum kembali naik—membiarkan bibir dan jari-jarinya menandai setiap inci tubuhku dengan rasa.Ia memelukku dulu. Mengusap rambutk

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 25: Lagu Yang Tak Pernah Usai

    Aku tak ingat kapan terakhir kali dunia terasa setenang ini. Hanya dengungan lembut AC, suara air kolam dari balik jendela, dan napas kami—bertemu di udara yang sama, di ruang yang tak seharusnya kami miliki.Tangannya masih di tengkukku, menahan kepalaku tetap dalam pelukannya. Bibirnya melekat pada milikku, mencium seperti mengingat, seperti menghafal ulang apa yang mungkin hilang esok pagi. Tak ada suara, hanya napas kami yang makin tak beraturan, dan detak jantungku yang bergetar di seluruh tubuh.Ia menarik tubuhku pelan, menyandarkanku pada dadanya. Keningku menyentuh lehernya. Aku bisa mencium aroma kulitnya—hangat, samar seperti kayu dan hujan. Tangannya membelai rambutku, jemarinya menyusup lembut ke pangkal leher. Lalu mengusap perlahan punggungku, turun, mengunci punggung bawahku dalam dekapan yang utuh.“Malam ini, giliranku,” bisiknya. Sederhana. Tapi suara itu membuat jantungku berdentum keras.Aku membuka mulut untuk bicara, tapi ia sudah menunduk, mencium bibirku lembu

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 24: Di Balik Pintu 106

    Di kamar, Tyas langsung tertidur. Aku duduk dalam gelap, menatap layar ponsel yang kosong.Tak ada pesan.Tapi aku tahu, dia sedang menunggu. Sama sepertiku.Aku menarik napas dalam. Lalu mulai mengetik, pelan-pelan, dengan hati yang berdegup tak menentu.Aku (23.41): Kamu masih bangun?mylovember: Masih. Aku nunggu kamu ngetik duluan 😌Aku: Aku booking kamar lain.mylovember: Hah? Buat siapa?Aku: Kamar 106. Lantai bawah. Dekat kolam.Aku: Buat kita.Ada jeda cukup lama sebelum ia membalas lagi.mylovember: Kamu sendirian sekarang?Aku: Tyas udah tidur. Aku turun duluan ya. Pintu nggak dikunci.Aku menutup ponsel, berdiri pelan-pelan, memastikan suara langkahku tak membangunkan siapa pun. Lorong kamar sunyi. Lampu-lampu temaram menggantung di dinding, memantulkan bayangan samar ke ubin yang dingin.Di lantai bawah, kamar 106 tampak sunyi. Tirainya tertutup. Lampu taman memantul di permukaan kolam, menciptakan siluet bergelombang di dinding luar kamar. Aku membuka pintu dan masuk. Ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status