“Al…” Seseorang mengguncang tubuh Aliya. “Liebling.. Kau Kenapa?”
Aliya membuka matanya yang terasa berat.
“E-Elang..?”
“Kau kenapa, Liebling?” tanya Elang lembut, namun sorot matanya terlihat sedikit cemas.
“A-aku..” Aliya mencoba bangkit dari posisi tidur. Kepalanya menoleh ke sekitar dan mendapati dirinya berada di dalam kamar.
Kamar miliknya dan Elang.
“Apa kau mimpi sesuatu?” tanya Elang hati-hati.
“Iya.. kurasa..” Aliya menarik napas dalam-dalam. “Aku mimpi aneh.”
“Kau mimpi apa?” Elang menggeser tubuhnya lebih dekat pada Aliya. Wajah tampan yang selalu terlihat tenang itu menatap lekat pada sang istri.
“Hm? Kau mimpi apa, Sunshine?” Jemari Elang mengelus pipi Aliya saat kembali bertanya.
Aliya menengadahkan kepala dan menatap rumit Elang.
Selintas tadi, ia seakan menangkap na
Aliya menatap sang suami tanpa berkedip. Sorot mata kompleks itu terpancar baik dari dirinya sendiri, maupun dari Elang. “Apa? Kenapa? Urusan kerjaan kah?” Tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah Aliya, Elang menjawab. “Ja, Liebling.” Pria berwajah tampan itu menarik napas. “Aku mengurus pengembangan perusahaan. Dan melihat peluang yang sangat baik di luar negeri.” “Kemana?” “Hm?” “Ke luar negerinya kemana?” Tangan Elang terulur ke atas dan membelai rambut Aliya dengan lembut. “Aku akan mencoba peruntungan di daratan Eropa.” Kemudian Aliya pun terdiam. Ia ingin sekali bertanya-tanya, namun ia menyadari, beban yang ada di pundak sang suami. Terutama paska penyerangan di mansion Gauthier dua tahun lebih lalu. Elang mungkin hingga kini merasa bersalah dan ingin mengembalikan kejayaan Gauthier yang dibangun susah payah oleh buyut hingga ayahnya. Jadi, yang bisa Aliya lakukan saat ini hanya diam dan memberikan senyuman itu pada sang suami. Lagi. * * * Aliya menatap kolam ren
Dari arah belakang pula, suara rendah dan memiliki aura mengesankan itu terdengar kemudian.“Badai yang kau buat berhasil mengarahkan mereka ke sini. Tapi jika menghadang mereka di sini, sama saja mencelakakan banyak orang di bawah sana.”Elang menurunkan wajah dan tersenyum. “Lama tidak bertemu..”Ia membalikkan tubuhnya. “…Dean.”Kini di hadapannya telah berdiri pria jangkung bermata hazel yang menatap Elang dengan senyuman kecil di wajah tampannya.Kemeja flanelnya yang tidak dikancingkan, berkibar tertiup angin. Begitu pula dengan celana kargo longgar yang dipakai pria itu. Bergerak seiring embusan angin yang menerpa di area sana.“Einhard,” sapa pria pemilik mata hazel itu.Mereka lalu mengulurkan tangan dan saling beradu tinju dengan pelan, namun mantap.Tidak berpelukan, meskipun dua tahun mereka baru bersua kembali. Karena saat ini, mereka bukan dalam keadaan bersan
“Einhard,” panggil Dean lagi. Elang memang tersentak sekilas, seperti baru tersadar dari sesuatu. Namun ia segera terlihat tenang kembali. Pria elemen di ambang Level 1 itu menoleh pada Dean dan berjalan menghampirinya. “Kau bisa berdiri?” tanya Elang pada Dean. Pria tampan bermata hazel itu mengangguk lalu berdiri perlahan, sambil memegang dada kiri yang tadi terkena hantaman energi anak kecil itu. Pukulan itu lumayan menghasilkan rasa nyeri di dadanya. Namun pukulan energi yang berasal dari elemen level 3, tidak akan melukai parah Dean yang seorang elemen di Level 2 Tertinggi. “Anak itu--” “Lain kali jangan pernah ragu untuk menindak, Dean,” tukas Elang menyela ucapan Dean. “Atau kita yang akan terluka.” “Einhard.” “Kita tidak boleh terluka. Karena kita harus melindungi Aliya,” sela Elang lagi. Ia berjalan menghampiri ketiga pria asing yang masih terkapar kesakitan akibat hantaman energi dari Elang, meninggalkan Dean yang berdiri terpaku menatap punggung pria elemen yang ju
Aliya menatap Dean bingung.Sorot mata obsidian itu seakan mencari jawaban di wajah tampan Dean. Namun yang ditunggu, tidak keluar dari pria di hadapannya itu.Sementara pikiran Dean berkecamuk. Beberapa dugaan singgah, namun ia berusaha menenangkan pikirannya sementara ini, hingga dugaannya terjawab.Ia menghentikan dan mengosongkan pikirannya, sebelum akhirnya membuka suara. “Al--”“Sebentar,” Aliya memotong cepat. “Apakah… Elang akan mengetahui aku bertemu denganmu?” Ada sedikit nada gelisah dalam suaranya.“Kemungkinan besar, ya,” jawab Dean.Ia mengerutkan kening. “Suamimu pasti mengetahui kau masuk ke dunia sukma dan memanggilku. Kecuali…”“Kecuali apa?” Manik obsidian Aliya lekat pada raut wajah Dean.Dean menggeleng. “Tidak apa-apa.”Namun kemudian pria tampan itu melanjutkan dalam hati, ‘Kecuali kau menutu
Aliya terbangun, nyaris tersedak. Ia terengah dengan tangan memegang dadanya. Napasnya sedikit tersekat. “Itu.. mimpikah?” gumamnya masih dengan perasaan kaget dan tidak percaya. “Ya-ya. Itu pasti mimpi lagi.” Aliya meyakinkan diri sendiri. “Kalau bukan mimpi, Elang pasti datang padaku atau… ah iya. Itu pasti mimpi.” Beberapa kali wanita itu menarik napas dalam lalu mengembusnya perlahan. Mencoba menenangkan diri dan mengembalikan kesadaran utuh kembali ke tempatnya. Ia lalu melirik jam di dinding dan menghela napas. Ini menjelang sore. Pantas saja ia mimpi aneh. Tidak seharusnya pula ia tidur. Aliya lalu turun dari ranjang besarnya, ia keluar kamar dan menuju kamar sang buah hati, Fayza. Namun ketika ia masuk ke dalam kamar itu, tidak didapatinya putri semata wayang dirinya dan Elang ada di sana. Ia pun memutar tubuh ke bagian belakang rumah lalu samar-samar mendengar suara tawa terkikik khas balita. Ternyata Fayza ada di gazebo pinggir kolam renang, bersama Agung. Tangan ka
Tidak berbeda dengan Aliya, Dean terbangun mengerjapkan mata. Tepat setelahnya, panggilan landing dan pemberitahuan pramugari untuk penumpang memasang sabuk pengamannya, mengudara. Dean melirik ke jendela berbentuk bulat di sisi kiri. Tidak ada yang bisa ia lihat selain kumpulan awan putih yang tampak terbentang dan menggumpal di sana. Mungkin sedikit warna kebiruan di baliknya, yang menunjukkan pesawat yang ia tumpangi berada di wilayah yang dikelilingi lautan. Tarikan napas dalam dilakukan pria berwajah tampan dengan mata berwarna hazel itu. ‘Karena dalam mimpi itu, aku menciummu!’ Kalimat itu terngiang dan memenuhi rongga kepalanya begitu ia kembali ke dunia raga. Kalimat yang diucapkan oleh Aliya dalam dunia sukma mereka --baru saja. “Just wake up, Sir?” Sebuah suara dengan bahasa Inggris yang diucapkan kaku dan tidak terlalu fasih, terdengar dari sisi kanan seberang Dean. Pria tampan itu menoleh dan melihat seorang wanita muda dengan riasan sedikit tebal, serta kedua alis
Beberapa hari kemudian yang dilalui dengan tenang, Aliya baru saja pulang dari belanja bulanan dikawal oleh Nawidi langsung. Agni dan Guntur menunggu di rumah Aliya. “Sini Moony, biar gue yang bawa!” seru Agni saat membukakan pintu dan melihat Aliya tengah membawa satu kantong belanjaan. Pemuda itu bergegas menghampiri dan menyambar kantong belanjaan itu dari tangan Aliya. “Masih ada yang lainnya?” tanyanya. Aliya mengangguk. “Tiga kantong di bagasi.” Namun Agni hanya melirik sesaat dan melihat Nawidi mengeluarkan tiga kantong sekaligus dari bagasi lalu membawanya ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun. “Udah sama bang Nawi..” cengir Agni. “Bukannya diambil alih,” cetus Aliya. “Yang muda bantu yang lebih tua.” Agni terkekeh. “Gue segen ambilnya dari si abang.” Decakan kecil terdengar dari Aliya, namun wanita muda istri Elang itu pun tidak berkomentar lebih lanjut. Memang tidak bisa disangkal, pembawaan Nawidi membuat teman-teman elemen lainnya sungkan. Nawidi, yang berasal da
“Biar gue aja Bang, yang cek.” Agni bersiap berdiri. Sesaat setelah Nawidi dan Agni membaui aroma Aliya, Agni menerima laporan dari Agung yang kebetulan tengah berada di wilayah Husein dan menangkap getaran energi halus yang ada di area bandara kota Bandung tersebut. Setelah keduanya membaui aroma khas Aliya yang merebak, Nawidi langsung memerintahkan teman-teman elemen Aliya untuk menyebar di empat titik. Dan laporan dari Agung yang berada di wilayah selatan dari posisi tempat tinggal Aliya-lah yang kemudian merasakan kehadiran getaran energi seorang elemen. Tanpa menunda, Agni menuju motor sport miliknya. Mengenakan sarung tangan dengan cepat dan memasang helm, ia langsung melesat keluar dari pekarangan rumah Aliya. Tidak membutuhkan waktu lama, Agni tiba di tempat Agung berada. Tidak dipungkiri, Agni juga langsung bisa merasakan getaran itu. Karena dirinya seorang yang berada di Level dan Tingkat lebih tinggi dari Agung, tentu saja Agni akan jauh lebih cepat dan lebih merasaka