Share

BAB 1

“E.. Lang… Sa-sakit…” rintih Aliya. “Pelan, Elang…”

Namun Elang di atasnya, seakan tak mendengar itu. Ia terus mengentak dan memacu tubuhnya ke dalam inti Aliya.

“E-Elang… ahh!” Desahan itu bukan desahan nikmat, Aliya meringis menahan nyeri.

Alih-alih melambatkan gerakan dirinya mencumbu sang istri, Elang menarik kedua tangan Aliya dan menahan pergelangannya di atas kepala.

“Elang! Sakit!” Aliya mencoba menggeser tubuhnya, akan tetapi Elang justru kian menindih dirinya dan melesak seraya mengentak lebih dalam.

Entah apa yang terjadi, bagaimana Elang seakan tak mendengar apapun yang keluar dari bibir Aliya. Ia menyusupkan wajahnya di leher Aliya dengan pinggul yang tak henti mengentak kasar.

“Elang!”

“Emmmhhh.” Elang menggeram rendah. “Ahh!”

Pelepasan itu akhirnya ia dapatkan. Mata yang semula terus terpejam, kini terbuka dan seketika tertegun melihat raut wajah istrinya.

“Liebling!” Elang bergegas mengangkat tubuh lalu menangkup wajah Aliya dengan kedua tangan. Matanya melebar melihat buliran airmata yang mengalir di kedua sudut mata Aliya.

“Apa.. apa aku menyakitimu? Liebling!” ujarnya panik seraya sebelah tangan mengusap cepat airmata yang menitik di pipi istrinya.

“Sa…kit…” lirih Aliya dengan ujung hidung yang terlihat memerah.

Elang menggulingkan tubuhnya ke sisi dan menarik Aliya ke dalam pelukan eratnya. Hatinya dipenuhi rasa penyesalan dan terpelintir kesakitan di saat yang sama.

“Liebling, maaf. Maafkan aku,” ujarnya cepat. Tangannya mengusap gugup kepala sang istri. “Maaf, Liebling.”

“Sa-sakit kah?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan Aliya. “Maaf, Liebling, maaf.”

Aliya tersedu. “Kau kenapa? Kau bahkan gak dengerin aku yang minta kau pelan-pelan.”

“Ya Tuhan, maafkan aku, Liebling. Maafkan aku. Maaf…” Elang terus mengulang permintaan maafnya dengan menciumi pelipis Aliya berkali-kali.

Kedua tangan kokohnya tak lepas melingkari tubuh Aliya dan mempererat dekapan demi sebuah ungkapan penyesalan yang begitu dalam.  

“Maaf Liebling,” lirih Elang lagi. Telapak tangannya yang lebar beralih ke belakang kepala Aliya dan menekannya erat ke dada telanjangnya.

“Elang--”

“Maaf… Aku tidak bermaksud…”

“Iya, Elang. Ngga apa-apa. Aku sudah tidak apa-apa,” balas Aliya pelan.

Ia lalu terdiam mendengar degup jantung suaminya yang tak beraturan dan berdentum begitu cepat seakan tengah berlomba menyuarakan ketidakberdayaan.

“Aku tidak apa, Liebe,” bisik Aliya lembut dengan jemari yang kemudian terangkat untuk mengusap lembut permukaan dada prianya itu.

Dibiarkannya sang suami yang membenamkan dirinya ke dalam dekapan yang begitu erat. Kedua tangan yang melingkari tubuhnya begitu protektif dan mengantarkan kehangatan yang jelas tak mampu ditolak Aliya.

“Maaf…”

Suara lirih dan lemah Elang terdengar lagi di telinga Aliya dan kali ini begitu mengusik jiwanya perlahan. Aliya yang mencoba menyimak getaran perasaan yang mungkin tengah berkecamuk dalam hati Elang, tak mendapatkan petunjuk apapun.

Helaan napas Aliya mengembus samar.

Apakah dirinya yang terlalu merasa cemas, atau memang Elang tengah melakukan closure dengan sangat ketat? Hingga apa yang tengah dirasakan Elang, tidak sampai padanya. Pun dengan yang ada dalam pikiran Elang.

Padahal mereka ibarat sejiwa. Bisa saling mendengarkan pikiran dan bisa saling merasakan apa yang dirasakan pasangannya.

Kekuatan spesial yang dimiliki Elang, juga dirinya --meski masih terkunci-- serta terikatnya sukma mereka, menjadikan mereka mampu saling merasakan dan mendengar, meski terpaut jauhnya jarak.     

Entah telah beberapa hari ini Aliya mendapati Elang yang tampak tidak fokus.

Namun baru malam ini, selama hampir tiga tahun pernikahan mereka, ia mengalami sedikit kekerasan saat mereka bercinta.

Setiap kali Aliya bertanya pada Elang apa yang terjadi, Elang hanya mengatakan ia lelah karena urusan pekerjaan. Kemudian pembicaraan mereka pun terhenti di sana, tanpa ada lanjutan.

“Aku minta maaf, Liebling…” Kedua tangan Elang menarik tubuh polos Aliya agar kian menempel padanya.

Meski masih terasa sedikit perih di area intimnya, Aliya benar-benar tidak ingin menunjukkan itu pada Elang. Ia menjauhkan kepalanya dari dada Elang untuk mendapati wajah Elang yang seakan terus bersembunyi di balik kepala Aliya.

“Lihat sini,” bujuk Aliya lembut. Kedua lengannya kemudian sedikit mengeluarkan tenaga untuk melonggarkan kungkungan erat lengan suaminya itu dan mengulurkannya ke atas.

Aliya menangkup wajah Elang dengan manik matanya merangkak naik untuk menangkap lingkar coklat tua milik sang pria.

“Lihat aku,” pinta Aliya.

“Aku ngga apa-apa, Liebe. Aku sudah gak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja tadi,” yakin Aliya. Kedua ibu jarinya mengelus lembut rahang tegas suaminya. “See? Aku baik-baik saja kan?”

Aliya menaikkan wajahnya untuk mengecup lembut bibir Elang yang terkatup rapat.

Aliya tidak sedang berdusta. Ia memang tidak apa-apa.

Karena rasa perih yang terasa oleh Aliya di salah satu bagian tubuhnya, tidak lebih menyakitkan dibanding melihat sorot penyesalan dan rasa bersalah yang terpancar begitu kuat dari kedua netra coklat tua Elang.

Ini hanya soal kecil.

Seperti halnya Elang, Aliya pun tak sanggup melihat Elang bersedih.

* * *   

Suara menggelegar terjadi beruntun dan berkali-kali.

Elang berdiri di lantai atas dengan mata menatap lurus sebuah aula di bawahnya yang dipenuhi puluhan pria berbagai usia, dengan rentang dua puluh lima hingga tiga puluh lima tahunan.

Orang-orang di dalam aula itu secara berpasangan tengah saling melempar energi.

Namun benturan energi dan getaran yang dihasilkan dari itu, sama sekali tidak memengaruhi dinding gedung aula itu yang tetap berdiri kokoh, karena telah dilingkupi oleh energi pemilik level tertinggi di sana.

Setelah sekian saat, orang-orang itu kemudian berbaris rapi dan berbalik menghadap satu arah. Lalu dengan serempak melakukan gerakan-gerakan dasar bela diri.

Gerakan itu begitu kompak dan bertenaga. Dilakukan secara indah namun terlihat membahayakan. Siapapun yang melihat kelompok orang itu, pasti segera menghindar dan tidak berani mencari masalah.

Mereka bukan saja terlihat menguasai bela diri jiu jitsu yang tengah dilakukan dengan begitu kompak, namun juga memiliki kemampuan spesial yang tidak dimiliki orang-orang lain pada umumnya.

Mereka semua adalah manusia elemen.

Para manusia yang memiliki kelebihan mengendalikan salah satu unsur atau elemen di dunia ini.

Tanah, Air, Api dan Angin.

Terdengar langkah kaki mendekati Elang dari sisi kirinya berdiri.

“Ini tidak cukup,” cetus Elang dengan raut wajah yang terlihat tidak puas, tatkala sang pemilik langkah itu telah berhenti dan berdiri di sampingnya.

Nawidi --si pemilik langkah itu-- bergeming.

Ia hanya melirik sekilas pada Elang lalu membalik tubuh menghadap pagar pembatas di lantai dua itu.

Tatapannya mengarah pada fokus yang sama seperti Elang, pada puluhan orang di bawah yang tengah bergerak serempak dalam pelatihan jiu jitsu yang dirinya terapkan.

Wajah tanpa ekspresinya yang memang menjadi ciri khas seorang Nawidi, menampak saat kedua matanya tajam memerhatikan setiap gerakan kuat dan teratur yang dibuat oleh puluhan orang di bawah sana.

“Mereka semua elemen Level Empat di Tingkat Dasar, bukankah begitu?” Elang membuka suara kembali.

“Ya,” jawab singkat Nawidi, masih dengan wajah datar dan tanpa ekspresi itu.

“Berapa dari mereka yang bisa segera menjadi Tingkat Menengah dari Level Empat mereka, dalam jangka waktu dua tahun ini?”

“Tidak satu pun.” Suara Nawidi begitu lugas dan tegas untuk bicara seadanya. Tidak terdengar setitikpun keraguan meski itu untuk sedikit menghibur Elang yang berharap mendapatkan jawaban sebaliknya.

Elang memang kini memutar tubuhnya hingga menghadap Nawidi. “Tidak satu pun?”

“Tidak satu pun. Dalam dua tahun ini.”

Tampak rahang Elang mengetat.

“Mereka hanya elemen biasa. Dari hasil pengawasan saya selama satu tahun setengah ini, tidak ada yang menonjol dengan bakat khusus. Mereka jauh jika dibandingkan dengan Penjaga Aliya, apalagi dengan Para Penjaga Inti.”

Elang menganjur napas perlahan. “Saya mengerti.” Ia lalu terdiam dengan sorot mata kompleks memandang para pria yang mereka rekrut dan tengah berlatih giat di bawahnya itu.

“Apa ada yang perlu saya ketahui? Hal yang mengganggu Anda?” Nawidi bersuara kembali.

Bukan tanpa sebab ia bertanya seperti itu.

Mendengar Elang menanyakan soal kenaikan tingkat dan terkesan tak sabar, sementara Elang jelas paham bahwa kenaikan tingkat hanya bisa diraih paling cepat selama 5 tahun pelatihan. Itupun jika elemen tersebut termasuk berbakat.

Namun kemudian Elang menjawab Nawidi dengan gelengan kepalanya. “Tidak ada. Lanjutkan latihanmu. Saya pulang dulu.”

Nawidi mengangguk dan mengikuti sekilas dengan ekor matanya, punggung Elang yang menjauh.

Tatapan datar Nawidi kembali beralih pada orang-orang di dalam aula itu, yang kini telah saling berpasangan kembali untuk sparring.

Mereka memang terlihat cukup mengintimidasi bagi orang awam. Tapi mereka semua hanyalah elemen biasa.

Mereka tidak bisa disamakan dengan teman-teman Aliya yang menjadi pengawal langsung dan berada di bawah didikannya secara khusus.

* * *

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fifi123
mantengin ini juga selain runa n bra
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status