Buku ini adalah Season 2 dari Istri Ku Sang Ratu Bumi. Disarankan untuk membaca buku pertama. Buku ini akan sedikit sulit dipahami jika dibaca secara terpisah, karena merupakan sekuel dari buku pertama tersebut.
Happy Reading, GoodReaders!
=== * * * ===
Langit mulai temaram dengan bias kemerahan di atas tanah bak lautan darah. Cakrawala seakan menghitam menyambut kegelapan yang menutupi kedamaian di atas bumi.
Udara betul-betul mencekam diselimuti atmosfer pembinasaan.
Gelimpangan tubuh-tubuh dengan jiwa yang telah tak berada di tempatnya, mengelana memenuhi perjalanan selanjutnya. Namun ratusan raga-raga yang tersisa masih saling menghunus, menembak energi dan saling membantai.
Di satu titik area pertempuran penuh darah itu, seorang pria dengan baju zirahnya berdiri seakan membatu.
“Ti-tidak…” Gemetar suara Elang menatap pemandangan di depannya, hanya berjarak dua langkah lagi saja.
Seluruh pemandangan yang sebelumnya begitu jelas terbentang dalam tangkapan mata, kini seakan berhenti dan mengabur.
Tangan kanan Elang yang terulur ke depan bergetar hebat.
“A--li--ya….”
Napasnya telah terhenti sekian saat lalu, dengan pandangan yang menjadi buram dan nyawa yang serasa di ujung lidah menatap seorang wanita di depannya.
Seorang wanita yang berbalut pakaian serba putih berdiri terbungkuk di hadapannya. Wajah yang tak terkira terlihat pias serta warna merah yang mulai merubah pakaian putih yang ia kenakan, merembes di bagian depan hingga ke area perut.
Tangan kanannya menggenggam gagang panjang di dada kiri yang menembus hingga ke punggungnya.
BRUKK!
Tubuh wanita itu ambruk ke sisi dengan posisi jemari yang kaku mencengkeram tombak yang telah menembus dadanya.
Tanpa mengerjap, bulu mata lentik itu bergetar dengan sudut mata yang bergenang dan titik-titik bening mengalir. Jatuh menetes bumi yang telah pekat dengan darah.
Bibir teramat pucat itu bergerak perlahan, dengan kedua manik obsidian miliknya menatap lekat pria yang ia cintai yang mematung bersimpuh di depannya dengan tangan gemetar hebat telah merengkuh tubuhnya.
“A-A--li--ya…”
Bibir pucat pias milik wanita itu kembali bergerak-gerak. Meski tak berhasil mengeluarkan suara, namun pesan itu tersampaikan.
Elang mendengarnya dengan jelas dalam pikirannya. Telepati dari sang wanita dalam dekapan eratnya.
‘Elang… maafkan aku…’
“Ti-tidak… Li-liebling… Ku mohon… Aliya…”
“TIDAAAAKKKKK!!!!!”
* * *
“Hahh!!!” Elang terengah. Dadanya naik turun dengan cepat. Ia tersengal hebat dalam posisi duduk di atas ranjang besar miliknya.
Tangan kanannya yang gemetar mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berpindah meremas rambutnya sekilas.
Ia sedikit membungkuk dan menangkup wajah dengan kedua telapak tangannya. Pundaknya masih tampak naik turun dengan sedikit getaran di seluruh tubuh.
Vas bunga di pojok ruang dan beberapa benda-benda kecil lain dalam kamar itu terlihat ikut bergetar, namun tidak sampai terjatuh oleh getaran energi tanpa sengaja yang keluar dari tubuh Elang yang terlihat luar biasa gelisah.
Ia mengusap wajahnya sekali lagi, lalu menarik napas dalam-dalam untuk menetralisir dirinya.
Selang detik berikutnya, ia melompat turun dan berlari cepat keluar kamar.
“Liebling!!” serunya memanggil.
Kepalanya dengan resah menoleh ke kanan dan ke kiri mencari.
“Liebling!!”
Kaki panjangnya mengantar ia ke area pantri.
Tak mendapatkan sosok yang ia cari-cari, ia pun berlari ke pintu kaca besar yang menghubungkan area makan dan halaman belakang.
“Liebling!!” serunya lagi kian gelisah.
Tak lama, matanya lalu menangkap sosok wanita yang tengah memegang selang dan menyiram tanaman di seberang area kolam renang.
“Liebling!!” panggilnya dengan mempercepat langkah kakinya menuju wanita itu yang menoleh lalu tersenyum manis padanya.
“Ah… Elang kau sudah ba--”
Grep!
Kalimat Aliya terhenti saat Elang menubruk serta memeluknya demikian erat.
“Kenapa, Liebe? Ada apa?” tanya Aliya bingung.
Elang bahkan membuat perisai di sekeliling mereka hanya agar air yang keluar dari selang yang tadi spontan terlepas dari tangan Aliya, tidak menyemprot dan membasahi tubuh mereka berdua.
“Ada apa?” Kening Aliya berkerut.
Sang suami tak kunjung menjawab. Aliya bahkan berpikir bahwa ia telah berhalusinasi, saat sebelumnya merasakan getaran yang berasal dari tubuh suaminya itu.
Namun kini, ia tak menemukan lagi jejak getaran itu.
“Liebe, kenapa?” tanya Aliya mengulang dengan suara lembutnya. Tangannya merengkuh balik dan mengusap punggung suaminya itu dengan perlahan.
Perlahan indra pendengaran Aliya menangkap jawaban dari suara lirih sang suami di samping telinga kirinya.
“Tidak.. aku hanya sangat rindu… Sangat rindu…”
“Elang?”
“Aku mencintaimu, Liebling. Aku mencintaimu.”
“Ah.. ya. Aku juga mencintaimu, Liebe.” Meski tidak tahu apa yang terjadi, Aliya hanya mempererat rengkuhannya pada Elang.
Bibirnya tersungging senyuman lebar.
Ia tahu, suaminya seorang yang sangat manis dan romantis. Tapi tak ia sangka, Elang begitu menggemaskan seperti ini.
Bahkan Elang masih saja begitu merindukannya meski mereka baru berpisah sekian jam, padahal mereka berada di bawah atap yang sama.
Aliya tak menangkap kegelisahan apapun yang terlahir dari tubuh maupun pikiran sang suami.
Ia tak pula mendengar hal aneh dalam pikiran Elang yang saat itu telah begitu lihai menutupi apa yang ia rasakan sejak terbangun dari tidur siangnya tadi.
“Ich liebe dich, Liebe…”
Lalu kalimat itu meluncur ringan dari bibir Aliya begitu saja, seperti biasa.
* * *
“E.. Lang… Sa-sakit…” rintih Aliya. “Pelan, Elang…”Namun Elang di atasnya, seakan tak mendengar itu. Ia terus mengentak dan memacu tubuhnya ke dalam inti Aliya.“E-Elang… ahh!” Desahan itu bukan desahan nikmat, Aliya meringis menahan nyeri.Alih-alih melambatkan gerakan dirinya mencumbu sang istri, Elang menarik kedua tangan Aliya dan menahan pergelangannya di atas kepala.“Elang! Sakit!” Aliya mencoba menggeser tubuhnya, akan tetapi Elang justru kian menindih dirinya dan melesak seraya mengentak lebih dalam.Entah apa yang terjadi, bagaimana Elang seakan tak mendengar apapun yang keluar dari bibir Aliya. Ia menyusupkan wajahnya di leher Aliya dengan pinggul yang tak henti mengentak kasar.“Elang!”“Emmmhhh.” Elang menggeram rendah. “Ahh!”Pelepasan itu akhirnya ia dapatkan. Mata yang semula terus terpejam, kini terbuka dan seketika tertegun melihat raut wajah istrinya.“Liebling!” Elang bergegas mengangkat tubuh lalu menangkup wajah Aliya dengan kedua tangan. Matanya melebar melihat
Tahun 201708.56. Sebuah lapangan luas dengan bukit kecil di belakangnya, di sekitar Tangerang Selatan.“Beraninya kalian memasuki wilayah kami!!” Seorang pria muda di kisaran usia 27 tahunan berteriak marah sambil menunjuk sekelompok orang di depannya.Pemuda itu berparas menarik, dengan alis yang cukup tebal, hidung mancung, serta rambut berpotongan cepak.Ia mengenakan kaos berkerah berwarna merah dengan dua garis horizontal abu dan biru navy di bagian dadanya dengan sebuah logo dari merek cukup ternama. Dengan celana jeans biru tua dan sneakers model terbaru, pemuda itu tampak cukup modis.“Apa kalian tidak belajar dari penyusup-penyusup sebelumnya?” Kali ini seorang pemuda berkacamata dengan usia sebaya, angkat bicara. Dari pose berdiri pemuda itu, ia tampak lebih santai dibanding pemuda sebelumnya.Tampilannya pun tampak lebih sederhana, hanya mengenakan kaos oblong polos abu-abu dan celana jeans belel selutut. Paras rupawan-nya terbilang manis dan terlihat memiliki senyum yang
Kedua tangan Agung mengepal lalu tanah yang dipijaknya bergetar.Meskipun kini Agung dan Iyad harus menghadapi sepuluh orang sekaligus, tak sedikitpun mereka menunjukkan wajah gentar.Sementara itu, di dataran yang lebih tinggi dari lokasi pertarungan.“Biar saya saja yang turun.” Guntur berkata cepat, saat ia melihat Agni menurunkan satu kakinya.“Jangan bikin lama, Gun. Kita lagi buru-buru neh,” sahut Agni.Guntur mengangguk. Tanpa banyak berkata, ia melompat turun sambil mengempaskan energinya ke arah pengeroyokan itu.Sebentuk angin cukup besar meliuk cepat lalu mendorong dan melempar beberapa dari sepuluh lelaki berseragam hitam itu.Guntur seorang elemen angin.Terlihat dari tekanan dan besarnya kekuatan yang dihasilkan, Guntur --pemuda berlogat jawa itu-- memiliki kekuatan lebih besar dibanding Iyad dan Agung.Guntur berada di tingkat yang lebih tinggi dari kedua rekannya yang lebih dulu bertarung.Erangan terdengar sesaat dari mereka yang terlempar oleh pukulan angin dari Gunt
Padang sabana di 240 km sebelah tenggara Nairobi, ibukota Kenya.Alam di salah satu wilayah di Afrika itu berupa gabungan antara daerah tropis dan subtropis yang menjadi pemicu terbentuknya sistem biotik yang dipenuhi oleh semak perdu dan diselingi beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Menyuguhkan pemandangan luar biasa indah.Penampakan kawanan gajah, banteng, impala dan zebra dengan latar belakang gunung Kilimanjaro yang puncaknya tertutup salju, tak akan cukup memuaskan mata untuk menikmatinya meski berjam-jam lamanya.Terdengar derap kuda memecah ketenangan dengan laju cepatnya yang membelah angin.Di atas punggung kuda, seorang pria mengendalikannya dengan tangkas. Sementara tangan kiri pria itu tampak menggenggam gagang sebuah busur sederhana.“Hiiaahh!” seru pria itu menghela kudanya. Tangan kanannya mengayun lalu beberapa batu terangkat ke udara begitu saja.Masih di atas kuda hitam sejenis ras Boerperd itu, pria tersebut kemudian melepas tangannya pada tali kekang dan de
Dean terlihat menghela napas.“Tidak apa. Tidak perlu dilakukan lagi,” ujarnya kemudian.“Apakah dana itu keperluan untuk sistem perlindungan Light-mu?” tanya Matteo. “Karena nominal per transfer-nya sama sekali tidak kecil. Aku hanya terpikirkan ke arah itu. Benar kan?”“Bukan apa-apa. Aku hanya membantu teman, tak perlu dipikirkan,” jawab Dean lalu mengalihkan fokusnya pada singa yang terlihat bermanja-manja padanya.“Bagaimana Botswana? Apa semuanya baik?” Matteo lalu mengalihkan topik saat mendapati Dean yang enggan melanjutkan pembahasan sebelumnya.Sebagai salah satu sahabat Dean sejak belasan tahun lalu, ia sangat memahami gestur Dean dan hampir jarang salah dalam mengartikan mood atau pikiran karibnya itu.Dengan sangat pengertian, ia memberi jalan pada mereka berdua untuk membahas hal lainnya.“Baik. Sangat baik,” jawab Dean tanpa mengalihkan fokus dari singa kesayangannya itu. “Kami bahkan menemukan sumber baru untuk segera digarap.”Matteo melebarkan matanya. “Wah, selamat
13.07, rumah Aliya. Aliya mengetuk-ketukkan empat jarinya di atas sebuah meja di ruang tamu. Entah sudah berapa kali ia menghela napas. Matanya melirik lagi ke jam tangan dengan logo huruf ‘G’ yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jam tangan yang sporty dan berdiamater cukup besar itu tampak mencolok di tangan Aliya yang ramping dan putih. Aliya sedikit teringat, pernah di komplen oleh Agni karena memakai jam tangan yang di desain khusus cowok tersebut. Namun Aliya yang memang bersifat cukup tomboy di antara saudara-saudara kandungnya, sejak dulu menyukai jam tangan dari brand Jepang yang terkenal itu. Namun baru sekarang-sekarang ini Aliya memutuskan memilikinya, setelah merasa cukup bosan dengan jam-jam elegan koleksinya dari Elang. Ia bahkan menolak ketika Agni hendak membelikannya jam tangan dari brand internasional yang terkenal. Bicara soal Agni, Aliya jadi teringat ia ada janji dengan Agni dan kawan-kawan
“Eh iya, Fayza ga ikut nih, Moony?” Agni bertanya sambil melongokkan kepalanya ke arah ruang dalam. “Ngga. Tadi aku dah niat mau bawa Fayza. Tapi dia ga mau. Mau main sama Tara aja katanya,” jawab Aliya. “Lagian kang Awi juga nungguin Fayza di sini. Jadi Fayza tambah malas keluar.” Tara adalah keponakan dari pengurus rumah tangga yang bekerja di kediaman Aliya dan Elang ini. Usia Tara hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari Fayza. Namun sudah bisa membuat Fayza nyaman bersamanya. Sementara ‘kang Awi’ yang dimaksud Aliya adalah Nawidi. Seorang elemen yang diutus dari Realm Air untuk ikut melindungi Aliya. Ia seorang pria berdarah dingin yang dipercaya Elang untuk melatih elemen-elemen di bawah mereka dan seorang pria yang tidak banyak bicara serta minim ekspresi. Namun demikian, Fayza terlihat tenang berada di dekat Nawidi. Saat ini, Nawidi bertanggung jawab menjaga Aliya dan Fayza karena Elang tengah melakukan perjalanan bisnis ke luar kota sekia
Guntur yang merasa iba pada Agni, merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu buah masker yang biasa ia pakai saat mengendarai motor. “Agni, kalau kamu mau, kamu bisa pakai punya saya ini…” Guntur menyodorkan tangannya yang memegang masker itu ke arah Agni. Agni yang melihat masker di tangan Guntur, tanpa banyak berpikir, langsung menyambar dan memakainya cepat. “Duh kenapa ke mall…” akhirnya terdengar suara Agni mengeluh, setelah masker itu terpasang dan menutupi setengah wajahnya. “Biasanya kita makan di resto Sunda di atas itu pan….” sambung Agni lagi. “Lha, namanya juga hukuman, Ni. Kalau di tempat biasa, mungkin jadi ndak seru untuk mbak Aliya…” perkataan Guntur yang lempeng itu membuat Agni mendelik kesal pada Guntur. Mereka berempat lalu bergegas menyusul Aliya yang kembali membalikkan badannya dan menatap mereka dengan sorot mata tidak sabar. Begitu langkah mereka selesai menapaki tangga, mereka mendapati situasi yang