Tahun 2017
08.56. Sebuah lapangan luas dengan bukit kecil di belakangnya, di sekitar Tangerang Selatan.
“Beraninya kalian memasuki wilayah kami!!” Seorang pria muda di kisaran usia 27 tahunan berteriak marah sambil menunjuk sekelompok orang di depannya.
Pemuda itu berparas menarik, dengan alis yang cukup tebal, hidung mancung, serta rambut berpotongan cepak.
Ia mengenakan kaos berkerah berwarna merah dengan dua garis horizontal abu dan biru navy di bagian dadanya dengan sebuah logo dari merek cukup ternama. Dengan celana jeans biru tua dan sneakers model terbaru, pemuda itu tampak cukup modis.
“Apa kalian tidak belajar dari penyusup-penyusup sebelumnya?” Kali ini seorang pemuda berkacamata dengan usia sebaya, angkat bicara. Dari pose berdiri pemuda itu, ia tampak lebih santai dibanding pemuda sebelumnya.
Tampilannya pun tampak lebih sederhana, hanya mengenakan kaos oblong polos abu-abu dan celana jeans belel selutut. Paras rupawan-nya terbilang manis dan terlihat memiliki senyum yang ramah.
Hanya saja, saat ini raut wajah pemuda itu sama sekali jauh dari senyuman.
Matanya menatap tajam ke seberang lapangan berumput itu, ke arah kelompok yang berjumlah sepuluh orang dengan pakaian serba hitam dan berpenutup kepala.
“Sepertinya kalian kurang update atas nasib-nasib mereka ya….” imbuh pemuda rupawan berkacamata itu lagi.
“Bisa jadi mereka tau, Gung. Tapi mereka terlalu bebal sampe tetep nekad kesini cari gara-gara ama kita.” Pria muda modis sebelumnya, menimpali perkataan pemuda berkacamata.
“Kayanya sih gitu, Yad,” balas pria muda berkacamata yang memiliki nama Agung itu.
“Heh!! Jawab kita, dong! Jangan cuma melotot doang dari tadi!” teriak si pria muda modis itu kesal.
Meskipun jarak antara dirinya dan ke sepuluh lawan di seberang cukup jauh, namun teriakan itu akan terdengar jelas, karena terhantar sejumlah energi oleh si pemilik suara.
Terdengar suara berdehem di belakang pemuda modis itu.
“Emm… anu. Mereka sepertinya ndak ngerti bahasa kita, Yad,” ujarnya dengan logat jawa yang cukup kental.
Pemuda manis berkacamata bernama Agung yang berada tak jauh di samping pemuda modis itu, menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Eh, iya juga ya….” ujarnya sambil nyengir.
“Mas Guntur, lu pan tau bahasa Inggris gua pas-pasan,” protes si pria muda modis tanpa menoleh pada pemuda ketiga yang berada di belakang dirinya dan mengingatkannya tadi.
Pria muda pemilik nama Guntur itu mengangguk-angguk pasrah. Raut wajahnya yang cukup oval dengan hiasan kumis tipis, tampak datar. Ia pun pemuda yang menarik dengan aura tenangnya.
“Ah lu kebanyakan pidato, Yad!” Terdengar keluhan pria muda lainnya dengan nada bosan.
Kalimat itu berasal dari pria muda keempat yang terlihat paling muda dan memiliki paras paling tampan dan mencolok dari empat pria muda yang ada di sana.
Posisinya juga terlihat paling santai dari ketiga teman-temannya.
Ia duduk di atas sebuah batu dengan satu kaki ditekuk. Kepalanya memakai buff atau semacam bandana berbahan kaos dengan motif kilat api. Bibir tipisnya juga bergerak-gerak, seperti asyik mengunyah permen karet.
“Cepetan lah bro, kita pan punya janji mo maksi ama Moony,” tambahnya lagi.
Iyad, nama pria muda modis itu, mengusap ujung hidungnya.
Dengan menoleh sekejap pada pemuda keempat yang berjarak sepuluh meteran darinya itu, ia menimpali. “Lu bener, Agni. Gua sikat sekarang aja ya?”
Pemuda tampan yang dipanggil Agni itu mengangguk santai lalu berkata. “Sono gih!”
Iyad mengangguk. Meskipun dirinya jelas lebih tua beberapa tahun dari pemuda bernama Agni tersebut, Iyad sama sekali tidak tampak keberatan diperintah seperti itu.
Akan tetapi, belum sempat Iyad melakukan sesuatu, terdengar Agung, si pemuda berkaca mata berseru.
“Awas Yad!”
“Ah, sial!” desis Iyad ketika melihat rambatan cepat dari getaran tanah, mengarah dirinya. Ia melompat ringan ke kanan lalu turun dan melemparkan pukulan ke arah lawan yang mengirim pukulan diam-diam itu.
Sejumlah energi melesat kencang ke arah lawan pemukul itu yang berada sekitar seratus meter di depan.
Namun seperti halnya Iyad, dia pun menghindar tepat pada waktunya. Ia lalu berlari maju mendekat pada Iyad sambil kembali melemparkan pukulan energi.
Iyad menyambut lawan tersebut dengan berlari maju juga.
Sang lawan mengayun tangan kanannya. Sejumlah tanah beserta bebatuan bergerak sangat cepat menyerbu ke arah Iyad.
Namun Iyad tak kalah cepat merentangkan tangan kirinya ke depan dan membuat gerakan berputar.
Muncul kilat api yang kemudian membentuk semacam perisai yang membuat serbuan tanah dan bebatuan itu hancur.
Lawan mengayun lagi tangan kanan lalu disusul tangan kirinya. Sejumlah tanah di sekitarnya bergerak naik dan membentuk dua tombak panjang yang melesat ke arah Iyad dengan cepat.
Iyad kembali mengayun dan muncul kilatan api menyerupai pedang panjang dan menebas kedua tombak yang mengarah dirinya itu secara bertubi.
Dzzebb!
Dzzebb!
Dzzebb!
Lawan masih pantang menyerah, kembali menggerakkan tanah di sekitar dirinya untuk menyerang Iyad.
Dengan lincah Iyad menghindari serangan tersebut dengan tetap menggunakan sebentuk larik cahaya api dan menebas semua yang datang ke arahnya.
Ketika penyusup berpakaian hitam yang menjadi lawan Iyad itu, tampak terpojok mundur, tiga lelaki berseragam hitam lainnya bergerak maju.
Dua dari tiga lelaki berseragam itu, mengirimkan pukulan berbentuk pusaran angin ke arah Iyad. Sementara satunya lagi melemparkan tanah yang kemudian menyatu menjadi batu.
Mereka mengeroyok Iyad.
“Hadeuh dasar mental tempe!” maki Agung.
Agung yang sedari tadi hanya menyaksikan pertarungan antara Iyad dan penyusup itu, akhirnya melompat turun dari tempat berdirinya yang memang berposisi di dataran lebih tinggi dari tempat berlangsungnya pertarungan antara Iyad dan keempat lawannya.
Sambil berlari Agung mengayun kedua tangannya di bawah.
Sejumlah tanah yang dilalui Agung bergerak maju bersama Agung kemudian membentuk gelombang, sebelum akhirnya terangkat dan membentuk bebatuan seukuran lengan manusia.
Agung mengayunkan tangannya ke depan dan bebatuan itu langsung melesat menuju ke arah ketiga pengeroyok Iyad. Dengan gerakan sangat cepat Agung mengayun tangannya lagi dan sejumlah lain bebatuan menyusul menghantam lawan.
Satu dari ketiga lawan berhasil menghindar namun dua sisanya terpental mundur terkena hantaman bebatuan tersebut.
Buuugghh!!
Iyad, seorang elemen api. Sementara Agung adalah seorang elemen bumi.
Mereka berdua memiliki kekuatan spesial, sama-sama bisa mengeluarkan pukulan energi sesuai level dan tingkatan mereka.
Yang membedakan adalah, masing-masing dari mereka mampu memanfaatkan atau bahkan mengendalikan unsur sesuai elemen mereka.
Keempat lawan yang kini tengah mereka hadapi adalah 2 elemen bumi dan 2 lainnya ber-elemen angin.
Begitu sisa kawanan lawan melihat dua rekan mereka jatuh, keenam lelaki itu pun serentak maju bersama.
“Ah, beraninya maen keroyokan lu pada!!” Seru Iyad sambil menyeringai.
“Mainkan, Yaad….” Agung mengusap hidungnya lalu tersenyum. Meski mengulas senyuman cukup manis, matanya tampak berkilat berbahaya.
Teaser untuk S3 RATU BUMI: KELAHIRAN SANG PEWARIS(Entah kapan akan dibuat S3-nya. Tapi Author ingin berikan ini sebagai ekstra saja untuk kalian. Thanks to you all!!)Seorang wanita tengah berada di depan laptop. Sebuah kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna biru bertengger di pangkal hidungnya.Terdengar suara tuts pada keyboard yang ditekan cukup keras dan cepat.“Selesai!!” seru wanita itu dengan bibir tersungging senyum yang begitu lebar.Matanya sekali lagi menatap lekat pada layar laptop miliknya. Seolah puas dengan apa yang ia baca, ia mengangguk dan tersenyum lagi.“Mantap memang. Si gue menggambarkan tokohnya begitu nyata. Cakep banget ini. Epik,” ujarnya sambil terus mengangguk-angguk kan kepala. Tiada henti ia memuji dirinya sendiri.“Mungkin karena aku pake namaku sendiri buat tokoh cewek, ini bener-bener terasa seperti kejadian nyata. Tapi kan itu emang tujuanku..”“Sepertinya aku bener-bener jenius… Beberapa potong mimpi ku, bisa kujadikan rangkaian cerita se
Suatu hari di bulan September 2023.Aliya menggeliat lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merentangkan kedua tangannya dan menguap.Kepalanya menengok ke kiri. Sisi itu kosong.Ia lalu menengadah, melihat ke arah jam dinding dalam kamar itu. 7:15.Aliya kemudian turun dari ranjang-nya. Ia kenakan sandal rumah berbahan kain dengan bordiran inisial A pada bagian tutup kakinya.Dengan langkah malas ia keluar kamar. Kepalanya berputar mencari.Hari itu, setelah ia tadi shalat subuh, ia tertidur kembali, karena semalam ia begadang menyelesaikan pekerjaannya hingga jam 2 dini hari.Kaki Aliya terus melangkah. Kini hidungnya mencium harum masakan berasal dari dapur. Ia pun mengarahkan kakinya ke arah sumber aroma tersebut.Ia terhenti di ambang pintu dapur. Bibirnya tersenyum. Matanya menatap ke depan dengan sorot penuh kasih.Tubuh jangkung dengan masih menggunakan set piyama tidur bermotif salur itu, masih asyik melakukan sesuatu di depan kompor.“Sudah bangun, rupanya…” kata pemilik
Dean menyetir mobil Jeep Cherokee Trackhawk yang terbuka dengan santai, menikmati embusan angin yang hangat di wajahnya sementara Aliya di sampingnya tampak takjub memandangi pemandangan di sekeliling mereka.Sekitar lima belas menit lalu, Aliya dan Dean tiba di Amboseli Airtrip di dalam Taman Nasional Amboseli.Taman Nasional Amboseli ini terletak di selatan Kenya, tepatnya di Kabupaten Kajiado, dekat perbatasan Kenya dengan Tanzania.Taman ini berada sekitar 240 kilometer sebelah tenggara Nairobi, ibu kota Kenya, dan terletak di bawah bayang-bayang Gunung Kilimanjaro yang megah di Tanzania, yang memberikan latar belakang yang ikonik dan terkenal di taman ini.Amboseli terkenal dengan populasi gajah besarnya, serta pemandangan sabana yang menakjubkan.Dean sengaja membawa Aliya ke tempat favorit-nya ini, untuk memberikan pengalaman baru bagi Aliya.Dengan helikopter, mereka terbang sekitar 40 menit dari helipad di atas gedung kantor cabang Starlight Corp di Nairobi menuju Kajiado. Se
Aliya paham, yang dimaksud orang Elemen Air itu adalah Elang. Namun yang tidak ia paham, mengapa ia menangkap gestur kemarahan dari sosok Syauqi? Apakah Syauqi dan Elang pernah bertemu sebelumnya?Ini belum waktunya Aliya bertanya lebih jauh tentang itu. Jadi ia kemudian hanya mengalihkan pertanyaan pada hal lain.“Bukankah yang kudengar, bahwa Realm adalah keluarga yang memang bermukim di Tanah Air. Tapi--” Ucapan Aliya terhenti.Syauqi tertawa kecil. “Anda bingung karena saya berwajah campuran di luar Indonesia?”“Ya, jujur aku bingung.” Mau tak mau Aliya pun tertawa kecil.“Nenek saya sedikit memberontak, Madam.”“Eh?”Syauqi terkekeh. “Nenek saya kabur dari Indonesia dan menikah dengan orang Jepang. Lalu ibu saya lahir dan kemudian menikah dengan orang Amerika. Lalu lahirlah saya.”Pria berwajah elok itu menjeda diri sesaat. “Saat saya berumur lima tahun, ibu saya membawa saya kembali ke kakek buyut. Tetua Realm Api dan mengembalikan saya. Kata ibu saya, itu wasiat nenek saya sebel
Aliya bersandar di sofa lounge hotel yang nyaman, menatap tenang pada makanan di depannya.Ia mencoba hidangan khas Nairobi: Nyama Choma, potongan daging panggang yang gurih dan kaya rempah, ditemani dengan kachumbari—salad segar dari tomat, bawang, dan cabai.Rasa pedas dan segar dari kachumbari melengkapi cita rasa daging yang hangat, membuat Aliya semakin larut dalam suasana santai sambil menunggu Dean yang tengah dalam rapat mendadak di ballroom hotel.Saat kunyahan terakhir, Aliya teringat percakapannya tadi dengan Matteo, yang penuh dengan dukungan.Matteo, sahabat Dean itu, mengungkapkan ketulusan hati ketika mengetahui Aliya bersama Dean."Aku sangat bahagia, Nyonya.”“Please, panggil Aliya saja, Matteo.”Matteo tersenyum sumringah. “Baiklah.. Ya.. aku benar-benar merasa bahagia.”“Aku bisa lihat itu. Sejak pertama kita bertemu, wajahmu berseri-seri terus,” Aliya tersenyum lebar.“Ini bukan tentang diriku, Nyonya. Melihatmu akhirnya bersama Dean... itu sungguh yang selama ini
Tak berapa lama limousine yang ditumpangi Dean dan Aliya tiba di satu hotel yang tampak megah.Beberapa greeter dan bellboy tampak menyambut ramah dan penuh hormat saat Aliya dan Dean yang dipimpin Matteo, memasuki area hotel.Dean terlihat sedikit menaikkan alis—tampak berpikir sesuatu, namun tetap dengan santai mengikuti langkah Matteo yang terlihat bersemangat berbicara dengan Aliya.Aliya melangkah masuk ke dalam suite mewah di Helshington Nairobi, tak dapat menahan gumaman kagum yang meluncur pelan.Matanya menyusuri setiap sudut ruangan—sebuah suite yang luas dengan desain butik berkelas, bercampur sentuhan klasik yang elegan.Dindingnya dihiasi karya seni khas Afrika, menambah sentuhan eksotis pada ruangan yang megah namun tetap hangat.Lampu-lampu gantung dari kristal menghiasi langit-langit tinggi, sementara lantai kayu yang mengilap mencerminkan pantulan cahaya lembut dari lampu yang dipasang dengan artistik.Di satu sisi, ada balkon pribadi yang menghadap ke pemandangan perb