13.07, rumah Aliya.
Aliya mengetuk-ketukkan empat jarinya di atas sebuah meja di ruang tamu. Entah sudah berapa kali ia menghela napas.
Matanya melirik lagi ke jam tangan dengan logo huruf ‘G’ yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
Jam tangan yang sporty dan berdiamater cukup besar itu tampak mencolok di tangan Aliya yang ramping dan putih.
Aliya sedikit teringat, pernah di komplen oleh Agni karena memakai jam tangan yang di desain khusus cowok tersebut.
Namun Aliya yang memang bersifat cukup tomboy di antara saudara-saudara kandungnya, sejak dulu menyukai jam tangan dari brand Jepang yang terkenal itu. Namun baru sekarang-sekarang ini Aliya memutuskan memilikinya, setelah merasa cukup bosan dengan jam-jam elegan koleksinya dari Elang.
Ia bahkan menolak ketika Agni hendak membelikannya jam tangan dari brand internasional yang terkenal.
Bicara soal Agni, Aliya jadi teringat ia ada janji dengan Agni dan kawan-kawan elemen-nya, hari ini akan makan siang bersama di luar.
Namun hingga lewat tengah hari, tak satupun dari mereka menunjukkan batang hidungnya.
Aliya memandangi kunci mobil yang tadi ia geletakkan di atas meja tamu sambil menghela napas beberapa kali.
Sekitar 15 menit kemudian, suara knalpot dari tiga motor besar terdengar masuk ke area carport rumah Aliya dan Elang.
Aliya berdiri dari duduknya dan mengintip sedikit dari balik tirai jendela ruang tamu, lalu berbalik duduk kembali ke tempat semula.
Dengan kaki disilangkan dan tangan dilipat depan dada, Aliya menunggu teman-temannya masuk ke rumah.
“Assalammu’alaikum,” seru sebuah suara yang sudah sangat Aliya hafal.
“Wa’alaikumsalam,” Aliya menjawab datar.
Sejurus kemudian pintu terbuka, lalu tampaklah tubuh jangkung Agni di ambang pintu rumah Aliya.
Agni menyunggingkan cengirannya begitu melihat Aliya yang tengah menunggu kedatangan mereka.
“Hai Moony….” sapa Agni dengan perasaan bersalah. “Sorry kita telat banget. Soalnya tadi nungguin Iyad, susah bener dibanguninnya…”
Agni melangkahkan kaki masuk ke dalam, sementara raut wajah Iyad langsung berubah tak enak begitu mendengar kalimat Agni barusan.
Mulutnya bergerak-gerak mengucapkan kalimat ‘kok gue sih?’ pada Agung yang berdiri di sebelahnya.
Namun Agung hanya menggedikkan bahu dan menjulurkan lidahnya pada Iyad, lalu langsung mengikuti Agni melangkah masuk ke dalam rumah.
Iyad hanya mendengkus sebal, lalu mengayunkan juga langkah ketika Guntur mendorong punggungnya dari belakang.
“Moony, jadi kan?” Agni melebarkan senyumnya setelah ia duduk di sofa sebelah kiri Aliya.
“Jadi apanya, Radinka Agni?” tanya Aliya datar.
Agni menelan ludah dengan agak kesulitan.
Bulu tengkuknya terasa berdiri. Telapak tangannya juga mendadak terasa dingin dan mulai berkeringat.
Ketika Aliya telah memanggil namanya dengan lengkap seperti ini, rasanya bagaikan akan mendengar putusan hukuman mati bagi Agni.
Aliya selalu memanggil dengan nama lengkap seseorang, jika ia sedang mengabsen muridnya atau jika ia sedang marah.
Tentu saja, saat ini Aliya bukan sedang mengabsen seorang murid, karena Aliya telah lama resign dari pekerjaannya sebagai guru bahasa Inggris di sebuah Lembaga Kursus cukup ternama di kota Bogor.
Sejak Aliya dinikahi resmi secara raga oleh Elang, Aliya dibawa ke Bandung oleh Elang dan tinggal di kota ini sejak itu.
Bandung sesungguhnya bukanlah kota asing bagi Aliya, karena Aliya besar dan bersekolah di Bandung. Kedua orangtua nya pun tinggal di Bandung saat sang papa pensiun dari salah satu BUMN.
Aliya justru merasa sangat bahagia bisa kembali ke kota yang paling familiar baginya itu.
Kembali ke Agni. Kini Agni mengeluarkan jurus mautnya pada Aliya.
Tatapan mengiba.
“Moony… kita kan mau makan…. Sekarang yuk, kita jalan…”
Aliya melirik sekilas pada Agni. Lalu mengalihkan tatapannya pada Iyad.
Sekarang Iyad yang mengalami kesulitan menelan ludah dan merasakan bulu kuduknya yang meremang.
“Kau baik-baik saja, Riyadhul Jinan?” tanya Aliya sambil matanya menatap lurus pada Iyad.
“Ba-baik, Aliya…”
“Karena menurut kata Agni tadi, kau susah dibangunkan. Jadi aku kira kau sedang kurang enak badan.”
“Ti-tidak. Gue sehat, Aliya…. Cuman kurang tidur, semalam abis ngg… be-begadang,” jawab Iyad gugup.
Agung yang duduk di sebelah Iyad merapatkan bibirnya kuat-kuat menahan senyum.
Aliya lalu melirik ke arah Agung. “Apa ada yang lucu, Agung Gunadhya?”
Agung tersedak. “Ngga, Liya. Ngga…” jawabnya cepat.
Kali ini pandangan Aliya tertuju pada Guntur yang masih saja berdiri di dekat sofa tempat Agung duduk.
“Mas Gun--”
“Guntur Ramadandi,” potong Guntur mengabsen dirinya sendiri sambil mengangguk cepat. “Saya, Mbak.”
Aliya ternganga beberapa detik. Setelah ia tersadar, tangannya spontan menutup mulutnya untuk menahan tawa.
“Iya Mas! Aku tau itu nama mas Guntur. Aku tadi cuma mau ngasih tau mas Guntur untuk duduk. Jangan berdiri aja di situ..”
“Oh, nggih Mbak.” Dengan kikuk Guntur lalu berputar melewati sofa yang di duduki Agung dan Iyad, menuju satu sofa singel yang masih kosong di sebelah Iyad.
Aliya menunduk dengan tangan masih menutup mulutnya. Bahunya bergerak-gerak naik turun, menandakan ia tengah berusaha menahan tawa.
Agni, Iyad dan Agung yang melihat hal itu, saling berpandangan dan langsung menghela napas lega. Aliya tampaknya sebentar lagi selesai menampilkan raut wajah seramnya pada mereka.
Bagi mereka semua, mereka lebih memilih melakukan pertarungan seperti tadi pagi, berkali-kali, dibanding menghadapi Aliya yang memasang muka juteknya.
Meskipun kemampuan Aliya masih terkunci, namun Aliya telah mampu membuat keempat pemuda elemen ini bertekuk lutut.
Aliya beberapa saat berusaha meredakan rasa geli di hatinya, karena melihat respon Guntur tadi yang di luar dugaan Aliya.
Bagaimana Aliya akan terpikirkan bahwa Guntur secara spontan memotong kalimat Aliya dan mengabsenkan nama lengkapnya sendiri, saat Aliya tadi memanggilnya?
Yang Aliya ketahui, selain Guntur adalah seorang elemen angin ber-level 3 dan berasal dari Jogjakarta, Guntur juga dikenal sebagai penjaga yang paling pendiam dan tak banyak bicara.
Pribadinya yang bersahaja dan lebih suka mengerjakan sesuatu dibanding berkomentar, membuat Aliya terbiasa memandang Guntur sebagai pemuda yang serius.
Kebiasaan Guntur yang juga menjadi juru rapi-rapi dan bersih-bersih di basecamp mereka, makin membuat Aliya merasa segan untuk menjahilinya.
Namun tadi, akibat respon yang spontan dari Guntur, luruh lah sudah rasa kesal yang sempat menghinggap pada diri Aliya sejak jam 11 tadi.
“Baiklah. Kita jadi makan di luar. Karena aku ga tega sama mas Guntur,” cetus Aliya memecah keheningan.
“Iya, Moony. Kasian Guntur,” dukung Agni dengan cepat.
“Iya, Liya. Memang Guntur dari pagi belum sempet makan tuh. Sibuk beres-beres bekas Iyad latihan. Berantakan banget,” tambah Agung mendramatisir.
Iyad sontak menoleh pada Agung di sebelahnya dengan mata melotot sewot.
Masih tanpa suara, bibirnya bergerak-gerak lagi, melafalkan kalimat ‘kok gue lagi sih?!’
Agung melebarkan senyum dengan merapatkan giginya.
“Eh iya, Fayza ga ikut nih, Moony?” Agni bertanya sambil melongokkan kepalanya ke arah ruang dalam. “Ngga. Tadi aku dah niat mau bawa Fayza. Tapi dia ga mau. Mau main sama Tara aja katanya,” jawab Aliya. “Lagian kang Awi juga nungguin Fayza di sini. Jadi Fayza tambah malas keluar.” Tara adalah keponakan dari pengurus rumah tangga yang bekerja di kediaman Aliya dan Elang ini. Usia Tara hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari Fayza. Namun sudah bisa membuat Fayza nyaman bersamanya. Sementara ‘kang Awi’ yang dimaksud Aliya adalah Nawidi. Seorang elemen yang diutus dari Realm Air untuk ikut melindungi Aliya. Ia seorang pria berdarah dingin yang dipercaya Elang untuk melatih elemen-elemen di bawah mereka dan seorang pria yang tidak banyak bicara serta minim ekspresi. Namun demikian, Fayza terlihat tenang berada di dekat Nawidi. Saat ini, Nawidi bertanggung jawab menjaga Aliya dan Fayza karena Elang tengah melakukan perjalanan bisnis ke luar kota sekia
Guntur yang merasa iba pada Agni, merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu buah masker yang biasa ia pakai saat mengendarai motor. “Agni, kalau kamu mau, kamu bisa pakai punya saya ini…” Guntur menyodorkan tangannya yang memegang masker itu ke arah Agni. Agni yang melihat masker di tangan Guntur, tanpa banyak berpikir, langsung menyambar dan memakainya cepat. “Duh kenapa ke mall…” akhirnya terdengar suara Agni mengeluh, setelah masker itu terpasang dan menutupi setengah wajahnya. “Biasanya kita makan di resto Sunda di atas itu pan….” sambung Agni lagi. “Lha, namanya juga hukuman, Ni. Kalau di tempat biasa, mungkin jadi ndak seru untuk mbak Aliya…” perkataan Guntur yang lempeng itu membuat Agni mendelik kesal pada Guntur. Mereka berempat lalu bergegas menyusul Aliya yang kembali membalikkan badannya dan menatap mereka dengan sorot mata tidak sabar. Begitu langkah mereka selesai menapaki tangga, mereka mendapati situasi yang
Aliya lalu memutuskan untuk mengakhiri keisengannya itu.Aliya memang memiliki jiwa iseng yang sering membuat Elang kewalahan sejak awal pertemuan mereka. Kejahilan Aliya juga kadang mampu membuat panik semua teman-teman elemennya.Namun demikian, itu sama sekali tidak membuat jengkel ataupun kesal semua teman-teman Aliya. Justru itu menjadi keunikan dan ciri khas Aliya yang sering dirindukan oleh teman-teman elemen Aliya. Gegas Aliya melangkah menuju kerumunan yang sedikitnya telah berhasil diurai oleh para satpam yang tampak begitu telah berusaha keras.Begitu Aliya mendekat, ia menarik tangan Agung yang berada lebih dekat darinya.“Gung, udah. Cover. Cover,” ujar Aliya dengan mimik sedikit serius dan prihatin. “Kasih tau yang lain.”Agung mengangguk. Lalu ia menutup dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum masuk kembali ke kerumunan dan memberi tahu ketiga temannya yang lain.Segera Iyad, Guntur dan A
Di satu apartemen di Marseille, Perancis. Terlihat pria berwajah keturunan kaukasia dan pribumi tengah duduk di tepian ranjang berukuran queen. Kepalanya sedikit menunduk dan tengah menatap lembaran berkas di tangannya. Laporan tertera di sana memuat angka-angka belasan digit, debit-kredit dari satu nomor rekening atas nama Matteo. Dean memang mempercayakan penuh pengelolaan satu rekening atas nama pribadi Matteo dengan jumlah luar biasa besar, untuk keperluan pribadi Dean. Dari rekening pribadi itulah, Dean mengatur transfer pada Elang selama setahun sebelumnya. Elang dalam kondisi terpuruk, karena kekayaan Gauthier saat itu dikuasai pihak lawan Diedrich yang mengambil alih hampir seluruhnya. Dan Elang sendiri menutup akses dengan keluarga Aziz --keluarga dari pihak ibunya-- untuk mengamankan Rosaline, ibu kandungnya. Alhasil, Dean turun tangan menyuntikkan dana untuk operasional perlindungan Aliya secara diam-diam. Dean pun hanya mengatakan pada Elang, bahwa ia memiliki seoran
Siang itu Aliya hendak ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli sebuah rak gantung. Hari ini sebenarnya jadwal bagi Iyad dan Agung untuk mengawal Aliya.Namun Agni, yang beralasan ‘tengah menganggur’, ikut serta dalam pengawalan hari itu.Agung dan Iyad yang sudah sangat paham tingkah Agni ini, hanya mengulum senyum dan memajang muka pasrah.Mereka berdua sangat tahu, mereka tidak bisa melarang Agni dalam hal ini. Kecuali jika otoritas yang lebih tinggi dari mereka bertiga yang berbicara, maka Agni akan tidak punya pilihan, selain mematuhi.Jadwal patroli sudah jelas. Setiap dari mereka memiliki jadwal masing-masing.Namun Agni memang selalu tidak mau ketinggalan jika hari itu adalah pengawalan keluar rumah.Dengan alasan bosan, atau tidak ada kegiatan lain, Agni selalu ikut bergabung meskipun itu bukan jadwal dirinya.Seperti hari ini. Agni tiba-tiba telah berada di luar pagar rumah Aliya, saat Iyad dan Ag
Aliya menunduk, melihat ke dirinya sendiri, ke arah pandangan mata wanita itu tertuju.Ia memang terbilang santai dalam hal berpakaian. Seperti saat ini, ia hanya mengenakan kaos polos berlengan panjang dan celana jeans baggyserta sandal gunung.Di punggungnya, tas ransel berukuran kecil yang hanya cukup menampung ponsel, dompet serta beberapa benda kecil lainnya.“Jangan-jangan kamu copet yang berkedok pengunjung, ya?!”Mata Aliya kini membulat.Aliya memang tidak suka mempermasalahkan hal kecil. Namun, bukan Aliya namanya, jika sudah direndahkan, ia hanya diam saja.“Maaf, anda bilang apa tadi?” Aliya bertanya dengan nada tenang.Namun kedua matanya menatap tajam pada wanita di hadapannya.“Saya? Saya bilang apa? Kamu tuli?” Jari wanita muda itu lalu terangkat dan menunjuk wajah Aliya.“Orang-orang kaya kamu ini nih, yang bikin malu negara! Udah miskin, belagak j
“Ma-mak Grandong…” Mulut wanita itu mengerucut dengan ekspresi kaget yang tak bisa disembunyikan. “Sedetik liat dempulan muka lu aja gue dah mual-mual. Apalagi kudu tiap hari. Dih, dosa apa leluhur gue, sampe sial kek gitu.”Wanita itu melongo tanpa bisa berkata-kata.“Tante, apa kau yakin mampu bayar kami?” ujar Agung sambil tersenyum manis.“Satu orang dari kami, bayarannya sejam teh, segini….” Agung lalu menyodorkan kelima jarinya ke depan wajah si wanita itu.“Li…ma juta?” Wanita itu bertanya pelan.Agung menggeleng sambil memasukkan lolipop ke mulutnya. “Dikalikan sepuluh, tante.”Wanita itu terlongo lagi. Bulu mata badainya bergoyang-goyang seiring ia mengerjap.“Ka-kamu… pasti bercanda…”Agung kembali menggeleng. “Nona yang tadi, bayar kami lebih mahal dari itu…”I
‘Ada apalagi ini…..?’Ia cukup terkejut jika di hari ini akan mendapatkan pencegatan atau hal lain yang bersifat penyerangan. Karena sejak dua tahun lalu, situasi terbilang cukup kondusif bagi Aliya.Meskipun Elang beberapa kali begitu intens melakukan perjalanan ke luar kota, Aliya hanya berpikir itu hanyalah masalah pekerjaan. Bukan dan tidak ada kaitan dengan masalah keamanan yang berhubungan dengan dunia elemen.“Kalem aja, Al. Kita akan baik-baik aja. Ini hal biasa kan?” Iyad pun mengeluarkan kalimat menenangkan Aliya.Aliya mengangguk, lalu mencoba tersenyum.Ia tahu.Sekalipun benar-benar terjadi penyerangan, yang bisa ia lakukan hanyalah menjaga dirinya sendiri tetap tenang. Dan mungkin, menghubungi Elang, jika teman-teman kewalahan menghadapi penyerang mereka.Terdengar embusan napas berat di telinga Iyad. Membuat pria elemen angin itu menoleh ke kiri.Terlihat olehnya waja