Share

BAB 6

13.07, rumah Aliya.

Aliya mengetuk-ketukkan empat jarinya di atas sebuah meja di ruang tamu. Entah sudah berapa kali ia menghela napas.

Matanya melirik lagi ke jam tangan dengan logo huruf ‘G’ yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

Jam tangan yang sporty dan berdiamater cukup besar itu tampak mencolok di tangan Aliya yang ramping dan putih.

Aliya sedikit teringat, pernah di komplen oleh Agni karena memakai jam tangan yang di desain khusus cowok tersebut.

Namun Aliya yang memang bersifat cukup tomboy di antara saudara-saudara kandungnya, sejak dulu  menyukai jam tangan dari brand Jepang yang terkenal itu. Namun baru sekarang-sekarang ini Aliya memutuskan memilikinya, setelah merasa cukup bosan dengan jam-jam elegan koleksinya dari Elang.

Ia bahkan menolak ketika Agni hendak membelikannya jam tangan dari brand internasional yang terkenal.

Bicara soal Agni, Aliya jadi teringat ia ada janji dengan Agni dan kawan-kawan elemen-nya, hari ini akan makan siang bersama di luar.

Namun hingga lewat tengah hari, tak satupun dari mereka menunjukkan batang hidungnya.

Aliya memandangi kunci mobil yang tadi ia geletakkan di atas meja tamu sambil menghela napas beberapa kali.

Sekitar 15 menit kemudian, suara knalpot dari tiga motor besar terdengar masuk ke area carport rumah Aliya dan Elang.

Aliya berdiri dari duduknya dan mengintip sedikit dari balik tirai jendela ruang tamu, lalu berbalik duduk kembali ke tempat semula.

Dengan kaki disilangkan dan tangan dilipat depan dada, Aliya menunggu teman-temannya masuk ke rumah.

“Assalammu’alaikum,” seru sebuah suara yang sudah sangat Aliya hafal.

“Wa’alaikumsalam,” Aliya menjawab datar.

Sejurus kemudian pintu terbuka, lalu tampaklah tubuh jangkung Agni di ambang pintu rumah Aliya.

Agni menyunggingkan cengirannya begitu melihat Aliya yang tengah menunggu kedatangan mereka.

“Hai Moony….” sapa Agni dengan perasaan bersalah. “Sorry kita telat banget. Soalnya tadi nungguin Iyad, susah bener dibanguninnya…”

Agni melangkahkan kaki masuk ke dalam, sementara raut wajah Iyad langsung berubah tak enak begitu mendengar kalimat Agni barusan.

Mulutnya bergerak-gerak mengucapkan kalimat ‘kok gue sih?’ pada Agung yang berdiri di sebelahnya.

Namun Agung hanya menggedikkan bahu dan menjulurkan lidahnya pada Iyad, lalu langsung mengikuti Agni melangkah masuk ke dalam rumah.

Iyad hanya mendengkus sebal, lalu mengayunkan juga langkah ketika Guntur mendorong punggungnya dari belakang.

“Moony, jadi kan?” Agni melebarkan senyumnya setelah ia duduk di sofa sebelah kiri Aliya.

“Jadi apanya, Radinka Agni?” tanya Aliya datar.

Agni menelan ludah dengan agak kesulitan.

Bulu tengkuknya terasa berdiri. Telapak tangannya juga mendadak terasa dingin dan mulai berkeringat.

Ketika Aliya telah memanggil namanya dengan lengkap seperti ini, rasanya bagaikan akan mendengar putusan hukuman mati bagi Agni.

Aliya selalu memanggil dengan nama lengkap seseorang, jika ia sedang mengabsen muridnya atau jika ia sedang marah.

Tentu saja, saat ini Aliya bukan sedang mengabsen seorang murid, karena Aliya telah lama resign dari pekerjaannya sebagai guru bahasa Inggris di sebuah Lembaga Kursus cukup ternama di kota Bogor.

Sejak Aliya dinikahi resmi secara raga oleh Elang, Aliya dibawa ke Bandung oleh Elang dan tinggal di kota ini sejak itu.

Bandung sesungguhnya bukanlah kota asing bagi Aliya, karena Aliya besar dan bersekolah di Bandung. Kedua orangtua nya pun tinggal di Bandung saat sang papa pensiun dari salah satu BUMN.

Aliya justru merasa sangat bahagia bisa kembali ke kota yang paling familiar baginya itu.

Kembali ke Agni. Kini Agni mengeluarkan jurus mautnya pada Aliya.

Tatapan mengiba.

“Moony… kita kan mau makan…. Sekarang yuk, kita jalan…”

Aliya melirik sekilas pada Agni. Lalu mengalihkan tatapannya pada Iyad.

Sekarang Iyad yang mengalami kesulitan menelan ludah dan merasakan bulu kuduknya yang meremang.

“Kau baik-baik saja, Riyadhul Jinan?” tanya Aliya sambil matanya menatap lurus pada Iyad.

“Ba-baik, Aliya…”

“Karena menurut kata Agni tadi, kau susah dibangunkan. Jadi aku kira kau sedang kurang enak badan.”

“Ti-tidak. Gue sehat, Aliya…. Cuman kurang tidur, semalam abis ngg… be-begadang,” jawab Iyad gugup.

Agung yang duduk di sebelah Iyad merapatkan bibirnya kuat-kuat menahan senyum.

Aliya lalu melirik ke arah Agung. “Apa ada yang lucu, Agung Gunadhya?”

Agung tersedak. “Ngga, Liya. Ngga…” jawabnya cepat.

Kali ini pandangan Aliya tertuju pada Guntur yang masih saja berdiri di dekat sofa tempat Agung duduk.

“Mas Gun--”

“Guntur Ramadandi,” potong Guntur mengabsen dirinya sendiri sambil mengangguk cepat. “Saya, Mbak.”

Aliya ternganga beberapa detik. Setelah ia tersadar, tangannya spontan menutup mulutnya untuk menahan tawa.

“Iya Mas! Aku tau itu nama mas Guntur. Aku tadi cuma mau ngasih tau mas Guntur untuk duduk. Jangan berdiri aja di situ..”

“Oh, nggih Mbak.” Dengan kikuk Guntur lalu berputar melewati sofa yang di duduki Agung dan Iyad, menuju satu sofa singel yang masih kosong di sebelah Iyad.

Aliya menunduk dengan tangan masih menutup mulutnya. Bahunya bergerak-gerak naik turun, menandakan ia tengah berusaha menahan tawa.

Agni, Iyad dan Agung yang melihat hal itu, saling berpandangan dan langsung menghela napas lega. Aliya tampaknya sebentar lagi selesai menampilkan raut wajah seramnya pada mereka.

Bagi mereka semua, mereka lebih memilih melakukan pertarungan seperti tadi pagi, berkali-kali, dibanding menghadapi Aliya yang memasang muka juteknya.

Meskipun kemampuan Aliya masih terkunci, namun Aliya telah mampu membuat keempat pemuda elemen ini bertekuk lutut.

Aliya beberapa saat berusaha meredakan rasa geli di hatinya, karena melihat respon Guntur tadi yang di luar dugaan Aliya.

Bagaimana Aliya akan terpikirkan bahwa Guntur secara spontan memotong kalimat Aliya dan mengabsenkan nama lengkapnya sendiri, saat Aliya tadi memanggilnya?

Yang Aliya ketahui, selain Guntur adalah seorang elemen angin ber-level 3 dan berasal dari Jogjakarta, Guntur juga dikenal sebagai penjaga yang paling pendiam dan tak banyak bicara.

Pribadinya yang bersahaja dan lebih suka mengerjakan sesuatu dibanding berkomentar, membuat Aliya terbiasa memandang Guntur sebagai pemuda yang serius.

Kebiasaan Guntur yang juga menjadi juru rapi-rapi dan bersih-bersih di basecamp mereka, makin membuat Aliya merasa segan untuk menjahilinya.

Namun tadi, akibat respon yang spontan dari Guntur, luruh lah sudah rasa kesal yang sempat menghinggap pada diri Aliya sejak jam 11 tadi.

“Baiklah. Kita jadi makan di luar. Karena aku ga tega sama mas Guntur,” cetus Aliya memecah keheningan.

“Iya, Moony. Kasian Guntur,” dukung Agni dengan cepat.

“Iya, Liya. Memang Guntur dari pagi belum sempet makan tuh. Sibuk beres-beres bekas Iyad latihan. Berantakan banget,” tambah Agung mendramatisir.

Iyad sontak menoleh pada Agung di sebelahnya dengan mata melotot sewot.

Masih tanpa suara, bibirnya bergerak-gerak lagi, melafalkan kalimat ‘kok gue lagi sih?!’

Agung melebarkan senyum dengan merapatkan giginya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bintang
glad to see you kak Dewy........
goodnovel comment avatar
Dewy Nasprihana
haaayyy,, i'm back .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status