Tangan Alura masih gemetar saat ia menatap tanda tangan yang menunggu untuk ia goreskan di sana. Pena hitam di tangannya terasa berat, seolah menampung seluruh beban dunia yang tiba-tiba jatuh di pundaknya.
Di seberang meja, Arga berdiri dengan sikap tenang dan wajahnya yang dingin itu seolah tidak pernah bergeser sedikit pun dari ekspresi tanpa emosi. Tatapan tajamnya tertuju pada Alura, menunggu keputusan yang akan mengikat hidup mereka berdua untuk selamanya. “Ini bukan sekadar pernikahan,” kata Arga dengan suara rendah yang menggema di ruangan hening itu. “Ini sebuah perjanjian. Perjanjian yang menentukan nasib kita. Dan lebih dari itu, nasib dunia yang kita tinggali.” Alura mengerjap, mengalihkan pandangannya ke jendela di baliknya. Hujan turun perlahan di luar, membasahi taman kecil yang dulu pernah menjadi tempat ia bermain masa kecil. Sekarang, dunia di luar sana tampak begitu jauh dan dingin. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Selama ini, Arga adalah pria yang dingin dan penuh rahasia. Tetapi kontrak di hadapannya itu, yang katanya adalah alasan mereka harus menikah, menjadi teka-teki yang lebih berat dari yang pernah ia bayangkan. “Kalau aku tidak tanda tangani... apa yang akan terjadi?” suara Alura terdengar rapuh, hampir seperti bisikan. Arga akhirnya duduk, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Matanya menatap dalam ke arah Alura, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tidak terucapkan lewat kata-kata. “Kau tidak punya pilihan, Alura. Ini bukan soal kehendakmu lagi,” jawabnya pelan. “Kontrak ini mengikat kita dengan kekuatan yang lebih besar daripada kita berdua. Takdir yang sudah lama ditulis, dan kini waktunya tiba.” Detik-detik berlalu perlahan, tapi baginya seperti waktu berhenti. Jantungnya berdetak keras, dan udara di sekitarnya terasa semakin berat. Ia merasakan ada sesuatu yang menahan napas di balik bayang-bayang, sesuatu yang lebih besar dari dirinya dan Arga. Ia menunduk, matanya menatap tinta di kertas itu, dan bayangan wajah ibu yang telah lama hilang terlintas dalam pikirannya. Ibu yang tak pernah ia kenal, yang meninggalkan dunia ini dengan rahasia besar yang kini menuntutnya untuk bangkit. “Kau tahu, aku bukan hanya menikah karena cinta atau kesepakatan biasa. Ini adalah ikatan darah yang tak bisa diabaikan,” lanjut Arga, suaranya semakin serius. “Darah yang mengalir dalam tubuhmu adalah kunci, Alura. Kunci yang bisa membuka atau menutup segel yang sudah lama terkunci.” Alura mengerutkan kening, jantungnya berdegup lebih cepat. Segel? Apa maksudnya? Kenapa selama ini ia tidak pernah diberi tahu tentang hal ini? “Kau tidak pernah menceritakan ini sebelumnya,” katanya pelan, menatap tajam pada Arga. “Karena aku tak ingin kau terbebani sebelum waktunya,” Arga menjawab. “Tapi sekarang... waktunya sudah tiba. Pilihan ada di tanganmu.” Alura merasakan sesuatu di dalam dirinya seperti tersentuh dan tergerus oleh gelombang emosi yang bercampur takut, bingung, marah, dan juga sebuah rasa tanggung jawab yang perlahan tumbuh. Ia menatap kertas kontrak itu sekali lagi, dan dalam hatinya ia tahu, tanda tangannya akan membawa konsekuensi yang tidak bisa ia tarik kembali. Tapi ia juga tahu, jika ia menolak, bukan berarti jalan itu akan tertutup. Bahaya yang mengintai jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Dunia yang selama ini ia anggap aman, sebenarnya menyimpan rahasia dan ancaman yang mengerikan. Alura menutup matanya sejenak, membayangkan sebuah dunia di mana ia harus berjuang untuk melindungi semua yang ia cintai, dan juga untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan yang ingin bangkit dan dunia manusia biasa. “Kau siap, Alura?” suara Arga memecah kesunyian, dengan nada yang tak bisa dibantah. Ia membuka matanya perlahan. Rasa takut masih ada, tapi ia tahu waktu untuk ragu telah habis. Dengan tangan yang kini sudah lebih mantap, ia meraih pena dan menandatangani kontrak itu. Seketika, ruangan terasa bergetar halus, dan cahaya lampu gantung seolah berdenyut mengikuti detak jantungnya. Arga menatapnya, kali ini dengan sedikit senyum tipis yang sangat jarang ia tunjukkan. “Kau sudah resmi menjadi bagian dari perjanjian ini, Ratu. Tidak ada jalan kembali.” Alura menatap dokumen itu, kini sudah terisi dengan tanda tangannya sendiri. Di luar jendela, hujan berhenti, dan angin malam membawa bisikan halus yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mengerti. “Ini baru permulaan,” bisiknya pada diri sendiri. Setelah menandatangani kontrak itu, Alura duduk terpaku, rasa campur aduk menguasai hatinya. Pena di tangan terasa berat, seolah bukan hanya tinta yang mengikat, tapi juga takdir yang menjerat. Ia teringat masa kecilnya yang bebas, tanpa bayang-bayang janji dan rahasia. Kini, semua itu berubah, pernikahan ini bukan sekadar ikatan, tapi sebuah perjanjian yang membawanya ke dunia yang belum ia mengerti sepenuhnya. Alura menatap Arga, yang diam menunggu dengan wajah serius. Ada beban yang tersembunyi di matanya, rahasia yang belum terungkap. “Arga,” suara Alura pelan namun tegas, “apakah aku benar-benar punya pilihan? Ataukah ini takdir yang tak bisa kuhindari?” Arga menarik napas panjang. “Pilihan selalu ada, tapi bukan berarti mudah. Kadang kita harus menerima jalan yang sudah digariskan dan memilih bagaimana melangkah di dalamnya.” Kata-katanya menyentuh hati Alura. Ia sadar ini bukan akhir, melainkan awal sebuah perjalanan penuh tantangan. Dengan tekad baru, Alura berdiri dan menatap jendela yang menyambut dinginnya malam. “Kalau begitu, aku akan jalani ini. Bersama.” Arga mengangguk pelan, senyumnya tipis tapi tulus. “Kau tidak sendiri.”Pagi itu dingin, lebih dingin dari biasanya.Kabut tebal menyelimuti halaman rumah Klan Bayangan, membuat matahari tampak seperti cahaya redup yang tersesat di balik awan. Alura berdiri di depan jendela kamarnya, memperhatikan tetes embun yang turun dari dedaunan. Sesuatu dalam dirinya merasa tidak tenang sejak peristiwa semalam.Bayangan yang mencoba menyusup. Suara yang berkata, “Aku menunggumu di ambang.”Arga memutuskan pagi ini mereka harus pergi.“Ke Hutan Senja,” katanya singkat sambil menyiapkan pedang panjang yang biasa tersembunyi di dalam lemari dinding. “Kita harus memastikan jalur antara dunia ini dan dunia bawah belum terbuka sepenuhnya.”Alura menoleh cepat. “Hutan Senja…?”Arga mengangguk. “Penduduk lokal menyebutnya Hutan yang Tidak Pernah Tidur. Karena tidak ada waktu di sana. Siang dan malam tak berarti. Jika kita terlalu lama berada di dalamnya, kita bisa lupa siapa kita.”Alura diam sejenak. “Dan kau ingin aku ikut ke sana?”“Aku takkan pergi tanpa kau. Segelmu be
Angin malam menghempas jendela kamar Alura dengan suara gemuruh halus. Di luar, hujan belum turun, tapi udara sudah terasa berat, seolah langit menggantungkan sesuatu yang tak diucapkan. Lampu gantung bergoyang pelan, cahayanya memantul di lantai marmer seperti bayangan yang belum sempurna.Alura duduk di ranjangnya, punggung menempel pada sandaran kayu. Tangannya menggenggam liontin ibunya, benda kecil yang kini terasa lebih panas dari biasanya. Sejak malam itu, malam ketika Keysha terbaring menggigil, dan bayangan di balkon menghilang dalam kabut sesuatu dalam dirinya berubah.Bukan kekuatan baru, tapi kesadaran.Ada yang menunggunya di ambang. Bukan hanya makhluk dari dunia bawah, atau musuh yang ingin membunuhnya, tapi bagian dari dirinya sendiri. Bagian yang ia warisi dari darah Lilith yang kini mulai bangkit.Ia tak berani tidur.Dan seolah semesta merespons kecemasannya, suara langkah terdengar dari lorong. Tidak cepat, tidak terburu-buru, tapi berat, seolah membawa beban yang
Udara malam membawa aroma tanah basah ketika Alura berdiri di depan jendela kamarnya. Tirai putih bergerak perlahan ditiup angin, menyentuh kulit lengannya yang dingin. Di luar, taman tampak sunyi, tapi Alura tahu, ada sesuatu yang belum pergi.Bayangan itu.Ia bisa merasakannya.Bukan dalam bentuk atau suara, tapi sebagai desakan samar di tengkuknya, seperti mata yang terus menatap dari balik semak gelap.Hari itu telah berakhir, tetapi pikirannya tidak bisa diam.Percakapannya dengan Arga terus berputar-putar dalam kepala. Tentang segel. Tentang api kuno. Tentang perjanjian yang tak lagi bisa dibatalkan. Tapi yang paling melekat justru satu kalimat: “Aku takut jika harus memilih antara melindungimu… atau menghentikanmu.”Alura memejamkan mata.Apa Arga benar-benar percaya ia bisa berubah menjadi sesuatu yang tak terkendali?Atau… itu hanya ketakutan yang ia proyeksikan kepada dirinya sendiri?Ia menghela napas panjang, lalu meraih buku catatan dari bawah meja. Bukan untuk mencatat p
Ruangan itu tetap hening setelah Arga mengucapkan kata-kata terakhirnya. Tapi bagi Alura, keheningan itu lebih bising dari ribuan teriakan. Ia berdiri membatu, sementara buku tua di depannya masih terbuka, seolah menantinya untuk melangkah lebih jauh ke dalam kebenaran yang belum selesai.Arga mendekat, langkahnya mantap meski mata tajamnya menyiratkan kelelahan. Alura menyadari, di bawah sinar remang dari sihir lilin yang menyala di langit-langit batu, wajah Arga tampak lebih manusiawi. Lebih… rentan.“Apa semua ini berarti aku hanya pion?” tanya Alura, suaranya pelan namun tidak goyah.“Tidak,” jawab Arga, singkat. Tapi lalu ia menambahkan, “Kau adalah pusatnya. Tapi pusat pun bisa dikendalikan… jika tidak cukup kuat.”Alura memalingkan wajahnya. Ia tak tahu apa yang lebih menyakitkan, fakta bahwa dunia telah merancang jalan ini sejak lama, atau bahwa Arga tahu semua dan tetap diam. Tapi sesuatu dalam dirinya, simbol merah yang samar menyala di bawah kulitnya, membisikkan bahwa semu
Langit mendung belum bergeser sejak pagi. Angin yang masuk melalui celah jendela kamar Alura membawa bau tanah basah, tapi ada sesuatu yang lain juga, aroma logam samar, seperti... darah.Alura berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya sendiri. Ada lingkaran gelap samar di bawah matanya. Tubuhnya letih, tapi pikirannya terlalu gelisah untuk tidur nyenyak.Ia membuka laci meja dan mengeluarkan selembar kertas tua yang semalam ia temukan, terlipat rapi di dalam buku warisan milik ibunya. Di permukaan kertas itu, tercetak simbol asing berwarna merah gelap, hampir seperti ukiran darah kering. Tidak seperti tulisan manusia. Tapi anehnya... ia bisa membacanya.“Darah adalah kunci, bukan kutukan. Simbol adalah pintu, bukan akhir.”Kalimat itu terngiang dalam kepalanya. Hatinya berdebar.Alura tahu, ini bukan pesan biasa. Simbol itu mirip dengan yang ia lihat dalam mimpi-mimpi anehnya dan di punggungnya sendiri. Kadang berdenyut panas saat malam tiba, seolah hidup.Ia menyentuh punggung
Alura duduk di bangku pojok kelas, matanya tak lepas dari sosok Rio yang tampak berbeda hari ini. Tatapan Rio sebelumnya hanya biasa, kini berubah dingin, hampir seperti bukan manusia. Ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Sejak insiden di sekolah, segala sesuatunya berubah perlahan tapi pasti. Rio tidak lagi seperti teman sekelas biasa. Tatapannya, yang kini sering menempel padanya, terasa penuh rahasia dan ancaman terselubung. Tapi Alura masih belum tahu apa maksudnya. “Tadi kau bilang kau tahu siapa yang membuka portal itu,” suara Rio tiba-tiba memecah keheningan saat mereka berdua sedang di lorong sekolah, hampir kosong. “Apa kau benar-benar siap menghadapi kenyataan itu?” Alura menatapnya, hatinya berdegup cepat. “Aku harus siap. Aku tidak bisa terus menghindar.” Rio melangkah mendekat, pandangannya makin intens. “Kadang, kenyataan lebih kejam daripada yang bisa kau bayangkan.” Alura menelan ludah. Ada sesuatu yang mengusik dalam kata-katanya, sesuatu yang tak bis