Home / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 2. Wanita di Ruang Tengah

Share

Bab 2. Wanita di Ruang Tengah

Author: Quennnzy
last update Last Updated: 2025-06-18 16:36:26

Langit pagi tampak pucat keperakan ketika Alura turun dari lantai dua. Rambutnya dikuncir setengah, seragam barunya pas di tubuh, dan wajahnya memantulkan bayangan gadis biasa yang siap masuk sekolah.

“…Kau yakin dia tinggal di sini?”

Langkahnya terhenti ketika suara pelan terdengar dari ruang tengah. Suara perempuan lembut, tapi penuh nada curiga.

"Tuan Arga sendiri yang memerintahkannya,” jawab pelayan.

Alura melangkah lebih dekat, sengaja membiarkan langkahnya terdengar. Ketika ia muncul di ambang pintu ruang tengah, dua pasang mata langsung menoleh padanya.

Yang pertama adalah pelayan wanita dari semalam, masih dengan ekspresi kaku seperti boneka porselen.

Yang kedua…

Alura langsung tahu siapa dia. Perempuan itu duduk dengan anggun di sofa, mengenakan gaun rumah berwarna putih gading, dan kulitnya terlihat sebersih porselen. Rambut hitamnya digelung rapi, dan tatapan matanya tajam seperti pisau yang terbungkus senyum.

Keysha, Istri pertama.

Alura membalas tatapannya tanpa ragu. Tidak ada salam, tidak ada senyum basa-basi.

"Jadi ini dia?” tanya Keysha, suaranya datar tapi penuh sindiran.

Pelayan mengangguk. “Nyonya Alura.”

Keysha berdiri, lalu berjalan perlahan mendekati Alura. Tumit sepatunya berbunyi di lantai marmer seperti denting waktu yang menyeramkan.

"Aku Keysha, istri sah dari Arga. Kau… tinggal di sini mulai hari ini?”

"Ya,” jawab Alura tenang.

Keysha menatapnya dari atas ke bawah, lalu tersenyum tipis.

"Kau kelihatan seperti anak SMA.”

"Aku memang anak SMA.”

Keysha tampak terkejut sepersekian detik, lalu tertawa kecil, tawa yang tidak hangat, tidak jujur.

“Berani juga suamiku sekarang.”

Alura tidak menanggapi. Ia tidak perlu menjelaskan apa pun pada wanita ini. Tapi dalam hati, ia mencatat, Keysha bukan wanita bodoh.

Tatapannya tajam, nadanya penuh jebakan. Ini akan menjadi lawan yang rumit.

“Sarapan sudah disiapkan,” kata pelayan cepat, mencoba meredakan ketegangan. “Nona Alura harus segera berangkat ke sekolah.”

Keysha berjalan ke meja makan, duduk, dan menyilangkan kaki dengan anggun. “Silakan makan. Aku tidak keberatan berbagi rumah, selama tidak ada yang bermain api.”

Alura hanya menatapnya. Senyumnya samar, namun suaranya tenang saat menjawab, “Api bukan sesuatu yang bisa dimainkan. Kadang ia membakar habis segalanya, termasuk orang yang menyulutnya.”

Keysha membeku sebentar. Kemudian ia kembali tersenyum, tapi senyumnya kini lebih dingin dari pagi mendung.

***

Mobil menurunkannya di depan gerbang sekolah elite. Sekolah itu tinggi, bersih, penuh anak-anak orang kaya dengan wajah tanpa beban. Tapi Alura bisa merasakan energi aneh di tempat ini. Bukan sihir… lebih seperti kekosongan. Seperti ada sesuatu yang hilang di balik tawa para siswa.

Seorang guru menyambutnya dengan senyum profesional. “Kau siswa pindahan dari luar negeri, ya? Kami sudah menyiapkan kelas dan jadwalmu. Namamu... Alura Dira?”

Alura mengangguk. Nama manusia yang ia pilih sendiri, sebuah versi pendek dari nama aslinya, Aluratharza, yang terlalu berat untuk lidah manusia.

"Ini seragammu. Ruang kelasmu di lantai dua, kelas 3B.”

Alura mengambil map dan berjalan menyusuri koridor. Beberapa siswa menoleh padanya, membisikkan komentar. Wajah cantik dan auranya yang tenang membuatnya mencolok.

Ia tidak peduli. Ia punya tujuan.

Namun saat melewati tangga, ia merasakan sesuatu.

Tatapan.

Bukan satu, dua, tiga. Ia berhenti, menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa. Tapi firasatnya tajam dan ia tahu betul bagaimana rasanya sedang diburu.

Kelas 3B cukup ramai. Begitu Alura masuk, ruangan langsung hening.

Guru memperkenalkannya singkat, lalu memintanya duduk di bangku kosong di belakang. Seorang siswa laki-laki dengan rambut berantakan dan kacamata menoleh padanya, lalu tersenyum ramah.

"Aku Dion. Duduk aja di sini. Yang lain agak… sibuk sok cool.”

Alura hanya mengangguk. Anak itu tampaknya normal, terlalu normal.

Beberapa siswa menatapnya diam-diam. Beberapa lainnya hanya sibuk dengan ponsel. Tapi satu orang, seorang gadis berambut pirang terang dengan tatapan sinis, terus menatap Alura seperti hendak menguliti wajahnya.

"Namanya Dira, ya?” bisik gadis itu. “Kayak model.”

"Kalau model dari neraka?” timpal temannya tertawa.

Alura tidak bereaksi. Tapi dalam hati, ia mencatat wajah mereka satu per satu. Dunia manusia memang penuh drama, tapi ia tidak boleh terpancing. Aturannya jelas, tidak boleh membunuh.

Waktu berlalu lambat. Pelajaran terasa membosankan. Ia tidak terbiasa duduk diam mendengarkan manusia menjelaskan teori yang tidak penting. Tapi saat istirahat tiba, sesuatu terjadi.

Alarm darurat berbunyi. Seluruh siswa panik.

Guru masuk dengan wajah pucat. “Semua tetap di kelas! Ada... ada insiden di ruang peralatan.”

Alura merasa nadinya berdetak lebih cepat.

Aura itu, lagi.

Sama seperti tadi malam, dan kali ini… lebih dekat.

Ia berdiri, menatap jendela. Bayangannya sendiri kembali menatapnya dari kaca, tapi untuk sepersekian detik, matanya berubah merah.

Ia langsung menunduk.

Tidak.

Jangan bangkit sekarang.

Belum waktunya.

Di ruang kepala sekolah, Arga berdiri dengan ekspresi dingin di depan monitor pengawas. Kamera keamanan menampilkan koridor sekolah… dan satu frame menunjukkan sesuatu aneh.

Bayangan hitam, berdiri di ujung lorong. Tidak berbentuk, tapi terlihat.

Arga menyipitkan mata.

Ia mengangkat ponsel. “Ada gangguan. Pastikan Alura tidak tahu dulu.”

Suara di seberang menjawab, “Tapi… Tuan, ini dari dunia bawah.”

Arga diam.

Lalu suaranya terdengar dingin.

"Kalau ada yang menyentuh dia… aku yang akan membunuh mereka sendiri.”

Setelah alarm dibunyikan dan guru masuk dengan wajah panik, suasana kelas 3B langsung berubah tegang. Dion melirik Alura dengan gelisah.

“Kau dengar apa yang terjadi?” bisiknya.

Alura menggeleng, padahal firasatnya lebih tajam dari siapa pun di ruangan itu. Aura sihir tadi... bukan dari iblis selevel prajurit, itu kuat, kuno dan... sangat familiar.

"Mereka bilang ada darah di ruang peralatan,” gumam salah satu siswa perempuan, ketakutan.

Darah.

Satu kata itu membuat napas Alura menahan. Ia menutup matanya sebentar, menarik napas pelan, lalu mengusir gemetar halus dari tubuh manusianya.

“Jadi sekarang sekolah penuh pembunuh?” tanya si rambut pirang sinis tadi. “Hebat. Baru dua minggu lalu juga ada yang menghilang.”

Alura menoleh cepat. “Menghilang?”

Si gadis mendengus. “Satu siswa kelas 3C. Namanya Timo. Anak introvert, jarang ngomong. Tiba-tiba gak pernah datang lagi. Katanya pindah. Tapi rumor bilang... dia bunuh diri atau dibunuh.”

Alura diam.

Timo. Nama itu... tidak terdengar penting. Tapi jika sekolah ini sudah lama menyimpan kasus seperti itu, berarti ini bukan insiden baru.

“Kau tahu apa pun soal itu?” tanya Dion, agak berbisik.

“Aku baru saja masuk hari ini,” jawab Alura, suaranya tenang tapi ada nada tajam di ujungnya. Dion mundur sedikit, menunduk, lalu pura-pura fokus ke papan tulis meski tidak ada pelajaran yang dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 98. Bayangan yang Mengikuti

    Udara di luar terasa lebih tipis.Seperti setiap helai napas harus berjuang menembus lapisan dingin yang menusuk paru-paru. Langkah Alura melambat ketika kakinya menjejak tanah lembap yang berbau logam. Rafael berada setengah langkah di depannya, bahunya tegang, matanya tajam menyapu kegelapan.Mereka telah meninggalkan lorong batu yang sempit itu, tetapi kelegaan yang seharusnya datang tidak pernah muncul. Sebaliknya, rasa terjebak kini bergeser menjadi rasa diawasi.Dan itu jauh lebih mengganggu.Suara langkah ketiga terdengar samar di belakang.Tidak keras, tapi cukup teratur untuk bukan sekadar gema dari langkah mereka sendiri. Alura menoleh sekilas, tetapi yang ia lihat hanyalah bayangan yang bergerak di antara kabut tipis."Terus jalan," suara Rafael datar, tapi nada waspadanya tidak bisa disembunyikan. "Jangan menoleh terlalu lama."Alura menggenggam mantel di dadanya, bukan karena dingin semata, melainkan untuk menahan detak jantungnya yang melonjak. Setiap detik yang lewat te

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 97. Jejak yang Tak Seharusnya Ada

    Udara di ruang itu semakin padat, seperti setiap tarikan napas mencuri sebagian kekuatan dari paru-paru mereka. Cahaya dari obor yang mereka bawa hanya menjangkau beberapa langkah ke depan, sisanya tenggelam dalam kegelapan yang terasa hidup bergerak pelan, seakan menunggu saat yang tepat untuk menutup rapat jalannya. “Rafael…” suara Alura nyaris tak terdengar, tapi nada cemas di dalamnya memotong sunyi yang terlalu panjang. “Lantai ini… berbeda.” Rafael menunduk, matanya mengikuti jejak samar di permukaan batu. Bukan retakan biasa. Jejak itu seperti ukiran melingkar, membentuk pola rumit yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Namun yang membuat darahnya sedikit membeku adalah noda merah yang mengisi sebagian garis ukiran itu—terlalu segar untuk sesuatu yang seharusnya sudah terkubur selama ratusan tahun. “Itu darah,” Rafael bergumam, tatapannya menyapu ke sekeliling. “Dan ini bukan milik kita.” Alura mundur setengah langkah. “Kalau bukan milik kita… berarti ada orang lain di si

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 96. Panggilan dari Ujung Gelap

    Langkah Alura terhenti.Bukan karena suara di belakang, bukan pula karena tatapan Rafael yang terfokus penuh pada lorong di depan mereka. Tetapi karena sesuatu atau seseorang baru saja bernafas di telinganya.Bukan napas manusia.Tidak teratur, tapi berirama. Hangat dan dingin bergantian, seperti ada dua musim yang bertabrakan di dalam dada satu makhluk.Alura memutar tubuhnya pelan. Lorong di belakang kosong. Batu-batunya tetap basah, udara tetap pekat. Tidak ada siapa-siapa… kecuali kilatan merah yang sempat memotong kegelapan, lalu lenyap.Rafael menatapnya. “Kau melihatnya lagi?”Alura menelan ludah. “Dia… mendekat.”“Dia tidak pernah pergi,” jawab Rafael tanpa mengalihkan pandangan ke belakang.Lalu, dari ujung lorong depan, terdengar bunyi gesekan besi. Bukan seperti pintu dibuka, melainkan seperti rantai ditarik dari dalam dinding.Rafael langsung berdiri di depan Alura, sikapnya tegang. “Itu bukan jalur yang ingin kita ambil.”“Tapi kita tidak punya pilihan lain.”Mereka berja

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 95. Lorong yang Menyimpan Rasa

    Lorong itu sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi yang memaksa setiap desah napas terdengar seperti gemuruh di antara dinding batu yang mengerutkan kening. Alura dan Rafael berjalan pelan, langkah mereka seolah menyatu dengan denyut detak jantung lorong yang terus berdetak, menggetarkan setiap batu yang mereka pijak. Udara pekat, berat, menyelimuti setiap inci ruang itu, seakan-akan sesuatu yang lama tertidur mulai terbangun dan mengamati mereka dari balik bayangan. Cahaya obor Rafael menari-nari, menciptakan bayangan-bayangan yang membelai dinding dengan bentuk-bentuk yang sulit dikenali, namun terasa penuh ancaman. Di setiap tikungan, ukiran-ukiran misterius menyapa mata mereka, tanda-tanda dari masa lalu yang mencoba berbicara tanpa suara. Alura merasakan sentuhan halus di belakang lehernya, sebuah hawa dingin yang menjalar ke tulang belakangnya. “Kau merasakannya juga?” bisiknya pada Rafael. Rafael mengangguk pelan. “Ini bukan tempat biasa, Alura. Kita bukan tamu yang

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 94. Mata yang Mengingat

    Udara di lorong itu menebal, seolah setiap tarikan napas membawa serpihan logam ke paru-paru. Alura menatap mata merah itu tanpa berkedip, meski setiap instingnya berteriak untuk mundur. Cahaya biru dari retakan dinding meredup, dan hanya menyisakan lingkar cahaya samar di lantai batu yang retak. Langkah makhluk itu lambat, tapi setiap pijakannya memunculkan suara basah yang membuat Rafael memiringkan pedangnya sedikit, siap memotong kapan saja. Aroma darah tua mulai memenuhi udara, bukan darah segar, melainkan seperti darah yang sudah lama membeku di tanah dan tiba-tiba diaduk kembali. Ketika sosok itu sepenuhnya keluar dari kegelapan, Alura merasa dadanya sesak. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat kebiruan, dan bekas luka dalam membelah bahunya hingga ke dada. Rambut hitamnya kusut, basah, menempel di pipi. Dan yang paling membuat napas Alura tercekat, luka di sisi perutnya masih terbuka, tapi tidak ada darah yang menetes. Luka itu seperti retakan di batu, menganga tapi membisu. Rafae

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 93. Nafas yang Tak Seharusnya Ada

    Langkah mereka semakin pelan. Lorong itu seperti sengaja memanjang tanpa ujung, memaksa siapa pun yang masuk untuk menghitung setiap detik hanya demi tetap waras. Rafael menyalakan api di telapak tangannya, cukup kecil untuk tidak mengundang perhatian, namun cukup hangat agar Alura tahu dia masih di sana. Api itu memantulkan bayangan di dinding, dan untuk sesaat, bayangan itu tampak… bernafas. Alura menghentikan langkah. “Rafael…” bisiknya. Rafael menoleh, matanya menyipit. “Aku melihatnya.” Di hadapan mereka, dinding batu seakan bergerak. Bukan bergeser secara fisik, tapi teksturnya berubah retakan-retakan kecil membentuk pola melingkar, seperti mata yang terbuka perlahan. Di tengah pola itu, udara bergetar, mengeluarkan desah rendah… seperti suara seseorang yang baru saja menarik napas panjang setelah lama tenggelam. Alura merasakan hawa itu menembus kulitnya. Tidak dingin. Tidak panas. Tapi asing. Terlalu asing. “Ini bukan lorong biasa…” Rafael melangkah maju, mengulurkan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status