Langit pagi tampak pucat keperakan ketika Alura turun dari lantai dua. Rambutnya dikuncir setengah, seragam barunya pas di tubuh, dan wajahnya memantulkan bayangan gadis biasa yang siap masuk sekolah.
“…Kau yakin dia tinggal di sini?” Langkahnya terhenti ketika suara pelan terdengar dari ruang tengah. Suara perempuan lembut, tapi penuh nada curiga. "Tuan Arga sendiri yang memerintahkannya,” jawab pelayan. Alura melangkah lebih dekat, sengaja membiarkan langkahnya terdengar. Ketika ia muncul di ambang pintu ruang tengah, dua pasang mata langsung menoleh padanya. Yang pertama adalah pelayan wanita dari semalam, masih dengan ekspresi kaku seperti boneka porselen. Yang kedua… Alura langsung tahu siapa dia. Perempuan itu duduk dengan anggun di sofa, mengenakan gaun rumah berwarna putih gading, dan kulitnya terlihat sebersih porselen. Rambut hitamnya digelung rapi, dan tatapan matanya tajam seperti pisau yang terbungkus senyum. Keysha, Istri pertama. Alura membalas tatapannya tanpa ragu. Tidak ada salam, tidak ada senyum basa-basi. "Jadi ini dia?” tanya Keysha, suaranya datar tapi penuh sindiran. Pelayan mengangguk. “Nyonya Alura.” Keysha berdiri, lalu berjalan perlahan mendekati Alura. Tumit sepatunya berbunyi di lantai marmer seperti denting waktu yang menyeramkan. "Aku Keysha, istri sah dari Arga. Kau… tinggal di sini mulai hari ini?” "Ya,” jawab Alura tenang. Keysha menatapnya dari atas ke bawah, lalu tersenyum tipis. "Kau kelihatan seperti anak SMA.” "Aku memang anak SMA.” Keysha tampak terkejut sepersekian detik, lalu tertawa kecil, tawa yang tidak hangat, tidak jujur. “Berani juga suamiku sekarang.” Alura tidak menanggapi. Ia tidak perlu menjelaskan apa pun pada wanita ini. Tapi dalam hati, ia mencatat, Keysha bukan wanita bodoh. Tatapannya tajam, nadanya penuh jebakan. Ini akan menjadi lawan yang rumit. “Sarapan sudah disiapkan,” kata pelayan cepat, mencoba meredakan ketegangan. “Nona Alura harus segera berangkat ke sekolah.” Keysha berjalan ke meja makan, duduk, dan menyilangkan kaki dengan anggun. “Silakan makan. Aku tidak keberatan berbagi rumah, selama tidak ada yang bermain api.” Alura hanya menatapnya. Senyumnya samar, namun suaranya tenang saat menjawab, “Api bukan sesuatu yang bisa dimainkan. Kadang ia membakar habis segalanya, termasuk orang yang menyulutnya.” Keysha membeku sebentar. Kemudian ia kembali tersenyum, tapi senyumnya kini lebih dingin dari pagi mendung. *** Mobil menurunkannya di depan gerbang sekolah elite. Sekolah itu tinggi, bersih, penuh anak-anak orang kaya dengan wajah tanpa beban. Tapi Alura bisa merasakan energi aneh di tempat ini. Bukan sihir… lebih seperti kekosongan. Seperti ada sesuatu yang hilang di balik tawa para siswa. Seorang guru menyambutnya dengan senyum profesional. “Kau siswa pindahan dari luar negeri, ya? Kami sudah menyiapkan kelas dan jadwalmu. Namamu... Alura Dira?” Alura mengangguk. Nama manusia yang ia pilih sendiri, sebuah versi pendek dari nama aslinya, Aluratharza, yang terlalu berat untuk lidah manusia. "Ini seragammu. Ruang kelasmu di lantai dua, kelas 3B.” Alura mengambil map dan berjalan menyusuri koridor. Beberapa siswa menoleh padanya, membisikkan komentar. Wajah cantik dan auranya yang tenang membuatnya mencolok. Ia tidak peduli. Ia punya tujuan. Namun saat melewati tangga, ia merasakan sesuatu. Tatapan. Bukan satu, dua, tiga. Ia berhenti, menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa. Tapi firasatnya tajam dan ia tahu betul bagaimana rasanya sedang diburu. Kelas 3B cukup ramai. Begitu Alura masuk, ruangan langsung hening. Guru memperkenalkannya singkat, lalu memintanya duduk di bangku kosong di belakang. Seorang siswa laki-laki dengan rambut berantakan dan kacamata menoleh padanya, lalu tersenyum ramah. "Aku Dion. Duduk aja di sini. Yang lain agak… sibuk sok cool.” Alura hanya mengangguk. Anak itu tampaknya normal, terlalu normal. Beberapa siswa menatapnya diam-diam. Beberapa lainnya hanya sibuk dengan ponsel. Tapi satu orang, seorang gadis berambut pirang terang dengan tatapan sinis, terus menatap Alura seperti hendak menguliti wajahnya. "Namanya Dira, ya?” bisik gadis itu. “Kayak model.” "Kalau model dari neraka?” timpal temannya tertawa. Alura tidak bereaksi. Tapi dalam hati, ia mencatat wajah mereka satu per satu. Dunia manusia memang penuh drama, tapi ia tidak boleh terpancing. Aturannya jelas, tidak boleh membunuh. Waktu berlalu lambat. Pelajaran terasa membosankan. Ia tidak terbiasa duduk diam mendengarkan manusia menjelaskan teori yang tidak penting. Tapi saat istirahat tiba, sesuatu terjadi. Alarm darurat berbunyi. Seluruh siswa panik. Guru masuk dengan wajah pucat. “Semua tetap di kelas! Ada... ada insiden di ruang peralatan.” Alura merasa nadinya berdetak lebih cepat. Aura itu, lagi. Sama seperti tadi malam, dan kali ini… lebih dekat. Ia berdiri, menatap jendela. Bayangannya sendiri kembali menatapnya dari kaca, tapi untuk sepersekian detik, matanya berubah merah. Ia langsung menunduk. Tidak. Jangan bangkit sekarang. Belum waktunya. Di ruang kepala sekolah, Arga berdiri dengan ekspresi dingin di depan monitor pengawas. Kamera keamanan menampilkan koridor sekolah… dan satu frame menunjukkan sesuatu aneh. Bayangan hitam, berdiri di ujung lorong. Tidak berbentuk, tapi terlihat. Arga menyipitkan mata. Ia mengangkat ponsel. “Ada gangguan. Pastikan Alura tidak tahu dulu.” Suara di seberang menjawab, “Tapi… Tuan, ini dari dunia bawah.” Arga diam. Lalu suaranya terdengar dingin. "Kalau ada yang menyentuh dia… aku yang akan membunuh mereka sendiri.” Setelah alarm dibunyikan dan guru masuk dengan wajah panik, suasana kelas 3B langsung berubah tegang. Dion melirik Alura dengan gelisah. “Kau dengar apa yang terjadi?” bisiknya. Alura menggeleng, padahal firasatnya lebih tajam dari siapa pun di ruangan itu. Aura sihir tadi... bukan dari iblis selevel prajurit, itu kuat, kuno dan... sangat familiar. "Mereka bilang ada darah di ruang peralatan,” gumam salah satu siswa perempuan, ketakutan. Darah. Satu kata itu membuat napas Alura menahan. Ia menutup matanya sebentar, menarik napas pelan, lalu mengusir gemetar halus dari tubuh manusianya. “Jadi sekarang sekolah penuh pembunuh?” tanya si rambut pirang sinis tadi. “Hebat. Baru dua minggu lalu juga ada yang menghilang.” Alura menoleh cepat. “Menghilang?” Si gadis mendengus. “Satu siswa kelas 3C. Namanya Timo. Anak introvert, jarang ngomong. Tiba-tiba gak pernah datang lagi. Katanya pindah. Tapi rumor bilang... dia bunuh diri atau dibunuh.” Alura diam. Timo. Nama itu... tidak terdengar penting. Tapi jika sekolah ini sudah lama menyimpan kasus seperti itu, berarti ini bukan insiden baru. “Kau tahu apa pun soal itu?” tanya Dion, agak berbisik. “Aku baru saja masuk hari ini,” jawab Alura, suaranya tenang tapi ada nada tajam di ujungnya. Dion mundur sedikit, menunduk, lalu pura-pura fokus ke papan tulis meski tidak ada pelajaran yang dimulai.Api biru yang sebelumnya padam menyala kembali satu per satu, namun cahaya yang biasanya membawa kesan agung kini terasa asing, seperti mata ratusan makhluk yang mengintip dari balik kegelapan. Aula Obsidian berdiri dalam keheningan yang berat. Tidak ada yang berani bicara, seolah gema nama yang baru saja diucapkan kabut tadi masih menggantung di udara. Silvanna. Nama itu bergaung di kepala semua yang hadir. Sebagian besar utusan memang tidak memahami arti sebenarnya, namun getaran gaib yang menyertainya cukup untuk membuat mereka tahu: itu bukan sekadar nama. Itu adalah panggilan yang membawa beban sejarah, beban yang bahkan para imam paling tua tidak berani sebut. Alura berdiri di singgasananya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya berkilat merah emas. Dalam dadanya, jantungnya berdegup keras. Ia tidak pernah membiarkan siapapun menyebut nama itu di hadapannya. Bahkan ia sendiri menguburnya jauh di bawah lapisan ingatan. Rafael melangkah maju, suaranya dingin tapi tegas. “Apa a
Kegelapan merayap ke seluruh aula Obsidian. Api biru yang tadi menyala di sepanjang dinding telah padam satu per satu, seperti dipadamkan oleh tangan tak kasatmata. Udara menjadi berat, dingin, dan sarat dengan desisan halus yang terdengar seperti bisikan ribuan mulut. Para utusan merapatkan formasi, sebagian gemetar, sebagian lain mulai melantunkan doa. Tapi kata-kata mereka tenggelam oleh kegelapan yang semakin menekan dada. Rafael berdiri di depan Alura, pedang hitamnya berkilau samar meski nyaris tak ada cahaya. Matanya tajam, menembus gelap, mencoba menangkap gerakan sekecil apa pun. Arga, di sisi lain, sudah menyalakan api gelap di tangannya, wajahnya menegang penuh kewaspadaan. “Ini bukan ujianmu, bukan juga permainanku,” desis Arga lirih. “Ada sesuatu yang masuk bersama sumpah itu.” Alura tetap berdiri tegak di singgasananya. Gaunnya bergelombang ringan, rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian wajah. Namun matanya terbuka lebar, berkilat merah emas, menatap lurus ke dalam
Aula Obsidian masih diselimuti keheningan yang berat. Aroma darah dan asap hitam dari ritual sumpah belum juga hilang, menempel di dinding dan mengendap di napas siapa pun yang ada di dalamnya. Para utusan berdiri kaku, sebagian berusaha mengatur napas, sebagian lain masih pucat dan gemetar, seolah baru saja melihat neraka. Alura duduk di singgasananya, tubuhnya tegak namun pandangannya tajam menusuk ke setiap wajah. Matanya berkilat merah emas, memantulkan cahaya api biru yang masih berkobar di sepanjang dinding. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang hanya dia yang merasakan. Sebuah suara. Bukan suara manusia. Bukan suara iblis yang dikenalnya. Suara itu datang dari dalam darahnya sendiri. "Ikatan sudah terjalin… darah telah menetes… pintu telah terbuka." Alura menutup matanya sebentar, lalu membukanya lagi dengan ekspresi dingin. Tidak ada satu pun yang boleh tahu bahwa sumpah yang ia ciptakan tidak hanya mengikat para utusan, tapi juga memanggil sesuatu yang lebih
Api hitam yang melahap tubuh utusan pertama masih bergema dalam ingatan semua orang yang hadir di Balairung Obsidian. Bau daging terbakar bercampur dengan desisan jiwa yang terpecah membuat udara terasa semakin berat. Tak ada yang berani bergerak terlalu cepat; bahkan napas pun ditahan seolah takut api itu berpaling pada mereka. Alura berdiri tegak di tengah lingkaran darah yang kini berdenyut samar, bagai jantung yang baru saja terbangun. Gaunnya yang hitam berkilauan diterpa cahaya api biru, membuatnya tampak seperti sosok yang lahir dari kegelapan itu sendiri. Tatapannya menyapu satu per satu wajah para utusan, hingga tak seorang pun berani menurunkan pandangan. “Lihatlah,” suaranya dingin, nyaring, namun tenang, “itulah harga sebuah pengkhianatan. Sumpah ini bukan sekadar kata-kata, bukan pula hanya simbol. Ia adalah kehidupan yang kalian berikan kepada takhta ini. Dan kehidupan, jika dikhianati, akan menuntut balasan.” Tak ada yang berani menjawab. Beberapa wajah pucat, bebera
Aula Obsidian masih bergetar meski raungan dari langit sudah mereda. Api biru di sepanjang dinding menari liar, kadang redup, kadang meledak, seolah terhubung langsung dengan sesuatu yang jauh lebih tua daripada benteng itu sendiri. Udara berat, dipenuhi aroma besi dan belerang yang menusuk hidung. Para utusan berdiri dalam lingkaran, tubuh mereka tegang, mata terbelalak ke arah tanda hitam di lantai yang baru saja meminum darah mereka. Lingkaran itu kini berdenyut perlahan, seperti jantung yang hidup, memancarkan cahaya merah samar dari retakan-retakan kecil yang menyebar. Alura berdiri tegak di singgasananya. Ia tampak anggun, tapi tatapannya tajam, bagai pisau yang siap menusuk siapa pun yang berani goyah. Rafael berdiri tidak jauh dari sisi kanan singgasana, pedang hitamnya sudah tersarung kembali, meski tangannya masih berada di gagang. Arga bersandar pada pilar batu, wajahnya sinis namun matanya memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. “Dengan darah kalian,” suara Alura mengge
Aula Obsidian masih dipenuhi sisa gema sumpah darah. Api biru di dinding yang tadinya tenang kini bergetar, seolah ikut menahan napas. Para utusan berdiri dalam diam, beberapa masih menatap tanda hitam di telapak tangan mereka dengan wajah pucat. Tak seorang pun yang berani bicara duluan. Bahkan Liora yang biasanya lantang, kini hanya menggenggam tongkatnya erat, tatapannya beralih dari simbol di kulitnya ke wajah Alura. “Ini…” salah seorang imam berbisik, suaranya nyaris patah, “…ini bukan sekadar perjanjian saja. Ada sesuatu yang ikut masuk.” Alura berdiri dari singgasananya. Gaun hitamnya berdesir ringan, namun setiap langkahnya terdengar jelas, menekan dada mereka. “Kalian baru saja mengikat diri dengan darah kalian sendiri. Itu adalah harga paling jujur yang bisa dibayar.” “Bukan hanya darah kita!” Liora akhirnya bersuara. Matanya menyala oleh kilatan panik dan marah. “Aku merasakan mata yang lain… mengawasi. Sesuatu yang bukan dari ruangan ini.” Rafael menoleh cepat. T