Aku mencoba mengingat-ngingat kembali aplikasi pinjol tersebut. Walaupun setiap pengajuan pinjol yang digunakan oleh Ismi, tetapi aku tahu semua nama aplikasi pinjolnya. Ketiga aplikasi yang di ajukan oleh Ismi tersimpan dimemori ponselku, tetapi aplikasi pinjol tersebut tidak ada. Walaupun nominalnya hanya lima ratus ribu, tetapi aku tidak pernah merasa mengajukannya.Akhirnya aku mengurungkan niat untuk menjual ponsel. Aku masih penasaran dengan tagihan pinjol yang tidak dikenal. Aku akan menunggu hingga beberapa hari, biasanya ada pemberitahuan kembali tentang data pada saat awal pengajuan. Aku ingin melihat photo yang di gunakan pada saat awal pengajuan.Saat ini, kepalaku rasanya mau pecah. Disaat ke tiga pinjolku belum terbayarkan, ada lagi tagihan pinjol yang tidak aku ketahui. Apakah ini juga ulahnya Ismi? Tetapi bagaimana caranya?Tiga hari berlalu, sesuai dugaanku pihak aplikasi pinjol kembali mengirimkan data pada saat awal pengajuan. Jantung kembali berdebar, karena aku a
Aku menelan salivaku, karena berkata sok bijak padahal dalam hati menutupi semua masalah dari suami sendiri. Mas Dito menatap lekat, seolah dia sedang menguliti semua kebohonganku. Aku memalingkan wajah, berpura-pura memijit kakiku yang tidak terasa pegal.Malam ini adalah malam kedua aku tidak dapat memejamkan mata hingga menjelang pagi. Keesokan harinya aku merasa lemas, suhu tubuhku pun cukup tinggi. Sepertinya aku demam. Namun tetapi tetap memaksakan diri untuk bangkit dari pembaringan, tetapi kepalaku terasa sakit dan pandangan berkunang-kunang. Akhirnya aku memutuskan untuk berbaring kembali. Mencoba berusaha memejamkan mataku, agar bisa beristirahat meskipun hanya beberapa menit. Tetapi tetap tidak bisa. Beban fikiran tentang hutang pinjolku yang membuat seperti ini. Aku sangat tersiksa dengan masalah yang dibuat oleh Ismi, si Ratu pinjol yang sebenarnya.Samar-samar aku melihat Mas Dito masuk ke dalam kamar, sepertinya dia baru selesai mandi. Mas Dito pasti heran melihatku ma
"Ismi ada di sebuah kontrakan yang ada di pinggiran Kota!" jawab Mbak Sherli."Mbak Sherli dapat informasi darimana? Bagaimana kalau informasinya salah?" tanyaku berusaha meyakinkan kebenaran kabar yang dibawa Mbak Sherli."Dari orang-orang yang jadi korban penipuannya, Mbak Din. Mereka mencari tahu keberadaan Ismi dan memberikan informasinya kepada saya, karena termasuk korbannya Ismi!" sahut Mbak Sherli."Mbak Sherli jadi korban Ismi juga?" tanyaku dengan wajah terkejut."Iya. Ismi adalah ketua arisan online yang cukup dikenal dikalangan pengguna media sosial. Saya juga mengenalnya lewat sosial media berlogo biru. Biaya arisan yang saya ikuti adalah satu juta perbulan. Akan tetapi ketika seharusnya saya mendapat giliran menarik arisan, dia menghilang tanpa kabar." Beber Mbak Sherli menceritakan kejadian yang juga menimpanya.Aku cukup terkejut mendengar pengakuannya. Pantas saja tempo hari Mbak Sherli pernah mengingatkanku agar berhati-hati kepada Ismi. Hanya mengingatkan, tetapi t
Tubuhku terasa lemas setelah melihat jasad Ismi yang tewas tergantung di kontrakannya. Aku mencari tempat untuk duduk dan menenangkan diri. Rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja Aku lihat. Mbak Sherli datang mendekatiku. Wajahnya pun terlihat sedikit pucat karena masih shock melihat pemandangan mengerikan tadi."Ismi lebih memilih bunuh diri daripada bertanggung jawab dengan semua hutang-hutangnya, Mbak Din!" ucap Mbak Sherli lirih.Matanya menatap kosong ke arah rumah kontrakan Ismi yang semakin ramai di kerubungi orang."Iya, Mbak. Lalu bagaimana dengan hutangnya, Mbak? Aku harus bayar pakai apa?" tanyaku seraya terisak di hadapan Mbak Sherli.Aku sudah tidak mempedulikan lagi rasa malu karena menangis di hadapan Mbak Sherli. Aku sudah tidak tahan lagi menanggung beban masalah sendirian. Padahal besar harapan datang menemui Ismi untuk memintanya bertanggung jawab pada hutangnya yang mengatas namakan namaku."Mbak Dinar yang sabar, ya. Sebaiknya Mbak berterus terang kepada sua
Namaku Ismi Farah Diba, aku seorang gadis yatim piatu yang sedari kecil dirawat dan dibesarkan oleh Tante Mayang dan Oom Dodi yang merupakan adik kandung ibuku. Kedua orang tua meninggal karena tragedi kecelakaan lalu lintas pada saat usiaku baru menginjak enam tahun. Mobil yang dikendarai mereka tertabrak mobil dump truck yang melaju kencang di sebuah turunan curam disaat hujan turun dengan derasnya.Ayahku seorang pengusaha sukses di bidang tekstil. Beliau mempunyai beberapa pabrik yang mempekerjakan ratusan karyawan. Sejak aku lahir hidup serba berkecukupan, disamping itu aku merupakan anak tunggal dikeluarga. Kedua orangtua begitu menyayangiku, terlebih ayah. Dia begitu memanjakanku. Oleh sebab itu saat ayah meninggal dunia, aku seperti kehilangan separuh jiwaku. Di usia enam tahun, aku sudah mengerti arti sebuah kehilangan. Sepeninggal ayahku, semua pabriknya di jual untuk menutupi hutang yang baru diketahui setelah selesai pemakamannya. Ayah tidak meninggalkan warisan sama seka
Mas Dito berjalan ke arah kami. Degup jantungku bertalu-talu mengiriringi langkah Mas Dito. Aku menundukkan wajah, tidak berani menatap Mas Dito."Maaf, kalian ini siapa?" tanya Mas Dito begitu sampai di tempat kami berada."Kami debt colector dari aplikasi pinjaman online, Pak!" jawab salah seorang dari mereka."Apa, pinjaman online? Siapa yang meminjam?" tanya Mas Dito seraya duduk diantara kami."Mbak Dinar Nurhasanah mengajukan pinjaman online dua bulan yang lalu kepada aplikasi kami!" jelas salah seorang lagi.Aku mendengar dengan jelas hembusan nafas kasar Mas Dito. Aku semakin menenggelamkan wajah, bertambah takut untuk menatap Mas Dito."Dinar, apa benar kamu berhutang pada mereka?" tanya Mas Dito tegas.Lututku terasa lemas dan mulut seakan terkunci. Akhirnya tiba juga waktu hal yang paling aku takutkan, Mas Dito tahu masalahku."Dinar, ayo jawab!" bentak Mas Dito kepadaku.Bentakan Mas Dito berhasil membuat tubuhku gemetaran menahan takut. Dengan sekuat tenaga mengumpulkan s
"Kamu tidak usah ikut. Biarkan Mas saja yang berangkat. Mas tidak mau seandainya ada kemungkinan terburuk mereka belum berubah, kamu dan anak-anak menjadi sasaran kemarahan mereka!" Mas Dito menolak permintaanku."Baik Mas, terimakasih sudah mau berusaha membantuku!" ucapku seraya memeluk Mas Dito dengan erat. Walaupun sebenarnya sedikit kecewa karena tidak diperbolehkan bertemu dengan kedua mertuaku, tetapi harus mengikuti saran Mas Dito. Jika hanya aku yang mereka usir tidak masalah, tetapi pasti tidak tega jika mereka juga mengusir anak-anak. Masih teringat jelas, terakhir mendatangi mereka dengan membawa serta Dani dengan harapan mereka mau menerimaku sebagai menantunya. Akan tetapi aku malah diusir padahal kala itu sedang turun hujan begitu derasnya. Mereka tidak menaruh belas kasihan sedikit pun kepadaku dan Dani kecil yang kebasahan diguyur air hujan. Sejak saat itu Mas Dani melarangku untuk mendatangi mereka dan bersumpah tidak akan pernah menemui kedua orangtuanya lagi. Ak
Di sepanjang perjalanan, aku menitikkan air mata. Aku tidak mempedulikan tatapan aneh para penumpang lainnya. Dita mengusap pipiku yang dialiri alir mata, seolah dia mengerti kesedihan yang sedang menimpa ibunya.Harus bagaimana lagi aku berusaha? "Kenapa Allah masih belum membukakan jalan untuk menyelesaikan masalahku? tanyaku dalam hati."Aku memberikan kode berhenti kepada sopir angkot yang diumpangi. Dengan sedikit membungkukan tubuh, aku turun dari angkot dan memberikan ongkos kepada sopir. Mobil Angkot kembali melaju ketika Aku sudah turun dari mobil.Sebelum melanjutkan langkah, aku berhenti sejenak untuk menghapus sisa air mata. Tidak ingin para tetangga melihat keadaanku yang sedang bersedih. Aku menyeka air mata menggunakan ujung gendongan batik panjang yang dikenakan untuk menggendong Dita. Setelah meyakini sudah tidak ada yang tersisa, ujung gendongan kembali digunakan untuk menutupi kepala Dita agar terhindar dari matahari yang bersinar terik. Setelah sampai di rumah, ak